cover
Contact Name
Herianto
Contact Email
Muslimhid@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
lppm.stishid@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota balikpapan,
Kalimantan timur
INDONESIA
Ulumul Syar\'i : Jurnal Ilmu-Ilmu Hukum dan Syariah
ISSN : 20860498     EISSN : 26224674     DOI : -
Core Subject : Education, Social,
Arjuna Subject : -
Articles 34 Documents
Hadis Musykil Menurut Pandangan Ibnu Hajar al-Asqalani Kusnadi, Kusnadi
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ibnu Hajar termasuk ulama yang banyak menguasai hadis, baik riwayah maupun dirayah. Menurutnya hadis sama dengan al-Qur’an dari sisi kehujjahan dan dalilnya, bahwa hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Hadis merupakan wahyu yang diturunkan kepada orang yang berbicara tidak berdasarkan hawa nafsunya. Dia mampu menguraikan secara detail hadis-hadis yang musykil. Hadis yang menimbulkan kemusykilan adalah Jawami’ al-Kalim  (ungkapan yang singkat namun padat makna). Menurut Ibnu  Hajar hadis yang  jawami’ al-kalim itu terdapat beberapa yang musykil. Di antaranya adalah “al-ain haqq”. Menurut dia, makna hadis tersebut, bahwa mata manusia pada orang-orang tertentu memiliki kekuatan supranatural.  Di antara hadis muskil adalah “: “sebagian dari keterangan adalah sihir”. Ibnu Hajar  mengartikan hadis tersebut secara majazi, yaitu kata-kata yang dapat mengagumkan orang bisa berkonotasi positif dan bisa berkonotasi negatif. Diantara hadis musykil adalah ungkapan dengan bahasa perumpamaan,  “Orang mukmin itu makan dalam satu usus, orang kafir makan dalam tujuh usus”. Ibnu  Hajar berpandangan bahwa yang dimaksud dengan tujuh usus pada orang kafir adalah pola hidup konsumerisme. Sementara orang mukmin dalam menyikapi gemerlapnya dunia ini hanya mengambilnya sebatas kebutuhan hidupnya. Di antara hadis musykil adalah Bahasa Perumpamaan, seperti hadis  â€œApabila hambaku mendekati aku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”. Menurut Ibnu  Hajar hadis itu kalau diartikan secara hakiki menunjukkan adanya jarak yang ditempuh secara fisik. Hal itu tidak mungkin bagi Allah. Karenanya hadis itu harus diartikan secara majazi, yaitu Allah meneguhkan ketaatan kepada hambanya dalam melaksanakan ibadah.
Psikologi dan Kepribadian Manusia Dalam Al-Quran Abdurrohim, Abdurrohim
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persoalan kepribadian atau kejiwaan terus menjadi bahasan penting selama kehidupan manusia masih berlangsung, dalam hal ini terbentuk ilmu tersendiri yang dikenal dengan psikologi. Sekalipun olah pikir dan olah konsep tentang kepribadian manusia sudah dilakukan dengan pendekatan rasional dan empiris, tetap saja sumber yang berasal dari wahyu Tuhan juga diperlukan. Kajian tentang konsep kepribadian manusia ternyata mendapat tempat yang khusus dan terserak di dalam ayat-ayat al-Quran. Sehingga yang diperlukan saat ini adalah kajian multidisipliner tentang kepribadian manusia, karena berkaitan erat dengan pembangunan jiwa manusia dalam konteks pendidikan Islam. Dalam dimensinya yang lain, persoalan kepribadian juga sangat terkait erat dengan konsep akhlak di dalam Islam. Sehingga para ahli di dalam Islam juga melakukan pengkajian secara intens tentang bagaimana cara membangun kepribadian yang unggul dan dijiwai oleh nilai-nilai akhlakul karimah.
Tafsir Dalam Ulumul Quran di Era Modern Kontemporer Jannah, Miftahul
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The understanding and interpretation activities of the Quran will never be completed. The dialectic also experiences ups and downs along with the openness, skill and ability of an interpreter. Each generation is required to be able to interact actively with the Quran through reading, interpretation and so on to refresh the previous review that may not have been applied. Thus, the emergence of new interpretations and methods in the present era is also inevitable and is a necessity in each generation to be able to bring it up. Al-Quran seen from various aspects is very interesting to be studied further in this modern-contemporary era, considering he not only became the consumption of Muslim society alone, the Quran also received a high response from non-Muslim circles. Many of the Western scholars respond to the presence of the Quran. Some of them initially suspected and rejected the study of the Quran, but in subsequent developments found many western scholars are very objective in the area of ​​study of the Quran. Given this non-Muslim interaction with the Quran it also provides some impact for some Muslim scholars to then try to open up to learn the methodology used by non-Muslims both when interacting with the Quran and the methods they use When interacting with other texts. This arrangement ultimately gives an enormous impact and is very coloring in the development of interpretation among Muslims.
Konsep Kepemilikan Dalam Islam Herianto, Herianto
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam memandang bahwa kepemilikan harta merupakan naluri alamiah seorang manusia. Dengan kepemilikan, akan merangsang upaya-upaya individu untuk berkegiatan ekonomi untuk memperoleh harta. Dalam konsep Islam Allah swt adalah pemilik tunggal apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan tidak ada sekutu bagi Nya. Lantas Allah memberikan atau menitipkan kekuasaan bumi pada manusia, agar manusia mengelola dan memakmurkannya. Kepemilikan di dalam Islam dapat diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsurnya, meliputi kepemilikan pribadi/privat, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.  Juga diklasifikasikan berdasarkan hak guna pada jenis kepemilikan. Ada kepemilikan yang dapat digunakan manfaatnya dan dapat dimuamalahkan, ada pula kepemilikan yang hanya dapat digunakan manfaatnya tetapi tidak dapat dimuamalahkan. Seorang muslim boleh saja mengakumulasi harta sebanyak-banyaknya, namun jika sudah sampai batas minimal yang telah ditetapkan syariat wajib hukumnya untuk mendistribusikan hartanya sesuai ketentuan syariat.
