cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra
ISSN : 20892926     EISSN : 25798138     DOI : -
Core Subject : Education,
JENTERA is a literary research journal published by Badan Pengembangan and Pembinan Bahasa, Ministry of Education and Culture. Jentera publishes the research articles (literary studies and field research), the idea of conceptual, research, theory pragmatice, and book reviews. Jentera publishes them biannually on June and December.
Arjuna Subject : -
Articles 175 Documents
SASTRA INDONESIA MODERN DAN MANUSIA URBAN Acep Iwan Saidi
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 2, No 1 (2013): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (10484.592 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v2i1.387

Abstract

Artikel ini berisi kajian tentang sastra Indonesia modern dalam kaitannya dengan kehidupan manusia urban. Beberapa hal penting yang menjadi ruang lingkup kajian adalah karakteristik manusia urban, representasinya dalam karya sastra Indonesia modern, dan posisi sastra urban dalam sejarah sastra Indonesia. Melalui kajian ini, ditemukan fakta bahwa di dalam karya sastra Indonesia modern, sosok manusia urban bukan tema yang hanya mencuat dalam karya termutakhir. Namun, dengan karakteristiknya yang berbeda-beda dari setiap zaman, permasalahan manusia urban telah muncul sejak sastra Indonesia modern itu lahir.
BATARI HIYANG JANAPATI DALAM PERSPEKTIF GENDER Elis Suryani NS
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 6, No 2 (2017): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (789.645 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v6i2.177

Abstract

The life of Indonesian society is dominant with patriarchal culture that puts women always under the shadow of men. In, the perception of social structure of society, women are always underestimated. In Indonesia, many women are also oppressed and abused. Women in a patriarchal culture are always considered helpless and should always be dependent on men, in the Sundanese language proverb, there is an "awewe mah dulang tinande" proverb which means that women are in the second class after men. In everyday life, women are positioned in the domestic sphere, whose activities and work are limited only around wells, kitchens and mattresses. Women's duties only serve the husband, are at home and take care of the child. But now, along with the progress and development of the era, the role and position of women began to change toward equality and equality. The dominance of patriarchal culture in Indonesia, in contrast to some ancient Sundanese script and inscription records, it turns out there are ancient Sundanese women already have the spirit of equality and equality with men. The figure of this woman is a brave, clever, ingenious figure, intellectual, a brave warlord, agile and nimble, as well as a batari 'religious teacher' in his day, as revealed in the Inscription Geger Hanjuang and Galunggung Mandate Text is named Batari Hyang Janapati . This paper aims to reveal the gender issues revealed through Sundanese texts and inscriptions, judging by the role, position, and motives behind them, through the gender approaches in social, literary, and cultural contexts in texts and inscriptions.AbstrakKehidupan masyarakat Indonesia dominan dengan budaya patriarki yang menempatkan perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Dalam, persepsi struktur sosial masyarakat, perempuan selalu dipandang sebelah mata. Di Indonesia juga ditengarai banyak perempuan yang tertindas dan dilecehkan. Perempuan dalam budaya patriarki selalu dianggap tidak berdaya dan harus selalu bergantung kepada laki-laki, dalam pribahasa bahasa Sunda, ada pribahasa “awewe mah dulang tinande” yang berarti mengharuskan perempuan ada dalam kelas kedua setelah laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan diposisikan ada dalam ranah domestik, yang aktivitas dan perkerjaanya dibatasi hanya seputar sumur, dapur dan kasur. Tugas perempuan hanya melayani suami, berada di rumah dan mengurus anak. Namun saat ini, seiring dengan kemajuan dan perkembangan jaman, peran dan kedudukan perempuan mulai berubah menuju kesejajaran dan kesetaraan. Dominannya budaya patriarki di Indonesia, bertolak belakang dengan beberapa catatan naskah dan prasasti Sunda kuno, ternyata ada perempuan Sunda zaman dahulu sudah memiliki semangat kesejajaran dan kesetaraan dengan laki-laki. Sosok perempuan ini merupakan sosok yang gagah berani, pandai, cerdik, cendekia, seorang panglima perang yang gagah berani, tangkas dan cekatan, sekaligus seorang batari ‘guru agama’ pada zamannya, sebagaimana terungkap dalam Prasasti Geger Hanjuang dan Naskah Amanat Galunggung bernama Batari Hyang Janapati. Tulisan ini bertujuan mengungkap masalah gender yang terkuak lewat naskah dan prasasti Sunda, dilihat dari peran, kedudukan, dan motif yang melatarbelakanginya, melalui pendekatan gender dalam sosial, sastra, dan budaya yang ada dalam naskah dan prasasti.
PERISTIWA SEKITAR KRISIS NASIONAL 1965 SEBAGAI LATAR SOSIAL-POLITIK DALAM KARYA SASTRA INDONESIA 1966-1974: Kajian Awal Atas Cerpen-Cerpen dalam Majalah Sastra dan Majalah Horison Didik Pradjoko
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 1, No 1 (2012): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8307.106 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v1i1.11

