cover
Contact Name
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Contact Email
jurnaladliya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnaladliya@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
ISSN : 19788312     EISSN : 26572125     DOI : -
Adliya : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan merupakan terbitan berkala ilmiah ini berisi artikel bidang ilmu Hukum yang diterbitkan secara berkala 2 kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Juni dan Desember.
Arjuna Subject : -
Articles 126 Documents
Pewarisan Hak Atas Tanah dalam Perkawinan Antar Negara Taufika Hidayati; Yusuf Hanafi Pasaribu
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 15, No 2 (2021): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v15i2.13494

Abstract

The phenomenon of inter-state marriage in Indonesia has an influence on legal actions in it, especially the issue of children born and having dual citizenship after Law Number 12 of 2006 concerning Citizenship was passed by the Government. This study aims to measure the extent to which children born from these marriages get inheritance rights with underage positions. In addition, what is the legal status based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 5 of 1960 concerning Land regarding the position of land inheritance rights. This study uses an empirical normative method, which combines legal research methods that not only view law as a prescriptive (determining) and applied scientific discipline, but also descriptive (explaining) based on the reality of legal developments in society. The results of this study indicate that children born from inter-state marriages who have dual citizenship and are still minors are entitled to land inheritance rights in the form of property rights provided that the child must choose Indonesian citizenship at the age of 18 (eighteen) years based on the laws and regulations. valid invitation.Fenomena perkawinan antar negara di Indonesia memberi pengaruh dalam perbuatan hukum di dalamnya, terutama persoalan anak yang lahir dan memiliki kewarganegaraan ganda setelah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan oleh Pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut mendapat­kan hak waris dengan kedudukan masih di bawah umur. Selain itu bagaimana status hukumnya berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan terhadap kedudukan hak waris tanah. Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris, yaitu melakukan penggabungan metode penelitian hukum yang tidak hanya memandang hukum sebagai disiplin ilmu yang bersifat preskriftif (menentukan) dan terapan, namun sekaligus bersifat deskriptif (memaparkan) yang didasarkan pada kenyataan perkembangan hukum di masyarakat. Hasil penelitian ini memberikan petunjuk bahwa anak yang dilahir­kan dari perkawinan antar negara yang berkewarganegaraan ganda dan masih di bawah umur berhak atas hak waris tanah berupa hak milik dengan ketentuan anak tersebut harus memilih kewarganegaraan Indonesia pada saat usianya 18 (delapan belas) tahun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Peran Perempuan dalam Pencegahan Kekerasan Terorisme dan Radikalisme Adang Darmawan Achmad; Hudzaifah Achmad Qotadah; Muhammad Sophy Abdul Aziz; Abdurrahman Achmad Al Anshary
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 15, No 2 (2021): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v15i2.9244

Abstract

There have been several instances of terrorism in Indonesia, including multiple suicide bombs, shootings, and other acts that have threatened public safety and impeded governmental functions. This issue has resulted in anxiety and insecurity, posing a threat to people's lives, particularly women's. As a result, all parties involved, especially women, must take adequate measures to anticipate and address these issues. Women are one of the possible individuals who can play a strategic role in limiting the spread of violent terrorism and extremism. They are also one of the most vulnerable groups. A thorough qualitative method is used in this article to examine the role of women in averting violent terrorism and radicalism. Following the findings of the study, it was discovered that a woman can play a significant role in violence prevention if she can create a happy home environment that always promotes good and moderate religious values that are in accordance with the real teachings of Islam. Thus, individuals and families are the primary representatives of either the anti-terrorism and anti-radicalization awareness campaign.Di berbagai daerah di Indonesia, telah banyak terjadi serangkaian peristiwa ekstremisme radikal, termasuk bom bunuh diri, penembakan, dan lain sebagainya yang mengusik keselamatan masyarakat dan kegiatan pemerintah. Fenomena ini jelas melahirkan rasa takut dan ketidakamanan yang mengusik berbagai elemen kehidupan masyarakat. Kare­nanya, pihak terkait, termasuk perempuan, perlu melakukan respon yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Perempuan dapat menjadi salah satu figur poten­sial yang mempunyai peran strategis dalam membantu pencegahan terorisme, kekerasan dan radikalisme. Makalah ini berfokus pada peran perempuan dalam pencegahan kekerasan terorisme dan radikalisme dimana penulis menggunakan metode kualitatif penuh dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa seorang perempuan berperan penting dalam pencegahan kekerasan jika perempuan tersebut mampu membangun lingkungan kehidupan keluarga yang harmonis dan senantiasa menekankan norma-norma keagamaan yang baik dan moderat sesuai dengan ajaran Is­lam yang sebenarnya. Maka, individu dan keluarga merupakan pendukung utama pro­gram kewaspadaan terhadap bahaya terorisme dan radikalisme.
Peralihan Cara Pandang Masyarakat Terhadap Praktik Pernikahan Dini Andi Nur Fikriana Aulia Raden; Azmil Fauzi Fariska; Mariana Mariana
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 15, No 2 (2021): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v15i2.13778

