cover
Contact Name
Ratih Oktarina
Contact Email
jurnal.eki@cheps.or.id
Phone
+6281235134100
Journal Mail Official
jurnal.eki@cheps.or.id
Editorial Address
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424
Location
Kota depok,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
Published by Universitas Indonesia
ISSN : 25278878     EISSN : 25983849     DOI : 10.7454
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, Jurnal EKI, presents scientific writings on information and updates of health economic in collaboration with Centre for Health Economic and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia and INAHEA (indonesian Health Economic Association). Jurnal EKI is published four times (four number) annually (per volume) in two languages (Bahasa Indonesia and English) electronically and printed. It includes research findings, case studies, and conceptual fields, namely: health economic, health insurance, health administration/policy, pharmaco-economic, and Health Technology Assessment (HTA).
Arjuna Subject : -
Articles 103 Documents
Cost Recovery Rate Tarif Rumah Sakit dan Tarif INA-CBG’s Berdasarkan Clinical Pathway pada Penyakit Arteri Koroner di RS Pemerintah A di Palembang Tahun 2015 mardiah mardiah; Ronnie Rivany
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.154 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i4.1794

Abstract

AbstrakAdanya selisih negatif pada kasus Coronary Artery Disease (CAD) pada tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI), mengindikasikan pembiayaan kesehatan masih terdapat kesenjangan antara tarif rumah sakit dengan tarif INA-CBG’s. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan cost recovery rate (CRR) tarif INA-CBG’s dan tarif rumah sakit kasus CAD dengan PCI di RS A Palembang. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan cost of treatment berbasis clinical pathways pada severity level I CRR RS berada diatas CRR tarif INA-CBG’s, sedangkan pada severity level II CRR RS lebih rendah dari CRR tarif INA-CBG’s. Pada severity level III CRR tarif INA-CBG’s dengan utilisasi stent 1 dan 2 lebih tinggi dari CRR RS. Tarif INACBGs tidak memperhitungkan jumlah stent dalam setiap tindakan PCI. Perlu evaluasi metode penghitungan tarif INA-CBGs dari hospital base rate ke metode perhitungan cost of treatment berdasarkan clinical pathway, sehingga biaya operasional RS dapat dipenuhi dan tetap mampu berikan pelayanan yang bermutu. AbstractThe difference of cost negative in the case of Coronary Artery Disease (CAD) with Percutaneous Coronary Intervention (PCI), indicate health financing gap between of hospital rates and INA-CBG’s rates. This study aimed to see the difference between the cost recovery rate (CRR) of hospital rates and INA-CBG’s rates for CAD with PCI at A Hospital. The results showed that the cost of treatment based on clinical pathways at the severity level I had a higher CRR Hospital rates compared to INA-CBG’s CRR, whereas at the severity level II, Hospital CRR rate was lower than INA-CBG’s CRR for the utility of less than 2 stents. At severity level III, CRR INA-CBGs’ rates with utilization of 1 and 2 stents performed higher rates than the hospitals CRR. This was related to INA-CBG’s rate that did not take the magnitude of the stentulitizationinto account. It is necessary to improve INA-CBG’s tarif development method from hospital base rate to clinical pathway-based cost of treatment in order to meet hospital operational cost and ensure the best quality of service.
Cost Effectiveness Analysis Between Hemodialysis and Peritoneal Dialysis Elsa Novelia; Ryan Rachmad Nugraha; Hasbullah Thabrany
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.88 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i3.1776

