cover
Contact Name
Dr. Dewi Yulianti Bisri, dr., SpAnKNA
Contact Email
dewi.yulianti@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jni.neuroanestesi@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ISSN : 20889670     EISSN : 24602302     DOI : -
Editor of the magazine Journal of Neuroanestesi Indonesia receives neuroscientific articles in the form of research reports, case reports, literature review, either clinically or to the biomolecular level, as well as letters to the editor. Manuscript under consideration that may be uploaded is a full text of article which has not been published in other national magazines. The manuscript which has been published in proceedings of scientific meetings is acceptable with written permission from the organizers. Our motto as written in orphanet: www.orpha.net is that medicine in progress, perhaps new knowledge, every patient is unique, perhaps the diagnostic is wrong, so that by reading JNI we will be faced with appropriate knowledge of the above motto. This journal is published every 4 months with 8-10 articles (February, June, October) by Indonesia Society of Neuroanesthesia & Critical Care (INA-SNACC) (abbrev: JNI).
Arjuna Subject : -
Articles 194 Documents
Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS) Fithrah, Bona Akhmad; Fuadi, Iwan; Rahardjo, Sri; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i2.46

Abstract

Otak adalah organ terpenting dalam tubuh manusia. Pada neuroanestesi otak ini dimanipulasi dengan berbagai obat hingga dapat dilakukan pembedahan pada otak itu sendiri. Saat ini berkembang berbagai prosedur bedah syaraf yang bersifat minimal invasif. Dengan hadirnya pembedahan minimal ini diharapkan keluaran bedah syaraf semakin baik dan komplikasi minimal.  Salah satu prosedur bedah minimal invasif adalah Deep Brain stimulation (DBS). Prosedur ini memiliki beberapa hal yang harus dipertimbangkan yang bila tidak diperhatikan maka akan menyulitkan operator dan anestesi sendiri. Hal terpenting dari prosedur ini adalah keakuratan untuk menempatkan electrode pada nuclei yang akan dilakukan stimulasi. Anestesi hadir untuk memfasilitasi prosedur minimal invasif ini. Target anestesi pada bedah syaraf minimal invasif  tetap sama yaitu perfusi otak yang adekuat. Dan untuk mencapai perfusi otak yang adekuat ini tetap memerlukan persiapan pasien yang baik. Teknik anestesi yang dilakukan berbeda dengan anestesi rutin bedah syaraf. Tekhnik yang umum dikerjakan saat ini adalah monitored anesthesia care dengan local anesthesia, conscious sedation dan anestesi umum. Setiap tekhnik ini memiliki keuntungan, kerugian, pemilihan obat anestesi dan dapat disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. DBS sendiri setelah ditanamkan memiliki standar keamanan tersendiri yang harus dipatuhi agar tetap bekerja dengan baik. DBS saat ini dapat ditawarkan sebagai terapi alternatif bagi pasien parkinson yang gagal dengan terapi medikamentosa.  Anesthesia for Minimally Invasive Surgery Deep Brain Stimulation (DBS)Brain is the important part from human body. In neuroanesthesia brain is manipulated so surgery can conduct in the brain itsef. Nowadays there are several minimally invasive neurosurgery procedure. What we expect from the minimally invasive surgery is the outcome will be better and or with minimal complication. One of the minimally invasive procedure is Deep Brain Stimulation (DBS). This procedure have some concern to considered if not would complicate the surgeon and the anesthesiologist. Anesthesia come to facilitate this minimally invasive neurosurgery. The goal of anesthesia attending this minimal invasive procedure still the same with routine neurosurgery. which is to make sure adequate cerebral perfusion pressure. Anesthesia procedure litle bit different with common neurosurgery. Anesthesia procedure that recommend nowadays are monitored anesthesia care with local anesthesia, conscious sedation and general anesthesia. All the procedure have advantages and disadvantages, anesthesia drug chosen and customizing with hospital condition. After implanted DBS has certain procedure to be followed if not would endanger or destroyed the DBS itself. Nowadays DBS can be offered as an alternative therapy for the patients which failed with medical therapy.
