cover
Contact Name
asep miftahudin
Contact Email
donztsm@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
bagas.afyad@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta utara,
Dki jakarta
INDONESIA
The Indonesian Journal of Infectious Diseases
ISSN : 23546077     EISSN : 25991698     DOI : -
The Indonesian Journal of Infectious Disese (IJID) is a peer-reviewed journal published by RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. It specializes in infectious disease : emerging disease, new emerging disease issues and tropical medicine). IJID has been published twice a year in Indonesian since 2013 and started from 2018 IJID will be fully published in Open Journal System (OJS).
Arjuna Subject : -
Articles 76 Documents
Penentuan Diagnostik Lymphadenopathy Colli Dengan Metode Biopsi pada Penderita HIV-TB Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Ida Bagus Sila Wiweka; Adria Rusli; Titi Sundari; NFN Stevanus; Marti Kusumaningsih; Sardikin Giriputro; Faisal Rizal Matondang; Ervan Budiman
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 01 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.436 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i01.1

Abstract

Mycobaterium tuberculosis (M.tuberculosis) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Salah satu manifestasi klinis yang terinfeksi M.tuberculosis adalah pembesaran kelenjar getah bening pada regio colli, axilla, inguinal, abdominal yang sering di sebut tuberkulosis kelenjar. Tuberkulosis kelenjar masih sering menimbulkan permasalahan baik dari segi diagnostik, pengobatan dan pemantauan hasil pengobatannya teristimewa di daerah endemis TB, ditambah lagi gejala tuberkulosis pada penderita HIV sering tidak jelas manifestasi yang sering timbul adalah pembesaran kelenjar getah bening.Telah dilakukan penelitian pada 11 pasien HIV dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang diduga karena infeksi M.tb serta bersedia secara tertulis mengikuti penelitian ini. Pada semua subjek dilakukan biopsi jarum halus dan biopsi dengan pembedahan. Hasil biopsi tersebut dilakukan pemeriksaan pewarnaan langsung BTA; sitologi dan PCR. Hasil yang didapat adalah preparat BTA langsung dari BJH 36,4%; Sitologi dari BJH positif tuberkulosis 36,4%; PCR tuberkulosis positif 45,5%; Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) yang positif tuberkulosis adalah 72,7%.Berdasarkan penelitian perbandingan pemeriksaan Mycobaterium tuberculosis pada pembesaran KGB pada pasien HIV dianjurkan melakukan pemeriksaan PA dari bahan spesimen ekstirpasi dari kelenjar getah bening leher, pertimbangankan PCR tuberkulosis yang non invasif.
Prevalensi Defisiensi Vitamin D Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Pada Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Maya M Montain; Janto G. Sinulingga; NFN Fatmawati; NFN Herlina; Nursanti Kurniastuti
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 01 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32667/ijid.v1i01.2

Abstract

Abstract:Most people with HIV AIDS have been found with vitamin D deficiency, which is evidently influence by efavirenz as one of antiretroviral therapy (ART) regimen for HIV AIDS therapy, the characteristics of people with HIV AIDS, vitamin D intake, people with HIV AIDS life style, & drug intake that effect vitamin D level. 25-hydroxyvitamin D (D 25-OH) serumlevel measured vitamin D status at people with HIV AIDS. Vitamin D insufficiency was defined at 50-75 nmol/ml (20-30 ng/ml)D 25 OH , while vitamin D deficiency was defined under 50 nmol/ml (< 20 ng/ml) D 25-OH. Vitamin D is needed to maintain the health of bone and adequate immune function, that controled HIV infection. Vitamin D deficiency can increase the risk of bone fracture and Immune Reconstitution Syndrome(IRIS). Up to now, there has not been any data of the prevalence of vitamin D deficiency and its influencing factors on the people with HIV AIDS in Indonesia. The objective of this research is to understand the prevalence of vitamin D deficiency and its influencing factors on the people with HIV AIDS in Sulianti Saroso communicable disease hospital, that already have or not yet have ART intake . The results indicated that 88,8% people with HIV AIDS suffered vitamin D deficiency, and 11,2% suffered vitamin D insufficiency. The tested factors did not evidently influence the vitamin D deficiency.Abstrak. Defisiensi vitamin D ditemukan pada sebagian besar Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dimana defisiensi ini dipengaruhi salah satunya oleh efavirenz sebagai rejimen NNRTI yang merupakan salah satu rejimen ART (Antiretroviral Therapy) dalam terapi pengobatan ODHA. Faktor-faktor lain yang juga diduga berpengaruh terhadap defisiensi vitamin D pada ODHA adalah karakteristik ODHA, asupan sumber vitamin D, perilaku ODHA, dan juga konsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar vitamin D. Kadar vitamin D diketahui dengan mengukur kadar serum 25-hydroxyvitamin D dan dikategorikan sebagai insufiensi atau ketidakcukupan vitamin D bila kadar D 25-OH mencapai 50-75 nmol/ml (20-30 ng/ml), dan dikategorikan sebagai defisiensi atau kekurangan vitamin D bila jika kadar D 25-OH mencapai < 50 nmol/ml (< 20 ng/ml). Vitamin D dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan tulang dan untuk fungsi imun yang adekuat, yang membantu mengendalikan infeksi HIV. Defisiensi vitamin D pada ODHA dapat meningkatkan resiko fraktur tulang dan terjadinya Immune Reconstitution Syndrome (IRIS). Hingga saat ini belum ada data di Indonesia tentang prevalensi defisiensi D pada ODHA, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada 107 ODHA di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2010, baik yang belum maupun yang sudah mendapat ART dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 88,8% ODHA mengalami defisiensi vitamin D, dan yang mengalami insufisiensi vitamin D sebanyak 11,2%. Namun faktor-faktor yang diuji tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap defisiensi vitamin D.
Faktor-Faktor Personal Sebagai Prediktor Terhadap Resiliensi Perawat Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Barita Ulina Mariani
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 01 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.863 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i01.3