Abstract

Abstract The number of patients with End Stage Renal Disease (ESRD) in Indonesia is growing. Increasing prevalence of hypertension and diabe­tes mellitus contributes to higher prevalence of ESRD. The majority of patients (94%) with ESRD are undertaking hemodialysis (HD) at public and private hospitals. However, continuous ambulatory Peritoneal Dialysis (PD) has been prescribed to small portion of patients with ESRD. The aim of this study was to examine the cost effectiveness between HD and PD on ESRD patients. This study compared 78 HD patients at Hospital X in Bogor and 10 PD patients at Hospital Y in Jakarta. Patient’s quality of life (QoL) was measured using SF 36 questionnaires. The costs were measured by direct medical costs using CBGs prices, direct non-medical costs (transportation, food for patient and family), and indirect medical costs (opportunity costs). The study found that the HD cost per year per patient was IDR 133.4 million and the comparative cost for PD was IDR 81.7 million. The study found lower QoL of HD patients (46.2%) com­pared to QoL of PD patients (90%). In addition, PD patients had significant better quality of physical activities, emotional states, social function, and sanity. The study found the incremental costs for to HD to reach similar emotional states was IDR 2.0 million compared to PD and IDR 1.8 million for extra physical role gained. It is concluded that PD was more cost-effective than HD in achieving a certain level of quality of life among patients with ESRD in two hospitals in Indonesia. Abstrak Jumlah pasien Gagal Ginjal Stadium Akhir (GGSA) di Indonesia terus meningkat. Meningkatnya prevalensi hipertensi dan diabetes mellitus (DM) berkontribusi terhadap prevalensi kasus GGSA. Mayoritas pasien (94%) dengan GGSA menjalani terapi hemodialisis (HD) baik pada Rumah Sakit (RS) swasta ataupun pemerintah. Bagaimanapun, dialisis peritoneal ambula­tori berkelanjutan (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD) telah diberlakukan pada sebagian kecil pasien dengan GGSA. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengukur efektivitas harga dari HD dan CAPD pada pasien GGSA. Studi memband­ingkan 78 pasien HD di RS X Bogor dan 10 pasien CAPD pada RS Y Jakarta. Kualitas hidup pasien diukur menggunakan kue­sioner 36. Biaya diukur dengan biaya langsung medis (menggunakan harga CBGs), biaya langsung non-medis (transportasi dan biaya makan), serta biaya medis tidak langsung (biaya kesempatan). Studi menunjukkan bahwa HD membutuhkan biaya Rp 133,4 juta per orang per tahunnya, dibandingkan dengan CAPD sebanyak Rp 81,7 juta. Studi menemukan kualitas hidup yang lebih rendah pada pasien HD (46,2%) dibanding CAPD (90%). Selain itu, pasien CAPD memiliki kualitas yang lebih baik dari segi aktivitas fisik, status emosi, fungsi sosial, dan kejiwaan. Studi menemukan bahwa harga inkremental HD, untuk men­capai status emosional yang sama, dibanding CAPD yakni sebanyak 2 juta rupiah; dan 1,8 juta rupiah untuk mencapai peran fisik bila HD dibanding dengan CAPD. Dapat disimpulkan bahwa CAPD lebih efektif dari segi biaya dibanding HD dalam mencapai tingkatan kualitas hidup yang lebih baik pada pasien-pasien GGSA di dua RS di Indonesia.
Analisis Perbandingan Biaya Langsung (Direct Cost) dan Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost) pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Destanul Aulia; Sri Fajar Ayu; Nefonafratilova Nefonafratilova
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.568 KB) | DOI: 10.7454/eki.v2i2.2143

