cover
Contact Name
Syofyan Hadi
Contact Email
syofyan@untag-sby.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnalhls@untag-sby.ac.id
Editorial Address
Jalan Semolowaru Nomor 45 Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Hukum Magnum Opus
ISSN : 26231603     EISSN : 2623274X     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 108 Documents
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT SEBAGAI PERSEROAN TERBATAS DALAM KASUS JUAL BELI MANUSIA Putra, Dony Setiawan
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.833 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2183

Abstract

Rumah sakit yang telah memiliki badan hukum atau korporasi apabila terbukti telah terjadi praktek jual-beli organ dalam lingkungannya dapat dikenakan sanksi pidana yang juga telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Sesuai dengan Teori Vicarious Liability dimana apabila orang-orang yang ada dalam lingkungan korporasi terbukti melakukan pelanggaran hukum karena tugas yang diberikan oleh korporasi maka pertanggungjawaban dapat dikenakan pada korporasi berupa pidana denda serta pidana tambahan. Penjatuhan sanksi pidana tambahan yang diberikan kepada korporasi atau badan hukum juga harus dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas karena dalam UU ini khusus mengatur mengenai pembuatan badan hukum hingga pembubaran status badan hukum. Permasalahan dan tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis perbuatan pidana yang dilakukan oleh rumah sakit yang berbadan hukum dan sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada rumah sakit yang telah melakukan pelanggaran pidana. Dengan menggunakan metode penelitian normatif serta menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
PENEGAKAN KONTRA RADIKALISASI MELALUI MEDIA SOSIAL OLEH PEMERINTAH DALAM MENANGKAL RADIKALISME Aisy, Bilqis Rihadatul; Ibrahim, Dina Oktarina; Intang, Khusnul Khatimah Haruna; Tindage, Monique Anastasia
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (159.647 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2174

Abstract

Perkembangan Radikalisme dalam era globalisasi semakin meningkat ditambah dengan berkembang pesatnya teknologi yang membuat banyaknya gerakan paham radikal muncul terutama dalam media sosial. Hal ini merupakan peluang bagi terorisme untuk melakukan perekrutan kelompok radikal melalui internet. Upaya pemerintah dalam mengembangkan ideologi nasionalisme untuk mengurangi paham radikalisme di tengah munculnya pengrekrutan anggota terorisme di media sosial, pemerintah pada akhirnya membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme seperti menjalankan program deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Program Deradikalisasi yang dijalankan pemerintah tersebut dinilai kurang efektif, karena hanya sampai pada tahap upaya mengubah perilaku dari radikal menjadi tidak radikal dengan tidak mencabut sampai ke ideologi yang tertanam, sehingga seringkali kelompok yang memiliki paham radikalisme tinggi akan kembali ke ideologi radikal yang semula. Program kedua dari BNPT yaitu Kontra Radikalisasi yang merupakan upaya penanaman nilai-nilai nasionalisme serta nilai-nilai non-kekerasan, dengan strategi pendekatan melalui pendidikan baik formal maupun non-formal. Kontra radikalisasi mengarahkan masyarakat umum dengan kerjasama tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakeholder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan. Penelitian ini akan membahas mengenai Penegakan kontra radikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui media sosial dalam menangkal paham radikalisme dan Pemberian regulasi oleh pemerintah dalam pelaksanaan kontra radikalisasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif dengan Pendekatan Perundang-Undangan dan pendekatan faktual. Hasil dari penelitian ini adalah pemerintah bekerjasama dengan BNPT melakukan program kontra radikalisasi berupa sosialisasi melalui media sosial dengan menanamkan paham nasionalisme dan Pemerintah memberikan regulasi berupa UU No 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang namun masih belum ada peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut tentang kontra radikalisasi.
EKSISTENSI IZIN GANGGUAN SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PENGENDALIAN KEGIATAN USAHA Mardhani, Yusuf
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.33 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2179

