cover
Contact Name
Arnis Duwita Purnama
Contact Email
jurnal@komisiyudisial.go.id
Phone
+628121368480
Journal Mail Official
jurnal@komisiyudisial.go.id
Editorial Address
Redaksi Jurnal Yudisial Gd. Komisi Yudisial RI Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Yudisial
ISSN : 19786506     EISSN : 25794868     DOI : 10.29123
Core Subject : Social,
Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal berskala internasional. Misi: 1. Sebagai ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. 2. Membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 249 Documents
PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI TANPA DIDAKWAKAN DALAM PERSPEKTIF ”VICARIOUS LIABILITY” Budi Suhariyanto
Jurnal Yudisial Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i1.68

Abstract

ABSTRAKKorporasi telah ditetapkan sebagai subjek tindak pidana, maka terhadapnya dapat dituntutkan pertanggungjawaban pidana. Sebagai subjek hukum, korporasi juga ditentukan mekanisme pemidanaannya mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum acara dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan. Permasalahannya bagaimanakah eksistensi pemidanaan korporasi menurut hukum acara pidana di Indonesia, dan bagaimanakah pemidanaan korporasi dalam praktik penegakan hukum, serta bagaimana putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif vicarious liability? Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif vicarious liability, korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perilaku seseorang yang secara personifikasi mewakili korporasi sehingga dapat dijatuhkan putusan pemidanaan.Kata kunci: putusan pemidanaan, pemidanaan korporasi, vicarious liability.ABSTRACTA corporation has been set as the subject of criminal offense, and so criminal liability on this subject is enforceable by law. As the subject of law, a corporation has its own mechanism in term of criminal liability, starting from investigation process, prosecution and examination before trial. The Supreme Court Decision Number 2239 K/PID.SUS/2012 overruled the ordinances of the procedural law by imposing a sentencing decision against a corporation without charges. The problems are: how does the corporate criminal liability exist according to the criminal procedural law in Indonesia, and how is the corporate criminal liability implemented in the practices of law enforcement, as well as how is the corporate criminal liability without charges examined through the perspective of vicarious liability? Normative research method is applied in responding to this problem. Three approaches to examine these problems are the statutory regulations, the case-based, and conceptual approaches. The analytical method applied to come to the conclusion of the issues discussed is through the qualitative juridical analysis. The results of discussions deduce that in the perspective of vicarious liability, a corporation is liable for the criminal conduct of a person who is in personification of the corporation and may be subject to corporate criminal liability.</p>Keywords: sentencing decision, corporate criminal liability, vicarious liability.
INKONSISTENSI LOGIKA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Widiada Gunakaya
Jurnal Yudisial Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v4i2.194

Abstract

ABSTRACTThe court decision as final phase of enforcement and application of law, as a normative it is properly to reflect material truth, justice values, utility and it has legal certainty will as. In connection with the decision court of BMS No.44/Pid.B/2008/PN.Bms, the accused has been stated proved guilty committed "the criminal act of corruption as a continuous" with the State suffered losses as much as 117.535.350 IDR. According the verdict, The court decision has been applicated the provisions of Article 197 Paragraph (1) regarding Law of criminal procedure in general. Yet in connection with substantive criminal law, the court was not applicate as a truth the elements of unlawfulness (actus reus) and criminal liability (men rea) as conditional sentence. Legal reasoning likewise, was not excute as a systematical and logical yet, including the values of justice was not fulfil appreciate in the court decision anyway.Keywords : criminal act, criminal liability, material unlawfulness, certain of law, and justice ABSTRAKPutusan pengadilan merupakan akhir dari penegakan dan penerapan hukum yang secara normatif mengandung kebenaran materiil, kejujuran, nilai keadilan, manfaat dan kepastian hukum. Dalam keterkaitan dengan putusan pengadilan No.44/Pid.B/2008/PN.Bms, menyatakan terdakwa bersalah melanggar ketentuan korupsi dimana negera dirugikan sebesar Rp. 117.535.350,-. Merujuk pada putusan tersebut, secara umum putusan pengadilan mengaplikasikan pasal 197 Paragraph (1) dalam hukum acara pidana. Meski sudah terkait dengan hukum pidana substantif, pengadilan belum mengaplikasikan unsur-unsur unlawfulness atau actus reus, dan pertanggungjawaban pidana sebagai pertimbangan hukuman. Dasar hukum yang digunakan belum mengendepankan logika dan sistematis, termasuk nilai-nilai keadilan dalam putusan pengadilan. Kata kunci: hukum kejahatan, pertanggungjawaban pidana, bukti yang tidak syah, kepastian hukum, keadilan
PEMBUKTIAN PERKARA KARTEL DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) Udin Silalahi; Isabella Cynthia Edgina
Jurnal Yudisial Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i3.216

