cover
Contact Name
Arnis Duwita Purnama
Contact Email
jurnal@komisiyudisial.go.id
Phone
+628121368480
Journal Mail Official
jurnal@komisiyudisial.go.id
Editorial Address
Redaksi Jurnal Yudisial Gd. Komisi Yudisial RI Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Yudisial
ISSN : 19786506     EISSN : 25794868     DOI : 10.29123
Core Subject : Social,
Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal berskala internasional. Misi: 1. Sebagai ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. 2. Membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 249 Documents
SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Antoni Putra
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.425

Abstract

ABSTRAKMahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan melakukan pengujian undang undang terhadap UUD NRI 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat, serta sifat berlakunya sesuai dengan asas erga omnes. Itu artinya, terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi telah tertutup segala bentuk upaya hukum dan harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh Mahkamah Agung. Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 yang pada prinsipnya membolehkan peninjauan kembali dilakukan lebih dari satu kali, Mahkamah Agung tidak mematuhinya. Pasca putusan tersebut, Mahkamah Agung justru menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Tulisan ini mengkaji mengenai sifat final dan mengikat serta sifat berlaku sesuai asas erga omnes dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian normatif dan pembahasannya diawali dengan analisis tentang kepatuhan Mahkamah Agung terhadap putusan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan analisis akibat hukum dari pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa sifat final dan mengikat dari putusan ini tidak berjalan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.Kata kunci: final dan mengikat; erga omnes; akibat hukum.ABSTRACTThe Constitutional Court is a judicial body with the authority to conduct judicial review of the 1945 Constitution. Its decisions are final and binding and apply according to the principle of erga omnes. That means, the Constitutional Court’s decision is closed to all forms of legal remedies and is enforced for anyone, including the Supreme Court. However, the Supreme Court did not comply with the Constitutional Court Decision Number 34/PUUXI/2013 which essentially allowed the extraordinary request for case review to be carried out more than once. After the decision was made, the Supreme Court instead issued a Supreme Court Circular Number 7 of 2014 concerning the Submission of Extraordinary Requests for Review in Criminal Cases, stating that request of case review in criminal cases are limited to one time only. This has created confusion for law enforcement officials and justice seekers. This analysis observes the final and binding nature as well as the conformity of the erga omnes principle from the decision of the Constitutional Court Number 34/PUU-XI/2013. The research was conducted using a normative research method and the discussion begins with an analysis of the Supreme Court’s compliance with the decision, followed by an analysis of the legal consequences of neglecting the Constitutional Court’s Decision Number 34/PUU-XI/2013. Therefore, it can be concluded that the final and binding nature of this decision is not effective, causing legal uncertainty. Keywords: final and binding; erga omnes; law effect.  
KEBERADAAN PIHAK KETIGA WUJUD KEADILAN HUKUM DALAM GUGATAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Ikhsan Azhar
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.494

