cover
Contact Name
Dr. Dewi Yulianti Bisri, dr., SpAnKNA
Contact Email
dewi.yulianti@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jni.neuroanestesi@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ISSN : 20889670     EISSN : 24602302     DOI : -
Editor of the magazine Journal of Neuroanestesi Indonesia receives neuroscientific articles in the form of research reports, case reports, literature review, either clinically or to the biomolecular level, as well as letters to the editor. Manuscript under consideration that may be uploaded is a full text of article which has not been published in other national magazines. The manuscript which has been published in proceedings of scientific meetings is acceptable with written permission from the organizers. Our motto as written in orphanet: www.orpha.net is that medicine in progress, perhaps new knowledge, every patient is unique, perhaps the diagnostic is wrong, so that by reading JNI we will be faced with appropriate knowledge of the above motto. This journal is published every 4 months with 8-10 articles (February, June, October) by Indonesia Society of Neuroanesthesia & Critical Care (INA-SNACC) (abbrev: JNI).
Arjuna Subject : -
Articles 194 Documents
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan Fithrah, Bona Akhmad; Oetoro, Bambang J.; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor untuk memperbaiki lesi vascular atau menurunkan tekanan intrakranial. Salah satu komplikasi dari prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan kembali. Cedera kepala ringan memiliki angka kejadian sekitar 80–90% dari seluruh cedera kepala dan memiliki angka kematian sekitar 0,1% itu terjadi disebabkan oleh perdarahan intra cerebral yang terlewat. Seorang laki laki usia 47 tahun, berat badan 106 kg dirujuk dari rumah sakit kecil setelah terpelesat saat turun dari angkutan umum. Pasien tidak sadarkan diri dan saat tersadar sudah di instalasi gawat darurat. Hemodinamik pasien baik,GCS E4M6V5, telah dilakukan CT scan dan tidak didapatkan perdarahan apapun. Pasien dua hari di ruang rawat dan terus mengeluh sakit kepala yang bertambah. Dilakukan CT scan ulang dan  didapatkan perdarahan intracerebral. Dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematom dan pasca operasi pasien dirawat di ICU. Dua hari di ICU pasien kembali mengalami penurunan kesadaran dan pada CT scan didapatkan kembali perdarahan pada tempat yang sama. Dilakukan kembali kraniotomi evakuasi hematom dan pasca tindakan pasien dirawat di ICU. Dengan pengawasan yang baik dan tindakan yang cepat cedera kepala ringan yang mengalami perdarahan intracerebral dapat diatasi dengan baik dan tidak menjadi suatu kematianRecurrent Post Craniotomy Hemorrhage in Patient with Mild Head InjuryCraniotomy is a procedure performed to remove brain tumor, repair vascular lesion or relieve intracranial pressure. Sometimes complication arise that need re-do craniotomy. Incidence mild traumatic brain injury 80–90%from all traumatic brain injury and has mortality 0,1% related with missed intra-cranial hemorrhage. Patient, 47 years old, body weight 106 kgs referred from smaller hospital after slipped and falling down from the bus. Patient said he had unconscious for several minutes. Patient had already had CT scan and no bleeding at all. Patient stayed in the ward for two days and keep complaining severe headache. CT scan conduct again and the result said there were intracranial hemorrhage. Craniotomy evacuation hemorrhage performed and after operation patient stayed in the ICU. Two days in the ICU patient had decreased of consciousness. CT scan immediately performed and there was another intracranial hemorrhage in the same place with bigger volume. Re-do craniotomy evacuation hemorrhage performed again. With a good monitoring in the room/ICU, a fast diagnostic and craniotomy this patient wouldn’t become a mortality case
Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care Laksono, Buyung Hartiyo
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i2.47

