cover
Contact Name
Syofyan Hadi
Contact Email
syofyan@untag-sby.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnalhls@untag-sby.ac.id
Editorial Address
Jalan Semolowaru Nomor 45 Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Hukum Magnum Opus
ISSN : 26231603     EISSN : 2623274X     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 108 Documents
DISKRESI YANG DILAKUKAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM MILITER INDONESIA Pramono, Budi
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3014

Abstract

The implementation of law enforcement in the Indonesian military environment according to the writer's observation is still chaotic and there is sectoral ego. Discretion is very important in law enforcement in the military legal system, law enforcement officials are required to act wisely, wisely and responsibly. This research is a study of normative law using statutory and conceptual approaches. Every policy issued by public officials must pay attention to the signs that do not conflict with law and human rights, do not conflict with statutory regulations, must apply the general principles of good governance; and does not conflict with public order and decency. The use of discretion has a positive impact on law enforcement, although in certain circumstances the public interest must violate the law. In conducting discretion a clear and accurate consideration is needed, so that it can be accounted for legally, morally and to the community seeking justice, so that military soldiers before becoming law enforcers must go through education/courses first.Pelaksanaan penegakan hukum di lingkungan militer Indonesia menurut pengamatan penulis masih terjadi carut marut dan adanya ego sektoral. Diskresi sangat penting dalam penegakan hukum dalam sistem hukum militer, aparat penegak hukum dituntut untuk bertindak arif, bijaksana dan bertanggung jawab. Penelitian inimerupakan peneltian hukum normatif dengan menggunakan pendekata perundang-undangan dan konseptual. Sertiap kebijaksaan yang dikeluarkan oleh pejabat publik harus memperhatikan rambu-rambu tidak bertentangan dengan hukum dan HAM,  tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik; serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Penggunaan diskresi berdampak positif terhadap penegakan hukum, meskipun dalam keadaan  tertentu untuk kepentingan umum harus melanggar hukum. Dalam melakukan diskresi diperlukan  pertimbangan yang jelas dan akurat, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara hukum,  moral dan kepada masyarakat pencari keadilan, sehingga prajurit militer sebelum menjadi penegak hukum harus melalui pendidikan/kursus terlebih dahulu.
PENERAPAN HUKUMAN TINDAKAN KEBIRI KIMIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Hutapea, Messy Rachel Mariana
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.681 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.2931

Abstract

Children are still victims of sexual violence by perpetrators who are stronger than victims. Children who are victims of sexual violence have a negative impact on the psychic and mental, so that children will have trauma that is difficult to be eliminated or even prolonged trauma. So that the government established the Law Number 17 of 2016 concerning the Establishment of the Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2016 concerning the Second Amendment to Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection into Law. In the laws and regulations, it has been regulated regarding the castration penalty of chemistry. Indonesia is a country that still upholds all human rights possessed by every community in Indonesia without discrimination. This chemical castration execution raises the pros and cons in people's lives. So this chemical castration is considered to have violated the Human Rights of perpetrators of sexual violence against children. This research wants to dig deeper about the use of chemical castration punishment in perpetrators of recurrent crimes in the human rights perspective. This study uses normative research methods with conceptual and legislative approaches. Chemical castration has not been one of the effective penalties and provides a deterrent for perpetrators of sexual violence, so the laws governing chemical castration punishment need to be reviewed.Anak masih menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku yang lebih kuat dari korban. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual mendapatkan dampak yang negatif terhadap psikis dan batinnya, sehingga anak akan memiliki trauma yang susah untuk dihilangkan atau bahkan trauma tersebut berkepanjangan. Sehingga pemerintah membentuk peraturan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Didalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur tentang hukuman kebiri kimia. Indonesia adalah negara yang masih menjunjung setiap Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh setiap masyarakat di Indonesia tanpa adanya diskriminasi. Eksekusi kebiri kimia ini menimbulkan pro dan kontra didalam kehidupan masyarakat. Sehingga kebiri kimia ini dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Penelitian ini ingin menggali lebih dalam tentang penggunaan hukuman kebiri kimia pada pelaku kejahatan berulang dalam persektif hak asasi manusia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normative dengan endekatan konseptual dan perundang-undangan. Kebiri kimia belum menjadi salah satu hukuman yang efektif dan membuat jera untuk pelaku kekerasan seksual, Sehingga undang-undang yang mengatur tentang hukuman kebiri kimia perlu dikaji ulang.
HUKUM PERKAWINAN KATOLIK DAN SIFATNYA. SEBUAH MANIFESTASI RELASI CINTA KRISTUS KEPADA GEREJA YANG SATU DAN TAK TERPISAHKAN Gobai, Daniel Wejasokani; Korain, Yulianus
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (372.256 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3015

