cover
Contact Name
M. Nazir Salim
Contact Email
nazirsalim@stpn.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal_bhumi@stpn.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan
ISSN : 24426954     EISSN : 25802151     DOI : -
Core Subject : Agriculture, Social,
Bhumi is published twice a year in May and November. Bhumi focuses on the publication of articles result of researchs and book reviews that transcend disciplines, curiously on agrarian and land studies: geodesy, social, humaniora, history, economy, and law.
Arjuna Subject : -
Articles 194 Documents
Sejarah dan Revitalisasi Perjuangan Pertanian Nahdlatul Ulama Melawan Ketidakadilan Agraria Ahmad Nashih Luthfi
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 3 No. 2 (2017): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/jb.v3i2.121

Abstract

Abstract: Historiographically, there is false understanding that the 1960’s landreform in Indonesia was only supported by communism party, and religion-based parties were on the opposite sides, ideologically and sociologically. This article contradicts the simplification of the understanding of the history by pointed out that Nahdlatul Ulama supported the policy of land reform. The support was within the framework of the creation of justice, as well as the understanding that private land ownership is respected in Islam, as part of the goal in enforcing syari’at: to keep the possessions of the umat (hifdhul maal). Not only on the implementation, Pertanu also defend and fight for the peasants when they were expelled, and their lands were taken over (counter-landreform) post 1965. Based on the archived of ANRI and local military documents, this article record the institutional history of Pertanu and its struggle to defent the peasants after 1965, and the dynamic of the implementation of land reform and its backflow in Banyuwangi, East Java. The description of historical experiences of this peasant organization is equipped by contextual reflection and its revitalization on current era when facing contemporary agrarian issues. Intisari: Secara historiografis berkembang pemahaman yang keliru bahwa landreform era 1960-an di Indonesia hanya didukung oleh partai berpaham komunisme. Sedangkan partai berbasiskan agama, berada pada pihak yang berseberangan, baik secara ideologis maupun sosiologis. Artikel ini membantah simplifikasi pemahaman sejarah tersebut dengan menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama mendukung kebijakan landreform. Dukungan itu dalam kerangka penciptaan keadilan sekaligus pemahaman bahwa kepemilikan tanah pribadi dihormati di dalam Islam, sebab merupakan bagian dari tujuan penegakan syari’at: menjaga harta benda umat (hifdhul maal). Tidak hanya pada tahap pelaksanaan, Pertanu bahkan juga membela dan memperjuangkan kaum tani tatkala mereka diusir dan diambil-alih tanahnya kembali (counter-landreform) pasca 1965. Berdasarkan arsip dari ANRI dan dokumen militer daerah, artikel ini merekam sejarah kelembagaan Pertanu dan perjuangannya dalam membela kaum tani pasca 1965, serta dinamika pelaksanaan landreform dan arus baliknya yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Uraian pengalaman sejarah perjalanan organisasi tani ini dilengkapi dengan refleksi kontekstualitasi dan revitalisasinya pada era saat ini tetkala berhadapan dengan masalah-masalah agraria kontemporer.
Krisis Demi Krisis di Indonesia: Melampaui Kegagalan dan Kemujuran Adhi Pandoyo
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 4 No. 1 (2018): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (329.427 KB) | DOI: 10.31292/jb.v4i1.219

Abstract

Abstrack :We cannot have Love without Lovers”, kalimat ini muncul di salah satu kritik Edward Palmer Thompson dalam bukunya yang fenomenal: The Making of The English Working Class (Thompson, 1963: 9). Bagi Thompson, kalimat tadi menganalogikan bahwa akan tidak adil apabila menulis sejarah tanpa menulis “pengalaman” manusia, sebab berarti menghilangkan pelaku/ agency dari takdir materialnya. Dalam hal ini, rupanya sejarah buruh di Inggris kala itu kerap ditulis oleh para sejarawan ekonomi tanpa kehadiran buruh, artinya sekedar menjelaskan buruh sebagai kelompok tenaga kerja maupun data-data statistik belaka. Keresahan terhadap determinisme structure dalam kajian sejarah ekonomi yang memarginalisasi agency, menjadi alibi yang juga mengilhami antologi sejarah pengalaman krisis dalam buku ini. Lebih jauh, kedua editornya: Benjamin White dan Peter Boomgaard menyebut bahwa bunga rampai ini berhasrat menjadi Etnografi-Sejarah Komparatif tentang Krisis Ekonomi Indonesia (hlm. viii), kendati diakui keduanya bahwa penelitian yang terhimpun masih belum bisa menjawab banyak pertanyaan yang diajukan (hlm. 330), bahkan adanya keterbatasan atau kesulitan data statistik (hlm. 116). Meleset sampai
REVIEW BUKU KAPITALISME PEDALAMAN DAN PRAKTIK POLITIK ETNOGRAFI Darmanto Darmanto
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 1 No. 1 (2015): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.16 KB) | DOI: 10.31292/jb.v1i1.47