Abstract

ABSTRAKKeberadaan pihak ketiga sebagai pihak pengaju gugatan perkara tata usaha negara merupakan wujud keadilan yang tidak berkepastian di dalam lingkup hukum tata usaha negara. Dikatakan demikian karena di dalam ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, dan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ditemukan satu norma yang menyebutkan pihak ketiga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Berbagai ketentuan tersebut hanya mengakui seseorang atau badan hukum perdata yang nama tertera di dalam keputusan badan atau pejabat tata usaha yang merasa dirugikan dengan adanya keputusan tata usaha negara sebagai pihak yang berhak mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan di atas, dilakukan penelitian dengan metode penelitian normatif. Metode penelitian seperti demikian, merupakan metode penelitian yang menggunakan jenis data sekunder berupa  bahan hukum, dan alat pengumpulan data studi kepustakaan. Dari hasil analisis datanya, diperoleh simpulan majelis hakim Putusan Nomor 41/K/TUN/1994 dapat dikatakan merupakan majelis hakim yang telah memutus dengan menerapkan prinsip keadilan. Disebut seperti demikian karena majelis hakim kasasi telah memperluas makna untuk kategori pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya keputusan tata usaha negara. Perluasan dalam putusan ini adalah para pihak tidak “hanya” berlaku bagi pihak-pihak yang disebutkan dalam surat keputusan tata usaha negara, tapi oleh pihak lain (pihak ketiga) yang memang beranggapan bahwa hak-haknya juga dirugikan dengan ditetapkannya surat keputusan tata usaha negara.Kata kunci: surat keputusan tata usaha negara; pihak ketiga; keadilan. ABSTRACTA third party who files a lawsuit in a State Administration case is a form of uncertainty in justice within the scope of State Administration Law. This is because in the provisions of Article 55 of Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Courts, Article 1 number 3 of Law Number 5 of 1986 in conjunction with Article 1 point 9 of Law Number 51 of 2009, Article 1 point 4 of Law Number 5 of 1986 in conjunction with Article 1 number 10 of Law Number 51 of 2009, and Article 53 paragraph (1) of Law Number 5 of 1986, there is not a single norm affirming that third parties could file a lawsuit to the state administrative court. These various provisions only recognize a person or civil legal entity listed in the state administrative decree who is impaired as the party entitled to file a lawsuit to the administrative court. A normative research method was used to elaborate the problems. This method explores secondary data in the form of legal materials, and reference library research data collection tools. The data analysis draws a conclusion that the panel of judges in Decision Number 41/K/TUN/1994 are assumed to be a panel of judges that has decided on the principle of justice. It is for the reason that the cassation panel of judges has expanded the meaning to the category of parties who feel aggrieved by the state administrative decree. The expansion in this decision is that the parties do not “only” apply to the parties mentioned in the state administrative decree, but by other parties (third parties) who consider their rights are also impaired by the issuance of the state administrative decree.Keywords: state administrative decree; third party; justice.
‘UQUBAT TERHADAP JARIMAH ZINA YANG MELIBATKAN ANAK Mansari mansari; Ahmad Fikri Oslami; Zahrul Fatahillah
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.436

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 02/JN/2018/MS.Mbo hanya menjatuhkan ‘uqubat bagi pelaku laki-laki dewasa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan zina dengan anak. Padahal prinsip utama dalam zina adalah adanya dua pihak yang secara suka rela melakukan hubungan intim di luar perkawinan sah. Persoalan utama kajian ini adalah apakah anak dalam Putusan Nomor 02/JN/2018/MS.Mbo dapat dijatuhkan ‘uqubat zina, dan mengapa hakim tidak menjatuhkan ‘uqubat bagi anak dalam Putusan Nomor 02/JN/2018/MS.Mbo. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang berusaha memberikan penilaian terhadap putusan tersebut. Bahan hukum primer yang digunakan Putusan Nomor 02/JN/2018 /MS.Mbo. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan menelaah literatur perpustakaan. Analisis data dilakukan secara preskriptif dengan tujuan memberikan penilaian terhadap putusan tersebut dengan menggunakan kaidah dan asas-asas dalam ilmu hukum dan hukum Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dalam Putusan Nomor 02/JN/2018/MS.Mbo dapat dijatuhi dengan ‘uqubat hudud, karena terbukti secara suka rela melakukan perbuatan zina, dan anak telah berumur 16 tahun yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya. Alasan hakim tidak menjatuhkan ‘uqubat bagi pelaku anak dikarenakan beberapa faktor, yaitu: anak dianggap sebagai korban, penuntut umum tidak mengajukan dakwaan dan penuntutan terhadap pelaku anak, dan pengetahuan hakim terhadap otoritasnya untuk meminta penjelasan kepada penuntut umum melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang diadili masih kurang.Kata kunci: qanun hukum jinayat; ‘uqubat; jinayah; hudud. ABSTRACTThe Decision Number 02/JN/2018/MS.Mbo only imposes ‘uqubat (punishment) for adult male perpetrators who is proven guilty of committing adultery with a girl. Whereas, the main principle of adultery is voluntary sexual intercourse between two parties outside of legal marriage. The main issue of this study is whether the girl in Decision Number 02/JN/2018/MS.Mbo can be imposed of an adultery ‘uqubat and why the judge didn’t impose the ‘uqubat for the girl in Decision Number 02/JN/2018/MS.Mbo. The author uses a normative juridical research method to assess the decision. The Decision Number 02/JN/2018/MS.Mbo is the primary legal material. The secondary legal materials were acquired by reviewing library literature. The data were analyzed prescriptively, intending to assess the decision using the rules and principles in the science of law and Islamic law. The study results show that the girl in Decision Number 02/JN/2018/MS.Mbo can be sentenced with ‘uqubat hudud because it was proven that she voluntarily committed adultery. The girl is 16 years old and can be asked for responsibility for her actions. The judges did not impose ‘uqubat for the girl due to several factors, namely: the girl was considered as a victim, the prosecutor didn’t submit an indictment and criminal charge against the girl, and a lack of the judge’s knowledge of their authority to ask for an explanation to the public prosecutor in carrying out investigations and prosecutions for the cases that related to the case that was being tried.Keywords: qanun jinayat law; ‘uqubat (punishment); jinayah (crime); hudud.
PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI PENELANTARAN RUMAH TANGGA Fitriani Fitriani
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.448