Abstract

Marriage is an important idea, particularly in Christianity and generally in broader society. Generally speaking, every element of society understands marriage as the union of two persons, a man and woman, and through various processes both parties are united, binding promises before the authority to live a commitment for their whole life. For the Catholic Church, marriage is a sacrament that is a sign and means that saves and unites, in which unity between the two is prescribed in the divine plan. For some reasons, the sacrament of marriage has a variety of meanings. Among other things, besides manifesting the unity of relationship between Christ and His Church who inseparable, the Christian marriage is considered as a mean of the presence of God, who guides and accompanies, nourishes and fosters love for one another in the sacred bonds of marriage, which is inseparable and irrevocable. Perkawinan merupakan gagasan yang penting dalam kekristenan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hampir setiap elemen masyarakat, memahami perkawinan sebagai persetukuan dua pribadi, seorang pria dan wanita, dan melalui berbagai rentetan proses, keduanya bersatu, mengikat janji di hadapan otoritas yang berwenang untuk setia selamanya. Bagi Gereja katolik, perkawinan adalah sakramen yakni tanda dan sarana yang menyelamatkan dan menyatukan, yang mana persatuan di antara keduanya terlaksana  berkat penyelenggaraan ilahi. Untuk itu, sakramen Perkawinan memiliki berbagai makna, antara lain selain memanifestasikan relasi Kristus dan Gereja-Nya yang satu dan tak terpisahkan, tetapi juga berarti sarana yang menghadirkan Allah yang menuntun dan menyertai, memelihara dan memupuk cinta satu sama lain dalam ikatan suci perkawinan yang tak terbatalkan dan tak terpisahkan.
PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN SALAH TANGKAP OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Hakim, Lukman; Paidjo, Paidjo; Alamsyah Putra, Tegar Mukmin
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.701 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.2786

Abstract

Indonesia is a country of law that upholds justice and guaranteeing all citizens equal before the law in its position without any exceptions. In the opening text of the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 and the first paragraph of the fifth principle of Pancasila prove that Indonesia is a country that upholds the sense of social justice for all Indonesian people, independent country, united, sovereign, just and prosperous. Indonesia received the law as the state ideology to create order, security, justice and prosperity for its citizens. One of the state apparatus that perform the function of the law is the police, one of the actions of the national police is investigating. The process of investigation is the examination process in criminal cases in order to obtain enough information to find and collect evidence on the matter and to find the suspects. Nowadays many cases of wrongful arrests in the investigation process at the police level causing adverse effects on the morale and psychological. How the legal protection for victims of wrongful arrests made by the police of the Republic of Indonesia. The method used in this study is adalahYuridis Normative that is based on the Principles of Law, the rules of law and Regulation Legislation relating to criminal law. In the legal protection as stipulated in the Regulation Legislation that the suspect, defendant or convict is entitled to sue for damages because of being arrested, detained, charged and prosecuted or subjected to other measures, without reason under the Act or in error about the person or the applicable law , Paragraph (2) compensation claim by the suspect or his heirs for the arrest or detention and other measures without reason under the Act or in error about the person or the applicable law as referred to in paragraph (1) that its case was not submitted to the district court, disconnected at a pretrial hearing.Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan menjamin semua warga negara, sama dalam kedudukannya dimata hukum tanpa ada perkecualian. Dalam teks pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alinea pertama dan Pancasila sila kelima membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Indonesia menerima hukum sebagai ideologi negara untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Salah satu aparatur negara yang menjalankan fungsi hukum adalah Polri, Salah satu tindakan polri adalah penyidikan. Proses penyidikan adalah proses pemeriksaan dalam perkara pidana guna mendapatkan informasi yang cukup, menemukan dan mengumpulkan bukti-bukti mengenai perkara tersebut dan guna menemukan tersangkanya. Sekarang ini banyak kasus salah tangkap dalam proses penyidikan pada tingkat kepolisian menyebabkan kerugian yang berdampak pada moril dan psikis. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yang dilakukan oleh kepolisian Negara Republik Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ini adalahYuridis Normatif yaitu berdasarkan Asas-Asas Hukum, kaidah-kaidah hukum dan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan hukum pidana. Dalam perlindungan hukum sebagaimana diatur di dalam Peraturan Perundang-Undangan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ayat (2) tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri,diputus di sidang praperadilan.
KEABSAHAN PERKAWINAN JARAK JAUH DENGAN AKAD NIKAH MELALUI ALAT KOMUNIKASI SMARTPHONE Wijaya, Happy Trizna
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3083