Abstract

Abstrak. Daya tahan seorang perawat dalam menghadapi tuntutan pekerjaan dan tanggung jawabnya dalam merawat pasien di rumah sakit sangatlah diperlukan, agar seorang perawat dapat menyeimbangkan antara kinerja, masalah sehari-hari, dan beban pekerjaan yang dihadapi hampir setiap hari di dalam kehidupannya. Daya tahan yang dimaksud adalah resiliensi. Begitu pentingnya resiliensi bagi seorang perawat, namun, kajian maupun penelitian mengenai resiliensi pada perawat di RSPI-SS belum ada. Begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi tersebut.Tulisan ini bertujuan untuk melihat gambaran tingkat resiliensi perawat dan prediktor resiliensi pada perawat di Rumah Sakit Sulianti Saroso pada semua ruangan dan bangsal yang langsung menangani pasien, khususnya pada pasien HIV AIDS. Populasi penelitian adalah para perawat di rumah sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso, sedangkan sampel penelitian adalah perawat–perawat yang secara langsung merawat pasien. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara random. Untuk mengetahui tingkat resiliensi, self efficacy, hope, dan coping serta keterkaitan antara variabel, dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan instrument penelitian yakni skala resiliensi, skala self efficacy, skala hope, dan skala strategi coping yang disusun sendiri oleh peneliti dan tim. Hasil penelitian menunjukkan tingkat resiliensi pada perawat di RSPI-SS berada pada level sedang. self efficacy dan hope terbukti merupakan prediktor terhadap resiliensi pada perawat,
Antibacterial Effect Of Kaempferia Galanga L Extract On Lactobacillus Acidophilus –In Vitro Josi Saraswati; Annisa Septalita; Arini Bovita. N
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 01 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.79 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i01.4

Abstract

Introduction: Lactobacillus acidophilus is one of the bacteria causes dental caries. The previous study has shown that Kaempferia galanga extract has a potential to inhibit the growth of Lactobacillus acidophilus.Objective: To determine the antibacterial effect of Kaempferia galanga extract to Lactobacillus acidophilus.Methods:Kaempferia galanga is extracted in 3 different solvents:dichlormethane, ethanol, and aquades. For each solvent, 0.2 μl Kaempferia galanga extractdroped into 6 mm steril paper dics. 0.1 ml Lactobacillus acidophilus inoculated on MRS agar. Each disc contains extract were impragnated into the agar media, then incubated at 370C for 24 hours, and inhibition zone measured.Results: Mean scores of Kaempferia galanga extract in 3 different solvents are: Kaempferia galanga (dichlormethane) is 1.6400; Kaempferia galanga (ethanol) is 1.7440; Kaempferia galanga extract is 1.6600; boiled Kaempferia galanga is 1.7000. Using Mann-Whitney Test, the results are: negative controls have no inhibition effect on Lactobacillus acidophilus compaired to Kaempferia galanga extract, comparation of those 4 Kaempferia galangal treatments shows no significant difference, those 4 Kaempferia galanga treatments compaired to erythromycin antibacterial effect shows significant difference, otherwise 4 Kaempferia galanga treatments compaired to penicillin shows no significant difference except Kaempferia galanga (ethanol).Conclusions: Kaempferia galanga extract can kill Lactobacillus acidophilus. Inhibition effect of Kaempferia galanga extract has no significant difference to penicillin but lower inhibition effect than erythromycin. The Kaempferia galanga extracts showed better antibacterial activity than penicillin.
Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Teh Terhadap PertumbuhanAspergillus flavus Putriana Indah Lestari
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 01 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.808 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i01.5