Abstract

ABSTRAKMenurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku penelantaran rumah tangga adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah. Penjatuhan pidana penjara kepada pelaku sangat tidak efektif apabila dilihat dari tujuan Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah penjatuhan pidana penjara kepada pelaku penelantaran rumah tangga dalam Putusan Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN.Lrt dapat menimbulkan dampak bagi korban tindak pidana penelantaran rumah  tangga? Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan pidana penjara kepada pelaku selama tiga bulan dinilai belum tepat. Dalam pertimbangannya hakim belum sepenuhnya melihat fakta-fakta yang terdapat dalam persidangan, dan tidak memperhatikan ketentuan Pasal 4 huruf d Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Selain itu penjatuhan pidana penjara dapat memberikan dampak negatif bagi terdakwa dan korban, baik yang bersifat teknis maupun yang bersifat filosofis, pidana penjara memiliki banyak kelemahan karena sifat pidana penjara membatasi kemerdekaan bergerak. Apabila pelaku dijatuhi pidana penjara maka akan membuat korban semakin terlantar. Seharusnya hakim lebih mengupayakan mediasi dan ganti kerugian, sehingga korban tidak terlantar dengan dijatuhi terdakwa pidana. Dampak bagi korban dapat mengalami kekerasan psikologis, yaitu perasaan terancam, tidak aman, tidak terlindungi, perasaan khawatir, cemas, takut dan bisa berkembang menjadi trauma yang menghalangi dan menghambat aktivitas korban.Kata kunci: penelantaran rumah tangga; mediasi penal; dampak pidana penjara. ABSTRACTAccording to Article 49 of Law Number 23 of 2004 on the Elimination of Domestic Violence, the punishment that may be imposed on perpetrators of criminal cases of domestic negligence is a maximum of 3 (three) years imprisonment or a fine of up to fifteen million rupiahs. The imposition of imprisonment on perpetrators is so futile, in view of the purpose of Article 4 letter d of the Law. On that basis, the problem formulated in this paper is whether the imposition of imprisonment on the perpetrators of domestic negligence case in Decision Number 20/Pid.Sus/2019/PN.Lrt can lead to a certain impact on the victims. The research method used in this analysis is a normative juridical research method or library research. The results show that the imposition of three months imprisonment on the perpetrators is considered inapt. The facts in the trial sessions and the provisions of Article 4 letter d of the Law on the Elimination of Domestic Violence have not yet been fully well-thought-out by the judges in the consideration. In addition, the imposition of imprisonment can lead to negative impacts on the defendant and the victim, both technically and philosophically. Imprisonment has many drawbacks given that it limits freedom of movement. If the perpetrator is sentenced to prison, the victim will be yet more neglected. The judge should have sought more mediation and compensation, so that the victim was not neglected as a result of the defendant’s conviction. The impact on victims includes experiencing psychological violence, such as feelings of being threatened, insecure, unprotected, worried, anxious, and afraid, which can develop into trauma that causes inhibition of the victim’s activities.Keywords: domestic negligence; penal mediation; imprisonment impact. 
LEGAL STANDING LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT ATAU ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGAJUAN PRAPERADILAN Ramiyanto Ramiyanto; Silfy Maidianti
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.462