Abstract

Marriage is one of the most appropriate and honorable ways to carry out offspring. Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 stipulates that a Marriage is valid if it is carried out according to the law of each religion and its beliefs. From the provisions of article 2 paragraph (1) it is clear that for those who are Muslims must heed the provisions and Islamic law in carrying out marriage. The development of telecommunications technology today has developed so rapidly, that people can carry out certain activities without being in a forum or assembly, for example entering into an agreement. The presence of such advanced telecommunications facilities is also clearly influential in the implementation of Marriage in the Indonesian community itself, namely by the long-distance marriage contract through a CellPhone or SmartPhone telecommunications device. So that it raises the pros and cons of its validity in the midst of society. It turns out that a long-distance marriage with a marriage contract through telecommunications equipment is still valid because it clearly meets the requirements and the harmony of an implementation, but a marriage with a long-distance marriage contract is still positioned as a last resort if it is no longer possible to implement the marriage in one assembly.Perkawinan merupakan satu cara yang paling tepat dan terhormat untuk melangsungkan keturunan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa Perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut jelas bahwa bagi mereka yang beragama Islam harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dan hukum Islam dalam melangsungkan Perkawinan. Perkembangan teknologi telekomunikasi saat ini telah berkembang sedemikian pesat, sehingga orang dapat melangsungkan kegiatan-kegiatan tertentu tanpa dalam satu forum atau majelis, misal mengadakan suatu perjanjian. Kehadiran sarana telekomunikasi yang demikian maju, juga jelas berpengaruh dalam pelaksanaan Perkawinan dimasyarakat Indonesia sendiri, yaitu dengan akad nikah jarak jauh melalui alat telekomunikasi handphone ataupun smartphone. Sehingga hal tersebut menimbulkan pro dan kontra tentang keabsahannya di tengah-tengah mayarakat. Ternyata bahwa Perkawinan jarak jauh dengan akad nikah melalui alat telekomunikasi adalah tetap sah karena jelas memenuhi syarat dan rukunnya suatu pelaksanaan, namun sebaiknya Perkawinan dengan akad nikah jarak jauh ini tetap diposisikan sebagai pilihan terakhir apabila tidak lagi dimungkinkan pelaksanaan Perkawinan tersebut dalam satu majelis.
PENUNTUTAN GANTI RUGI KEHILANGAN BENDA ATAU BARANG TERHADAP PENGELOLA PARKIR YANG BERLINDUNG DI BAWAH KLAUSA BAKU Ardiyanto, Fahmi; Raissa, Amanda; Michael, Tomy
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.42 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.2947