Abstract

Transcranial Doppler (TCD) adalah pemeriksaan ultrasonografi yang telah digunakan secara luas dibidang neuroanestesi dan perawatan intensif. Pada bidang perawatan intensif neurologi, pemeriksaan TCD sangat berguna untuk evaluasi dan monitoring perubahan sirkulasi pembuluh darah penting di otak, seperti arteri serebri media (middle cerebral artery-MCA), arteri serebri anterior (anterior cerebral artery-ACA), arteri carotis interna (internal carotid artery-ICA) cabang terminalis, arteri cerebri posterior (posterior cerebral artery-PCA), arteri vertebralis dan arteri basilaris. Selain kecepatan aliran, pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk evaluasi perubahan diameter pembuluh darah. TCD digunakan untuk pemeriksaan penunjang diagnostik perdarahan subarachnoid, monitoring vasospasme dan deteksi peningkatan tekanan intrakranial (TIK), evaluasi hemodinamik cerebral pada kasus trauma kepala, serta sebagai alat bantu penentuan kasus kematian otak. Pada tindakan pembedahan saraf atau neurosurgery, TCD sangat berguna dalam deteksi dini adanya mikroemboli.Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis and Monitoring non Invasive in Neuroanesth and Neurointensive CareTranscranial Doppler (TCD) is ultrasound examination which is already widely used in the field of neuroanesthesia and intensive care. In the field of neurology intensive care, TCD examination is very useful for the evaluation and monitoring of significant changes in the circulation of main cerebral blood vessels, such as the middle cerebral artery (MCA), anterior cerebral artery (ACA), terminal branches of internal carotid artery (ICA), posterior cerebral artery (PCA) , the vertebral artery and the basilar artery. In addition to the flow velocity, the examination can also be used to evaluate changes in the diameter of blood vessels. TCD is used for diagnostic investigation of subarachnoid hemorrhage, vasospasm monitoring and detection of elevated intracranial pressure (ICP), evaluation of cerebral hemodynamics changes in cases of head injury, as well as aids for determination of brain death cases. In neurosurgery, TCD is very useful in the early detection of microemboli.
Penatalaksanaan Anestesia pada Pasien Cretin dengan Hipopituitarisme Sekunder Akibat Kraniofaringioma Rahardjo, Theresia Monica; Fuadi, Iwan; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat. Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N2O/O2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara. Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning. Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit ini.  Anesthesia Management In Cretin Patient With Hypopitutarism Secondary Of CraniopharyngiomaCraniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors. Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction. A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and delayed puberty. A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He has an elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was maintained with isoflurane and a mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room at Kemuning. The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control. Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the morbidity and mortality in this kind of disease.   
Reaktif Oksigen Spesies Pada Cedera Otak Traumatik Suarjaya, I Putu Pramana; Bisri, Tatang; Wargahadibrata, A. Himendra
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cedera otak traumatik menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena terjadinya cedera primer yang diikuti oleh cedera sekunder. Cedera sekunder yang terjadi meliputi peningkatan asam amino eksitatif, ketidak seimbangan ion, penurunan kadar ATP, aktivasi enzim proteolitik dan stres oksidatif yang akan menyebabkan terjadinya disfungsi neuron sampai kematian neuron. Terdapat kaitan erat antara beratnya stres oksidatif yang terjadi dengan beratnya cedera otak yang terjadi, sebagai akibat terganggunya hemostasis kalsium, gangguan pembentukan energi dan meningkatnya proses peroksidasi lipid. Pada telaah ini didiskusikan bagaimana stres oksidatif yang terjadi pada cedera otak traumatik, dan pengaruhnya pada proses pathologi sedera otak traumatik.Reactive Oxygen Species in Traumatic Brain InjuryTraumatic Brain Injury (TBI) morbidity and mortality are due to primary and secondary injury. Primary injury is due to mechanical forces during the trauma process and secondary injury is subsequent process following the primary impact. This secondary injury processes involving increased excitatory amino acids, ionic imbalance, decreased ATP level, unusual proteolytic enzyme activity, and oxidative stress which contibute to delayed neuronal dysfunction and neuronal death. The mammalian brain is vulnerable to oxidative stress because of the high oxygen consumption needed for maintaining neuronal ion homoeostasis during the propagation of action potentials.There is a close relationship between degree of oxidative stress and severity of brain insults, which results from a perturbation of calcium homeostasis, energy metabolism, and increased lipid peroxidation. In this review we discuss oxidative stress during traumatic brain injury, and it’s implication on pathology of traumatic brain injury.