Abstract

Karya etnograf i mengenai penduduk pedalamancenderung didominasi oleh pandanganhitam-putih mengenai suku-suku terpencil berbudayaunik dan peduli lingkungan yang menghadapikekuatan merusak dari luar. Buku Land’s End: CapitalistRelations on an Indigenous Frontier (selanjutnyadisebut LE) mengisahkan penduduk pedalamantetapi tidak menghadirkan cerita sederhanapahlawan-pecundang. Sebaliknya, LE berisi kisahpenduduk Lauje di pedalaman Sulawesi Tengahyang aktif terlibat dalam perubahan, mengagumigaya hidup konsumtif dan aktif memanfaatkanpeluang pasar. Berdasar penelitian dua dekade(1990-2009) di dataran tinggi Lauje, antropologTania Li mendeskripsikan dan menganalisis hubungansosial orang Lauje setelah terlibat denganproduksi kakao. Produksi kakao menghasilkanhubungan kapitalis yang tidak hanya menawarkanharapan dan kemakmuran namun juga menciptakanhubungan sosial baru berdasar kelas sosialdan kepemilikan sarana produksi.
RUU PERTANAHAN: ANTARA MANDAT DAN PENGINGKARAN TERHADAP UUPA 1960 Gunawan Gunawan
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan No. 39 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.242 KB) | DOI: 10.31292/jb.v1i39.183

Abstract

The sense of agrarian term covers the surface of the earth (land ). The land law ought to refer to the agrarian law. Theplanning of land constitution should also refer to the Constitution No. 5, 1960 on Basic Agrarian Law. Whether the planningof land constitution opposes the Basic Agrarian Law can be verified by the question on how far the above planning is made.This was mandated by the Basic Agrarian Law.Keywords: land law, right on land, land jurisdiction
PRINSIP KEADILAN SOSIAL DALAM SISTEM TENURIAL DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA Farida Patittingi
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan No. 38 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.083 KB) | DOI: 10.31292/jb.v1i38.168

Abstract

Social justice as a principe of Pancasila should become a basis of political law on a regulating the national agrarianresources, especially at coastal areas and small islands. This is to realize the welfare of all the Indonesian citizens. Theinternalization principle of social justice in regulating land tenure tand ownership at the above mentioned places can show thebalannced and propotioronal distribution of land tenure and ownership for stakeholders; ivestors, society and the government.Keywords: Citizen, investor, and goverment.
Konflik Tanah Bengkok di Pedesaan Jawa Kontemporer Heri Priyatmoko
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 3 No. 1 (2017): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.116 KB) | DOI: 10.31292/jb.v3i1.225