Abstract

For Those who have lost their vehicles or valuables in the vehicle, they can request compensation from the parking operator, the requsted goods or the vehicle has been handed over to the parking entrepreneur. But not a few of the parking entrepreneurs who take refuge under a raw clause if there are consumers who complain about the goods or vehicles that are deposited lost. Based on the decision of the Supreme Court (MA) included in the review decision (PK) dated April 21, 2010 each service provider is obliged to replace the vehicle added with additional money for the lost vehicle. This decisión is accordance with the requested PK case PK 124 PD/PDT/2007 by secure parking. According to articles 1366 and 1367 of the Civil Code every person who is surrendered is obliged to be responsible for goods thet have been Surrendered, while standart clause is regulated in article 18 of law No. 8 of 1999 concering consumers, buyers of standard clauses benefit one party. Therefore, theresercher is interested in studying the problem of claiming compensation for goods or goods to the parking operator sheltering under a standard clause.Seseorang yang kehilangan kendaraan atau barang-barang berharga yang ada  di kendaraan dapat menuntut ganti rugi terhadap pengusaha parkir, apalagi barang atau kendaraan tersebut sudah di berikan penyerahan kekuasaan pada pengusaha parkir. Namun tidak sedikit dari pengusaha parkir yang berlindung di bawah klausa baku jika ada konsumen yang mengomplain atas barang atau kendaraan yang dititipkannya hilang. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang tercantum dalam putusan peninjuan kembali (PK) tertanggal 21 April 2010 bahwa setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang. Putusan ini berdasarkan permohonan PK perkara 124 PK/PDT/2007 yang diajukan oleh secure parking. Menurut Pasal 1366 dan 1367 KUHPerdata setiap orang yang di penyerahan kekuasaan wajib bertanggung jawab atas barang yang telah dipasrahkan, sedangkan klausa baku diatur dalam pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, apabila klausa baku yang tercantum dalam satu dokumen lebih menguntungkan satu pihak. Oleh karena itu penulis akan mengkaji masalah penuntutan ganti rugi benda atau barang terhadap pengusaha parkir yang berlindung di bawah paying klausa baku.
ASPEK HUKUM TENTANG PEMBERIAN IZIN KEGIATAN REKLAMASI PANTAI UTARA JAKARTA Rigo, Itok Dwi; Qidam, Abdul
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.711 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3086

Abstract

The Jakarta North Coast reclamation activity cannot be separated from the controversy, because there has been a polemic and discussion about which regulations can be used as a legal basis in the implementation of the reclamation and who is the most authorized in giving permits or recommendations for the implementation of the reclamation along with the process of building facilities and infrastructure for economic activity centers existing on reclaimed land. The granting of a reclamation permit for the North Coast of Jakarta, is judged to be inappropriate by law. In this study using research methods that include analytical descriptive research specifications, the approach used in this study is a normative juridical approach, the research phase is taken from the data below by conducting a library study, data collection techniques in this study were analyzed in a normative qualitative manner. feasible, because the DKI Governor has issued a Permit before the Reclamation Regional Regulation, the Reclamation Draft Regulation is submitted to the DKI Provincial DPRD after the reclamation permit is issued by the Governor, the DKI Jakarta Provincial Government also cannot prove the Regional Regulation on the Zoning Plan Wi Coastal and Small Islands (RZWP-3-K). Second, the impact of the reclamation of the Jakarta bay is the destruction of the living places of animals and coastal plants so that fishermen lose their jobs. Meanwhile, the coastal area which was originally a public space for the community will be lost or reduced because private activities will be utilized. Third, Then the steps that need to be taken are, the developers must complete the planning and implementation of the reclamation document. In addition, pay attention to all positive and negative impacts that may arise in the entire reclamation impact area and where reclamation material resources are taken. In order for the reclamation decision making to be optimal, the decision on what must be done in the reclamation must prioritize the principles of inclusion (including all stakeholders), be open and transparent.Kegiatan reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak lepas dari adanya kontroversi, karena  telahterjadi polemik dan pembahasan tentang peraturan manakah yang dapat dijadikan landasan hukum dalam pelaksanaan reklamasi dan siapakah yang paling berwenang dalam memberikan izin maupun rekomendasi atas pelaksanaan reklamasi beserta proses pembangunan sarana dan prasarana pusat kegiatan ekonomi yang ada diatas tanah hasil reklamasi.Pemberian izin reklamasi Pantai Utara Jakarta, dinilai tidak patut secara hukum. Dalam Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang meliputi spesifikasi penelitian yang bersifat deskiptif analitis, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normative, tahap penelitian ini diambil dari data dibawah ini dengan melakukan studi pustaka, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumen melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini pertama, Perizinan reklamasi pantai Utara Jakarta dinilai tidak layak, karena Gubernur DKI telah mengeluarkan Izin terlebih dahulu sebelum adanya Peraturan Daerah Reklamasi, Raperda Reklamasi diserahkan kepada DPRD Provinsi DKI setelah Izin reklamasi di keluarkan oleh Gubernur. Pemprov DKI Jakarta juga tidak dapat membuktikan tentang adanya Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP-3-K).Kedua, Dampak dari reklamasi teluk Jakarta adalah, musnahnya tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga nelayan kehilangan lapangan pekerjaan. Sementara itu wilayah pantai yang semula merupakan ruang publik bagi masyarakat akan hilang atau berkurang karena akan dimanfaatkan kegiatan privat. Ketiga, Maka langkah yang perlu diambil adalah, para pengembamg harus melengkapi dokumen perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Selain itu, memperhatikan semua dampak positif dan negatif yang mungkin timbul di seluruh wilayah dampak reklamasi dan di tempat sumber material reklamasi diambil. Agar pengambilan keputusan reklamasi bisa menjadi optimal, maka keputusan atas apa yang harus dilakukan dalam reklamasi haruslah mengedepankan prinsip-prinsip inklusif (mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan), terbuka dan transparan.
PEMAKNAAN KEMBALI TERHADAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN Pisteo, Rudi; Sugianto, Fajar; Agustian, Sanggup Leonard
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1709.279 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.2630