Abstract

Pada tanggal 29 Maret 2017 Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2017 tentang pencabutan peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah, yang kemudian telah diundangkan pada 30 Maret 2017. Pemerintah berasumsi bahwa sebagai salah satu cara untuk memberikan kemudahan dalam berbisnis (easy of doing business) di Indonesia, perlu adanya reformasi mengenai bidang perizinan yang ada. Perizinan terdahulu dianggap dapat menghambat investor asing apabila ingin menanamkan sahamnya di Indonesia, karena terlalu panjang prosedur yang dibutuhkan untuk penerbitan izin. Akan tetapi timbul permasalahan ketika semakin longgarnya investor asing yang dapat masuk ke Indonesia untuk membangun usaha mereka, maka timbul permasalahan mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan usaha tersebut. Kerusakan lingkungan semakin tak terhindarkan apabila semakin banyak tempat-tempat usaha yang berdiri, tanpa disertai analisis dampak lingkungan setelah usaha tersebut ada. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan pada penelitian ini adalah eksistensi izin gangguan sebagai instrument hukum pengendalian kegiatan usaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif, dengan menelaah suatu perundang-undangan yang berlaku untuk digunakan sebagai dasar melakukan pemecahan masalah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, izin gangguan sebagai salah satu instrumen izin pendendalian kegiatan usaha sangatlah penting untuk dipertahankan. Lingkungan sebagai unsur terdekat kita sebagai manusia dalam interaksinya terhadap alam, juga mempunyai hak-hak yang harusnya dapat dihormati oleh manusia sebagai unsur timbal balik bahwa apabila hak-hak lingkungan tetap dijaga, maka kehidupan manusia pun akan tetap dapat berlangsung secara berkesinambungan. Perombakan dalam Sistem perizinan mungkin dapat menjadi jalan keluar dari perizinan yang berbelit-belit.
KERJASAMA ANTAR NOTARIS DALAM BENTUK PERSEKUTUAN PERDATA Tuqa, Andria Fairuz; Herlia, Herlia; Maarif, Damayanthi Prahastini Puteri; Caesar, Lolyta Zullva Triselinda
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (177.385 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2175

Abstract

Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) melahirkan perkembangan hukum di bidang kenotariatan yaitu perserikatan perdata sebagai bentuk kerjasama antar Notaris sebagaimana di atur dalam Pasal 20. Menindaklanjuti Pasal 20 ayat (3) UUJN, diterbitkanlah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris Dalam Bentuk Perserikatan Perdata. Permasalahan muncul ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN-P) yang menghapus ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUJN dengan menimbulkan akibat hukum bahwa ketentuan lebih lanjut sebagaimana Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.01.02.12 Tahun 2010 tidak lagi berlaku. Peraturan pelaksana ini sesungguhnya sangat diperlukan, mengingat dalam Pasal 20 maupun dalam Penjelasan Pasal 20 UUJN-P ini tidak memberikan definisi yang konkrit mengenai persekutuan perdata. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan karakteristik persekutuan perdata Notaris yang diatur dalam UUJN-P adalah persekutuan yang bertujuan tidak menjalankan perusahaan dalam artian komersil dan keuntungan bukan menjadi orientasi bagi para Notaris yang bergabung dalam persekutuan perdata Notaris. Persekutuan perdata Notaris ini merupakan kantor bersama. Klien yang datang pada persekutuan perdata Notaris, nantinya akan menghadap pada salah satu Notaris yang tergabung di dalam persekutuan perdata Notaris tersebut, sehingga yang bertanggung jawab terhadap klien tersebut adalah Notaris yang bersangkutan.
PERLINDUNGAN HUKUM ANAK SEBAGAI PELAKU TERORISME Mahyani, Ahmad
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.637 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2180