Abstract

ABSTRAKPraperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan perkara pidana di Indonesia saat ini dapat diajukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) yang bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012, LSM/ORMAS yang mengajukan praperadilan harus memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dengan masyarakat yang diwakili, yaitu memperjuangkan kepentingan umum. Pada tataran praktis, tidak semua pengajuan praperadilan oleh LSM/ORMAS diterima pengadilan sebagaimana terlihat dalam Putusan Nomor 1/Pid.Prap/2019/PN.Skt dan Nomor 111/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Rumusan penelitian ini, yaitu bagaimana pertimbangan hakim dalam kedua putusan tersebut? Apakah penafsiran hakim sudah tepat terkait dengan penentuan legal standing LSM/ORMAS? Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa legal standing LSM/ORMAS dalam pengajuan praperadilan ditentukan oleh tiga hal (syarat), yaitu: harus berbadan hukum, mempunyai kepentingan, dan memiliki kegiatan atau usaha nyata. Di antara ketiga hal (syarat) ini, yang menjadi perdebatan adalah mengenai kriteria kepentingan. LSM/ORMAS menurut hakim dalam Putusan Nomor 111/Pid/Prap/2017/PN.Jkt/Sel harus memiliki kepentingan dan tujuan tertentu serta ada kesamaan dengan perkara yang diajukan praperadilan. Kriteria tersebut tidak digunakan hakim dalam Putusan Nomor 1/Pid.Prap/2019/PN.Skt. Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan metode penyempitan hukum ketika menafsirkan legal standing LSM/ORMAS dalam pengajuan praperadilan.Kata kunci: legal standing; lembaga swadaya masyarakat; organisasi masyarakat; praperadilan.ABSTRACTPretrial for termination of investigation or prosecution of criminal cases in Indonesia at this time can be submitted by Non-Governmental Organization (NGO) or public organizations acting as interested third parties. According to the Constitutional Court’s Decision Number 98/PUU-X/2012, NGOs or public organizations that apply for pretrials must have the same interests and goals as the people represented, which is to fight for the public interest. On a practical level, not all pretrial submissions by NGOs or public organizations are accepted by the court as seen in the Court Decision Number 1/Pid.Prap/2019/PN.Skt and Number 111/Pid.Prap /2017/PN.Jkt.Sel. This research’s formulation of problem includes: what are the judge’s considerations in the two decisions? Is the judge’s interpretation on the determination of the NGOs or public organizations legal standing applicable? This research is classified as normative legal research using secondary data sourced from primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the study indicate that the legal standing of NGOs or public organizations in pretrial submissions is determined by three preconditions, which include having to be a legal entity, having an interest, and having real activities or businesses. Among the three, what is at issue is the criteria of interest. The NGOs or public organizations according to Court Decision Number 111/Pid/Prap/2017/PN.Jkt/Sel must have certain interests/goals and similarities to the cases submitted in the pretrial. However the judges did not put this criteria into practice in Court Decision Number 1/Pid.Prap/2019/PN.Skt. This difference arises because of the legal narrowing method used when interpreting the legal standing of NGOs or public organizations in pretrial submissions. Keywords: legal standing; non-governmental organization; public organization; pre-trial. 
MODEL PEMILIHAN SERENTAK DI INDONESIA Muhammad Anwar Tanjung; Derita Prapti Rahayu; Putri Ade Tami
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.431