Abstract

Intisari:Tulisan ini membahas proses konflik tanah bengkok di Desa Telukan yang terjadi pada permulaan abad XXI. Masyarakat pedesaan dicitrakan komunitas yang tenang, jauh dari sikap kritis, dan hidup guyub rukun mendadak berubah dengan pecahnya konflik tanah bengkok. Tanah bengkok dipahami warga sebagai kekayaan desa yang harus dijaga dan umumnya berlokasi tidak jauh dari desa. Sengketa agraria ini dipicu oleh rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pamong desa dan tokoh masyarakat yang melakukan tukar guling tanah kas desa. Sebagian masyarakat merasa ditinggalkan oleh aparatur desa dalam mengambil keputusan penting itu. Akumulasi kekecewaan warga tersalurkan dengan membentuk organisasi Format dan melancarkan aksi demonstrasi yang digelar beberapa kali. Konflik tanah ini menyebabkan kehidupan desa sempat memanas dan masyarakat terbelah dalam beberapa kubu, yaitu mendukung ruislag, menolak, dan netral. Konflik atau ketegangan sosial merembet di ranah politik yang tercermin dalam pemilihan kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kelompok yang bersengketa masing-masing mengajukan jagonya demi memenangkan kasus tukar guling. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konflik tanah telah berimbas pada kehidupan sosial-politik masyarakat. Abstract: This paper discusses the conflict of tanah bengkok (communal land managed by the village government) in Telukan village in early 21st century. Villagers are depicted as calm and peaceful communities and lack of critical thinking. However, the hamonious life in Telukan village suddenly became a chaos due to the conflict related to tanah bengkok. The people recognize tanah bengkok as a property of the village that needs to be preserved. This land is usually located close to the village. Agrarian dispute was triggered by the lost of trust toward the village leaders and public figures who were supposed to conduct the ruislag of tanah bengkok. Some villagers felt that they were not involved in taking communal decisions by their leaders. The people’s disappoinment triggering them to established an organisation and several demonstrations. The community was divided into several groups: those who support the ruislag, those who refuse, and status quo. This conflict was spread to the political sphere, showed in the election of Kepala Desa (head of village) and Badan Permusyawaratan Desa (Village’s Representative Board). The disputing groups chose their own representatives in order to win the ruislag case. This signifies the evidences that the agrarian dispute impacted on the people’s socio-political lives.
ANALISIS KRITIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM BIDANG PERTANAHAN Kus Sri Antoro
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 1 No. 1 (2015): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (513.201 KB) | DOI: 10.31292/jb.v1i1.38

Abstract

Abstract: The structure of land tenure and ownership in Special Province of Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY) haschanged radically since The Law No 13/2012 on Yogyakarta’s Special Status (UUK DIY) was enacted.. The changes include 1)establishment of both the Sultanate (Kasultanan) and Pakualaman Regency as special legal bodies allowed to possess lands,according to this article by the name of Culture Heritage Legal Body (Badan Hukum Warisan Budaya/BHWB); 2) establishmentof the existence of lands categorized as Sultan’s (Sultanaat Grond/SG) and Pakualaman’s (Paku Alamanaat Grond/PAG). Thispaper is the result of a community desk study conducted from September 2014 to February 2015, and is aimed at showing:1) the legal position of SG and PAG; 2) the legal position of state-controlled lands; 3) the legal position of lands belonging tosociety, either individual or communal (village-owned lands), 4) the position of agrarian law to UUK DIY. The analysis of officialdocuments carried out using historical; legal; and social-cultural approaches to critically analyze the substance and implementationof UUK DIY.Keywords: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat GrondAbstrak: Struktur penguasaan dan kepemilikan tanah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahanmendasar sejak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK DIY) disahkan. Perubahan tersebut meliputi 1)penetapan Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) sebagai badan hukum khusus yang dapat memiliki tanah, dalam tulisan ini disebutBadan Hukum Warisan Budaya (BHWB); 2) pengukuhan eksistensi tanah-tanah yang digolongkan sebagai Sultanaat Grond (SG)dan Paku Alamanaat Grond (PAG). Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian pustaka oleh komunitas masyarakat yang dilakukandari September 2014 hingga Februari 2015, dan bertujuan untuk menunjukkan 1) kedudukan hukum dari tanah dengan statusSG dan PAG; 2) kedudukan hukum dari tanah yang dikuasai negara, 3) kedudukan hukum dari tanah yang dimiliki masyarakat,baik individu maupun komunitas (tanah desa), 4) kedudukan hukum agraria terhadap UUK DIY. Analisis terhadap isi dokumendokumenresmi dilakukan dengan pendekatan sejarah, hukum, dan sosial budaya untuk menelaah secara kritis substansi danimplementasi UUK DIY.Kata kunci: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat Grond
PERLAWANAN EKSTRA LEGAL: “TRANSFORMASI PERLAWANAN PETANI MENGHADAPI KORPORASI PERKEBUNAN” Muhammad Afandi
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan No. 37 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (803.426 KB) | DOI: 10.31292/jb.v0i37.152