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis Kurniawan Komala, Tomas Ari; Suarjaya, I Putu Pramana; Sinardja, I Ketut
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manajemen medula spinalis, terutama bagian cervical selama operasi dan resusitasi pasien dengan cedera spinal, memiliki banyak pertimbangan penting untuk ahli anestesi, antara lain dengan memperhitungkan hal-hal yang berpotensi menyebabkan cedera berat irreversibel selama dilakukan intubasi trakeal. Pasien laki-laki usia 57 tahun, datang ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar dalam kondisi sadar mengeluh nyeri pada leher dan tidak bisa menggerakkan ke empat anggota geraknya segera setelah kecelakaan. Pengelolaan anestesi untuk membantu tindakan operasi ini dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa nasotrakheal non kinking, nafas kendali. Untuk premedikasi diberikan midazolam intravena, induksi dengan propofol dan fentanyl intravena, dan fasilitasi intubasi dengan menggunakan vekuronium intravena. Intubasi dikerjakan dengan bantuan glidescope untuk meminimalisasi ekstensi kepala. Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan N2O, O2, sevofluran dan vekuronium intermitten. Monitoring tanda vital tekanan darah, laju nadi, EKG, SaO2, dan ET CO2. Operasi dikerjakan dengan posisi telungkup, pendekatan dari posterior. Selama operasi hemodinamik pasien relatif stabil. Hari I pascaoperasi dimulai program diet enteral, hari II pascaoperasi penderita dipindahkan ke ruangan biasa. Penilaian nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS) dengan hasil 1–2. Fungsi motorik pasien meningkat 1 point dibandingkan pre op, hari IX pascaoperasi penderita diprogram rawat jalan oleh sejawat Bedah Saraf. Cedera pada medulla spinalis segmen cervical memerlukan penanganan yang cermat. Penanganan jalan nafas definitif dengan melakukan intubasi trakheal harus sangat berhati–hati, dan harus dijaga agar tidak terjadi cedera lebih jauh akibat tindakan laryngoscopy.  Anesthetic Management for Patient with Cervicalis Spinal Cord InjuryManagement for spinal cord injury, especially the cervical part during surgery and also resuscitation of patients with spinal injuries, has many important considerations for anesthesiologists,which is also have potential to cause severe irreversible injury during tracheal intubation. Patient male, 57 years old, came to Sanglah Hospital with chief complain neck pain and could not move all extremities immediately after an accident. Anesthesia performed by general anesthesia inhalation with insertion nasotracheal tube. For premedication was given IV midazolam. Induction with IV propofol and fentanyl, and vecuronium used as muscle relaxant. Intubation performed with glidescope guidance to minimize the extension of the head. Maintenance of anesthesia with N2O, O2, sevoflurane and intermittent IV vecuronium. Monitoring during anesthesia and surgery such as blood pressure, pulse rate, ECG, SaO2, and ET CO2. The surgery was done with prone position and posterior approach. During surgery the patient’s hemodynamic relative stable. Day I post operation, patient start to have enteral diet, and the next day patient was transferred to regular ward. Pain assesment was done with Numeric Rating Scale (NRS) with score 1–2. Motor function of the patients increased 1 point compared to preoperation. Day IX post operation, patient was discharged from the hospital. Cervical spinal cord injury requires careful handling. Definitive airway by endotracheal intubation should be done with extreme careful, and shall not cause further injury due to laryngoscopy.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing Basuki, Wahyu Sunaryo; Suryono, Bambang; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi, penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Meskipun ada cara diagnosis yang canggih dan penatalaksanaan yang mutakhir, prognosis pasien cedera kepala traumatik masih tetap jelek. Derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran; sedangkan cedera sekunder karena hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia, dan hipoglikemia setelah cedera awal menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak dan memperjelek luarannya. Cedera kepala traumatik berat adalah cedera kepala dengan glasgow coma scale score antara 3 sampai 8. Tanda Cushing adalah tanda kenaikan tekanan intrakranial yang tinggi dan tanda herniasi. Penatalaksanaan cedera kepala difokuskan pada pengelolaan dan pencegahan cedera sekunder. Seorang wanita 54 tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 155 cm dibawa ke unit gawat darurat rujukan dari rumah sakit lain karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari sepeda motor. Dilakukan resusitasi dan stabilisasi; jalan nafas bebas; laju nafas 10–16x/menit; tekanan darah 180/100 mmHg; laju nadi 50–55x/menit; skor GCS E2M2V1; pupil kiri dan kanan isokor 3 mm, reaksi cahaya lambat. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan perdarahan intraserebral frontal basal kanan, ukuran 7,5 x 4,4 x 2,2 cm, perkiraan volume 40 cc, dan perdarahan kiri kecil; perdarahan subarahnoid mengisi sulkus temporal kanan; midline shift ke kiri 2,6 mm; dan edema serebri luas. Segera dilakukan kraniotomi evakuasi perdarahan untuk menyelamatkan pasien. Penatalaksanaan cedera kepala perioperatif meliputi evaluasi yang cepat, resusitasi pembedahan dini, dan tatalaksana terapi intensif dapat memperbaiki luaran penderita cedera kepala Perioperative Management of Severe Brain Injury with Cushing’s SignTraumatic brain injury (TBI) is a major health and socioeconomic problem, as well as a common cause of death and disabilty worldwide. Despite modern diagnostic tools and advancement in the treatment, prognosis of TBI patients remains poor. Severity of primary injury is the determining factor of outcome in TBI. Secondary injury, caused by hypotension, hypoxemia, hypercarbia, hyperglycemia, and hypoglycemia, following primary injury can cause further brain damage and worsen patient’s outcome. Severe TBI is brain injury with Glasgow Coma Scale score (GCS) of 3 to 8. Cushing’s sign is a sign of high intracranial pressure and herniation. Management of TBI is focused on managing and preventing secondary injury. A 54 years-old female patient (50 kg, 155 cm) was admitted ro the emergency unit due to motorcycle accident. Upon resuscitation and stabilization, the airway was secured, respiratory rate 10-16 times/minute, blood pressure 180/100 mmHg, pulse 50-55 beats/minute, and GCS E2M2V1. Pupils were isochoric, with 3 mm diameter. Direct light reflex was slow. CT-scan revealed a 40 cc right frontobasal intracranial hemorrhage with a size of 7.5 x 4.4 x 2.2 cm3; subarachnoid hemorrhage was occupying the right temporal sulcus; 2.6 mm midline shift to the left; and extensive cerebral edema. Craniotomy for evacuation of intracranial hematoma was performed. Perioperative managements including rapid evaluation, early surgical resuscitation, and intensive care can improve patients’ outcome.
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase Irina, Sinta; Umar, Nazaruddin; Arifin, Hasanul; Rehatta, Nancy Margareta; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v5i2.69

Abstract

Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban, Clopidogrel and LumbrokinaseSpontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis. Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight 80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor 4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation. The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.
Perbandingan antara Tindakan Dekompresi Hemikraniektomi Evakuasi dengan Kraniotomi Evakuasi terhadap Hasil Luaran Pasien Perdarahan Intraserebral Spontan dengan Glasgow Coma Scale < 9 Adam, Achmad; Ferry, Bilzardy; Pribadi, Muhammad Adam
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i1.32

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan:Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau bergejala sebesar 12,1 per mil. Jawa barat menempati posisi ke-13 dari 33 provinsi dengan prevalensi pasien stroke 6,6 0/00. PIS spontan dapat sangat merusak dengan kematian yang tinggidalam 30 hari pertama pascaserangan. Pasien koma (GCS <9) dengan PIS merupakan suatu keadaan yang khusus karena angka mortalitas yang sangat tinggi dan tindakan terapi yang belum tepat.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbandingan tindakan dekompresi hemikraniektomi evakuasi dibandingkan kraniotomi evakuasi pada pasienPIS dengan GCS < 9.Subjek dan Metode:Dilakukan penelitian ini selama bulan February-Juli 2016. Penelitian ini merupakan penelitian Kohort analitik dengan rancangan penelitian analitik komparatif. Analisis statistik akan menggunakan uji-t tidak berpasangan jika sebaran data nomal, dilanjutkan dengan Man Whitney jika sebaran data tidak normal dengan menggunakan SPSS 17.Hasil: Didapatkan 16 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Didapatkan hasil perbandingan skor NIHS post operasi yang dilakukan dekompresi hemikraniektomi dengan kraniotomi yang memberikan hasil signifikan dengan p = 0,021 (p < 0,05). Sedangkan untuk midline shift post operasi dan mortalitas < 30 hari tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan p = 0.328 dan p = 1,00.Simpulan:Tindakan dekompresi hemikraniektomi evakuasi memberikan hasil luaran yang lebih baik dibandingkan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS spontan di ganglia basal dengan GCS < 9dengan tolak ukur skor NIHSComparison of Outcome between Evacuative Decompressive Hemicraniectomy and Craniotomy Evacuation Spontaneous Intracerebral Hemorraghe Patients with Glasgow Coma Scale < 9Background and Objective:Indonesian stroke prevalence based upon 2013 Indonesian Health Ministry database that was diagnosed by health professionals was 12.1/mil. West Java was ranked 13 out of 33 provinces with a stroke prevalence of 6.6%. Coma patients with ICH are a special condition because of the high mortality rate and improper therapy. The aim of this study was to analyze the comparison between evacuative hemicraniectomy decompression and craniotomy evacuation upon spontaneous ICH patients with GCS < 9.Subject and Method:This research was done during February-July 2016. The research used analytical cohort study with comparative analysis design. Employed statistical analysis was unpaired t-test with normal distribution or Mann Whitney if it was abnormal using SPSS ver. 17.      