Abstract

ABSTRAKKajian ini mengeksplorasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai beberapa model dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan serentak di Indonesia. Fakta pemilu serentak lima kotak suara sebagai model penyelenggaraan pemilu serentak bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang dan diperdebatkan selama perubahan UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI 1945 telah memberikan pilihan model pemilihan serentak di Indonesia. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam kajian ini ialah bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dapat menjadi landasan normatif yang mengarah kepada transformasi pemilihan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan UUD NRI 1945 dan putusan hakim sebagai bahan hukum primer dan hasil penelitian terkait sebagai bahan hukum sekunder. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa transformasi pemilihan di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan batasan/defenisi rezim pemilu dan rezim pemilu daerah/lokal. Rezim pemilu berdasarkan UUD NRI 1945 yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD. Rezim pemilihan daerah/lokal adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan bupati/wakil bupati maupun walikota/wakil walikota. Landasan normatif menuju transformasi pemilu dan model pemilihan di Indonesia dilakukan dengan penerapan e-rekap, penyederhanaan jumlah partai politik atau penggunaan proporsional tertutup, penataan ulang kelembagaan penyelenggara pemilu, model sosialisasi yang efektif, rekrutmen penyelenggara pemilu yang berintegritas, pengawasan dan penegakan hukum pemilu melalui khusus pemilu.Kata kunci: pemilu lima kotak; pemilihan serentak; peradilan khusus pemilu; uji materiil. ABSTRACTThis study explores the Constitutional Court Decision Number 55/PUU-XVII/2019 regarding several models in holding general elections and simultaneous elections in Indonesia. The fact that the simultaneous election of five ballot boxes as a model for simultaneous  elections is not the only idea that has developed and been debated during the amendment to the 1945 Constitution. The Constitutional Court Decision Number 55/PUU-XVII/2019 on the Judicial Review of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has provided a choice of simultaneous election models in Indonesia. Therefore, the formulation of the problem in this study is how the judges’ considerations in the Constitutional Court Decision Number 55/PUUXVII/2019 can be a normative basis that leads to the transformation of elections in Indonesia. This study uses a normative legal method with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the judges’ decisions as primary legal sources and the relevant research results as secondary legal sources. From the results of this study, it can be concluded that the electoral transformation in Indonesia is carried out by taking into account the boundaries/ definitions of the electoral regime, and the regional/local election regime. The election regime is based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which includes the elections for the President and Vice President, DPR, DPD and DPRD. Regional/local election regimes cover the election of governors and deputy governors and regents/deputy regents as well as mayors/deputy mayors. The normative basis for the transformation of elections and electoral models in Indonesia is carried out by implementing e-recap, simplifying the number of political parties or using closed proportional, reorganizing election management institutions, implementing effective socialization models, logistics management, recruitment of election organizers of integrity, supervision and law enforcement through a special election court.Keywords: election of five ballot boxes; simultaneous election; special election court; judicial review.
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN ROKOK ILEGAL Fitri Wahyuni; Mohd. Rizki Nur Asri
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.477

