cover
Contact Name
Arie Wuisang
Contact Email
palar@unpak.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
palar@unpak.ac.id
Editorial Address
Jl. Pakuan PO Box 452 Bogor 16143 Jawa Barat Indonesia
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
PALAR (Pakuan Law review)
Published by Universitas Pakuan
ISSN : 27160440     EISSN : 26141485     DOI : https://doi.org/10.33751/palar
Core Subject : Social,
Pakuan Law Review (PALAR) memuat naskah tentang isu-isu di berbagai bidang hukum yang aktual. PALAR adalah media dwi-tahunan, terbit sebanyak dua nomor dalam setahun (Januari-Juni, dan Juli-Desember) oleh Fakultas Hukum Universitas Pakuan.
Arjuna Subject : -
Articles 226 Documents
MENGATASI KEPEMILIKAN TANAH ABSENTEE/GUNTAI Dinalara Dermawati Butarbutar
PALAR (Pakuan Law review) Vol 1, No 2 (2015): Volume 1 Nomor 2 Juli Desember 2015
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (854.224 KB) | DOI: 10.33751/palar.v1i2.929

Abstract

ABSTRAKTanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanaman, maupun sebagai ruang atau wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dengan Pelaksanaan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 1964 diatur adanya larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai, yang menyatakan bahwa pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya dilarang, yaitu agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya, sehingga produktivitasnya bisa lebih optimal. Dan dalam kenyataannya masih banyak terdapat orang yang memiliki tanah pertanian secara absentee/guntai, sehingga dalam prakteknya adanya peraturan mengenai larangan tanah absentee/guntai belum bisa diterapkan secara efektif, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemilikan tanah secara absentee/guntai, sehingga dapat mencari jalan keluar untuk mengatasi kepemilikan tanah absentee/guntai.Kata Kunci: Kepemilikan Tanah, Absente, masyarakat. ABSTRACTLand is an important resource for the community, both as a medium for growing plants, as well as a space or container for carrying out various activities. As the implementation of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles (UUPA), the government issued Law Number 56 of Prp of 1960 concerning Determination of Agricultural Land Area with Implementation of PP Number 224 of 1961 concerning Implementation of Land Distribution and Giving Compensation , in Article 3 paragraph (1) PP Number 224 of 1961 jo. Article 1 PP No. 41 of 1964 regulates the prohibition of absentee / guntai land ownership, which states that the ownership of agricultural land by people who live outside the sub-district where the land is located is prohibited, namely so that the farmer can be active and effective in working his agricultural land, so that productivity can be optimized. And in fact there are still many people who have absentee / guntai agricultural land, so that in practice the existence of regulations regarding absentee / guntai land prohibition cannot be applied effectively, so this study aims to find out about the factors that cause absentee land ownership. / guntai, so they can find a way to overcome absentee / guntai land ownership.Keywords: Land Ownership, Absente, community.
PERLINDUNGAN KEBIJAKAN DISKRESI DALAM PENANGANAN COVID-19 MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2020 Fahmi Ramadhan Firdaus; Anna Erliyana
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 2 (2020): Volume 6, Nomor 2 Juli-Desember 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (833.569 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i2.2128