Result:There were 16 samples that met research inclusion criteria. The results of postoperative NIHS score comparison between decompressive hemicraniectomy and craniotomy showed significant difference with p = 0.021 (p<0.05). Meanwhile for postoperative midline shift and less than 30 days mortality didn’t demonstrate significant difference with respective were p = 0.328 and p = 1.00.Conclusion: Evacuative hemicraniectomy decompression gave better outcome compared with craniotomy evacuation upon spontaneous basal ganglia ICH patients with GCS < 9 using NIHS score assessment. 
Angka Kejadian dan Outcome Cedera Otak di RS. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2008-2010 Zamzami, Nyiemas Moya; Fuadi, Iwan; Nawawi, A. Muthalib
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang dengan angka kematian yang tinggi pada dewasa muda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah angka kejadian COT dan karakteristiknya di RS. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.Subjek dan Metode: Penelitian deskriptif retrospektif dengan subyek pasien COT di Instalansi Gawat Darurat RSHS pada tahun 2008-2010. Pengambilan sampel dilakukan memakai data status pasien dan data elektronik catatan medis. Data dicatat dan dikelompokan sesuai dengan variabel karakteristik, outcome, serta dihitung CFR.Hasil: Angka kejadian COT selama 3 tahun di RSHS 3578 kasus, data yang berhasil dicatat sebanyak 2836 kasus, data yang tidak lengkap 483, dan data yang hilang 259, dengan CFR 3,5%. Kejadian COT ringan 1641 kasus, COT sedang 1086 kasus, COT berat 109 kasus. Kejadian pada laki-laki (79,8%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%) dan tertinggi pada 18-45 tahun. Kecelakaan kendaraan roda dua adalah penyebab utama COT pada pasien RSHS. Jumlah terbanyak yang dilakukan operasi adalah fraktur depres dan cedera otak sedang. Interval waktu kedatangan di IGD sampai dimulainya operasi lebih dari 6 jam sebanyak 410 kejadian (60%) dan 273 kejadian (40%) memerlukan waktu operasi kurang dari 6 jam. Outcome pada pasien COT ringan adalah baik yaitu sebesar 94,7%, sedangkan outcome buruk dijumpai pada COT sedang sebesar 5,3%.Simpulan: Insidensi dan mortalitas COT di RSHS masih sangat tinggi dan tertinggi pada laki-laki, terjadi pada kelompok usia remaja sampai dewasa muda. Penyebab utama COT karena kecelakaan kendaraan roda dua dan mayoritas outcome pascaoperasi baik. Incidence and Outcome of Head Injury at Hasan Sadikin Hospital Bandung 2008-2010 Background and Objective: Traumatic brain injury (TBI) is one of the health problems in the world, especially in developing countries with high mortality rates in young adults. The purpose of this study was to determine the amount of TBI incidence and characteristics at Hasan Sadikin Hospital (RSHS) BandungSubject and Method: This research method is descriptive retrospective subject all patients with TBI at the emergency room RSHS in 2008 to 2010. Sampling was conducted using patient status data and electronic data of medical records. Data were recorded and classified in accordance with variable characteristics, outcome and Case Fatality Rate was calculated.Results: The incidence of TBI in 3 years at the RSHS is 3578 cases. Completed data attained were 2836 cases, with incomplete data in 483 cases and missing data in 259 cases with CFR 3.5%. The incidence of mild head injury were 1641 cases, moderate head injury were 1086 cases and 109 cases of severe head injury and CFR 3.5%. Incidence of TBI occurred in men was 79.8% which was higher compared to female 20.2%, with the age group of 18-45 years old was the highest. Majority were motorcycle accidents as the leading cause of TBI, and the most frequent diagnosis was depressed fracture have surgery. The most cases that underwent surgery were patients with moderate TBI. The more than 6 hours interval from emergency admission to surgery were recorded in 419 cases (60%) and < 6 hours interval in 273 cases (40%). Good outcome were recorded in the mild TBI 94.7%, but poor outcome were recorded in moderate TBI as many as 5.3%, 90 Jurnal Neuroanestesia IndonesiaConclusion: The incidence and mortality rate of TBI at RSHS was still very high. TBI occured mostly in men and in adolescent to young adult age group. The cause of head trauma was high due to motorcycle accidents, but most of the cases had a good outcome.