Abstract

Abstrak Stroke dibagi dalam dua kategori, yaitu stroke iskemik dan hemoragik. Setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dun­ia yang mengalami stroke. Pengobatan stroke memerlukan biaya yang tinggi. Beban akibat penyakit jantung dan stroke dari tahun 2012 hingga 2030 mencapai Rp. 1,7 triliun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan biaya langsung dan tidak langsung yang dikelarkan oleh pasien stroke di RSUD Kota X tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jum­lah pasien stroke iskemik lebih banyak dibandingkan pasien stroke hemoragik. Secara rata-rata, lama hari rawat untuk pasien stroke hemoragik lebih lama dibandingkan stroke iskemik. Namun demikian, total biaya pasien stroke jenis iskemik lebih be­sar dibandingkan total biaya pasien stroke hemoragik. Biaya rata-rata yang dikeluarkan pasien stroke hemoragik lebih besar Rp 3.763.750 dibandingkan biaya rata-rata pasien stroke iskemik. Total biaya langsung pasien stroke yaitu Rp. 527.895.000 (54,7%) dan total biaya tidak langsung yaitu Rp. 437.295.000 (45,3%). Disarankan agar masyarakat lebih teratur dalam me­mantau kesehatan, pergerakan tekanan darah dan kemungkinan gejala stroke.Abstract Stroke is divided into two categories, ischemic and hemorrhagic. Each year there are 15 million people around the world who suffer a stroke. Stroke treatment requires a high cost. The burden of heart disease and stroke from 2012 to 2030 reaches Rp. 1,7 trillion. This study aimed to analyze the comparison of direct and indirect costs of stroke patient in X hospital in 2017. The results showed that the number of ischemic stroke patients more than hemorrhagic stroke patients. The average cost of hemorrhagic stroke patients is greater at Rp 3,763,750 than the average cost of ischemic stroke patients. The total direct cost of stroke patients is Rp. 527,895,000 (54.7%) and the total indirect cost of Rp. 437,295,000 (45.3%). It is recommended that the public more actively to monitor health, blood pressure movements, and symptoms of stroke. 
Analisis Pengaruh Dimensi Fraud Triangle Dalam Kebijakan Pencegahan Fraud Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional di RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo hasan sadikin; Wiku Adisasmito
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.143 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i2.1871

Abstract

AbstrakJaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mulai dilaksanakan dari 1 Program Asuransi Kesehatan di Indonesia Januari 2014. Pelaksanaan program asuransi nasional menemukan risiko. Risiko kejadian fraud (kecurangan) di Indonesia sangat tinggi. Namun,risiko kejadian fraud masih sulit untuk diidentifikasi. Hal tersebut didukung oleh kurangnya kesadaran semua pihak baik dari pasien, provider dan perusahaan asuransi walaupun tindakan tersebut sangat terasa adanya. Penipuan kesehatan merupakan ancaman serius bagi seluruh dunia, yang menyebabkan penyalahgunaan keuangan sumber daya yang langka dan dampak negatif pada akses kesehatan, infrastruktur,dan determinan sosial kesehatan. Penipuan kesehatan dikaitkan dengan meningkatnya biaya kesehatan yang terjadi di Amerika Serikat. Penelitian ini untuk menganalisis tentang pengaruh dimensi fraud triangle dalam kebijakan pencegahan fraud terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional yang merupakan alasan untuk penipuan kesehatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa pedoman wawancara, alat perekam, arsip tertulis dan dokumen. Hasil penelitian mendapatkan analisis tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi terhadap risiko kejadian fraud dan menyajikan contoh bagaimana kebijakan telah berdampak di RSUP Nasional DR Cipto Mangunkusumo. Tesis ini kemudian akan memberikan saran tentang bagaimana mencegah penipuan kesehatan masa depan untuk mengurangi pengeluaran kesehatan dan penggunaan sumber daya untuk kepentingan RSUP Nasional DR Cipto Mangunkusumo.AbstractThe National Health Insurance (JKN) held by the Social Security Agency (BPJS) Health started to be implemented from 1 Indonesia’s Health Insurance Program in January 2014. The implementation of a national insurance program found the risk. The risk of occurrence of fraud in Indonesia is very high but it is still difficult to identify its risk. This is supported by the lack of awareness of all parties, including patients, providers and insurance companies although such actions exists. Health fraud is a serious threat to the entire world, which led to financial abuse of scarce resources and the negative impact on access to health care, infrastructure, and social determinants of health. Health fraud is associated with increased health care costs in the United States. This study was to analyze the influence of the dimensions of the fraud triangle in fraud prevention policies towards the National Health Insurance program which is the reason for health fraud. This study used a qualitative approach. Data collection techniques such as interview guides, recorders, written records and documents. The study reported stress analysis, opportunity, and rationalization of the risk of fraud incident and presents examples of how policy has an impact on the National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo. This thesis will then provide advice on how to prevent future fraudulent health to reduce health spending and use of resources for the benefit of the National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo.
Analisis Minimisasi Biaya Amlodipin Generik dan Bermerk pada Pengobatan Hipertensi di RS X Pekanbaru Tahun 2015 Hanny Merliana
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.74 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i3.1775