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat Halimi, Radian Ahmad; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak; Rehatta, Nancy Margareta
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara industri lainnya di dunia. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dengan diagnosa cedera kepala berat akibat perdarahan subdural di temporo occipital kiri dan fraktur terdepresi yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian tiga meter, direncanakan dilakukan kraniektomi dekompresi karena terjadi penurunan kesadaran signifikan. Berbagai komplikasi dan permasalahan terjadi yakni perdarahan masif intraoperatif, edema otak kongestif disertai demam pascaoperasi di ruang perawatan intensif, hingga akhirnya pasien dapat pindah ke ruang perawatan biasa dan dilakukan rawat jalan. Penanganan COT berat memerlukan kemampuan seorang ahli anestesi dalam melakukan resusitasi otak dengan ABCDE neuroanestesi, kontrol terhadap hipertensi intrakranial, neuroproteksi dan neurorestorasi.Perioperative Treatment Pediatric Patients with Head InjuriesTraumatic brain injury (TBI) is the largest cause of death and disability in the United States and other industrialized countries in the world. Young age patient who suffered severe TBI typically face significant disability for decades. A 3 years old boy with diagnosis of severe TBI as a result of subdural hemorrhage in the left temporo occipital and fracture depressed due to fall from a height of three meters, was planed to perform decompresive craniectomy because decreased conciouseness significantly.Various complications and problems occur, intraoperative masive bleeding, postoperative diffuse brain edema with persistent hyperthermia on the intensive care unit, until the patient can be moved to a regular ward and can be done outpatient. The management of severe head injury requires the ability of an anesthesiologist in performing brain resuscitation with ABCDE neuroanesthesia, control of intracranial hypertension and neurorestoration.
Metabolisme Energi pada Cedera Otak Traumatik Suarjaya, I Putu Pramana; Bisri, Tatang; Wargahadibrata, A. Himendra
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cedera otak traumatik mengakibatkan terjadinya kaskade gangguan fisiologi dan biokimia yang berpengaruh pada metabolisme dan produksi energi serebral. Setelah cedera otak traumatik, terjadi perubahan berkelanjutan pada metabolisme energi serebral yang ditandai oleh terjadinya disfungsi mitokondria dan meningkatnya glikolisis. Cedera otak traumatik juga mengakibatkan adanya peningkatan kebutuhan energi karena terjadinya gangguan hemostasis ion, gangguan hantaran glutaminergik dan proses perbaikan jaringan yang membutuhkan energi. Kombinasi dari dari pelepasan ATP dari sinap preterminal, disfungsi mitokondria, penurunan aliran darah otak setelah cedera dan peningkatan kebutuhan energi otak pada saat cedera akan menimbulkan ketidak seimbangan antara penyediaan dan kebutuhan energi pada cedera otak traumatik. Energy Metabolism in Traumatic Brain InjuryDuring Traumatic brain injury, secondary insults will led to physiological and biochemical cascade that disturbing cerebral energy metabolism. After traumatic brain injury, sustained changes in cellular energy metabolism have been described as accelerated glycolysis or mitochondrial dysfunction.Traumatic brain injury is associated with increasing energy needs to restore cerebral ionic hemostasis, distubance in glutaminergic process and tissue repairing. Combination of ATP release from pre-terminal synaps, mitochondrial dysfunction, decrease brain oxygen delivery and increasing energy metabolic needs results in cerebral energy imbalances.
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Akromegali yang Menjalani Prosedur Reseksi Tumor Adenohipofise melalui Pendekatan Sublabial Transphenoidal Hamzah, Hamzah; Farris, Muhammad; Avidar, Yoppie Prim; Rehatta, Nancy Margaritta
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i3.31