Abstract

Hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sosial dan politik yang terjadi pada suatu masa merupakan suatu keniscayaan. Pengarang novel atau cerpen adalah manusia yang hidup pada zamannya, mengalami ‘jiwa zaman’ (zeitgeist) yang langsung atau tidak langsung memengaruhinya sehingga pada suatu masa terdapat penulis sastra yang mengambil peristiwa sejarah, sosial, politik atau budaya sebagai bahan karyanya dan menerjemahkan peristiwa tersebut ke dalam bahasa imajiner. Pengarang dapat menciptakan kembali sebuah peristiwa sejarah, sosial dan politik menurut pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Sehingga penting untuk melihat hubungan antara karya sastra dan sejarah atau peristiwa sosial-politik di masa lalu. Hal ini berarti bahwa karya sastra bukan ‘an sich’ mengungkapkan dirinya, namun juga merupakan hasil dari zamannya. Artikel ini menyoroti dan menganalisis cerpen-cerpen yang ditulis dengan mengambil setting sosial-politik pada masa krisis nasional tahun 1965-1966. Peristiwa sosial politik ini ditandai dengan dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan sosial, politik dan kebudayaan antara tahun 1960-1965, dan puncaknya adalah pengganyangan pimpinan dan anggota PKI pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau lebih tepatnya Gerakan 1 Oktober 1965. Cerpen-cerpen yang dibahas dalam artikel ini diterbitkan oleh majalah Sastra dan majalah Horison yang terbit antara tahun 1968-1970.kata kunci: sastra, sejarah, sosial-politik, cerpen, dan Peristiwa Krisis Nasional 1965
Sastra dan Penjajahan: Membaca Karya Pengarang Tersohor Indonesia dan Malaysia Rahimah A. Hamid
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 5, No 2 (2016): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.108 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v5i2.365

Abstract

Makalah ini membincangkan hubungan antara sastra dengan penjajahan. Hal ini demikian karena karya sastra telah digunakan oleh pihak penjajah sebagai wahana untuk mewajarkan perlakuan penjajahan mereka ke atas peribumi dan negara jajahannya. Sebagai wacana balas, genre karya sastra bawaan penjajah Barat seperti novel, drama, cerpen dan sajak telah dijadikan alat juga oleh pengarang peribumi untuk menentang penjajahnya. Dengan melihat kepada penjajahan oleh Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, maka dua buah cerpen bertemakan politik karya Mochtar Lubis (Indonesia) berjudul “Kuli Kontrak” dan karya Keris Mas (Malaysia) berjudul Penjual Ubat Merdeka” telah dipilih untuk dijadikan materi kajian ini bagi melihat pertembungan dan pergeseran konsep dan idealisme antara peribumi tanah jajahan dengan penjajahnya. Untuk meneliti hal ini, teori kesusastraan pascakolonial digunakan sebagai teras kajian. Pada akhirnya ditemukan bagaimana karya sastra berfungsi sebagai medium yang meruntuhkan imperialisme dan kolonialisme Barat di kedua-dua buah negara ini.
SIAPA PEMBUNUHNJA: ROMAN DETEKTIF KARYA JOESOEF SOU’YB Atisah Atisah
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 4, No 2 (2015): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7833.57 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v4i2.446