Abstract

Abstrak.Aspergillus flavus merupakan jamur patogen penghasil racun aflatoksin yang banyak mengontaminasi komoditi hasil pertanian dan bahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antifungi ekstrak daun teh terhadap pertumbuhan A. flavus dan konsentrasi ekstrak daun teh yang efektif dalam menghambat pertumbuhan A. flavus. Perlakuan yang dicobakan terdiri atas 7 konsentrasi ekstrak daun teh yang yaitu 0 (kontrol); 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0 dan 3,5 mg/ml. Variabel bebas berupa konsentrasi ekstrak daun teh dan variabel tergantung berupa persentase penghambatan ekstrak daun teh terhadap A. flavus. Parameter yang diamati adalah diameter pertumbuhan A. flavus, pH media dan suhu ruang. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam (uji F) pada tingkat kepercayaan 95 dan 99%, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun teh mampu menghambat pertumbuhan A. flavus dan konsentrasi 2,5 mg/ml merupakan konsentrasi efektif menghambat pertumbuhanA. flavus. Kandungan metabolit sekunder daun teh yang dapat dideteksi yaitu golongan alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin dan asam lemak.
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN TB PADA PENDERITA TB PARU DI POLI PARU RUMAH SAKIT PROF. DR.SULIANTI SAROSO Dian Noviati Kurniasih; Cicilia Widianingsih
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 2 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.204 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i2.10

Abstract

Abstrak : TB merupakan penyakit menular yang menjadi masalah di Indonesia karena diperkirakan setiap hari 425 orang meninggal akibat TB di Indonesia . Perilaku pencegahan TB dilakukan untuk menurunkan angka penularan penyakit TB terhadap orang – orang di lingkungan sekitar. Pengetahuan tentang pencegahan penularan TB paru merupakan bekal utama untuk mencegah penularan dan penyebaran penyakit Tuberkulosis Paru. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis deskriptif korelatif dengan desain cross sectional. Sampel sebanyak 60 pasien yang diambil dengan teknik rondom sampling. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 96,7% responden berpengetahuan rendah, 100% bersikap mendukung dalam pencegahan TB Paru dan 100% berperilaku tidak mendukung pencegahan TB paru. Hasil analisa bivariat menggunakan regresi linier menunjukkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan dengan pencegahan TB paru. Abstract : TB is an infectious disease due to a problem in Indonesia is estimated every day 425 people died from TB in Indonesia. TB preventive behavior is done to reduce the rate of transmission of TB to people - people in the neighborhood. Knowledge of prevention of transmission of TB is the main provision to prevent the transmission and spread of pulmonary tuberculosis. The behavior may consist of knowledge, attitudes and actions. This research is a quantitative study with a descriptive correlative with the cross-sectional design. Sample has collected amount 60 patients were taken by random sampling. This objective study to determine the relationship of knowledge with pulmonary TB infection prevention behavior. The result study 96.7% of respondent knowledgeable low, 100% attitude supportive in the prevention of pulmonary TB and 100% behavior not support the prevention of pulmonary tuberculosis. The linear regression indicates that there is a relationship of knowledge to the prevention of pulmonary tuberculosis.
A case report of disseminated cysticercosis in Bali, Indonesia A.A Raka Sudewi; Toni Wandra; Oka Adnyana; NFN Moestikaningsih; A A.B.N. Nuartha; Yasuhito Sako; Kazuhiro Nakaya; Akira Ito
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 2 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (159.235 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i2.6

Abstract

Abstract. We reported the case of a 36-year-old Balinese man who disseminated cysticercosis, presented neuro-, subcutaneous- and oral-cysticercosis. Diagnosis of it was based on anamnesis, clinical examination including CT Scan, histopathological and serological examinations. The patient visited outpatient clinic of Sanglah Denpasar Hospital in Bali, in June 2003 with two subcutaneous nodules in the body. Serological examinations (ELISA and immnunoblot) used both purified glycoproteins and chimeric recombinant antigen were positive. The two subcutaneous nodules disappeared after treatment with albendazole. In January 2004, the patient presented neuro-, and oral-cysticercosis. CT Scan showed multiple active lesions in the brain. During the treatment with 800 mg albendazole daily during for one month. The side effects of it such as nausea and vomit were found in that patient. Antibody responses in ELISA and immnunoblot were still positive and follow up CT scan in May 2004, it showed that very similar figures as previously. Repeated treatment with 400mg albendazole daily for one and half month was applied. Antibody responses became low, and CT scan in March 2006 did not show any active cysts but only calcified lesions.
HUBUNGAN STUNTING DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA BALITA NFN Jahiroh; Nurhayati Prihartono
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 2 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.524 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i2.7