Abstract

Abstrak Hipertensi merupakan tantangan besar di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi kejadian sebesar 25% ser­ta kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia. Amlodipine adalah salah satu obat hipertensi yang paling sering direse­pkan di RS X Pekanbaru. Untuk itu,dipandang perlumelakukan analisis minimisasi biaya dari pengggunaan amlodipine generik dan bermerek sebagai bentuk kendali mutu dan kendali biaya.Penelitian ini merupakan studi retrospektif yangmenggunakan data pasien hipertensi ringan sampai sedang dan periode pengobatan selama 1 bulan dari bulan Januari sampai Desember ta­hun 2015. Analisa CMA berdasarkan perspektif provider (rumah sakit sebagai pemberi pelayanan).Hasil analisis data ditemu­kan bahwa penggunaan amlodipin generik lebih banyak dibandingkan penggunaan obat bermerk di Poli Jantung dan Penyakit Dalam RS. X.Rerata biaya pengobatan dengan amlodipin generik Rp 68.660,- per bulan sedangkan dengan amlodipin ber­merk sebesar Rp. 374.844.- atau sekitar 5,4 kali lebih tinggi dari amlodipin generik. Penggunaan amlodipin generik maupun bermerk menurukan tekanan darah secara bermakna, namun tidak terdapat perbedaan bermakna antas penurunan tekanan darah yang dicapai dengan pemberian amlodipin generik maupun amlodipin bermerk. Disimpulkan bahwa amlodipin generik merupakan pilihan yang efisien dalam menurunkan tekanan darah dan memiliki biaya yang lebih efisien dibandingkan dengan amlodipin bermerk.Abstract Hypertension in a big challenge in Indonesia, proven by its prevalence that reached 25% in 2013 and conditions that mostly found in primary health care. In addition, hypertension management is considered to be suboptimal despite the availability of effective drugs. Amlodipine is one of anti-hypertensive that is commonly prescribed by X Hospital, Pekan Baru. Therefore, it is important to do cost minimization analysis to compare both generic and branded Amlodipine as an implementation of cost and quality control. This ret­rospective study involved early and medium stage of hypertensive patients that have at least a month period of treatment from Jan­uary to December 2015 using provider’s perspectives of CMA (Cost Minimization Analysis). The result showed that generic form of Amlodipine is the most common anti-hypertensive drugs prescribed in Cardiology and Internal Medicine Clinic, X Hospital. It was suggested that average cost of generic form of Amlodipine was IDR 68.660 while branded one was IDR 374.844 or approximately 5.4 times higher. Both generic and branded Amlodipine significantly reduced blood pressure, but there was not any distinguish effect between them. It was concluded that generic form of Amlodipine was a less expensive and efficient choice in reducing blood pressure.
Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah Sakit Kelas B dan C firda tania; Hasbullah Thabrany
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.53 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i1.1763