Anestesi Untuk Pasien dengan Perdarahan Intrasereberal yang Dilakukan Kraniektomi Dekompresi Darurat Sasongko, Himawan; Harahap, M. Sofyan
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdarahan intraserebral (intracerebral hemorrhage/ICH) adalah penyakit yang cukup sering terjadi, dan dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasar sudut pandang, yaitu anatomis dan etiologis. Secara etiologis, dapat dibedakan menjadi perdarahan primer atau sekunder. Kraniektomi dekompresi akan menurunkan TIK secara cepat dan menetap serta menghindari terjadinya herniasi otak. Posisi telungkup atau tengkurap yang dilakukan pada pasien selama tindakan anestesi akan berhubungan dengan perubahan fisiologis maupun komplikasi yang dapat timbul terhadap pasien. Seorang wanita usia 49 tahun dengan perdarahan intraserebelum, yang akan dilakukan tindakan darurat kraniektomi dekompresi. Premedikasi yang diberikan adalah midazolam dan ondansetron. Induksi anestesi menggunakan propofol, fentanyl dan vekuronium. Pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 1,5-2,0 vol%, oksigen dan vekuronium. Semua tindakan ini bertujuan untuk proteksi otak. Selama pembedahan dilakukan pemantauan tekanan darah, laju nadi, saturasi O2 dan elektrokardiografi. Pembedahan dilakukan pada posisi tengkurap. Selama 120 menit pembedahan, hemodinamik stabil. Pascaoperasi, pasien diekstubasi dan dikirim ke High Care Unit (HCU). Selama pengelolaan di HCU, hemodinamik stabil dan setelah 2 hari perawatan, pasien dipindahkan ke bangsal perawatan biasa. Salah satu cara untuk menangani pasien dengan perdarahan intrasereberal akibat trauma adalah dengan kraniektomi dekompresi. Tujuannya adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah terjadinya herniasi otak. Evaluasi perioperasi dan perhatian yang baik sebelum, selama dan sesudah pembedahan, akan menghasilkan kondisi yang baik dengan angka kesakitan dan kematian yang minimal.Anesthesia for Patient with Intracereberal Hemorrhage Underwent Decompressive Craniectomy EmergencyIntracerebral hemorrhage (ICH) is a common disease, and can be classified by anatomical or etiological aspect. According to etiological aspects can be differenced by primary or secondary hemorrhages. Decompessive craniectomy will decreased intracranial pressure at once and prevent brain herniation. Prone position patient during anaesthesia is associated with physiological changes and also with number of complications. A forty nine years old female with intracereberal hemorrhage, undergone emergency decompressive craniectomy. Premedication with midazolam and ondancetron was given. Induction of anesthesia used propofol, fentanyl, and vecuronium. Maintenance of anesthesia used oxygen, sevoflurane 1.5-2.0 vol% and rocuronium. All this maneuver is for brain protection. Monitoring of BP, HR, SpO2 and ECG was done. During 120 minutes of surgery, hemodynamic was stable. Post operation, patient was extubated and admitted to High Care Unit (HCU). During management in HCU, hemodynamic was stable and after 2 days, patient moved to the ward. Decompressive craniectomy is one methode to handle patient with intracereberal hemorrhage. The purpose is to decreased intracranial pressure and prevent brain herniation. Perioperative evaluation and good attention before procedure, will produce outcome with minimal adverse effect and less mortality.