Abstract

ABSTRAKPenyelundupan rokok ilegal merupakan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pendapatan negara dan persaingan ekonomi yang tidak sehat. Oleh sebab itu, untuk mencegah perbuatan tersebut, pemerintah kini memberlakukan cukai. Namun pada kenyataannya upaya itupun tidak mampu membendung terjadinya penyelundupan rokok ilegal. Hal ini terbukti dari kasus penyelundupan rokok ilegal yang masih kerap terjadi sekalipun bagi pelakunya telah diterapkan sanksi pidana. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan yuridis penerapan sanksi terkait tujuan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan rokok ilegal dalam Putusan Nomor 234/PID.SUS/2019/PN.TBH, dan apa strategi hakim dalam memberikan putusan terhadap tindak pidana penyelundupan rokok illegal agar kepastian dan keadilan hukum terwujud. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengolah data sekunder dengan bahan hukum primer dan peraturan perundang-undangan relevan lainnya. Analisis yang digunakan berupa analisis deskriptif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa secara yuridis penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana penyelundupan rokok ilegal dalam perkara tersebut, yaitu berupa pidana penjara satu tahun enam bulan, masih tergolong ringan dan belum mampu memberikan efek jera bagi pelaku, serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian diperlukan rumusan sanksi pidana yang maksimal oleh hakim dan pidana yang lebih berat bagi pelaku. Selain itu, hakim juga harus memiliki strategi dalam menjatuhkan putusan melalui pertimbangannya yang terdiri atas aspek yuridis dan non-yuridis. Hakim tidak boleh hanya condong pada aspek yuridis tetapi juga perlu memperhatikan aspek non-yuridis agar terhindar dari kesalahan dan perekayasaan dalam memeriksa perkara dan menerapkan sanksi terhadap terdakwa.Kata kunci: penyelundupan rokok illegal; perbuatan melawan hukum; aspek yuridis; non-yuridis. ABSTRACTIllicit cigarette trade is an unlawful act that causes loss of state revenue and creates unfair economic competition. As an effort to prevent this from happening, the government imposes excise duties. Yet, in actual fact it is still powerless to stem the smuggling of illegal cigarettes. This is evidenced by the frequent occurrence of cases of illicit cigarette trade even though the perpetrators have been charged with criminal sanctions. The problem in the analysis is to elaborate the juridical view of the implementation of sanctions aiming to penalize the perpetrators of the criminal act of illegal cigarettes trade in Court Decision Number 234/PID.SUS/2019/PN.TBH, and the judge’s strategies in giving a decision on this case as to achieve legal certainty and justice. This study uses normative legal research methods by processing secondary data with primary legal materials and other relevant laws and regulations. The analysis used is descriptive analysis. The study found that judicially the implementation of sanctions for perpetrators of criminal acts of smuggling illegal cigarettes, in this case, a prison sentence of one year and six months, is still relatively light and has not been able to provide a deterrent effect for perpetrators, as well as the public in general. Thus, judges need to formulate maximum criminal sanctions and heavier penalties for perpetrators. In addition, judges must also have a strategy in making decisions through every consideration that consists of juridical and non-juridical aspects. Judges should not only lean on the juridical aspect but also need to pay attention to the nonjuridical aspects in order to avoid mistakes and manipulations in examining cases and imposing sanctions.Keywords: illicit cigarete trade; unlawful act; juridical aspects; non-juridical aspects. 
PENAFSIRAN MAKNA “ALASAN SANGAT MENDESAK” DALAM PENOLAKAN PERMOHONAN DISPENSASI KAWIN Muhamad Beni Kurniawan; Dinora Refiasari
Jurnal Yudisial Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v15i1.508

Abstract

ABSTRAK Riset Australia – Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2) tahun 2019 menyatakan bahwa 99% permintaan dispensasi kawin di pengadilan dikabulkan oleh hakim. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila pernikahan hendak dilakukan bagi pria dan wanita yang belum berusia 19 tahun maka orang tua pihak pria dan/atau wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Namun, terdapat pula putusan pengadilan yang menolak permintaan dispensasi kawin contohnya adalah Putusan Nomor 0127/Pdt.P/2021/PA.Kr. Pemohon mengajukan permintaan dispensasi kawin dengan dasar alasan yang sangat mendesak. Pihak wanita yang baru berusia 12 tahun telah berpacaran selama enam bulan dengan pihak pria yang berusia 30 tahun sehingga perlu dikawinkan untuk menghindari perzinahan. Hakim Pengadilan Agama Krui menolak permintaan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini menganalisis penafsiran hakim terhadap makna “alasan sangat mendesak” dalam menolak permintaan dispensasi kawin. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menelaah dokumen-dokumen hukum yang relevan mengenai dispensasi kawin. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hakim menggunakan metode penafsiran gramatikal, penafsiran historis, dan penafsiran autentik terhadap makna “alasan sangat mendesak.” Permintaan dispensasi kawin pada kasus ini tidak sesuai dengan prinsip maqasid syariah, perlindungan terhadap kesehatan dan psikologis anak, tidak beralasan, tidak memenuhi kriteria alasan mendesak dan tidak didukung oleh bukti-bukti yang cukup di persidangan.Kata kunci: dispensasi kawin; alasan mendesak; penafsiran hukum. ABSTRACT Research conducted by Australia – Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2) in 2019 showed that 99% of motions of marriage dispensation submitted to the courts were granted by judges. Provision of Article 7 paragraph (2) of Law Number 16 of 2019 on Amendments to Law Number 1 of 1974 on Marriage stipulates that if men and women who are under 19 years old would like to marry, the parents of the men and/or the women can le a motion of marriage dispensation to the courts on the ground of imperative reason accompanied by suf cient supporting evidence. Nevertheless, there is a decision that denies the marriage dispensation motion for example Decision Number 0127/ Pdt.P/2021/PA.Kr. The Petitioner led a marriage dispensation motion to the court on the ground of imperative reason. A 12-year-old-girl and a 30-year-old man had been dating for six months. They needed to be married to avoid fornication. A judge of the Krui Religious District Court denied the motion. According to that background, this research analyzes the judge’s interpretation of ‘imperative reason’ meaning. This research applies a normative juridical method by assessing the legal documents concerning marriage dispensation. The result displays that the judge applies grammatical, historical, and authentic interpretations to the meaning of ‘imperative reason.’ In this case, the motion of marriage dispensation does not follow the principles of maqasid sharia, protection of children’s health and psychology, is unreasonable, does not meet the criteria of imperative reason, and is not supported by suf cient evidence at the trial. Keywords: marriage dispensation; imperative reason; legal interpretation.
PERANAN AMICUS CURIAE PADA PUTUSAN GUGATAN TERHADAP PROSES SELEKSI CALON HAKIM AGUNG Muhammad Ilham Hasannudin; Amy Yayuk Sri Rahayu
Jurnal Yudisial Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v15i1.533