Abstract

Berdasarkan fakta yang telah terjadi di berbagai negara bahkan juga di Indonesia, kejahatan terorisme dilakukan oleh Anak. Aturan penanganan anak sebagai Pelaku terorisme belum diatur secara khusus. Hal ini yang menyebabkan apa yang dilakukan pemerintah selama ini sejak dari proses penangkapan, penyidikan hingga penahanan belum dikatakan baik, bahkan terdapat pelanggaran hak-hak anak. Prosedur dan proses penanganan anak yang terlibat dalam jaringan tindak pidana terorisme belum sepenuhnya berdasarkan dengan UU SPPA baik oleh Densus 88 ketika melakukan penangkapan dan penyidikan, Jaksa dan Hakim saat penempatan penahanan dan proses persidangan, Lapas dalam melakukan pembinaan, serta BNPT dalam melakukan deradikalisasi. Permasalahan: Bagaimana perlindungan dan penerapan hukuman terhadap Anak pelaku terorisme. Menggunakan penelitian normatif metode pendekatan perundang-undangan dan konsep yang didukung teknik preskriptif. Anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme tidak bisa dianggap sebagai pelaku kejahatan, melainkan korban kejahatan, korban jaringan terorisme, korban doktrin, eksploitasi pemikiran, propaganda dari ajakan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya sehingga harus dilindungi secara khusus. Anak seperti ini hanya manus ministra, tidak boleh dipidana penjara, melainkan harus diedukasi, diberi konseling, direhabilitasi dan pendampingan sosial
PRINSIP TA’AWUN DALAM KONSEP WAKAF DENGAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF Balad, Nabilah Amalia
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.804 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2176

Abstract

Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (orang yang mewakafkan) di akhirat karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Adapun fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan, peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan wakaf. Penempatan asas ta’awun yang melandasi hubungan antara nazhir dengan janda yang menempati tanah wakaf tersebut sesungguhnya juga untuk memberikan makna bahwa perjanjian sewa menyewa yang pada akhirnya tidak terbentuk antara keduanya merupakan sesuatu yang memang seharusnya tidak dapat terjadi. Hubungan hukum keduanya seharusnya bukan karena motivasi mutualisme untuk saling bertukar kepentingan yang berorientasi terhadap profit, melainkan atas dasar tolong menolong yang kemudian disesuaikan dengan peruntukan tanah wakaf yang ditujukan untuk membantu mensejahterakan ekonomi umat. Perjanjian seharusnya berisi itikad baik kedua belah pihak sehingga tidak melenceng dari asas ta’awun. Pun dengan penetapan harga sewa seharusnya disesuaikan dan ditetapkan berdasarkan batasan yang wajar dan proporsional. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, dapat dilihat bahwa Peradilan Agama mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan wakaf. Oleh karena Pengadilan Agama mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa wakaf, maka sengketa wakaf merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Analisis dari putusan tersebut adalah seharusnya kewenangan absolut dari pengadilan yang dapat menangani kasus ini adalah Pengadilan Agama dan bukan Pengadilan Negeri. Hal tersebut dapat disimpulkan dengan penjabaran kasus yang berada diatas tanah wakaf yang mana kekuasaan untuk mengadili perkara wakaf ada di pengadilan agama.
PENJATUHAN PIDANA PENJARA ATAS TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH HAKIM DI BAWAH KETENTUAN MINIMUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Dewi, Wijayanti Puspita
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 1 (2019): Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.396 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2181

Abstract

Tindak pidana narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa sehingga diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mengingat bahaya maupun dampak dari narkotika, pemerintah membuat aturan mengenai narkotika dengan tujuan bahwa kejahatan ini dapat diberantas dengan pemberlakuan sanksi pidana yang cukup berat kepada para pelaku maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana narkotika. Namun dalam praktiknya seringkali putusan pidana yang diberikan hakim kepada terdakwa lebih ringan dari ketentuan pidana minimum khusus yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mengambil rumusan masalah mengenai apakah sanksi pidana dalam putusan hakim terhadap penguasaan Narkotika Golongan I bukan tanaman telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, sifat penelitiannya secara deskriptif, menggunakan data sekunder, dan metode pengumpulan data didapat melalui studi dokumen atau studi kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa putusan hakim terhadap sanksi pidana di bawah ketentuan minimum khusus akan menimbulkan disparitas pidana dan tidak dapat memberi kepastian hukum yang dapat menyebabkan tidak terwujudnya keadilan bagi masyarakat.
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK SEBAGAI BATU UJI BAGI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA Agustian, Sanggup Leonard
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 2 (2019): Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.209 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2370