Pengelolaan Perioperatif Anestesi Perdarahan Intraserebral karena Stroke Perdarahan dan Luarannya Basuki, Wahyu Sunaryo; Bisri, Dewi Yulianti; Oetoro, Bambang J.; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdarahan intraserebral masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Angka kejadiannya berkisar 10–30 % kasus per 100.000, dengan angka kematian mencapai 62% dan hanya 20% yang bisa bertahan hidup secara fungsional dalam 6 bulan dari onset. Penyebab dari perdarahan intraserebral adalah hipertensi. Pengelolaan perioperatif meliputi pencegahan bertambahnya hematom dan edema, pengelolaan tekanan darah, mencegah naiknya ICP dan mempertahankan tekanan perfusi otak. Seorang laki-laki dibawa ke rumah sakit karena lemah anggota gerak kanan atas dan bawah dan tidak bisa bicara sejak 2 jam sebelumnya. Dari anamnesa didapat riwayat hipertensi dalam 5 tahun terakhir dan mendapat obat bisoprolol. Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran dengan GCS E4 M5Vx, hemiplegi dekstra dan afasia, tekanan darah 180/105 mmHg. Pasien di rawat diruangan intermediate di ICU. Pada hari kedua karena ada penurunan kesadaran dengan GCS E3 M4 Vx serta penambahan hematoma menjadi 87 cc dibanding MRI sebelumnya diputuskan segera dilakukan kraniotomi evakuasi. Tindakan ini memerlukan pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan perioperatif pasien dengan perdarahan intraserebral karena hipertensi dari seorang ahli Anestesiologi sehingga mendapat luaran yang baik. Anesthetic Perioperative Management of Intracerebral Hemorrhage and its OutcomeIntracerebral hemorrhage (ICH) has high mortality and morbidity rates. Its incidence is 10-30%, with a mortality rate of 62%. Only 20% of patients survive functionally within six months from time of onset. The cause of ICH is hypertension. Perioperative management of ICH includes blood pressure control, prevention of hematoma enlargement and edema, prevention of ICP increase and maintenance of cerebral perfusion pressure. A male patient was brought to the hospital due to weakness of the left extremities and inability to speak since two hours before admission. Patient had had hypertension for the last five years and was on bisoprolol. Physical examination revealed GCS E4M5Vx, left hemiplegia, aphasia, and blood pressure 180/105 mmHg. Patient was admitted to intermediate ward in the intensive care unit. On day-2, due to further decrease in consciousness (GCS E3M4Vx) and increase in hematoma volume to 87 cc, craniotomy for evacuation was indicated. This procedure requires good understanding of perioperative management of ICH by an anesthesiologist to produce favorable outcome.
Ventilasi Mekanis pada Pasien Cedera Otak Traumatik dengan Gagal Nafas Helmi, M.; Gomers, Diederik
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gagal nafas dapat terjadi secara mandiri atau dapat pula sebagai akibat dari cedera kepala. Pada kondisi dimana kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan, pengeloaaan ventilasi mekanis menjadi lebih rumit, karena penatalaksaaan respisari dapat mempengaruhi fugsi serebral, dan sebaliknya. Penatalaksanaan mode ventilasi mekanins, termasuk besarnya volume tidal, pola ventilasi, oksigenasi dan positive end expiratory pressure (PEEP) tewlah diketahui berperan terhadap perubahan tekanan intracranial, sehingga harus disesuaikan untuk paisen ini. Disarankan untuk menggunakan strategi ventilasi mekanis dengan volume tidal rendah dan frekuensi nafas tinggi/ (hiperventilasi) untuk menjaga volume semenit yang adekuat dan menurunkan PaCO2. Hiperventilasi dianjurkansebagai salah satu cara  untuk mencegah ischemia demi mencegah rendahnya nilai aliran darah otak pada periode 24 jam pertama setelah omset trauma. Hanya saja, sampai saat ini belum ada ketetapan mengenai nilai optomal PEEP yang disarankan untuk pasien dengan cedera otak traumatik ini. Dalam hal ini disarankan mencari nilai PEEp minimal yang masih dapat mencegah kolpas alveoli, tetapi tidak mengganggu hemodinamik. Lebih lanjut lagi telah ada beberapa laporan kebersihan dari penggunaan tehnik ventilasi mekanis mutakhir seperti HFOV, pECLA dan ECMO. Tinjauan pustakan iniu akan memaparkan informasi  penatalaksanaan pasien dengan kondisi ini.Mechanical Ventilation for Traumatic Brain Injured Patients with Respiratory FailureRespiratory failure can occur independently or due to brain injury. The management of mechanical ventilation in these patients became