Abstract

AbstrakPandemi Covid-19 telah melanda lebih dari 200 negara sehingga mengancam perekonomian global dan nasional tak terkecuali Indonesia. Sebagai negara hukum formil (rechtstaat), Indonesia memerlukan peraturan perundang-undangan sebagai dasar bertindak untuk mengatasinya. Pada bulan Maret 2020, presiden mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang, banyak pihak mengkritik Perppu tersebut karena dianggap memberikan absolutisme penguasa, namun sesungguhnya Perppu tersebut memberikan kepastian hukum guna mencapai tujuan dan kemanfaatan yang lebih luas yakni pemulihan dari krisis ekonomi akibat Covid-19. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah, bagaimana penggunaan serta pengawasan diskresi yang dikeluarkan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan bagaimana perlindungan terhadap diskresi yang dilaksanakan Pemerintah berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 dalam rangka penanganan Covid-19. Metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan konseptual, berdasarkan pada asas kepastian dan kemanfaatan hukum, serta menjelaskan penggunaan diskresi berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014.Kata Kunci: Peraturan Perundang-undangan, Kepastian Hukum, Covid-19AbstractCovid-19 pandemic has affect more than 200 countries so that it is threatening global and national economic, including Indonesia. As a formal legal state (rechtstaat), Indonesia need laws and regulation as a basis for handle it. In March 2020, the president issued Perppu No. 1 of 2020 concerning State Financial Policy and Financial System Stability for Handling the COVID-19 Pandemic which was then passed by the House of Representative into law, many parties criticized the Law providing leadership absolutism, but in fact this Law provides legal certainty to recovery from the economic crisis caused by Covid-19. The problem discussed in this paper is about how to protect the implementation of the release of discretion issued for handling the Covid-19 pandemic and protection against discretion by the Government based on Perppu No. 1 of 2020 in the context of handling Covid-19 and. The method used in this paper is about conceptual, based on the legal certainty and utilities, and explains the use of discretion based on Law No. 30 of 2014 concerning Government Administration.Keywords: Laws and Regulations, Legal Certainty, COVID-19                                     
PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA OPERASI (KSO) ANTARA PT. GARUDA INDONESIA TBK DAN PT. SRIWIJAYA GROUP DALAM PERSPEKTIF HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Ratih Kemala
PALAR (Pakuan Law review) Vol 5, No 2 (2019): Volume 5 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (909.471 KB) | DOI: 10.33751/palar.v5i2.1193

Abstract

ABSTRAKUndang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu Power of Economic Regulation, yaitu kekuasaaan pemerintah untuk mengelola pasar yang di dalamnya meliputi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap aktifitas pelaku usaha di Indonesia. Termasuk pelaku usaha di bidang penerbangan sipil, yang saat ini mendapat sorotan dikarenakan harga tarif tiket pesawat yang mengalami kenaikan dari 40% hingga 120% bersamaan dengan setelah dilakukannya Perjanjian Kerjasama Operasi (KSO) antara Garuda dan Sriwijaya. Atas dasar penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU terhadap kedua maskapai tersebut, penulis melakukan penelitian yang serupa mengenai indikasi kartel dan rangkap jabatan (Cross Ownership) antara kedua maskapai. Penulis mendapatkan tidak terjadi kartel dalam perjanjian kedua maskapai namun adanya permasalahan operasional yang menyulitkan maskapai untuk tetap bertahan dengan harga tarif sebelumnya. Meskipun begitu harga tarif yang dinaikan ternyata tidak menyalahi batas maksimum tarif angkitan udara yang ditetapkan pemerintah. Sementara fakta rangkap jabatan memang terjadi antara kedua maskapai namun sampai saat ini KPPU belum melakukan publikasi dan klarifikasi mengenai masalah ini.Kata Kunci: Tiket pesawat, Kartel, Rangkap jabatan, Garuda, Sriwijaya ABSTRACTLaw No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition is one of the Power of Economic Regulations, namely the power of the government to manage the market which includes the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) as an institution that is authorized to conduct evaluations of the activities of business actors in Indonesia. Including business operators in the field of civil aviation, which is currently in the spotlight because the price of airline ticket prices has increased from 40% to 120% concurrently after the Operation Cooperation Agreement (KSO) was held between Garuda and Sriwijaya. On the basis of an investigation conducted by KPPU on the two airlines, the authors conducted a similar study regarding the indication of the cartel and dual position (Cross Ownership) between the two airlines. The author finds that there is no cartel in the agreement between the two airlines, but there are operational problems that make it difficult for the airline to survive with the previous fare. Even so, the tariff rates raised did not violate the maximum air transit rates set by the government. While the fact of concurrent positions did occur between the two airlines, up to now the KPPU has not made publications and clarifications on this issue.Keywords: Flight ticket, Cartel, Dual positions, Garuda, Sriwijaya
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYIDIK POLRI DALAM KASUS SALAH TANGKAP Nazaruddin Lathif
PALAR (Pakuan Law review) Vol 4, No 2 (2018): Volume 4 Nomor 2 Juli - Desember 2018
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (620.358 KB) | DOI: 10.33751/palar.v4i2.887