Abstract

History of plantation is the history of peasants’ land grabbing in Nusantara. The peasants have responded thissituation with resistance in many ways. The theme of the research is peasant resistance during the transition of democracyorganized by peasant movement of Deli Serdang confronts PTPN II. This research reveals that the peasants consider thatreformation era has opened political chance for them to struggle in legal ways. But when the resistance in legal way is deadlocked, the peasants took another way to rebel, in the extra legal way, with its consequences such as open war with nationalmilitary or civilian militia recruited by PTPN II. The birth of extra legal movement is the consequence of nation failure and it isalso the consequence of the contradictions of the formal law in handling agrarian conflict.Keywords: PTPN II, peasant social movement, reclaiming, rebellion transformation.
Reforma Agraria: Momentum Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Masyarakat Kecil dalam Mendukung Ketahanan Pangan Mr. Waryanta
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 2 No. 2 (2016): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (998.274 KB) | DOI: 10.31292/jb.v2i2.69

Abstract

Abstract : Agrarian Reform is one of nawacita program and become national priority. The aim of agrarian reform is to improve people’s welfare. However, its implementation has not yet able to realize local economic independence of middle and low class society, and has not yet able to address the issue of food security. This study was intended to analyze the scheme that should be improved to implement agrarian reform, that able to support local economic independence for middle to low classes, as well as to support food security. The results show that those objectives can be achieved through 2 (two) changes of agrarian reform scheme. First, change in emphasizing of crop and livestock cultivation to support the fulfillment of community needs to reduce food and meat import. Second, the change of access reform scheme that does not involve interest capitalization system and penalty fines. That system can be replaced by cluster integration system initiated by Bank Indonesia into agrarian reform program. Keywords : agrarian reform, economic self-reliance, small communities, food security.Intisari : Reforma Agraria adalah salah satu bagian nawacita yang menjadi prioritas nasional yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, pelaksanaan reforma agraria belum mampu mewujudkan kemandirian ekonomi lokal masyarakat kelas menengah ke bawah dan juga belum mampu mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Oleh karena itu dalam kajian ini dilakukan analisis mengenai skema apa yang perlu diperbaiki agar kegiatan reforma agraria kedepan mampu untuk mendukung kemandirian ekonomi lokal masyarakat kelas menengah ke bawah sekaligus mendukung ketahanan pangan. Berdasarkan hasil analisis, bahwa kedua tujuan tersebut dapat dicapai melalui 2 (dua) perubahan skema reforma agrarian, Pertama, perubahan pada penekanan budidaya tanaman dan peternakan yang mendukung pada pemenuhan kebutuhan masyarakat agar tidak terjadi import pangan dan daging. Kedua, perubahan skema akses reform yang tidak melibatkan pemodalan sistem bunga dan denda pinalti. Hal ini digantikan dengan integrasi sistem klaster yang diinisisiasi oleh Bank Indonesia ke dalam program reforma agraria. Kata Kunci : reforma agraria, kemandirian ekonomi, masyarakat kecil, ketahanan pangan.
RANTAI KOMODITAS, KEWAJIBAN ILMU, DAN SKALA DALAM KONFLIK AGRARIA URUTSEWU Bosman Batubara
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan No. 40 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.944 KB) | DOI: 10.31292/jb.v0i40.198