more complicated when both together are occurred. This is due to the management of respiratory may be effected by cerebral function, and vice versa. Ventilation modes, which include the amount of given tidal volume, ventilation pattern, oxygenation and positive end expiratory pressure (PEEP) have been well known to contribute in the changes of intracranial pressure. It is advise to perform hyperventilation with low tidal volume in order to keep an adequate minute ventilation and reduced PaCO2. Hyperventilation is suggested to prevent ischemia by preventing the reduction of cerebral blood flow during the first 24 hours after the onset of trauma. Unfortunately, there  is still no evidence of the best PEEP to be used in this patient. Therefore, it is advised to find the minimum PEEP, which prevents collapsed alveoli, with less hemodynamic effects. Furthermore, there are several successful reports in the use of advances mechanical ventilation techniques in these patients, such as HFOV, pECLA and ECMO. This review will inform the management of mechanical ventilation for brain injured patients with respiratory failure.
Perbandingan Status Nutrisi Minggu Pertama pada Pasien Pascacedera Otak Traumatik Sedang dan Berat yang Dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dinilai dengan Subjective Global Assessment (SGA) Saputra, Tengku Addi; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i3.16

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Penilaian status nutrisi merupakan hal vital untuk menentukan rencana pemberian nutrisi dan memperbaiki luaran pasien dengan cedera otak traumatik (COT). Pada pasien COT terjadi hipermetabolisme, hiperkatabolisme, dan intoleransi glukosa yang dapat mempengaruhi luaran pasien. Penilaian status gizi dilakukan dengan Subjective Global Assessment (SGA). Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara pasien COT sedang dan berat yang dinilai dengan SGA.Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross sectional ini dilakukan pada 22 pasien COT yang dirawat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung sejak November 2016 - Juli 2017, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu COT sedang dan berat. Status nutrisi subjek penelitian dinilai dengan SGA selama 7 hari. Analisis data dilakukan dengan Chi Square, Kolmogorof-Smirnof dan Exact Fisher. Hasil: Terdapat perbedaan status nutrisi yang signifikan antara kelompok COT sedang dan berat pada hari perawatan ke-6 dan 7, dimana lebih banyak didapatkan malnutrisi berat pada kelompok COT berat (p<0,05).Simpulan: Pada penelitian ini malnutrisi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, disebabkan oleh perlambatan pemberian nutrisi akibat disfungsi gastrointestinal yang terjadi pada pasien COT berat sehingga diperlukan strategi pemberian nutrisi khusus pada kelompok COT berat.Comparison of a One Week Nutritional Status between Moderate and Severe Traumatic Brain Injury Patient in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Assessed with Subjective Global Assessment (SGA)Background and Objective: Assessment of nutritional status is vital in determining nutritional plans and improving outcomes of traumatic brain injury (TBI) patients. Hypermetabolism, hypercatabolism, and glucose intolerance occur in patients with TBI can affect its outcome. The used nutritional status assessment is Subjective Global Assessment (SGA). The aim of this study was to compare nutritional status in moderate and severe TBI patients assesed with SGA.Subject and Method: This cross sectional observational analytic study was conducted on 22 TBI patients treated in RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung since November 2016 - July 2017, divided into 2 groups, moderate and severe TBI. Assessment of SGA in study subjects was conducted for 7 days. Data was analyzed with Chi Square, Kolmogorof-Smirnof and Exact Fisher test. Results: This study showed a significant difference in nutritional status between moderate and severe TBI groups during the 6th and 7th treatment days, whereas more severe malnutrition was found in the severe TBI group (p <0.05).Conclusion: Compares to patients with moderate TBI, malnutrition is more prevalent in patients with severe TBI, because of delayed of nutrient delivery due to gastrointestinal dysfunction occurring in severe TBI patients requiring specific nutritional strategies in severe TBI group.

Page 5 of 20 | Total Record : 194