Bangsa Turki Dalam Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Jayamiharja, Hidayat
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peranan bangsa Arab di dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah tidak kuat. Pada masa ini muncul bangsa Persia dan Turki yang memainkan peranan penting. Keberadaan bangsa Turki dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah dimulai sejak naik tahta khalifah al-Mutasim. (833-845 M.), dan peranan mereka semakin meluas pada masa pemerintahan sesudah al-Mutashim. Bangsa Turki memerankan dalam bidang militer dan cenderung destruktif, dan akhirnya dinasti Abbasiyah menjadi lemah. Al-Mutasim digantikan anaknya yang bernama al-Wasiq, pada masanya kedudukan panglima-panglima Turki mengalami masa kedudukan yang amat tinggi. Setelah berakhirnya pemerintahan khalifah al-Wasiq, berakhir pula masa keemasan Abbasiyah. Keterpengaruhan atas Turki terus berlangsung sampai akhirnya banga Turki pun dapat mewujudkan impiannya mendirikan negara. Di antara negara yang berdiri ialah Salajiqah, Mamalik dan Turki Usmani.
Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 29-30 Dan Al-Hasyr Ayat 7 (Perspektif Ilmu Ekonomi) Solekhah, Siti
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kekayaan dapat diproduksi di suatu negara dalam jumlah yang besar tetapi jika pendistribusiannya tidak didasarkan atas prinsip-prinsip nya yang benar dan adil, maka negara tersebut tidak akan dapat mencapai kemakmuran. Islam tidak memberikan kebebasan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas. Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi: sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al Quran agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Al-Quran untuk menghapuskan pemusatan kekayaan serta mendorong pendistribusiannya. Pada saat yang sama, dengan memberikan hak pemilikan, ia berarti telah memberi suatu motivasi yang kuat pada individu untuk memanfaatkan sebagian besar kemampuan yang dimilikinya.
Kedewasaan Dalam Hukum Islam Hartati, Sri
Ulumul Syari Vol 6 No 1 (2017): Ulumul Syari
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kedewasaan dalam hukum adalah pondasi awal dalam menetapkan hukum seseorang sehingga menjadi topik pembahasan yang penting oleh para ulama. Para ulama mazhab berbeda pendapat terhadap kriteria awal kedewasaan seorang anak. Ada rekonstruksi dalam menetapkan kedewasaan seorang anak dari sisi umur dan perkembangan psikologinya.
Obyektivitas dan Subyektivitas Dalam Sains, Ilmu Agama dan Sosial Abdurrohim, Abdurrohim
JURNAL ULUMUL SYAR'I Vol 6 No 2 (2017): Ulumul Syar'i
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persoalan sejarah ilmu pengetahuan dari dahulu selalu diwarnai oleh persaingan dan saling tarik-menarik untuk mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang berasas pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan pengetahuan manusia itu sendiri menjadi semacam pondasi dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, terjadi dikotomi antara obyektivitas dan subyektivitas yang membuat konteks ilmu pengetahuan mengalami segregasi, bukan integrasi. Ilmu tersegmentasi dalam sekian banyak nomenklatur yang membingungkan, terpisah antara sains, ilmu agama dan ilmu sosial. Pada akhirnya ilmu agama semakin terpisah dari ilmu lainnya, dan sekularisasi terhadap ilmu pengetahuan menjadi semakin tidak terelakkan.
KELUARGA SEBAGAI PONDASI PERADABAN ISLAM Hartati, Sri
JURNAL ULUMUL SYAR'I Vol 6 No 2 (2017): Ulumul Syar'i
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam memiliki konsep yang final tentang keluarga, bagaimana awal terbentuknya, fungsidan keutamaannya. Bahkan berawal dari keluargalah akan terbina para pelaku-pelakupembangun peradaban Islam. Mewujudkan generasi sebagai sumber daya manusia yang memilikiakidah yang kuat sebagai otoritas tertinggi dalam Islam, sehingga akan senantiasa terarah danterjaga akan intelektual maupun moralnya, serta Islamic Worldview sebagai landasan berpikirnyatanpa harus latah kepada pemikiran-pemikiran Barat bagaimana membangun peradaban Islam.
Al-Hisbah Sembagai Lembaga Pengawas Pasar Dalam Islam Herianto, Herianto
JURNAL ULUMUL SYAR'I Vol 6 No 2 (2017): Ulumul Syar'i
Publisher : Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Besarnya potensi ekonomi di pasar menyebabkan peluang terjadinya kecurangan semakinbesar. mulai dari monopoli, penipuan, gharar, dan sebagainya. Pasar yang ideal dimana pedagangbersaing secara sempurna dan terbebas dari distorsi. Untuk mencapai kondisi tersebut,pengawasan pribadi tidak cukup. Pengawasan harus dilakukan secara berkala, yang dilaksanakanoleh institusi khusus yang bersifat tetap dan berkewajiban. Dalam Islam, pengawasan pasar initelah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Kemudian disempurnakan pada dalam bentuk institusipada masa kekhalifahan Umar ra yang disebut hisbah. Pada masa kekhalifahannya hisbahbertugas untuk; pertama, memastikan barangan yang dipasarkan adalah halal, kedua,memastikan kebebasan keluar masuk pasar, ketiga, mengatur promosi dan propaganda, keempat,larangan menimbun barang, kelima, mengatur perantara perdagangan, dan terakhir pengawasanpenetapan harga (tas’ir).

Page 1 of 4 | Total Record : 34