Abstract

 Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan kondisi yang semakin meningkat kejadiannya di Indone­sia, menghabiskan banyak dana publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam program JKN, hemodi­alisis (HD) untuk penanganan GGK dijamin tetapi perleu keseimbangan antara biaya dan outcome. Sejak 2014, BPJS menanggung hampir seluruh biaya HD di Indonesia dengan besaran tarif Casemix Base Group (CBG) yang berbeda menurut kelas Rumah Sakit (RS). Tujaun dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan biaya Hemodialisis pada Rumah Sakit Kelas B dan Kelas C.Studi evaluasi ekonomi ini dilakukan di dua RS dengan kelas berbeda: kelas B (RS B) dan kelas C (RS C) dengan perbedaan kepemilikan. Kepemilikan RS B adalah pemerintah daerah sedangkan RS C dimiliki oleh yayasan swasta. Outcome HD diukur dengan suatu survey ke pasien HD. Analisis outcome dilakukan dengan penilaian kualitas hidup (instrumen EQ-5D) dengan Indeks EQ, EQ VAS, intermediate outcome berupa rerata Intra Dialytic Weight Loss (IDWL), dan rerata Hb. Perbedaan rerata nilai hasil diuji dengan Student’s t-test. Responden dipilih dari pasien GGK yang menjalani HD di kedua RS selama Feb­ruari-April 2016. Analisis biaya menurut perspektif pasien, meliputi biaya langsung medis, biaya langsung non medis, dan biaya tidak langsung. Biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh RS dikumpulkan dari doku­men RS. Studi kualitatif tambahan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan kunci di RS yang bertanggung jawab atas unit HD. Pada penelitian ini, total responden sebanyak adalah 100 orang (di RS B 76 orang & di RS C 24 orang). Menurut perspektif pasien, biaya langsung medis HD selama sebulan di RS B Rp 5.215.331 dan di RS C Rp 7.781.744. Besaran tarif CBG untuk RS kelas B adalah Rp 962.800 dan kelas C adalah Rp 893.300. Menurut perspektif RS, tidak terdapat perbedaan biaya operasional HD antar kelas RS. Biaya langsung non medis HD selama sebulan di RS B Rp 566.260 dan di RS C Rp 334.500. Biaya tidak langsung HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD selama sebulan di RS B Rp 6.149.285 dan di RS C Rp 8.162.077. Pada intermediate outcome didapatkan bahwa rerata Hb pada RS B sebesar 10,26 g% berbeda secara signifikan dengan RS C (8,21 g%), p= 0,000. Rerata IDWL pada RS B (0,0403) tidak berbeda secara signifikan dengan RS C (0,0438), p= 0.188. Rerata EQ Indeks sebesar 0,7178 dan EQ VAS sebesar 64,74 di RS B tidak berbeda secara signifikan dengan rerata EQ Indeks sebesar 0,7208 dan EQ VAS sebesar 64,79 di RS C, dengan p value secara berurutan p=0,94 dan p= 0,986
Analisis Perhitungan Kapitasi pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang Bekerja Sama dengan BPJS Kesehatan KCU Kota Bogor Tahun 2015 Ayu Novia Kurnia; Atik Nurwahyuni
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.336 KB) | DOI: 10.7454/eki.v2i1.1956

Abstract

 Abstrak Berdasarkan PMK No. 69 Tahun 2013, tarif kapitasi ditetapkan sama untuk semua kelompok umur, hanya dibedakan antar FKTP. Tarif kapitasi tersebut tidak disesuaikan dengan risiko individu. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tarif kapitasi berdasarkan risiko umur menggunakan metode penelitian cross sectional. Hasil dari penelitian ini yaitu tarif kapitasi berdasar­kan kelompok umur pada puskesmas, DPP, dan klinik. Hasil tarif kapitasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tarif antar kelompok umur dengan kapitasi tertinggi terdapat pada kelompok umur 0-4 dan ≥ 50 tahun dan tarif kapitasi cenderung turun pada kelompok umur produktif. Abstract Based on PMK No. 69 in 2013, capitation is set at the same tariff for all age groups and only distinguished for each primary health care. Capitation is not adjusted by individual risk. This study aimed to calculate the capitation by age, using cross sectional design. The result of this study was capitation by age groups at the primary health care level. It was indicated that there was different capitation between age groups, with higher capitation observed in the age group of 0-4 and ≥50 years old and declining in productive age.
Analisis Penerapan Cost Containment pada Kasus Sectio Caesarea dengan Jaminan BPJS di RS Pemerintah XY di Kota Bogor Tahun 2016 Nazirah Istianisa; Puput Oktamianti
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 4 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.368 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i4.1800