Abstract

The public understands early marriage as stated in Law No. 16 of 2019 concerning Marriage as an amendment to Law Number 1 of 1974 that child marriage occurs at the age of under 19 years for both men and women and or those who have not reached puberty. This paper aims to examine the shift in the public's perspective on the practice of early marriage explicitly that occurred in Bone Regency, South Sulawesi, and its relation to Human Rights. This study uses qualitative descriptive data analysis techniques with stages; data reduction, data presentation, and conclusion. Researchers conducted interviews with informants who had been selected through snowball sampling and purposive sampling techniques. This study shows that the community's response to early marriage has changed along with the times, namely that in the past people considered early marriage as a way to maintain family honor, but is now considered a family disgrace. Factors for early marriage include promiscuity; the honor of family and relatives, local customary norms, less educated parents, and the economic burden of the family. Meanwhile, from a human rights perspective, the practice of child marriage is a serious part of child abuse concerning the right to education and employment.Masyarakat memahami pernikahan dini sebagaimana tercantum dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan sebagai perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa pernikahan anak terjadi pada usia di bawah 19 tahun bagi laki-laki maupun bagi perempuan dan atau mereka yang belum akil baligh. Tulisan ini memiliki tujuan untuk mengkaji peralihan cara pandang masyarakat terhadap praktik pernikahan dini secara eksplisit yang terjadi di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan serta kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan tahapan; reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Peneliti melakukan wawancara terhadap informan yang sudah dipilih melalui teknik snowball sampling dan purposive sampling. Penelitian ini memberikan hasil bahwa respon masyarakat terhadap pernikahan dini berubah seiring dengan perkembangan zaman, yakni yang dulunya masyarakat menganggap pernikahan dini sebagai salah satu cara untuk menjaga kehormatan keluarga, namun sekarang dianggap sebagai aib keluarga. Faktor terjadinya pernikahan dini diantaranya adalah pergaulan bebas; kehormatan keluarga dan kerabat, norma adat lokal, orang tua yang kurang terpelajar, dan beban ekonomi keluarga. Adapun jika dipandang dari perspektif HAM, praktik pernikahan anak merupakan bagian serius dari pelecehan anak sehubungan dengan hak atas pendidikan dan ketenagakerjaan.
Kebiri Kimia sebagai Sanksi Tindakan dalam Double Track System Ahmad Jamaludin
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 15, No 2 (2021): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v15i2.13910