Abstract

Judul: Konflik Agraria diUrutsewu: PendekatanEkologiPolitikPenulis: Devy Dhian CahyaniPenerbit: STPN Press (2014)Halaman: 251Tanpa dibayangi rasa sangsi, saya langsungmenyatakan bahwa buku ini sangat berguna. Baiksecara praksis, pun teoritis. Saya bersinggunganpertama kali dengan naskah Devy kira-kirasetahun yang lalu ketika ia masih dalam bentukpdf, naskah skripsi yang sudah diuji. Waktu itusaya sedang terlibat dalam aliansi SolidaritasBudaya untuk Masyarakat Urutsewu (Esbumus)dalam persiapan acara Arak-arakan Budaya diUrutsewu yang sudah dilaksanakan pada 16 April2014 yang lalu.Kegunaan praksis buku ini saya rasakan padasaat itu; bersama dengan beberapa orang wargaUrutsewu (Seniman Martodikromo, WidodoSunu Nugroho, dan Ubaidillah) kami menggunakanskripsi Devy sebagai salah satu sumberuntuk menyusun kronologi konflik tanah yangsudah sangat panjang di Urutsewu. Kronologikonflik yang disusun ini, bersama dengan f ilesikripsi Devy sendiri, kami gunakan sebagai bahanbacaan di dalam Esbumus agar para personel yangterlibat dengan segera bisa masuk ke jantungpermasalahan konflik tanah di Kebumen. Karenaterasa betapa jarangnya mahasiswa sekarang yangmelakukan riset konflik agraria, ditambah dengankontribusi nyata teks ini yang sudah kami rasakan,rasa hormat mendalam dihaturkan oleh tulisanReview BukuRANTAI KOMODITAS, KEWAJIBAN ILMU,DAN SKALA DALAM KONFLIK AGRARIA URUTSEWUBosman BatubaraJudul: Konflik Agraria diUrutsewu: PendekatanEkologiPolitikPenulis: Devy Dhian CahyaniPenerbit: STPN Press (2014)Halaman: 251ini kepada penulis, Devy.Secara teoritis, saya masih percaya bahwa salahsatu karya tulis ilmiah yang bagus adalah manakaladia mampu memancing pertanyaan-pertanyaandi benak pembaca sebagai bahan bagipenelitian lanjutan. Jadi, meskipun secara personalsaya kadang merasa sayang atau tidak puasmengingat betapa besar energi yang telah dicurahkanDevy dalam menggarap penelitiannyadibandingkan dengan hasil yang ia capai, saya kirafungsi ketidakpuasan saya adalah memulaimelontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk penelitiselanjutnya.Dari sisi apa fokus yang diteliti, saya merasariset ini hanya membidik realitas secara parsial.Riset ini dikerangkai secara teoritis untuk mengetahuiekologi politik konflik tambang pasir besidi Urutsewu. Tidak ada masalah bagi saya dalammetode dan metodologi. Masalah muncul didalam unit “pasir besi” yang diteliti. Mengapa?Setelah saya bergulat dengan tema konflikagraria di Urutsewu, saya tersadarkan bahwa konflikini sudah sangat panjang. Berdasarkan kronologiyang kami susun seperti yang disebutkan diatas, konflik di daerah pesisir Kabupaten Kebumenini merentang sejak 1830-an ketika ada penataantanah dalam bentuk Galur Larak yang membagitanah dengan sistem membujur utara-selatan.Sejak itu, berbagai bentuk perampasan tanahmuncul di pesisir Kebumen. Dari situ kita bisamelihat bahwa pasir besi hanyalah satu komoditasyang muncul dalam lintasan sejarah. Ada banyakbentuk masalah yang muncul, misalnya “pemakaiansebagai lapangan tembak oleh militer;Bosman Batubara: Rantai Komoditas, Kewajiban Ilmu, dan Konflik ...: 680-683 681ketakutan masyarakat mengakui bahwa merekamemiliki sertifikat tanah pasca ’65-66; masuknyaperkebunan tebu Madukismo; pemijaman tanahuntuk uji coba senjata berat; pembangunan jalanlintas pantai selatan Jawa; penambangan pasir besi;dan yang paling terkini adalah pemagaran tanaholeh TNI AD. Dari rentangan kasus-kasus itudapat dilihat bahwa pasir besi hanyalah satukomoditas yang muncul dalam rangkaian prosespanjang pertarungan hakatas tanah, dimanakondisi kontemporer secara diametral memperhadapkanmassa petani dengan TNI AD, konjungturyang bertarung di Urutsewu sekarang ini.Tanah di Urutsewu berganti fungsi dalam berbagaibentuk komoditas (perkebunan tebu, jalan,tambang pasir besi, area latihan tembak) danmemicu konflik.Implikasi “kesilapan” memilih unit yang dianalisismembuat skripsi Devy kurang mampu menangkapberbagai perubahan ekologi yang terjadi.Di sini, saya mengandaikan