Abstract

ABSTRAKDalam rangka membuktikan terjadinya pelanggaran Pasal 5 (kartel harga), Pasal 9 (kartel wilayah pemasaran), dan Pasal 11 (kartel produksi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, masing-masing pasal mensyaratkan pemenuhan unsur perjanjian. Namun demikian karena kartel biasanya dilakukan secara diam-diam, maka KPPU membutuhkan bukti tidak langsung untuk membuktikan adanya perjanjian kartel di antara pelaku usaha. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana penetapan pasar bersangkutan oleh KPPU dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 dihubungkan dengan Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009; dan 2) bagaimana penggunaan bukti tidak langsung oleh KPPU dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa KPPU tidak konsisten dalam menetapkan pasar bersangkutan dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014. Di samping itu dalam membuktikan dan memutuskan terjadinya pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU hanya menggunakan bukti tidak langsung. Dalam Putusan Nomor 294 K/PDT.SUS/2012, majelis hakim kasasi menolak penggunaan bukti tidak langsung. Sedangkan dalam Putusan Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016, majelis hakim menerima penggunaan bukti tidak langsung. Namun demikian dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim tidak dimuat dasar hukum tentang diterimanya bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Di samping itu tidak pula dimuat pertimbangan hukum tentang prinsip pembuktian yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam memutus pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.Kata kunci: kartel, pasar bersangkutan, bukti tidak langsung.ABSTRACTIn order to prove the violation of Article 5 (price cartel), Article 9 (allocation of territory cartel), and Article 11 (production cartel) of Law Number 5 of 1999, each article requires the fulfillment of agreement element. However since the cartels between the businesses actors are conducted in silent, therefore the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) needs an indirect evidence to prove the existence of cartel agreement between them. The concerns of this analysis are 1) how the KPPU determines the relevant market based on the KPPU&rsquo;s Decision Number 17/KPPU-I/2010 and Decision Number 08/KPPU-I/2014 in relation to KPPU Regulation Number 3 of 2009, and 2) how the evidentiary process using indirect evidence by the KPPU based on Decision Number 17/KPPU-I/2010 and Decision Number 08/KPPU-I/2014 in relation to Law Number 5 of 1999. The research method of this analysis is normative legal research by using legal approach, case study approach and conceptual approach. The end result shows that KPPU is inconsistent to determine the relevant market on the Decision Number 17/KPPU-I/2010 and the Decision Number 08/KPPU-I/2014. In addition, KPPU only uses indirect evidence to prove the violation of Law Number 5 of 1999. The Supreme Court through the Court Decision Number 294 K/PDT.SUS/2012 rejects the using of indirect evidence while through the Court Decision Number 221K/PDT.SUS-KPPU/2016 the Supreme Court accepts the indirect evidence. However, in the legal considerations the judges do not contain the legal basis on the receipt of indirect evidence as evidence in Law Number 5 of 1999. Besides, the consideration of the Supreme Court does not contain the principle of evidentiary process which requires at least two valid evidences to prove the violation of Law Number 5 of 1999.Keywords: cartel, relevant market, indirect evidence.
PENGUATAN SISTEM PERADILAN PIDANA MELALUI KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN Riki Afrizal
Jurnal Yudisial Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v13i3.386