Abstract

The punishment policy in the form of chemical castration for perpetrators of sexual crimes is a confusing policy when viewed from the perspective of a double-track system. The application of castration sanctions is contrary to the purpose of action sanctions in the double-track system because it does not aim to restore the perpetrators, but rather to provide a deterrent effect and retaliation. So that the chemical castration policy is wrong because it is not in accordance with following the principle of action sanctions in the double-track system. The research method used is normative juridical using primary and secondary data and then analyzed qualitatively. This study aims to find out about the double-track system and to determine the action of chemical castration in the perspective of the double-track system. The results of this study show, First in the double-track system, the criminal system is known in two ways, namely, through legal sanctions and witnesses of action, legal sanctions are oriented towards revenge for their behavior while action sanctions are oriented towards improving the perpetrators so that they can be accepted back in the community. The two sanctions for castration are not included as witnesses for acts in the double-track system, because the basic idea is to improve the perpetrators, while chemical castration is more directed at retaliation. This research can be a reference for criminal law policymakers so that the legal policy does not get out of the basic idea of criminal law itself. Kebijakan pemidanaan berupa sanksi tindakan kebiri kimia bagi palaku kejahatan seksual menjadi kebijakan yang membingungkan jika dilihat dalam perpektif double track system. Penerapan sanksi tindakan kebiri kimia bertolak belakang dengan tujuan dari sanksi tindakan dalam sistem double track system dikarenakan tidak bertujuan memulihkan pelaku, namun lebih kepada pemberian efek jera dan pembalasan. Sehingga kebijakan kebiri kimia menjadi kebijakan yang keliru karena tidak sesuai dengan prinsip sanksi tindakan dalam sistem double track system. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan menggunakan data primer dan sekunder kemudian dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang double track system dan untuk mengetahui tindakan kebiri kimia dalam per­spektif double track system. Hasil penelitian ini menunjukan, Pertama dalam sistem double track system, sistem pemidanaan dikenal dengan dua jalan yakni melalui sanksi hukum dan saksi tindakan, sanksi hukum berorientasi pada upaya balas dendam terhadap prilakunya sedangkan sanksi tindakan berorientasi pada perbaikan pelaku agar bisa diterima kembali di masyarakat. Kedua saknsi tindakan kebiri tidak terma­suk saksi tindakan dalam double track system, sebab ide dasarnya perbaikan terhadap pelaku sedangkan kebiri kimia lebih mengarah kepada pembalasan. Penelitian ini dapat menjadi referensi pembuat kebijakan hukum pidana agar kebijakan hukum tersebut tidak keluar dari ide dasarnya hukum pidana itu sendiri.
Eksistensi Partai Politik Lokal di Provinsi Papua Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVII/2019 Galih Raka Siwi; Reviansyah Erlianto; Maharani Nurdin
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 15, No 2 (2021): ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v15i2.13770

Abstract

The existence of local political parties in Indonesia is a tangible form of the existence of special autonomy in a certain area. The specificity of a certain area is regulated in the 1945 Constitution Article 18B paragraph (1). In addition, the formation of local political parties is one of the human rights in the political field, as stated in Article 28E paragraph (3) of the 1945 Constitution. The research method uses a normative juridical approach with secondary data and analyzed descriptively qualitatively. Based on research, Papua Province has the right to form political parties (see Article 28 paragraph (1) of the Papua Province Special Autonomy Law). However, the phrase "political party" is considered to have multiple interpretations, thus creating legal uncertainty. Through the decision of the Constitutional Court Number 41/PUU-XVII/2019, the legal uncertainty can be guaranteed by the Constitutional Court Decision. In the future, by looking at the background and real needs of the Papua Province, it is possible to form a Local Political Party in the Papua Province, considering the condition of the Papua Province as a special autonomous region.Partai politik lokal di Indonesia merupakan wujud nyata adanya otonomi khusus di suatu daerah. Kekhususan suatu daerah diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (1). Selain itu, pembentukan partai politik lokal merupakan salah satu hak asasi manusia di bidang politik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan data sekunder dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian, Provinsi Papua berhak membentuk partai politik (lihat Pasal 28 ayat (1) UU Otsus Provinsi Papua). Namun, ungkapan “partai politik” dianggap memiliki multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Melalui putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019, ketidakpastian hukum dapat dijamin oleh Putusan MK tersebut. Ke depan, dengan melihat latar belakang dan kebutuhan riil Provinsi Papua, dimung­kinkan dibentuknya Partai Politik Lokal di Provinsi Papua, mengingat kondisi Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus.
Complaint Offense Application Effectiveness against the Creator's understanding of Copyright Infringement Miftahul Rizky Adhitama
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 1 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i1.18682