Abstract

This writing was intended to analyze Siapa Pembunuhnya by Joesoef Sou’yb. The analysis was focused on the murder characters that also became the problem of the story. The approach used was detective story theory in Apsanti’s books, while the method used was analysis-descriptive method. In 1930s, Joesoef Sou’yb was very famous as a detective stories author. The story Siapa Pemboenoehnja was one of his works in which in it were murder problems filled with riddles. Complicatedand full of surpriseplot accompanied by supporting background description made readers curious wanting to know the end of the story. It showed the skill of the author in creating a story
KOMPARASI KEARIFAN LOKAL SUNDA DAN JEPANG: PEMBENTUK KARAKTER ANAK Nani Sunarni
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 6, No 1 (2017): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (473.37 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v6i1.327

Abstract

In the current era of globalization, cultures blend and dominate each other, making children confuse about their identity. Indonesia, as a multiracial and multicultural nation, is very rich in local wisdoms, and this wealth can be applied to build the character of children and fortify themselves from the negative influence of global or foreign cultures. Japan is a nation that lives based on culture and use local wisdoms as a foundation of life and learning materials that are directly implemented in everyday life. The same thing can be seen in the Sundanese society. Today many children do not recognize their own local wisdoms. This, according to the researchers, is due to the vacuum of local wisdom values in the curriculum and learning process. Therefore, various researchs on local wisdoms learning need to be done, include the learning program through oral tradition such as pupuh and folktale, and also traditional game. The method used in this research is descriptive qualitative method. The data used is the local wisdoms learning in Sundanese culture, which is the learning schedule related to local wisdoms that is limited to character building, and data related to local wisdoms in education in Japan, which is the schedule of "moral" learning activity. Data are analyzed based on Ratna's view (2015). Based on the results of the research, it is identified that the understanding of the values of local wisdoms can create a nation of character. The results of this study are theoretically useful to add references, especially on local wisdoms learning, and can be practically used as a learning model.  ABSTRAKDi era globalisasi seperti sekarang ini, budaya membaur dan saling mendominasi sehingga membuat anak bingung akan jati dirinya. Indonesia, sebagai negara majemuk yang multiras dan multikultural, sangat kaya dengan kearifan-kearifan lokal, dan kekayaan ini bisa diaplikasikan untuk membentuk karakter anak dan membentengi diri mereka dari pengaruh negatif budaya global atau asing. Jepang merupakan bangsa yang hidup dengan berbasis budaya dan menjadikan kearifan lokal sebagai landasan hidup serta materi pembelajaran yang langsung diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal serupa juga terlihat dalam masyarakat Sunda. Saat ini banyak anak-anak yang tidak mengenali kearifan lokalnya. Hal ini, menurut peneliti, disebabkan adanya kekosongan nilai-nilai kearifan lokal dalam kurikulum dan pembelajaran. Untuk itu, berbagai penelitian tentang pembelajaran kearifan lokal perlu dilakukan, termasuk pembelajaran melalui tradisi sastra lisan seperti pupuh dan dongeng, serta permainan tradisional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah pembelajaran kearifan lokal dalam budaya Sunda, yaitu jadwal pembelajaran terkait kearifan lokal yang dibatasi pada pembentukan karakter, dan data terkait kearifan lokal dalam pendidikan di Jepang, yaitu berupa jadwal kegiatan pembelajaran “moral”. Data dianalisis berdasarkan pandangan Ratna (2015). Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dapat menciptakan bangsa yang berkarakter. Hasil penelitian ini secara teoretis bermanfaat untuk menambah referensi, khususnya tentang pembelajaran kearifan lokal, dan secara praktis dapat dijadikan model pembelajaran. 
IDENTITAS DAN WARNA LOKAL DALAM SASTRA MADURA MODERN Mashuri Mashuri
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 2, No 2 (2013): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jentera.v2i2.402