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 109 ayat (1) KUHAP tentang kewajiban penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor, korban/pelapor dalam jangka waktu tujuh hari. Putusan ini menegaskan bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum yang sebelumnya tanpa kepastian, sehingga sering terjadi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan disampaikan secara bersamaan dengan berkas perkara dan koordinasi antara kedua lembaga penegak hukum baru terlihat pada saat itu. Permasalahan pada penulisan ini adalah bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi berkaitan dengan kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana serta bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap sistem peradilan pidana terpadu. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim konstitusi dalam putusannya menjelaskan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP terdapat ketidakpastian mengenai koordinasi antara penyidik kepolisian dan penuntut umum. Ketidakpastian akan berpengaruh kepada mekanisme checks and balances dalam proses peradilan pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi khsususnya terhadap pengujian Pasal 109 ayat (1) KUHAP memberikan kejelasan dan kepastian hukum mengenai kewajiban penyidik untuk menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam jangka waktu tujuh hari kepada penuntut umum. Putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi semakin diperkuatnya keterpaduan dalam sistem peradilan pidana antara subsistem kepolisian dengan subsistem kejaksaan.Kata kunci: sistem peradilan pidana terpadu; penyidikan; surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. ABSTRACT Constitutional Court Decision Number 130/PUU-XIII/2015 examines Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure concerning the obligation to submit notification of the investigator's commencement by investigators to the public prosecutor, reported, victim/reporter within seven days. This decision confirms that the notification of the investigator's commencement to the public prosecutor was previously uncertain. It often happened that the notification of the investigator's commencement was delivered simultaneously with the case les, and coordination between the two law enforcement agencies was only visible at that time. This writing problem is how the constitutional judge considerations are related to legal certainty in the criminal justice system and the Constitutional Court Decision's implications on the integrated criminal justice system. The research method used is normative legal research with a case study approach. The results showed that the constitutional judge consideration in their decisions explained that the uncertainty was in Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure regarding the coordination between police investigators and public prosecutors. Uncertainty will affect the checks and balances mechanism in the criminal justice process. The Constitutional Court's Decision regarding the review of Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure provides clarity and legal certainty regarding investigators' obligation to submit a notification letter for the commencement of investigation within seven days to the public prosecutor. The Constitutional Court's Decision has implications for strengthening integration in the criminal justice system between the police subsystem and the prosecutors' subsystem. Keywords: integrated criminal justice system; investigation; notification of the investigator's commencement.
MENCARI JARUM ‘KAIDAH’ DI TUMPUKAN JERAMI ‘YURISPRUDENSI’ Shidarta Shidarta
Jurnal Yudisial Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v5i3.128

Abstract

ABSTRAKAda demikian banyak putusan hakim yang diberi label ‘yurisprudensi’. Sebuah yurisprudensi harus memuat kaidah yang mengandung penemuan hukum di dalamnya. Selain itu, kaidah yurisprudensi itupun harus memiliki nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber formal hukum. Dalam tulisan ini, secara arbiter telah dipilih satu putusan Mahkamah Agung yang di dalam situs resmi MA dinyatakan sebagai yurisprudensi. Oleh karena tidak ditemukan rumusan kaidah yurisprudensinya, maka dalam tulisan ini dilakukan upaya identifikasi terhadap kaidah tersebut. Hasil dari identifikasi tersebut paling tidak telah menemukan empat proposisi yang termuat dalam premis mayor sejumlah silogisme dan keempat proposisi ini dapat dianggap sebagai kaidah yurisprudensi tersebut. Sayangnya, kaidah-kaidah yang teridentifikasi inipun belum mampu menunjukkan kualitas suatu yurisprudensi karena ketiadaan penemuan hukum yang berkontribusi signifikan bagi khazanah sumber formal hukum. Kata kunci: yurisprudensi, kaidah yurisprudensi, penemuan hukum.ABSTRACTThere are so many judge-made laws regarded as precedential decisions. Any precedential decision should contain certain norms derived through a law-making process (rechtsvinding). Such norms of precedent should contribute ‘added values’ to the collection of formal legal sources. In this article, the author arbitrary chooses one of supreme-court decisions downloaded from the official website of the Indonesian Supreme Court (MA). The decision has been labelled as ‘precedential decision’ butwithout any statement of the precedential norm. Having identified the decision, the author of this article provides at least four propositions depicted from all major premises of four syllogisms. These propositions can be considered norms of precedent. Regrettably, all of them fail to demonstrate the quality of a precedential decision since the lack of law-making contribution to the formal legal sources.Keywords: precedential decision, norm of percedent, law making.
KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK DALAM SENGKETA TANAH Fahmi Yanuar Siregar
Jurnal Yudisial Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v9i3.15