Abstract

Akromegali merupakan penyakit akibat produksi growth hormone secara berlebihan dan umumya disebabkan oleh adenoma kelenjar hipofisis. Insidensi akromegali pertahunnya mencapai 5 kasus per 1 juta orang dengan prevalensi 60 kasus per 1 juta orang. Manifestasi klinis pada tiap pasien berbeda, tergantung dari kadar dari growth hormone, insulin-like growth factor-1, usia pasien, ukuran tumor, dan keterlambatan diagnosis. Pasien dengan akromegali telah dilaporkan memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi, peningkatan angka kematian pada umumnya terkait dengan komplikasi kelainan kardiovaskular, serebrovaskular dan masalah respirasi. Pada kasus ini, seorang laki-laki usia 57 tahun, berat badan 86 kg, dengan PS-ASA II, perawakan khas akromegali dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan hormon. Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan massa di ruang sella tursica. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan pembesaran lidah yang menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas dan diklasifikasikan sebagai mallampati kelas II. Pasien akan dilakukan prosedur reseksi tumor adenohipofise melalui pendekatan sublabial transpheonidal dengan anestesi umum. Sebagian besar anestesi untuk operasi pada pasien akromegali membutuhkan perhatian khusus dibandingkan dengan tumor kepala yang lain.Anesthesia Management in Patients with Acromegaly Underlying Adenohipofise Tumor Resection Procedures Through a Transphenoidal Sublabial ApproachAcromegaly and gigantism are clinical abnormalities due to excessive growth hormone production, usually resulted from pituitary adenoma. The incidence of acromegaly is 5 cases per 1 million people per year while the prevalence is 60 cases per 1 million people. Clinical manifestations in each patient is depending on the levels of growth hormone, insulin-like growth factor-1, age of the patient, tumor size and the delay in diagnosis. Increased of morbidity and mortality have been reported in acromegaly patients predominantly caused by complications of cardiovascular, cerebrovascular and respiratory problem. A 57 year old male, 86 kgs, ASA physical status II. His appearance suggested acromegaly, diagnosis then confirmed with hormonal examination and imaging of the pituitary mass. Further examination presented tongue enlargement which cause airway management difficulty and classified as mallampati class II. The patient will undergo adenohipofise tumor resection procedures through a transphenoidal sublabial approach with general anaesthesia. Most of anaesthesia in acromegaly patient surgery require special attention compared with other head tumors.
Anestesia pada Tindakan Dekompresi Foramen Magnum pada Pasien dengan Malformasi Arnold Chiari Umar, Nazaruddin; Prabowo, Haryo; Hamdi, Tasrif
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v2i2.163

Abstract

Malformasi Arnold Chiari tipe 1 adalah pergeseran tonsil serebellum kearah kaudal kanalis spinalis tulang belakang servikal melalui foramen magnum. Siringomielia adalah gangguan degeneratif progresif yang ditandai dengan amiotropi brakhial dan kehilangan fungsi sensorik dan secara patologi dengan kavitasi bagian sentral dari medula spinalis, siringomielia pada malformasi Chiari terjadi antara level servikalis 4–6. Seorang laki-laki usia 29 tahun datang dengan riwayat nyeri tumpul di kedua lengan atas. Dalam perjalanannya setelah 2 tahun terjadi atropi thenar dan hipothenar dan kehilangan kemampuan motorik pada kedua lengan atas. Pemeriksaan neurologis menunjukkan gangguan sensorik pada lengan kanan dan lengan kiri. Pencitraan MRI menunjukkan herniasi tonsil ke foramen magnum dan siringomielia dari medula oblongata ke level T4. Laporan kasus ini adalah kasus langka seorang laki-laki dengan malformasi Arnold Chiari tipe 1 dengan manifestasi lambat dan siringomielia yang sukses menjalani prosedur operasi dekompresi foramen magnum dengan teknik anestesi umum. Anesthesia for Foramen Magnum Decompression in Patient with Arnold Chiari Malformation AbstractThe Arnold Chiari malformation type I (Chiari malformation) is a caudal displacement of the cerebellar tonsils into the cervical spinal canal through the foramen magnum. Syringomyelia is a chronic progressive degenerative disorder characterized clinically by brachial amyotrophy and segmental sensory loss of dissociated type, and pathologicaly by cavitation of the central parts of the spinal cord, syringomyelia is often associated with Chiari Malformation type I and is commonly seen between the C-4 and C-6 levels. A 29-year-male had experienced a history of dull pain in her both arm for 2 years. Additionally, after two years hipothenar and thenar muscle became atropi and the patient lossing his upper extremity motorik ability. The neurological examination revealed sensory disturbances in his right arm,and left arm. MRI showed cerebellar tonsillar herniation into the foramen magnum and syringomyelia from the medulla oblongata to the T4 level. This report is a very rare case of an middle age male with late-onset Arnold Chiari malformation type I and syringomyelia that was successfully undergo foramen magnum decompression under general anesthesia.
Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan Mayasari, Ferra; R, Tubagus Yuli; Fuadi, Iwan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manajemen anestesi untuk pasien hamil untuk operasi non-obstetrik jarang dilakukan, dan menimbulkan sejumlah tantangan bagi spesialis anestesiologi karena manajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan ibu dan janin. Pertimbangan anestesi untuk wanita hamil dengan operasi non obstetri meliputi perubahan kardiovaskular dan hematologi, sistem respiratori, sistem gastrointestinal, dan sistem saraf pusat serta perifer serta pada kasus ini adalah posisi yang ekstrim. Seorang wanita berusia 26 tahun dengan sindroma kauda equina e.c. SOL ekstramedula intradural dengan G3P2A0 gravida 25‒26 minggu yang dilakukan tindakan laminektomi pengangkatan tumor dalam anestesi umum dengan posisi miring kekiri. Operasi dapat dilaksanakan tanpa adanya komplikasi, pascaoperasi baik ibu maupun janin dalam keadaan sehat. Keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, perhatian terhadap fisiologi maternal dan fetus, serta perawatan suportif periode postoperatif. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan fetus. Anesthesia Management of Pregnant Patient with Cauda Equine Syndrome e.c. Extramedulary Intradural SOLAnesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy is relatively uncommon and challenges the anesthesiologist since anesthesia management must consider both mother and fetal safety. Anesthesia management for non-obstetric pregnant women is considered covering difference in cardiovascular and hematologic changes, respiratory system, gastrointestinal system, central nervous system and peripheral nervous system, and in this case extreme position for operation. For this case, a 26 year old woman with Cauda Equina Syndrome e.c. Extramedullary Intradural SOL with G3P2A0 25‒26 weeks pregnancy underwent Laminectomy for Tumor Removal under general anesthesia. The surgery was preceded without any complication, both mother and fetal recovered uneventfully. The successful of anesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy depends on multidisciplines coordination, comprehensive preoperative management, careful monitoring on maternal and fetal physiology, and supportive postoperative care. Maintaining maternal stability, determination of the optimal time for surgery, and selection of proper medication and anesthesia technique are the most important things to be considered for mother and fetal safety.
Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol Firdaus, Riyadh; Lalenoh, Diana C.; Rahardjo, Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i3.52