Abstract

With a broad scope of Copyright in Indonesia, its regulation must develop progressively following human behavior development, including overcoming the offense against it. This writing presents the effectiveness of applying complaint offense and factors that affect its effectiveness. This research uses the empirical juridical approach. This study found that the complaint offense does not necessarily prohibit law enforcement officials from initiating investigations without any complaint, at least until the case is filed. A synergy between the state and individuals (creators) will suppress the number of copyright infringements in Indonesia. Based on the widespread practice of piracy in society, the factor inhibiting the effectiveness of law enforcement lies in the lack of understanding of the concept of copyright protection. Law enforcement can only take action against copyright offenders by confirming the embodiment between the expression of the complainant's copyrighted work and the alleged one. Copyright Law enforcement still needs the presence of practical means and adequate infrastructure to minimize basic reporting errors due to mis­recog­nizing the characteristics of copyright infringement.Dengan cakupan Hak Cipta yang luas di Indonesia, pengaturan tentangnya harus berkembang secara progresif mengikuti perkembangan perilaku manusia, termasuk mengatasi pelanggaran terhadapnya. Tulisan ini memaparkan efektivitas penerapan delik aduan dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitasnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Studi ini menemukan bahwa delik aduan tidak serta merta melarang aparat penegak hukum memulai penyelidikan tanpa adanya pengaduan, setidaknya sampai gelar perkara dilakukan. Sinergi antara negara dan individu (pencipta) akan menekan angka pelanggaran hak cipta di Indonesia. Berdasar­kan maraknya praktik pembajakan di masyarakat, faktor penghambat efektifitas penegakan hukum terletak pada kurangnya pemahaman tentang konsep perlindungan hak cipta. Penegak hukum hanya dapat menindak pelanggar hak cipta dengan menegaskan perwujudan antara ekspresi karya berhak cipta pelapor dan yang diduga. Penegakan hukum Hak Cipta masih membutuhkan adanya sarana praktis dan infrastruktur yang memadai untuk meminimalkan kesalahan pelaporan dasar karena salah mengenali karakteristik pelanggaran hak cipta.
Hak Politik Pekerja Migran Indonesia: Dinamika Permasalahan dalam Pengimplementasian Hak Konstitusional Diya Ul Akmal; Syafrijal Mughni Madda
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 1 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i1.17089

Abstract

Abstract: The need for workforce Indonesian citizens to work abroad. The government, as a representative of the state, must be able to provide protection and fulfillment of rights to these Indonesian Migrant Workers. Political rights are right mandated by the Constitution. This study determines the problems, especially the General Election (Pemilu) conducted abroad. This is necessary because to fulfill constitutional rights, maximum planning can minimize the occurrence of the same problem in future elections. This research uses the normative juridical method with secondary data obtained through literature study. The data obtained will be processed and narrated using words scientific logic. Legally, the laws and regulations in Indonesia accommodate the political rights of Indonesian Migrant Workers. The problem that occurs is that the implementation of the General Election has not accommodated every voting right owned by the community in the form of a Permanent Voter List. The lack of vigilance of the Overseas Election Committee also has to sacrifice many rights that the community has. Additionally, additional legal instruments are needed to regulate elections abroad because the challenges faced are not easier than implementation at home. Political education must also be increasingly socialized as a form of fulfilment of Political Rights. It is hoped that in the future there will be plans that can increase the sense of nationalism for Indonesian Migrant Workers and the implementation of Constitutional Rights can be carried out properly in the construction of the Indonesian rule of law.Abstrak: Kebutuhan akan pekerjaan memaksa Warga Negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Pemerintah sebagai representasi negara harus dapat memberikan per­lindungan dan pemenuhan hak kepada Pekerja Migran Indonesia tersebut. Hak Politik menjadi salah satu hak yang diamanatkan oleh Konstitusi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perma­salahan khususnya Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan di luar negeri. Hal ini diperlu­kan karena dalam upaya pemenuhan Hak Konstitusional, perencanaan yang maksimal dapat meminimal­kan terjadinya per­masa­lahan yang sama pada Pemilu kedepannya. Peneliti­an ini menggunakan Metode Yuridis Normatif dengan data sekunder yang didapatkan melalui studi kepustaka­an. Data yang didapatkan akan diolah dan dinarasikan menggunakan kata-kata dengan logika ilmiah. Secara substansi hukum, Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia telah mengakomodir Hak Politik bagi Pekerja Migran Indonesia. Permasalahan yang terjadi yaitu pelaksanaan Pemilu yang masih belum mengakomodir setiap hak pilih yang dimiliki oleh masyarakat dalam bentuk Daftar Pemilih Tetap. Kurang sigapnya Panitia Pemilihan Luar Negeri juga harus mengor­ban­kan banyak hak yang dimiliki oleh masya­rakat. Sebagai pembaharuan, dibutuh­kan instrumen hukum tambahan untuk mengatur Pemilu di luar negeri karena tantangan yang dihadapi tidak lebih mudah daripada pelaksana­an di dalam negeri. Pendidikan politik pun harus semakin disosialisasikan sebagai salah satu bentuk pemenuhan Hak Politik. Diharapkan kedepannya setiap pembaharuan yang di­rencana­kan dapat mening­kat­kan rasa nasionalisme bagi Pekerja Migran Indonesia dan peng­imple­men­tasian Hak Konstitusional dapat dijalankan dengan baik dalam konstruksi Negara Hukum Indonesia.
Analisis Kualitas Layanan Kunjungan Online dalam Pemenuhan Hak Narapidana di Rutan Kelas IIB Bangli A.A. Istri Agung Mianggi Vanyantari
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 1 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i1.18026