Abstract

ABSTRAKObjek pembahasan dalam kajian putusan ini adalah Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps yang memutus perkara sengketa sertipikat ganda yang mengakibatkan tidak adanya kepastian atas kepemilikan sebidang tanah. Penulisan kajian putusan ini menggunakan metode penelitian eksplanatoris dengan berdasar kepada penilaian atas objek yang pantas untuk diteliti dan memilih kajian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 25 Agustus 2014 tersebut, setelah dilakukan observasi secara berkala terhadap proses hukum sampai dijatuhkan putusan. Kajian ini menggarisbawahi bahwa salah satu tugas pokok pengadilan adalah untuk menyelesaikan sengketa terhadap perkara yang ditangani dan memberikan manfaat positif terhadap para pihak. Dalam penyelesaian sengketa, majelis hakim harus menjatuhkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan dan harus mempertimbangkan sisi kemanfaatan. Putusan yang dijatuhkan idealnya dapat memberikan manfaat yang positif, bukan malah menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat supaya putusan yang dibuat oleh majelis hakim yang terhormat dapat berwibawa dan bijaksana. Namun Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps telah berdampak buruk terhadap para pihak. Dalam menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak ternyata Pengadilan Negeri Denpasar tidak memutus pada pokok permasalahan, akan tetapi malah mengesahkan alasan-alasan terjadinya perbuatan hukum. Sehingga, putusan yang dikeluarkan tidak menyelesaikan permasalahan antara para pihak, akan tetapi mengembalikan perkara kepada keadaan sebelum diajukan ke pengadilan.Kata kunci: sertipikat hak milik, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum.ABSTRACTThe object of the discussion in this analysis is Court Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps ruling a dispute of double certificates of freehold titles resulting in lack of certainty over the ownership of a plot of land. This analysis uses explanatory research method, which is based on the assessment of the appropriateness of objects to discuss, then defines the object of study for analysis, that is the Denpasar District Court’s Decision issued on 25 August 2014, after regular observation of the proceedings until the judge pass the decision. This analysis underlines that one of the main tasks of the courts is to resolve disputes in the case and put forward positive benefits to the parties. In the resolution of the dispute, the judge should reflect and regard a sense of justice and expediency in the decision. The decision imposed should ideally provide definite benefits rather than a negative impact on the society, in order that the decision made by the panel of honorable judges would be dignified and expedient. However, the Decision Number25/Pdt.G/2014/PN.Dps has adversely affected the parties. In resolving case filed by the parties, Denpasar District Court in fact did not make up mind the issue, but only validates the reasons for legal actions. Thus, the decision issued does not solve the problem between the parties, but in fact restore the case to the condition prior to submission to the court. Keywords: freehold title, expediency, justice, legal certainty.
PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI Stanislaus Atalim
Jurnal Yudisial Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v4i3.185