sudah ada kesepakatanbahwa pengertian ekologi politik memasukkan,diantaranya, unsur perubahan ekologidalam berbagai tingkatan—molekul, struktursub-seluler, sel, serabut, organ, organisme, populasi,komunitas, ekosistem, dan landskap.Karena unit yang dianalisis buku ini adalah“ekologi politik tambang pasir besi” yang masihakan terjadi, maka yang dominan muncul dalampembahasan perubahan ekologi politik pada BabVI adalah perubahan ekologi (yang juga) akanterjadi kalau tambang pasir besi dibuka. Dandengan memberikan perhatian pada perubahanyang akan terjadi ini, maka penulis kemudianbanyak meluputkan perubahan ekologi yangtelah terjadi karena konflik panjang, terutamadengan TNI AD, seperti misalnya, perubahanorganisme karena adanya peristiwa penembakanpada 16 April 2011 dan ledakan mortir sebelumnya,serta perubahan landskap karena adanya pembangunanberbagai ornamen militer di sepanjanglahan pasir Urutsewu—menara pandang, tempatpeledakan peluru, rumah perlindungan, tempatuji coba alat berat seperti tank, dan kehadirangedung Dislitbang TNI AD itu sendiri di DesaSetrojenar.Perubahan-perubahan ekologi tingkat organisme-landskap seperti yang dipaparkan di atastidak mungkin tidak menimbulkan reaksi darimanusia-manusia yang tinggal di sekitarnya.Hampir dipastikan pula, sebagai bagian dari aksireaksitersebut, muncul satu kebiasaan baru yangmungkin dalam alunan waktu telah berubahmenjadi ko-evolusi, atau perubahan bersama, baikdi kalangan TNI AD, maupun di kalangan kelompokyang, untuk menyederhanakan penyebutan,tertindas seperti petani Urutsewu. Koevolusimacam apa dan sedalam mana yang telahmuncul, itu yang tetap menjadi misteri. Setidaknyabagi saya.Dari analisis seperti di atas, maka ke depanpenelitian yang harus dilakukan adalah melihatekologi politik dalam kerangka ruang ekologi danwaktu. Perubahan-perubahan apa yang terjadipada masa Kolonial, Kemerdekaan, Paska Kemerdekaan,’65-66, Orde Baru, dan Paska Reformasi.Dengan melakukan studi kronologislah kita akandapat melihat semakin jelas tentang kondisi alam,sosial, serta material praktis yang membentukkondisi sosio-alamiah Urutsewu masa kini besertasemua proses peminggiran yang menyertainya.Saya tidak bisa memandang enteng naskah ini.Meskipun, karena itu pula saya merasa tergodauntuk mempertanyakan arahnya. Sebagai manusia,saya percaya dengan apa yang saya baca pada“Konsepsi Kebudjaan Rakjat” bahwa “Kesenian,ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudajaan…Kesenian, ilmu dan industri baru bisamenjadikan kehidupan Rakjat indah, gembira danbahagia apabila semuanja ini sudah mendjadikepunjaan Rakjat.” Apakah naskah Devy ini sudahmenjadi “kepunjaan Rakjat”?Susah untuk menjawa pertanyaan ini. Namunsaya bisa menghadirkan satu hal yang saya anggap682 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014sebagai kebutuhan orang Urutsewu, setidaknyadalam perspektif subyektif pemahaman saya. Halini penting dimunculkan agar bisa terlihat lebihterang, apakah naskah Devy ini mengabdi kepadakepentingan masyarakat. Tentu saja kepentinganmasyarakat di sini lagi-lagi subyektif. Seseorangbisa mengajak berdebat. Namun, poin yang inginsaya sampaikan adalah, memberikan sebuahukuran terhadap naskah Devy berdasarkan kebutuhanmasyarakat.Dalam beberapa kali diskusi dengan para elitgerakan petani di Urutsewu, masalah yang sayarasa masih sangat susah dipecahkan sampaisekarang adalah bagaimana menghidupkanorganisasi petani di Urutsewu. Seperti halnyakebanyakan organisasi petani yang saya lihat—dan dengar tentangnya—di Jawa Tengah. Sayasampai pada beberapa poin pemikiran mengenaiorganisasi petani di Jawa Tengah, yaitu: 1)memilikisifat elitis dalam artian orangnya itu-itu saja dandengan demikian isu berputar di kalangan yangitu-itu juga; 2)hampir tidak ada kaderisasi; 3)tidakada agenda organisasi yang disusun bersama,misalnya agenda tahunan, dan dengan demikiantidak ada rapat-rapat kontinu; serta 4)kurangberdikari di bidang ekonomi.Naskah Devy ini, kita sadari atau tidak, belumlahmenyentuh apa yang