Abstract

AbstractThis research aims to analyze the quality of service and the constraints faced in providing online visiting services to fulfill the rights of prisoners at the Bangli Prison. This study uses a descriptive type of research with a qualitative approach. The type of research conducted is empirical legal research. The data acquired includes primary and secondary data. Primary data are obtained directly from objects studied, including observations and interviews with the head and staff of the Prison Security Unit and inmates related to the implementing online visit services at the Bangli Prison. While secondary data is sourced from library materials intended to help complete various legal concepts in primary legal materials, namely Government Regulation Number 32 of 1999 regarding Terms and Procedures for Implementing the Rights of Inmates. The results of this study indicate that the quality of online visiting services at the Bangli Prison has implemented five dimensions that can measure service quality, including tangibility (of physical aspect), reliability, responsiveness, assurance, and empathy. However, in its implementation, several obstacles were found in the form of limited facilities and infrastructure, the absence of treatment funds, and inmates families not having virtual-visit accounts. So it can be concluded that from the five dimensions, the quality of online visiting services at the Bangli Prison is still lacking in the physical dimensions.AbstrakTujuan penelitian dalam penulisan ini untuk menganalisis kualitas layanan dan kendala-kendala yang dihadapi pada pemberian layanan kunjungan online dalam pemenuhan hak narapidana di Rutan Kelas IIB Bangli. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tipe penelitian yang dilaku­kan adalah penelitian hukum empiris (empirical legal research). Data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi hasil observasi dan wawancara terhadap Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR), Staf KPR dan narapidana terkait pelaksanaan layanan kunjungan online di Rutan Kelas IIB Bangli. Sedangkan data sekunder merupakan data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan yang ditujukan untuk membantu melengkapi berbagai konsep hukum pada bahan hukum primer yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas layanan kunjungan online di Rutan Kelas IIB Bangli sudah menerapkan kelima dimensi yang dapat mengukur kualitas layanan, di antaranya tangible (fisik), reliability (kehandalan) responsiveness (daya tanggap) assurance (jaminan), dan empathy (empati). Namun, pada pelaksanaannya ditemu­kan beberapa kendala berupa terbatasnya sarana dan prasarana, tidak adanya dana perawatan, dan masih ada keluarga narapidana yang tidak memiliki akun whatsapp. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan kunjungan online di Rutan Kelas II B Bangli masih kurang dalam hal dimensi tangible (fisik). 
Diskriminasi Laki-Laki Sebagai Korban Kekerasan Seksual Perspektif Kesetaraan Gender Muhammad Rosyid Ridho; Moh. Riza Taufiqul Hakim; Uswatul Khasanah
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 1 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i1.18021