Abstract

ABSTRACTAbortion remains one of social, legal, and moral issues most hotly debated. Each perspective presents powerful pro-con arguments. The pro-life and moral arguments emphasize on preserving human life or giving absolute priority to the life of the unborn fetus and even over the life of the mother. However, pro-social choice group argues that a woman should have a right to control her body includes her pregnancy. In Indonesia, abortion is legally permitted at any rate with some exceptions. In judging abortion cases, the court or panel of judges must take account of moral reasoning as the other side of his argument and must not limit only accordance with legal reasoning. This article presents the other side of legal argument, that is moral argument which can be regarded as lex generalis, while legal argument as lex specialis. Hence, there is a mutual connection between legality and morality especially in abortion cases.Keywords: abortion, legal reasoning, moral reasoning ABSTRAKAbsorsi menjadi salah satu perdebatan hangat dengan isu moral yang berdimensi sosial dan hukum, dimana setiap pandangan memiliki argumen yang berbeda satu dengan yang lain. Bagi kaum pendukung moral dan kehidupan memiliki argumen untuk memberikan kehidupan secara mutlak bagi bayi sama halnya dengan sang ibu. Sementara, kaum sosial berargumen bahwa perempuan memiliki hak untuk mengkontrol tubuhnya termasuk kehamilannya. Di Indonesia, aborsi secara hukum dilarang dengan beberapa pengecualian. Dalam kasus putusan aborsi, hakim seharusnya tidak hanya mengunakan argument hukum saja. Dalam tulisan ini memperlihatkan sisi di luar aspek hukum seperti aspek moral dianggap lex generalis, seemntara aspek hukum sebagai lex specialis. Oleh sebab itu, di sana terdapat mutual connection antara aspek hukum dan moral dalam kasus aborsi.Kata kunci: aborsi, alasan hukum, alasan moral
PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA BERBASIS METODE ANTINOMI NILAI DALAM PENEGAKAN HUKUM Ali Imron
Jurnal Yudisial Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v8i2.54

Abstract

ABSTRAKBercermin pada putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014 yang mengadili konflik agraria di Desa SS, dapat dipetik suatu pelajaran betapa lemahnya peran pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum yang visioner dalam melindungi kelompok masyarakat petani yang tidak berdaya. Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR, presiden, dan lembaga yudikatif (pengadilan), yaitu pertama, menjalankan pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Amanah tersebut menginspirasi pengadilan agar dalam menyelesaikan konflik agraria, bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, tetapi melalui paradigma hukum progresif yang mengedepankan keadilan substansial. Berpegang pada prinsip kebebasan hakim dalam penegakan hukum, peluang terbuka lebar untuk memadukan ketegangan–melalui metode antinomi- nilai antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan, agar lebih mengedepankan nilai manfaat bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh kekuatan dan kekuasaan pemodal besar di dalam kancahkonflik agraria.Kata kunci: konflik agraria, antinomi nilai, penegakan hukum. ABSTRACTCourt Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag issued on November 25, 2014, which tried the case of agrarian disputes in SS, reflects the poor role of the judiciary asthe law enforcement agency whose vision is to protect helpless the society group of farmers. The People’s Consultative Assembly Decree Number IX of 2001 hasgiven a clear mandate, addressed both to the House of Representatives, the president, and the judicial agency (courts), that are firstly, to implement the agrarian reform,and secondly, to uphold the equitable and sustainable principles of natural resources management. The mandate inspires the courts to not only rely on legalism/formalism in resolving agrarian disputes, but also on the progressive law paradigm which promote substantial justice. Adhering to the principle of independence of judiciary in law enforcement, chances are wide open to chime strain value -through a method of antinomybetween the demands of legal certainty and the demands of justice, which emphasizes value of merit o the communities marginalized by the authority and powerof the capitalists in the arena of agrarian disputes. Keywords: agrarian disputes, antinomy of values, law enforcement.
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Hariman Satria
Jurnal Yudisial Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i2.18