Abstract

Manajemen neuroanestesia untuk cedera kepala bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi otak, memfasilitasi pembedahan dan mencegah cedera otak sekunder. Bagi pasien cedera kepala yang mengalami toksisitas alkohol, diperlukan perhatian khusus dalam mengevaluasi dan menentukan dosis obat anestesia. Walaupun GCS dapat digunakan sebagai modalitas penilaian pasien dengan intoksikasi alkohol, penilaian menggunakan FOUR adalah alternatif yang lebih baik. FOUR lebih spesifik dalam menilai penurunan kesadaran bila ada defek neurologi, bahkan bagi pasien yang terintubasi. Selama pembiusan, dosis perlu diperhatikan karena konsumsi alkohol jangka panjang dapat meningkatkan kebutuhan dosis obat anestesia. Sebaliknya, intoksikasi alkohol memerlukan dosis obat induksi yang lebih kecil. Seorang laki-laki usia 38 tahun dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran pasca trauma kepala sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat konsumsi alkohol. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis Hematom Epidural. Pasien menjalani kraniotomi evakuasi Hematom Epidural selama 4 jam. Pascaoperasi pasien tidak dilakukan ekstubasi dan dirawat di perawatan ICU selama 7 hari.Use of Four Score in Anesthesia Management for Epidural Hematoma Evacuation in Patient with Alcohol IntoxicationAbstractNeuroanesthetic management for brain trauma aims to maintain optimal cerebral perfusion and facilitate surgery while preventing secondary brain injury. For patients with brain trauma under alcohol toxicity, careful monitoring is needed to assess and determine drug dosing. Although GCS is reliable for assessing conciousness in patients with alcohol intoxication, evaluation using FOUR is a reasonable alternative. FOUR is more spesific in identifying level of conciousness in neurologic defects, even in intubated condition. Throughout anesthesia, special attention should be given, as long term alcohol consumption may increase the dose needed for general anesthesia. However, a smaller dose of induction agent is needed in alcohol intoxication. We describe a case of a 38 years old male, who was admitted to emergency department with loss of conciousness following head trauma for 3 hours prior to admission. There was history of alcohol consumption. History and physical findings were consistent with epidural hematoma. Patient underwent craniotomy for epidural hematoma evacuation. The surgery took four hours. Post surgery, patient remained intubated and stayed in ICU for seven days.

Page 3 of 20 | Total Record : 194