Abstract

The concept of social and environmental responsibility or commonly referred to as corporate social responsibility continues to experience rapid development. Stakeholder theory provides new thinking related to the meaning of the concept of social and environmental responsibility in Indonesia with various stakeholder perspectives. Issues related to the meaning of corporate social and environmental responsibility at present based on laws and regulations need to be discussed in re-defining corporate social and environmental responsibility due to regulatory uncertainty caused by the spread of arrangements related to social and environmental responsibility in Indonesia . In Indonesia, the terms used in the laws and regulations are very diverse, in Indonesia the meaning of mandatory Corporate Social Responsibility develops from the concept of Corporate Social Responsibility which other countries or formerly voluntary. This study uses a normative juridical method and concept approach. In interpreting the concept of corporate social and environmental responsibility it needs to be understood that the responsibility of a company in carrying out social and environmental responsibility cannot be separated from the existence of corporate, legal, economic and environmental instruments.Konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan atau biasa disebut dengan istilah corporate social responsibility terus mengalami perkembangan dengan pesat. Stakeholder theory memberikan pemikiran baru terkait dengan pemaknaan terhadap konsep dari tanggung jawab sosial dan lingkungan yang ada di Indonesia dengan berbagai perspektif pemangku kepentingan yang ada. Permasalahan terkait dengan pemaknaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pada saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan perlu di lakukan pembahasan dalam memaknai kembali tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dikarenakan ketidakpastian pengaturan yang diakibatkan oleh adanya penyebaran pengaturan terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan ini di Indonesia. Di Indonesia sendiri istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undanganya sangat beragam, di Indonesia pemaknaan terhadap Corporate Social Responsibility yang bersifat mandatory menjadi berkembang dari konsep Corporate Social Responsibility yang mana negara-negara lain atau dulunya bersifat voluntary. Penelitian ini menggunakan motode yuridis normatif dan pendekatan konsep. Dalam memaknai konsep dari tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan perlu untuk dipahami bahwa tanggung jawab suatu perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak terlepas dari adanya instrumen perseroan, hukum, ekonomi dan lingkungan.
PERKAWINAN IN FIERI DAN PERKAWINAN IN FACTO ESSE DALAM PEMAHAMAN YURIDIS GEREJA KATOLIK Galed, Daniel Ortega
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v3i1.3011