Abstract

Kajian terhadap sastra Madura modern ini menggunakan pendekatan studi kultural (cultural studies). Tujuannya untuk menggali identitas, karakter, dan warna lokal Madura dalam karya sastra yang ditulis generasi kiwari. Teks dalam sastra Madura modern menyimpan sebuah transisi diskursif sepanjang sejarah kemunculan karya tersebut dan kultur masyarakatnya. Karya tersebut memiliki beragam cara pandang dan mode deskripsi terhadap lokalitasnya, baik itu yang berupa ruang budaya, manusia, ingatan kolektif, konflik komunal maupun aspek kemanusiaan dengan segala pergulatannya. Dalam karya itu, terdapat pembacaan pada kekhasan identitas dan lokalitasMadura, baik itu yang hablur dalam kultur maupun tersengal di ranah sosial. Identitas itu tidak statis.
GUGURITAN SUNDA DALAM TIGA GAYA PENYAIR Dian Hendrayana
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 7, No 1 (2018): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (707.943 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v7i1.681

Abstract

Puisi guguritan dalam khazanah sastra Sunda merupakan materi puisi lama yang hingga kini masih ditulis dan diminati. Tradisi menulis guguritan dalam sastra Sunda banyak dilakukan sejak awal abad XX. Puisi ini masih pula ditulis dan dibaca oleh masyarakat Sunda, terutama para peminat sastra hingga awal abad XXI. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana gaya penulisan guguritan dari tiga penyair Sunda yang pada tiga dekade terakhir dianggap tokoh penulis guguritan. Ketiga penyair guguritan tersebut yakni Dedy Windyagiri, Dyah Padmini, dan Wahyu Wibisana. Mereka merupakan tokoh penyair yang dianggap baik dalam menulis puisi guguritan seperti yang terbaca pada  Jamparing Hariring (1992) karya Dedy Windyagiri, Jaladri Tingtrim (1999) karya Dyah padmini,  dan Riring-riring Ciawaking (2004) karya Wahyu Wibisana. Penelitian dimaksudkan untuk memperlihatkan sejauh mana gaya kepenulisan dari ketiga penyair ini beserta pembeda yang dimilikinya masing-masing, terutama dalam pemilihan tema, pemilihan diksi, pengimajinasian, kata konkret, serta bahasa figuratif dengan menggunakan metode deskriptif-analitik. Dari hasil penelitian ini muncul kecenderungan-kecenderungan gaya kepenulisan sebagai pembeda dari masing-masing penyair, yakni kecenderungan nuansa feminin pada guguritan karya Dedy, kecenderungan nuansa maskulin pada guguritan Dyah Padmini, serta kecenderungan nuansa netral pada guguritan karya Wahyu Wibisana. Abstract: Guguritan Poetry in the Sundanese literature is a matter of old poetry which is still written and have a good demand in current condition. The tradition of writing guguritan in Sundanese literature is mostly done since the beginning of the XX century. This poem is still written and read by Sundanese people, especially literary enthusiasts until the early of XXI century. This study describes how the style of writing the guguritan of three Sundanese poets who in the last three decades are considered as guguritan authors. The three poets are Dedy Windyagiri, Dyah Padmini, and Wahyu Wibisana. They are well-known poets in writing guguritan poetry as it reads in works Jamparing Hariring (1992) by Dedy Windyagiri, Jaladri Tingtrim (1999) by Dyah Padmini, and Riring-Riring Ciawaking (2004) by Wahyu Wibisana. The research is intended to show the extent of the authorship style among the three poets and their respective distinctions; especially in the themes selection, dictionary selection, imagination, concrete words, and figurative languages which using descriptive-analytic methods. From the results of this study appeared the tendencies of the authorship style as a differentiator of each poet, namely the tendency of feminine nuances in the Dedy's work, the tendency of masculine nuance in Dyah Padmini's work, and the tendency of neutral nuances in the work of Wahyu Wibisana.
TRADISI LISAN MALE-MALE: NYANYIAN KEMATIAN DALAM MASYARAKAT CIACIA Asrif Asrif
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 1, No 2 (2012): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3278.028 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v1i2.272