Abstract

ABSTRAK Paradigma baru tata kelola pemerintahan yang dipengaruhi oleh konsep collaborative governance menekankan pada kolaborasi yang produktif antara negara dan publik. Hubungan di antara keduanya tidak dibatasi namun justru menimbulkan simbiosis mutualisme dengan berbagai variasi bentuk salah satunya amicus curiae. Amicus curiae dikenal sebagai suatu mekanisme memberikan masukan kepada majelis hakim untuk suatu perkara yang dilakukan oleh para pihak yang tidak berperkara di mana hal tersebut dibenarkan oleh kebiasaan dan undang-undang. Pembuktian kolaborasi yang signifikan antara negara dan publik melalui amicus curiae tampak pada penanganan perkara gugatan terhadap proses seleksi calon hakim agung yang telah diputus dengan Putusan Nomor 270/G/2018/PTUN-JKT. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui analogi majelis hakim pada Putusan Nomor 270/G/2018/PTUN-JKT dalam mengakui kedudukan amicus curiae sebagai nilai yang hidup di masyarakat sekaligus mempertimbangkan bahwa objek gugatan sebagai tata usaha negara (TUN) namun tidak dapat dilakukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi literatur dengan mengkaji setidaknya tiga konsep yaitu sumber hukum berupa nilai yang hidup di masyarakat; yurisprudensi tentang kompetensi absolut PTUN; dan collaborative governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim pada perkara ini memiliki penalaran yang paradoks. Majelis hakim tidak mengadopsi isi amicus curiae dan tidak merujuk kepada yurisprudensi yang telah berkembang namun lebih memilih untuk mengambil analogi dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).Kata kunci: amicus curiae; kompetensi PTUN; nilai masyarakat. ABSTRACT The new paradigm of good governance influenced by the collaborative governance concept emphasizes productive collaboration between the state and the public. This relationship is not limited instead it creates various types of mutualism one of which is amicus curiae. It is a mechanism where non-litigants provide input about a case to the panel of judges justified by custom and the law. The significant collaboration between the state and the public through the amicus curiae can be seen in the handling of the lawsuit against the selection process of Supreme Court justice candidates which has been decided with the Decision Number 270/G/2018/PTUN-JKT. The focus of this research is to discover the analogy of the panel of judges in Decision Number 270/G/2018/PTUN-JKT in acknowledging the position of amicus curiae as a living value in society while considering that the object of the lawsuit is a state administration (TUN) but it can’t be filed to the state administrative court (PTUN). The method used in this research is a literature study examining at least three concepts, namely legal sources in the form of values that live in the society, jurisprudence on the absolute competence of PTUN, and collaborative governance. The result shows that the panel of judges, in this case, has paradoxical reasoning. The panel of judges does not adopt the content of amicus curiae and the developed jurisprudence but prefers to apply an analogy from the Supreme Court Circular (SEMA). Keywords: amicus curiae; PTUN competence; society values.
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI OBAT TRAMADOL Dini Wininta Sari; Echwan Iriyanto; Fiska Maulidian Nugroho
Jurnal Yudisial Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v15i1.524