Abstract

ABSTRAKMahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup. ABSTRACTSupreme Court convicted PT KA represented by SR as the President Director, through Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally damaging forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,- The problem addressed in this research analysis is how the implementation of corporate criminal liability in environmental crime related to additional criminal charges, in the form of compensation for environmental damage caused? The method used is a normative legal research, focusing on two approaches: case and conceptual approaches. The results indicated that corporate criminal liability has not performed optimally for three reasons. First, the defendant is subject to minimal criminal sanction as mentioned in Article 108 of Law on Environmental Protection and Management. Second, the defendant is not subject to sanction of disciplinary action, such as the restoration of state financial losses. Third, the defendant is also not  subject to additional criminal charges. As a result, a quo decision is not maximal both in terms of state financial losses recovery and criminal sanction of fines to the offender.Keywords: additional charges, criminal liability, corporate, environment.
PENGGUNAAN SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014 DALAM PENOLAKAN PENINJAUAN KEMBALI Riki Yuniagara
Jurnal Yudisial Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v13i2.411

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 telah mengubah ketentuan mengenai peninjauan kembali, sehingga sekarang upaya hukum itu dapat dilakukan berkali-kali. Namun Putusan Nomor 144 PK/Pid.Sus/2016 menolak permohonan peninjauan kembali yang kedua kali. Pertimbangan hakim berpijak pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya boleh satu kali. Permasalahannya adalah apakah sudah tepat penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 untuk dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 144 PK/Pid.Sus/2016, sehingga menolak permohonan peninjauan kembali yang kedua kali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 144 PK/Pid.Sus/2016, sehingga menolak permohonan peninjauan kembali yang kedua kali adalah tidak tepat, mengingat dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor 144 PK/Pid.Sus/2016 bukanlah produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Surat edaran itu tidak memilik daya ikat, namun hanya sebatas peraturan kebijakan yang pembentukannya berdasarkan asas freies ermessen, yang secara konsep pembentukannya tidak boleh bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013 yang membolehkan pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali.Kata kunci: putusan Mahkamah Konstitusi; peninjauan kembali; surat edaran Mahkamah Agung. ABSTRACT The Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 has changed the provision regarding extraordinary appeal, so that now the legal remedies can be carried out many times. However, Decision Number 144 PK/Pid. Sus/2016 rejected the request for a second review. The judge’s consideration rests on the Supreme Court Circular Letter Number 7 of 2014, which limits the application for a review of only one time. The question sees if it is appropriate to use the Supreme Court Circular Letter Number 7 of 2014 to be considered by the panel of judges in the Decision Number 144 PK/Pid.Sus/2016, thus rejecting the request for a second review. This study uses a normative juridical research method. The results of the study demonstrate that the use of the Supreme Court Circular Letter Number 7 of 2014 which was used as the basis for the judge’s consideration in the Decision Number 144 PK/Pid.Sus/2016, so rejecting the request for a second review is inappropriate, considering the legal considerations used by the judge in Decision Number 144 PK/Pid.Sus/2016 is not a product of statutory regulations, as stipulated in Articles 7 and 8 of Law Number 12 of 2011. The circular does not have binding power, but only limited to policy regulations which its formation is based on the principle of freies ermessen, which conceptually its formation may not con ict with the Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 which allows submission of reconsiderations more than once.Keywords: Constitutional Court decision; extraordinary appeal; Supreme Court circular letter.  

Page 2 of 25 | Total Record : 249


Filter by Year

2010 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 16 No. 1 (2023): - Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD Vol 15, No 2 (2022): HUKUM PROGRESIF Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA Vol 12, No 2 (2019): ACTA NON VERBA Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU Vol 11, No 2 (2018): IN CAUSA POSITUM Vol 11, No 1 (2018): IUS BONUMQUE Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS" Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA Vol 7, No 3 (2014): LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL Vol 7, No 1 (2014): CONFLICTUS LEGEM Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM Vol 4, No 1 (2011): INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI More Issue