Abstract

Male-male adalah syair yang dinyanyikan sesaat setelah seorang warga yang dianggap sosok sempurna meninggal dunia. Tradisi lisan male-male itu menggambarkan penghargaan masyarakat terhadap sosok sempurna melalui ungkapan kesedihan, kerinduan, ketabahan, dan puji-pujian. Pelaksanaan male-male memiliki sejumlah fungsi, baik fungsi pribadi (penutur dan tuan rumah) maupun fungsi bagi masyarakat (warga yang melayat). Bagi penutur dan tuan rumah, tradisi itu berfungsi untuk menghibur, memberikan kepedulian sesama, menyebarkan nilai sosial, agama, dan prestise, serta mewariskan tradisi. Bagi masyarakat, male-male berfungsi sebagai sarana mengingatkan diri akan kematian, memperkukuh keimanan, serta meningkatkan empati, dan solidaritas sesama. Untuk itu diperlukan upaya pewarisan dalam menjaga keberlanjutan tradisi itu. Pewarisan formal dilakukan melalui sekolah, sedangkan pewarisan informal melalui penguatan lembaga adat.
SUBJEKTIVITAS PRAMUDYA ANANTA TOER DALAM NOVEL PERBURUAN KAJIAN PSIKOANALIS HISTORIS SLAVOJ ZIZEK Ramayda Akmal
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 4, No 1 (2015): Jurnal Jentera
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jentera.v4i1.381

Abstract

Penelitian ini menguraikan subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dalam tindakannya menulis novel Perburuan. Tindakan itu bertujuan untuk membangun jarak dan melepaskan diri dari jerat Yang Simbolik. Penelitian dalam perspektif ini perlu dilakukan sebab beberapa penelitian terhadap Pram sebelumnya selalu melihat diri dan karyanya sebagai representasi dimensi simbolik tanpa memperhatikan fakta-fakta bahwa Pram juga menunjukkan penolakan frontal terhadap Yang Simbolik itu. Penelitian ini menggunakan konsep subjektivitas yang dirumuskan oleh Slavoj Zizek, di mana subjek selalu terdiri atas komponen Yang Riil, Yang Imajiner dan Yang Simbolik. Penolakan terhadap Yang Simbolik dilakukan ketika muncul kekurangan (lack) akibat Yang Simbolik berupaya untuk terus mentotalisasi. Kesadaran bahwa ada yang kurang membuat subjek terus berjalan meninggalkan Yang Simbolik menuju Yang Riil dan menjadi subjek yang otentik. Dalam perspektif inilah tindakan Pram menulis novel Perburuan akan dicermati. Untuk mengetahui berbagai dimensi simbolik yang ada dalam novel Perburuan dan bagaimana Pram menyikapinya, peneliti menggunakan metode analisis sudut pandang Tzetan Todorov. Pergerakan sudut pandang Pram sebagai narator di dalam cerita, hubungannya dengan tokoh lain, keterlibatan dan sikap-sikapnya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu menjadi indikasi subjektivitas Pram secara menyeluruh. Apa yang ada di dalam novel Perburuan dan sikap Pram sebagai narator di dalamnya kemudian ditarik keluar dan dilihat kemungkinan homologi struktural dan kulturalnya dengan konteks historis Pram kala itu. Apa yang dapat dilihat di dalam cerita serta apa yang terjadi terhadap novel itu secara keseluruhan menjadi satu kesatuan tindakan yang dapat menunjukkan karakter subjektivitas Pram. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjektivitas Pram ketika melakukan tindakan penulisan novel Perburuan menunjukkan karakteristik yang dapat dikatakan radikal terhadap beberapa dimensi simbolik yang dominan di sekelilingnya. Dimensidimensi tersebut antara lain, dimensi familialisme, feodalisme, nasionalisme dan humanisme. Karakter radikal juga tampak dari keseluruhan proses penciptaan novel Perburuan, mulai dari aspek waktu dan tempat penciptaan, homologi cerita novel dengan kehidupan Pram, serta tema-tema yang muncul di dalamnya. Tindakan-tindakan radikal emansipatif tersebut memunculkan perubahan Yang Simbolik di sekitar Pram sekaligus dalam momen bersamaan menarik subjektivitas Pram kembali kepada Yang Simbolik.

Page 2 of 18 | Total Record : 175