Abstract

Artikel ini berisikan pembahasan perihal keberadaan/eksistensi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). AAUPB merupakan salah satu dari sekian banyak sumber hukum baik dalam Hukum Administrasi Negara maupun Peradilan Administrasi di Indonesia. Salah satu prinsip kekuasaan kehakiman menyatakan jika seorang Hakim tidak dapat menolak suatu perkara/sengketa dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Oleh sebab itu, melalui kekuasaannya, Hakim dapat mempergunakan hukum tidak tertulis (lex ne scripta) yang dalam hal ini yaitu AAUPB sebagai batu uji (cornerstone) dalam menilai suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan perkara/sengketa yang mengakibatkan kerugian bagi individu dan/atau badan hukum perdata.
PENDEKATAN VIKTIMOLOGI MEMINIMALISIR DISPARITAS PIDANA Kleden, Kristoforus Laga
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 2 (2019): Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.721 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2611

Abstract

Secara yuridis, adanya asas hukum Equality Before The Law, merupakan asas hukum yang tertuang dalam Konstitusi. Sebagaimana disebutkan di Undang-Undang Dasar 1945, asas ini berarti setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan keadilan. Pengenjawanatah dari asas ini juga tersurat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence). Yang berarti setiap orang harus dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang bersifat tetap. Beberapa faktor penyebab terjadinya disparitas pidana, di antaranya tidak adanya pengawasan terhadap kekuasaan penegak hukum dalam menjalankan fungsainya. Terutama dalam pelaksanaan peradilan pidana. Di samping itu, terdapat perbedaan penafsiran terutama bagi penegak hukum (dalam hal ini hakim) ketika menerapkan sanksi pidana yang sama untuk tindak pidana yang sama. Perbedaan penafsiran itu, terlihat dalam perkara-perkara tindak pidana terorisme, atau dalam menangani kasus-kasus kerusuhan yang berindikasi SARA. Menawarkan pendekatan viktimologi untuk meminimalisir disparitas pidana, adalah salah satu wujud tanggung jawab negara melindungi hak asasi mansuia. Pendekatan viktimologi ini, terutama dalam tindak pidana terorisme maupun kasus yang berindikasi SARA, seringkali korban yaitu masyakat luas, tidak mendapat perhatian yang serius dari negara. Negara melalui undang-undang, (terkait dalam pembahasan ini yaitu Undang-undang Tindak Pidana Terorisme), lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum kepada tersangka/terdakwa tindak pidana tersebut. Sementara korban akibat terjadinya tindak pidana terorisme, belum sepeunuhnya mendapat perhatian negara. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, maupun peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II adalah fakta bahwa negara belum memperhatikan nasib korban akibat tindak pidana ini.
PRAKTIK PERSEKONGKOLAN TENDER PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH Purwadi, Ari
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 2 (2019): Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.885 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2494

Abstract

Pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan melalui proses tender. Dalam proses terder ada kecenderungan untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga merugikan peserta tender lainnya. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, maka ditelaah praktik persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa yang berakibat terjadinya tindakan persaingan usaha tidak sehat. Penyelenggaraan tender dimaksudkan untuk mendapatkan barang dan jasa  yang semurah mungkin dengan kualitas sebaik mungkin. Persekongkolan tender dapat mengakibatkan proses tender berlangsung tidak adil, merugikan panitia pelaksana tender dan peserta tender yang beriktikad baik, sehingga menjurus ke arah persaingan tidak sehat. Praktik persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa yang menimbulkan persaingan tidak sehat yang terjadi di Indonesia berdasarkan penelitian ini, perkara pelanggaran Pasal 22 UU Persaingan Usaha yang  telah diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dari tahun 2015 sampai dengan 2018 sebanyak 35 putusan KPPU atau 57% perkara yang masuk di KKPU.

Page 2 of 11 | Total Record : 108