saya anggap sebagaikebutuhan organisasi petani di atas. Dia barumenyentuh dan mengantarkan pembaca ke “halaman”permasalahan-permasalahan itu. Jadi,seandainya waktu bisa diputar mundur dan sayaditakdirkan menjadi kawan diskusi Devy dalamproses penyusunan skripsinya ini, maka saya akandengan sangat bersemangat menyarankan diamelakukan penelitian mendalam terhadap“ekologi politik-mikro organisasi petani diUrutsewu,” agar hasilnya juga menjawab permasalahan/kebutuhan organisasi petani seperti yangsaya sampaikan di atas. Andai itu terjadi, sependekyang dapat saya pahami, teks ini akan semakinbernas baik secara teoritis maupun praktis.Dari segi ekologi politik tambang pasir besi,saya merasa Devy melewatkan satu hal dengantidak membahas konteks global dan nasionalsurutnya perusahaan pasir besi di Urutsewudengan dicabutnya perizinan oleh TNI AD padaMei 2011. Dalam konteks global, tentu saja ini tidakbisa dipisahkan dari kecenderungan menurunharga bijih besi di pasaran dunia. Pada awal 2011bijih besi memiliki harga sekitar 175 Dollar AS perton, dan kecenderungan turun terus terjadihingga menginjak harga sekitar 80 Dollar AS perton pada medio 2014 (sumber:chartbuilderinfomine.com). Hal seperti ini jugaterjadi dengan ledakan permintaan komoditasmangan di Nusa Tenggara Barat (NTB) padaperiode 2008-10 dan kemudian menyusut seiringdengan menurunnya harga mangandunia danturunnya pertumbuhan ekonomi China ke bawah9%, setelah sebelumnya selama sepuluh tahunpada periode 2002-12 konsisten di atas 9%. Dalamkonteks ini, China adalah tujuan ekspor manganNTB.Di tingkat nasional, ini tentu saja tak bisadipisahkan dari konteks regulasi UU Minerba 4/2009 yang mewajibkan pembangunan pemurnian(smelter) untuk sektor industri ekstraktif. Meskipunkemudian hal ini dianulir kembali melaluiPeraturan Pemerintah (PP) 1/2014 yang menurunkankonsentrasi bijih ekstraksi yang dapatdieksport. Sebagai contoh, untuk pasir besi (jenispig iron) pada Peraturan Menteri Energi danSumber Daya Mineral(Permen ESDM) 7/2012yang merupakan “cucu” UU 4/2009 disebutkanpasir besi boleh dieksport dengan konsentrasikemurnian lebih dari 94% Fe; dan pada PermenESDM 1/2014 (“anak” dari PP 1/2014) dia diturunkanmenjadi e” 58% Fe.“Penganuliran” ini adalah hal yang lain, yangpenting diperhatikan di sini adalah kewajibanpeningkatan nilai tambah komoditas ekstraksidan penyerapan tenaga kerja lokal melalui pembangunansmelter telah membuat dinamikaBosman Batubara: Rantai Komoditas, Kewajiban Ilmu, dan Konflik ...: 680-683 683industri ekstraksi berubah ke arah ketakutankalangan industri tidak mampu memenuhikualif ikasi yang dikeluarkan oleh pemerintahmelalui UU Minerba 4/2009 (dan peraturan turunannya)sebelum ia kemudian dianulir sepertiyang dijelaskan di atas.Poin saya membawa dua variabel global dannasional ini, sebagai tambahan terhadap angkakebutuhan besi yang tinggi dan disebut sebagaipemicu munculnya berbagai Izin Usaha Pertambanganpasir besi di Indonesia oleh Devy, inginmenunjukkan bahwa logika yang sama bisa ditautkanmengapa aktivitas ini menyurut belakangan.Tentu saja tanpa menapikan bahwa adaperlawanan di tingkat lokal seperti yang digalangberbagai kelompok petani di Urutsewu. Dengandemikian, kita bisa melihat lebih jelas antarahubungan “skala” global, nasional, dan lokal dalamrantai produksi komoditas pasir besi, atau yangoleh Devy disebut sebagai kapitalisme global.Untuk menyimpulkan sumbangan teoritisbuku ini, dengan demikian, adalah kemampuannyamemicu pertanyaan tentang: 1)politik ekologikonflik agraria di Urutsewu dalam rentang temporalyang lebih panjang (sejak 1830-an) hinggasekarang dalam berbagai bentuk eskalasi—deeskalasinyakarena perubahan komoditas; 2)memetakan kebutuhan yang lebih konkret organisasi-organisasi petani dengan mengasumsikanbahwa ilmu seharusnya adalah “kepunjaan Rakjat”;dan 3)memperlihatkan secara gamblang hubungan“skala” (global, nasional, dan lokal) dalamrantai produksi komoditas. Dan rasanya, inilahtugas peneliti berikutnya.

Page 1 of 20 | Total Record : 194