Abstract

ABSTRAK Tindak pidana pengedaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar keamanan, kemanfaatan, dan mutu maupun tanpa izin marak terjadi. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelakunya belum memberikan efek jera dan tidak setimpal dengan keuntungan yang didapatkan. Situasi demikian seharusnya membuat hakim untuk lebih cermat dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara tersebut. Penelitian ini mengkaji Putusan Nomor 94/Pid. Sus/2021/PN.Tdn yang menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pengedaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu. Penelitian ini mengangkat dua isu utama. Pertama, apakah pertimbangan hakim yang menyatakan tidak terbuktinya sub elemen unsur “sediaan farmasi” telah sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan? Kedua, bagaimanakah kedudukan dissenting opinion dalam penjatuhan putusan? Metode yang digunakan untuk menganalisis putusan tersebut adalah yuridis normatif dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim yang menyatakan tidak terbuktinya sub elemen unsur “sediaan farmasi” tidak sesuai dengan fakta persidangan. Alat bukti surat yang diperkuat oleh keterangan ahli menyatakan bahwa bungkusan bertuliskan Tramadol HCl yang diedarkan terdakwa dan dihadirkan sebagai barang bukti positif mengandung Tramadol HCl. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dissenting opinion yang dikemukakan oleh ketua majelis hakim tidak memengaruhi keputusan majelis hakim untuk perkara ini. Sungguhpun demikian, dissenting opinion merupakan perwujudan upaya hakim untuk menjaga independensinya dalam mencari keadilan.Kata kunci: tindak pidana; pengedaran sediaan farmasi; tramadol; putusan bebas; dissenting opinion. ABSTRACT The traf cking of pharmaceutical preparations that is out of safety, ef cacy, quality standards, or illicit often occurs. Yet the punishment imposed on the perpetrators has no deterrent effect and is not commensurate with the losses caused by the crime. This circumstance should make the judges more careful in considering and deciding the case. This research paper examines Court Decision Number 94/Pid.Sus/2021/PN.Tdn ruling that the defendant is not guilty of committing a criminal act of distributing illicit pharmaceutical preparations out of the standards of safety, ef cacy, and quality. The research raises two main issues. First, is the judges’ consideration regarding the unproven sub-element of “pharmaceutical preparations” made based on the facts in the trial? Second, what is the position of dissenting opinion in the decision-making process? The decision is analyzed using a normative juridical method with two approaches namely statutory and conceptual. The result shows that the judges’ consideration is not determined based on the facts revealed in the trials. The documentary evidence supported by the expert’s testimony states that the package with Tramadol HCl written on it is distributed by the defendant and presented as evidence because it is proven to contain Tramadol HCl. The result of the study also indicates that the dissenting opinion expressed by the presiding judge does not affect other judges in the panel in deciding this case. However, the dissenting opinion is a manifestation of the judge’s effort to maintain his independence for seeking justice. Keywords: crime; pharmaceutical preparations trafficking; tramadol; acquittal; dissenting opinion.

Filter by Year

2010 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 16 No. 1 (2023): - Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD Vol 15, No 2 (2022): HUKUM PROGRESIF Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA Vol 12, No 2 (2019): ACTA NON VERBA Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU Vol 11, No 2 (2018): IN CAUSA POSITUM Vol 11, No 1 (2018): IUS BONUMQUE Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS" Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA Vol 7, No 3 (2014): LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL Vol 7, No 1 (2014): CONFLICTUS LEGEM Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM Vol 4, No 1 (2011): INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI More Issue