Abstract

Abstrak : Tuberkulosis (TB) dan stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan stunting dengan kejadian TB pada anak usia 1-59 bulan. Penelitian ini menggunakan desain kasus-kontrol. Kasus adalah anak usia 1-59 bulan yang berobat di puskesmas yang didiagnosis TB oleh dokter menggunakan sistem skoring. Kontrol adalah anak usia 1-59 bulan yang berkunjung ke puskesmas yang sama dengan kasus, didiagnosis bukan TB. Pemilihan kontrol menggunakan teknik sampling acak sederhana. Balita dengan TB dan bukan TB terdistribusi yang hampir sama menurut jenis kelamin dan ventilasi rumah. Jika dibandingkan dengan balita gizi normal, balita gizi stunting mempunyai risiko yang lebih tinggi sakit TB. Balita pendek dan sangat pendek mempunyai risiko masing-masing 3,5 kali dan 9 kali sakit TB [adjusted odds ratio (OR = 3.54; P = 0,004 and and OR = 9.06; P = 0.001) respectively. Ditinjau dari segi imunisasi BCG, balita yang tidak diimunisasi dibandingkan yang diimunisasi BCG mempunyai risiko 4 kali sakit TB. Pada kontak serumah dengan pasien TB, balita yang mempunyai kontak dibandingkan tidak mempunyai kontak serumah dengan pasien TB berisiko hampir 12 kali sakit TB (OR = 11.96; P = 0.000). Sedangkan jika ditinjau dari usia balita, balita usia < 24 bulan dibandingkan balita usia > 24 bulan mempunyai risiko 2,8 kali sakit TB OR = 2.84; P = 0.011). Balita stunting, yang tidak diimunisasi, dan yang mempunyai kontak TB serumah TB mempunyai risiko lebih besar sakit TB. Abstract : Tuberculosis (TB) and stunting remain a health problem in Indonesia. The objective orf this study was to identify the relationship of stunting with the incidence of TB in children aged 1-59 months. This case-control study in district of West Bandung (West Java). Cases were children aged 1-59 months who visited at clinic health center diagnosed TB by a doctor using a scoring system. Controls were the same age who visited the same clinic with the case, not diagnosed TB. Balita dengan TB dan bukan TB terdistribusi yang hampir sama menurut jenis kelamin dan ventilasi rumah. Jika dibandingkan dengan balita gizi normal, balita gizi stunting mempunyai risiko yang lebih tinggi sakit TB. Balita pendek dan sangat pendek mempunyai risiko masing-masing 3,5 kali dan 9 kali sakit TB [adjusted odds ratio (OR = 3.54; P = 0,004 and and OR = 9.06; P = 0.001) respectively. Ditinjau dari segi imunisasi BCG, balita yang tidak diimunisasi dibandingkan yang diimunisasi BCG mempunyai risiko 4 kali sakit TB. Pada kontak serumah dengan pasien TB, balita yang mempunyai kontak dibandingkan tidak mempunyai kontak serumah dengan pasien TB berisiko hampir 12 kali sakit TB (OR = 11.96; P = 0.000). Sedangkan jika ditinjau dari usia balita, balita usia < 24 bulan dibandingkan balita usia lebih 24 bulan mempunyai risiko 2,8 kali sakit TB OR = 2.84; P = 0.011). Stunting toddler, not immunized, and had TB contact at home had higher risk to be TB.
POTENSI PELUANG DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BERDASARKAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM (STUDY KASUS : DKI JAKARTA) Dede Tarmana
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 2 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (522.526 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i2.8