Abstract

Dignity and marriage institutions with all kinds of complexity are always interesting to be discussed from any aspects. Marriage always has a permanent characteristic whether cultural influences or the mentality of the age changes in concepts and ideas in it. It demands the involvement of the subject (husband and wife) and requires the existence of "consent" as an object of action. The two essential elements; action (actus) and fact (factum) are recorded chronologically in the pattern of cause and effect, which in the juridical understanding of Catholic marriage is read separately, The juridical consequences of the two have a major impact especially on determining the validity and the invalidity of each marriage matter in the Catholic Church. The research method used in this paper is  of exegesis and historical-comparative study of the postulates on the Catholic marriage in the CIC 1983. In fieri marriages in turn are an essential moment in assessing the validity of a marriage. The consensus exchanged by the two partners is the realization of their full human will, which must be free from various psychological anomalies and external pressures. He was born from the directness to form a partnership (consortium) which is based on its intrinsic nature and indissolubility.Martabat dan institusi perkawinan dengan segala macam kompleksitasnya selalu menarik untuk dibahas dari aspek manapun. Seiring perubahan konsep dan ide di dalamnya, entah pengaruh budaya maupun mentalitas zaman, perkawinan selalu mempunyai ciri yang tetap. Ia menuntut keterlibatan subjek (suami-istri) dan mengharuskan adanya “kesepakatan” sebagai objek tindakan. Kedua unsur esensial itu, tindakan (actus) dan fakta (factum), terekam secara kronologis dalam pola sebab akibat, yang dalam pemahaman yuridis perkawinan Katolik dibaca dalam momentum terpisah. Konsekuensi yuridis dari keduanya memiliki dampak besar terutama untuk menentukan validitas dan invaliditas dalam setiap perkara nulitas perkawinan dalam Gereja Katolik. Metode penelitian dalam penelitian ini ialah metode eksegese dan telaah historis-komparatif atas dalil-dalil mengenai perkawinan Katolik dalam CIC 1983. Perkawinan in fieri pada gilirannya merupakan momentum esensial dalam menilai keabsahan sebuah perkawinan. Konsensus yang saling ditukarkan oleh kedua pasangan merupakan realisasi dari kehendak penuh mereka sebagai manusia, yang harus bebas dari aneka anomali psikologis maupun tekanan eksternal. Ia lahir dari keterarahan untuk membentuk sebuah persekutuan (consortium) yang difondasikan pada sifat hakikinya yang unitas dan indissolubilitas.
KRIMINALISASI PENGGUNA JASA PEREMPUAN YANG DILACURKAN (PEDILA) SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Prisilla, Josephine Cindy
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 3 No 2 (2020): Agustus 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1291.352 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v3i2.3432

Abstract

AbstractThis research is a socio legal research which focusing on problem that existed in society to find the best recommendation as a solution. Descriptive qualitative method used in this research to explain problem that found. Statute approach and comparative approach are two type of research approach that used in this research. Result of this research showed that practically chapter 12 of human trafficking criminal law has never been used to criminalize prostitution client because there are resistances. Prostitution client is not written clearly as a subject at chapter 12 human trafficking criminal law. The unnwritten subject at chapter 12 make different interpretations between police investigator. The different interpretations come because the interpretation has not been based on legal theory. Criminalize of prostitution client is a common regulation with the Swedish Model from Sweden. The Swedish Model has shown succeed progress to decrease prostitution. Implementation of chapter 12 to criminalize prostitution client is fulfilling the law purposes which are justice, utility, and legal certainity. Recommendation that can be offered is doing a legal reform of chapter 12 human trafficking penal regulation by adding sentence that refer to prostitution client. Legal reform will fulfill lex scripta, lex certa and lex stricta as the points of criminal law.Keywords: criminal law; human trafficking; prostitutionAbstrakPenelitian ini merupakan penelitian socio legal yang mengkaji gejala permasalahan di masyarakat untuk menemukan rekomendasi terbaik. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang ditemukan. Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna jasa PEDILA tidak pernah dapat dipidana karena adanya perbedaan penafsiran di kalangan kepolisian. Pasal 12 UU TPPO tidak secara tertulis menunjukkan bahwa pasal tersebut berlaku bagi pengguna jasa PEDILA. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan kepolisian. Perbedaan penafsiran ini terjadi karena penafsiran dilakukan tanpa dasar teori yang benar sehingga terjadi kesesatan berpikir. Penerapan Pasal 12 UU TPPO guna pemidanaan pengguna jasa PEDILA merupakan langkah yang sama dilakukan oleh Swedia yang terbukti efektif menurunkan angka prostitusi di Swedia. Oleh karena itu pasal 12 UU TPPO haruslah diterapkan terhadap pengguna jasa PEDILA karena akan mampu mencapai ketiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Rekomendasi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi hambatan penyidik kepolisian adalah dengan melakukan pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum dilakukan dengan menambahkan kalimat “tak terbatas pada pengguna jasa PEDILA” pada ketentuan Pasal 12 UU TPPO. Pembaruan hukum ini sebagai langkah pemenuhan ketiga asas hukum pidana yaitu lex scripta, lex certa, lex stricta.Kata kunci: hukum pidana; perdagangan orang; prostitusi

Page 4 of 11 | Total Record : 108