Abstract

AbstrakSistem pembayaran prospektif dengan paket tarif INA-CBG’s untuk kasus dengan jaminan BPJS menuntut rumah sakit agar dapat melakukan kendali biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai upaya Cost Containment RS XY melalui penerapan Clinical Pathway, formularium, dan struktur insentif. Studi dilakukan pada kasus Sectio Caesarea periode Januari-Maret 2016 secara kuantitatif dengan membandingkan selisih klaim BPJS dan tagihan RS serta menilai penerapan Clinical Pathway dan secara kualitatif dengan wawancara mendalam. Total Selisih yang didapat sebesar Rp.1.014.125.684,00 dengan rata-rata selisih sebesar Rp.4.899.157,89 per kasus. Didapatkan 84% kasus memiliki length of stay sesuai Clinical Pathway (CP). Dari kasus tersebut, 96% visitasi dokter sesuai, 21% penggunaan obat dan BHP sesuaidengan, 48% pemeriksaan laboratorium sesuai dengan yang ditentukan dalam CP. Formularium yang digunakan sesuai dengan formularium nasional. RS XY belum memiliki sistem evaluasi untuk menilai penerapan clinical pathway dan penggunaan obat. Struktur insentif yang digunakan adalah sistem fee-for-service pada staf medik yang tidak sesuai dengan metode pembayaran jasa medis yang prospektif. AbstractProspective payment system with INA-CBG’s fare for cases using BPJS Insurance demands hospital to control their cost. This study aims to see the cost containment in XY Hospital through the implementation of clinical pathway, drug formulary, and incentive structure. The study looked into Sectio Caesarea cases from January to March 2016, using quantitative method, comparing BPJS claim with hospital billing and assesst the implementation of clinical pathwayusing qualitative method through in depth interview. Result shows there is deficit amount of Rp.1.014.125.684,00 and the average of deficit per case is Rp.4.899.157,89. Eighty four percent of cases have length of stay in accordance with clinical pathway. From those cases, 96% has concordant doctors visit, 21% has concordant drug usage, and 48% has concordant laboratory diagnostic test. The hospital formulary uses the national formulary. It is found that XY Hospital does not have an evaluation system for clinical pathway implementation and drug usage. The incentive structure that is used is fee-for-service system which is not suitable for prospective payment method.
Analisis Biaya Akibat Sakit serta Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Penyakit Jantung Lusiani Septika Sari
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (432.322 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i3.1777