Abstract

Abstrak :Pengaruh perubahan iklim terhadap demam berdarah dengue (DBD) bersifat tidak langsung. Hal ini karena terdapat faktor perantara penyebab yaitu nyamuk Aedes Aegypti. Perkembangbiakan dan siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti inilah yang dipengaruhi langsung oleh kondisi iklim. Kesesuaian iklim dengan lingkungan hidup nyamuk aedes Aegypti ditandai dengan temperatur hangat dan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui proyeksi peluang DBD secara rata-rata untuk periode 2014-2038 berdasarkan proyeksi curah hujan dan temperatur. Metode statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap kesehatan (demam berdarah) antara lain statistik downscaling, analisis komponen utama, dan regresi logistik ordinal. Hasil analisis menunjukan bahwa curah hujan yang sesuai dengan demam berdarah berkisar 100-300 mm. Untuk curah hujan relatif tinggi 120 – 317 mm yang terjadi pada bulan Januari-Februari, ancaman paling kuat adalah bahaya banjir dan DBD. Untuk temperatur udara, proyeksi ke depan (2014-2038) berkisar antara 26 – 30 oC, kondisi ini masih optimal untuk perkembangan nyamuk Aedes Aegypti. Proyeksi peluang demam berdarah berdasarkan proyeksi curah hujan dan temperatur menunjukan wilayah Jakarta masih berpeluang tinggi sebagai wilayah katagori resiko tinggi demam berdarah dengan nilai peluang 0,74 – 0,99. Abstract : Influence of climate change to Dengue hermologic fever(DHF) has indirect characteristic. There are other factor as medium DHF case, that is aedes Aegypti mosquito. Life cycle and breeding of aedes Aegypti mosquito has direct contact with climate condition. Suitability between climate and life environment of aedes Aegypti mosquito marked with warm temperature and heavy rainfall like Indonesia. The purpose of this study to know projection of DHF average probability period 2013-2038 base on rainfall and temperature projection. Statistical method, such as downscalling statistic, principal component analysis and ordinal logistic regression was applied to know impact of climate on health (dengue cases). Result of analysis shows suitability between rainfall with DHF case is 100-300 mm. January-February has heavy rainfall 120 – 317mm, so needed attention more and more stressing about flood disaster and DHF case. In the period of 2014-2038, interval temperatur occurred between 26 – 30 oC. The interval temperature like this is optimal condition for Aedes Aegypti breeding. The result of probability projection shows that Jakarta is still the region for high risk DHF, with probability value 0,74 – 0,99.
Pola Kepekaan Bakteri terhadap Antibiotik di Ruang Rawat Intensif RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta Putriana Indah Lestari; Ika Susanti; Huda Rahmawati
The Indonesian Journal of Infectious Diseases Vol 1, No 2 (2013): The Indonesian Journal of Infectious Diseases
Publisher : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.463 KB) | DOI: 10.32667/ijid.v1i2.9

Abstract

Abstrak : Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tepat guna pada pasien penyakit infeksi beresiko menyebabkan terjadinya resistensi. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pola kepekaan bakteri terhadap antibiotik pada pasien Ruang Rawat Intensif (ICU) RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS) Jakarta. Penelitian dilakukan deskriptif dan retrospektif terhadap data sekunder hasil uji kepekaan antibiotik dan jenis bakteri dari 107 pasien dalam kurun waktu 2011. Hasil menunjukkan 68 (65,4%) pasien mendapatkan hasil kultur positif dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Jenis bakteri patogen yang dominan yaitu Acinetobacter baumannii (29,4%), disusul oleh Pseudomonas aeruginosa (27,9%), Klebsiella pneumoniae (13,2%) dan Escherichia coli (8,8%). Sebagian besar bakteri pada pasien ICU RSPISS telah berkurang kepekaannya (resisten) terhadap beberapa antibiotik. A. baumannii dan P. aeruginosa merupakan bakteri yang paling resisten terhadap antibiotik uji. Pola kepekaannya menunjukkan bahwa bakteri patogen mempunyai resistensi tertinggi terhadap erythromycin dan terendah terhadap amikasin.Infectious diseases is an important health problem. Irrational antibiotics usage is a leading cause in initiating drugs resistances. A preliminary study was conducted on the sensitivity pattern of microorganisms against antibiotics at the intensive care unit of Sulianti Infectious Diseases Hospital Jakarta. Retrospective. Secondary data were collected on the results of antibiotics sensitivity tests and species of microorganisms of 107 patients during the year 2011. Sixty eight (65,4%) patients were positive on microorganism culture test and tested on antibiotic sensitivity test. Predominance pathogenic species found were Acinetobacter baumannii (29,4%), followed by Pseudomonas aeruginosa (27,9%), Klebsiella pneumoniae (13,2%) and Escherichia coli (8,8%). Most species were less sensitive (resistant) to several antibiotics. The pattern of sensitivity showed that pathogenic microorganisms were the most resistant against erythromycin and the most sensitive antibiotics was amikacin.