Abstract

AbstractThe study aims to determine the forms of discrimination experienced by men when they become victims of sexual violence and to determine the discriminatory treatment of men victims of sexual violence from a gender equality perspective. The study uses a literature method with a gender approach, namely the theory of gender equality. The results of this study, namely, the forms of discriminatory treatment experienced by men as victims of sexual violence are 1) Handling of victims of sexual violence by law enforcers who tend to ignore and slow down and prioritize women. 2) Laws that are more inclined towards women as victims of sexual violence. 3) The lack of social institutions that focus on providing assistance to male victims of sexual violence, both in terms of education and victim recovery. 4) Negative response from society towards male victims of sexual violence. In terms of gender equality, male victims of sexual violence do not have the same access to justice as women, both in terms of handling rights as victims of sexual violence and in legal instruments and law enforcement.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh laki-laki ketika menjadi korban kekerasan seksual serta untuk mengetahui perlakuan diskriminatif terhadap laki-laki korban kekerasan seksual perspektif kesetaraan gender. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan pendekatan gender yakni teori kesetaraan gender. Hasil dari penelitian ini yakni, bentuk perlakuan diskriminasi yang dialami laki-laki sebagai korban kekerasan seksual adalah: 1) Penanganan korban kekerasan seksual oleh penegak hukum yang cenderung mengabaikan dan lambat dan lebih memprioritaskan perempuan. 2) Perangkat aturan hukum yang lebih condong kepada perempuan sebagai korban kekerasan seksual. 3) Minimnya lembaga sosial yang fokus terhadap pemberian bantuan kepada laki-laki korban kekerasan seksual baik dalam hal edukasi maupun pemulihan korban. 4) Respon negatif dari masyarakat terhadap laki-laki korban kekerasan seksual. Dari segi kesetaraan gender, laki-laki korban kekerasan seksual tidak memiliki access to justice yang sama dengan perempuan baik dalam hak-hak penanganan sebagaimana korban kekerasan seksual maupun dalam instrumen hukum dan penegakan hukum.
Preliminary Study of Juridical Aspects of Renewable Energy Draft Law In Indonesia: An Academic Perspectives Rosyid Ridlo Al Hakim; Eko Ariyanto; Yanuar Zulardiansyah Arief; Aming Sungkowo; Trikolas Trikolas
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 1 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i1.14063

Abstract

AbstractEnergy is an absolute necessity used in the survival of daily human life. The need for electrical energy in Indonesia continues to increase with economic growth and population increase. Indonesia's electricity demand is projected to increase more than seven times to 1,611 TWh in 2050. Through Commission VII of the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR RI), the Indonesian government is drafting a Renewable Energy (RE) Bill. This rule provided a more detailed and in-depth explanation of the rules in terms of developing New and Renewable Energy (NRE) in Indonesia. This study critically reviews the formal juridical or regulatory aspects of Indonesia's Renewable Energy law (called RUU-EBT). This writing methodology is based on a literature review and data collected from relevant regulations and proposes the conclusion from relevant and expected regulations.AbstrakEnergi merupakan kebutuhan mutlak yang digunakan dalam kelangsungan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan energi listrik di Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Kebutuhan listrik Indonesia diproyeksikan meningkat lebih dari 7 kali lipat menjadi 1.611 TWh pada tahun 2050. Pemerintah Indonesia melalui Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini sedang menyusun RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Aturan ini dibuat untuk memberikan penjelasan yang lebih detail dan mendalam tentang aturan dalam hal pengembangan EBT di Indonesia. Kajian ini memberikan tinjauan kritis terhadap aspek yuridis formal atau regulasi dari undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (disebut RUU-EBT) di Indonesia. Metodologi penulisan ini didasarkan pada tinjauan pustaka (review paper) yang berkaitan dengan tujuan studi ini, serta data yang dikumpulkan dari peraturan hukum yang relevan dan mengusulkan kesimpulan dari peraturan hukum yang relevan dan diharapkan.

Page 12 of 13 | Total Record : 126