Abstract

Abstrak Indonesia merupakan negara terbanyak keempat kematian akibat diabetes Mellitus dan penyakit jantung diantara nega­ra-negara Asia Tenggara. Biaya akibat sakit diabetes mellitus dan jantung membutuhkan biaya tertinggi jika dibandingkan dengan kombinasi penyakit diabetes mellitus dengan penyakit kronik lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gam­baran biaya akibat sakit serta kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit jantung dengan sampel 110 orang di RSUD X Bengkulu. Desain studi penelitian cross sectional, data primer dikumpulkan dengan teknik survei meng­gunakan kuesioner yang terstruktur dan data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen rekam medik pasien serta doku­men penunjang lainnya. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Mei 2014. Populasi adalah seluruh pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit jantung yang melakukan kunjungan rawat jalan di RSUD X Bengkulu, jumlah sampel 110 pasien. Rata-rata biaya pasien akibat sakit diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit jantung selama setahun adalah Rp. 6.081.572 dimana komposisi biaya langsung adalah (81,54%) dan biaya tidak langsung (18,46%). Proporsi terbesar adalah biaya obat (37,05%). Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya akibat penyakit tersebut adalah Lama Hari Rawat (LHR) dan je­nis pekerjaan sedangkan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien adalah Lama/durasi sakit. Disarankan agar RSUD. X Bengkulu menyusun clinical pathway dan formularium rumah sakit. Pemerintah perlu merevisi formularium nasional dengan memperhatikan kondisi lokal dan mengembangkan program peningkatan kualitas hidupAbstract Indonesia is the fourth most deaths due diabetes mellitus and heart disease among south Asia countries. Cost of illness from diabetes mellitus with heart disease is the highest cost if it is compared with combination of diabetes mellitus with other chronic disease. This study with 110 patients as samples is aiming to describing the cost of illness and quality of life of patients with type 2 diabetes mellitus with heart disease in X public hospital. With cross sectional research design, primary data is collected with survey technique that uses structured questionnaire and secondary data is obtained through medical record document review along with another supporting doc­ument. This research has been done from March until May in 2014. The population is all type 2 diabetes mellitus patient with heart disease who was doing in-patient visit in X Bengkulu, the number of sample was 110 patients. The annual cost of illness due to type 2 diabetes mellitus with heart disease per patient was Rp. 6,081,572, with direct cost is reached (81.54%) and indirect cost (18.46%). The largest proportion of the cost was drug (37.05%). Factors that affect COI were Length of Stay (LOS) and the type of work, and factor affect quality of life was duration of illness. It is recommended that X Public Hospital Bengkulu should prepare clinical pathways and hospital formulary. The central government needs to revise national formulary with considering variability of country situation and develop program to improve quality of DM patient.
Cost of Treatment Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rawat Inap Berdasarkan Clinical Pathway di RS X Jakarta Vera Marietha Meinar Rejeki; Atik Nurwahyuni
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (425.457 KB) | DOI: 10.7454/eki.v2i2.2146

Abstract

Abstrak Rumah Sakit sebagai pemberi layanan kesehatan saat ini dituntut untuk melakukan kendali mutu dan biaya, namun tetap berkualitas. Clinical pathway yang menjadi dasar pengendalian mutu dan biaya sudah ada tetapi belum diaudit penggunaan­nya oleh tim rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unit cost layanan dan cost of treatment DBD di RS X Ja­karta. Penelitian kuantitatif melalui pengambilan data cross sectional dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 190 pasien DBD. Hasil penelitian didapatkan adanya kesenjangan antara cost of treatment perawatan pasien DBD berdasarkan clinical pathway (Rp. 2.184.588) dan cost of treatment berdasarkan kondisi riil (Rp. 2.382.512) dengan selisih terbesar di rawat inap dan obat-obatan. Cost of treatment tanpa perhitungan gaji dan investasi untuk pasien DBD dapat berkurang menjadi 29% dari cost of treatment semula. Cost of Treatment tanpa perhitungan gaji maka cost of treatment dapat turun menjadi 42%. Diperlukan sistem pemantauan kepatuhan terhadap clinical pathway, pembentukan tim casemix rumah sakit untuk peman­tauan dan evaluasi implementasi JKN di rumah sakit .Abstract Hospitals as health care providers are now required to perform cost and quality control without neglecting the quality of services. Clinical pathways which underlying quality and cost control in the hospital are available but has not been audited. This study aims to determine the unit cost of services in RS X Jakarta, the utilization of hospital services for dengue disease and cost of treatment of DHF in RS X Jakarta. A cross-sectional study was performed in this study. A quantitative approach was done through data collection from hospital information system, medical record and financial data. The result showed that there was a gap between the cost of treat­ment of DHF patients which based on the clinical pathway (2,184,588 IDR) and the cost of treatment based on the real condition (2,382,512 IDR). The biggest difference between cost of treatment and real cost was in the hospitalization cost and medicine cost. Cost of treatment without salary and investation calculation for DHF patients can be reduced significantly by 29%. Cost of treatment without salary calculation for DHF patients can be reduced significantly by 42%. There is a need for monitoring system and the estab­lishment of hospital case mix team in order to optimize the hospital clinical pathway in the JKN era. 

Page 3 of 11 | Total Record : 103