Abstract

ABSTRAKPenangkapan adalah suatu tindakan yang mengurangi atau membatasi kemerdekaan seseorang, maka penangkapan terhadap seseorang harus menjunjung tinggi HAM. HAM yang menjadi dasar setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar walaupun seseorang telah melakukan perbuatan tindak pidana, ia harus diperlakukan sebagai pribadi yang tidak bersalah meskipun berdasarkan bukti-bukti yang ada ia bersalah, selama belum ada keputusan pengadilan (Presumption of innocent). Faktor yang mempengaruhi polisi terjebak dalam suatu kesalahan dalam melakukan penangkapan, yaitu dinamika kerja yang begitu kompleks, kurangnya sumber daya manusia Polri dalam menentukan tingkat pelayanan dan penanganan kasus-kasus kejahatan, proses penyidikan yang sangat sulit, target atasan untuk segera menyelesaikan kasus tertentu dalam waktu cepat. Terhadap kekeliruan menangkap orang, polisi harus melakukan pertanggungjawaban yaitu, pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi serta disiplin. Upaya penanggulangan agar kasus salah tangkap tidak terjadi lagi yaitu, mengedepankan prinsip demokrasi dan HAM, mengembangkan budaya sipil di Polri, mengefektifkan komisi etika dan disiplin di Polri, mengedepankan fungsi kontrol dari Mabes Polri, peningkatan sumber daya manusia Polri, dan penerapan sanksi pidana yang tegas dalam peraturan perundang-undangan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran.Kata Kunci: Penangkapan, Penyidik Polri, Pertanggungjawaban Pidana.ABSTRACTArrest is an action that reduces or limits someone's independence, so arresting someone must uphold human rights. Human rights are the basis for everyone to get fair treatment even if someone has committed a crime, he must be treated as an innocent person even though based on the evidence he is guilty, as long as there is no court decision (Presumption of innocent). Factors affecting the police are trapped in an error in making arrests, namely the dynamics of work that are so complex, the lack of human resources of the National Police in determining the level of service and handling of crime cases, the investigation process is very difficult, the target of superiors to immediately resolve certain cases in time fast. In the case of arresting people, the police must take responsibility, that is, criminal, civil and administrative liability and discipline. Countermeasures to prevent the case of wrongful arrests from happening again, namely, prioritizing the principles of democracy and human rights, developing civil culture in the National Police, streamlining the ethics and discipline commission in the National Police, prioritizing the control functions of the National Police Headquarters, enhancing Polri's human resources, and applying strict criminal sanctions in the legislation for members of the National Police who committed violations.Keywords: Arrest, Police Investigator, Criminal Liability.
PENJATUHAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PDIANA KORUPSI BERDASARKAN PASAL 2 AYAT 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS KORUPSI BANTUAN SOSIAL COVID-19 MENTERI JULIARI BATUBARA) Roby Satya Nugraha
PALAR (Pakuan Law review) Vol 7, No 1 (2021): Volume 7, Nomor 1 Januari-Maret 2021
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (799.449 KB) | DOI: 10.33751/palar.v7i1.2956

Abstract

 Abstrak Tujuan penelitian hukum ini ialah tidak lain untuk menjabarkan dan menjelaskan secara rinci dan mendasar bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi berbunyi sebagai berikut: bagi Pelaku Korupsi yang terbukti secara hukum melakukan suatu perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam hal ini negara dalam keadaan darurat atau dalam keadaan adanya bencana alam maka pelaku tersebut dapat diancam dengan hukuman mati. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis, menggunakan data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan melakukan pengolahan data dengan kualitatif, diperoleh kesimpulan bahwa Penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dilakukan upaya secara penal, upaya penal merupakan salah-satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan suatu ancaman bagi pelakunya. Fungsionalisasi hukum pidana dalam kasus ini adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan tersebut melalui penegakan hukum dan penjatuhan hukum pidana mati perlu diberikan agar tujuan dari pidana itu dalam menciptakan efek jera (ultimum remedium) terlaksana dengan sebagaimana mestinya. Kata kunci : Hukuman mati, Ultimum remedium. Abstract The purpose of this legal research is none other than to describe and explain in detail and fundamentally that based on Article 2 paragraph 1 of Law no. 31 of 1999 concerning Corruption Crime reads as follows: for Corruption Actors who are legally proven to have committed an act to enrich themselves or others, in this case the state is in a state of emergency or in a state of natural disaster, the perpetrator can be threatened with the death penalty. This type of research is a normative research that is descriptive analytical in nature, using secondary data with data collection techniques through library research and processing data qualitatively, it is concluded that the application of the death penalty to perpetrators of corruption is carried out by means of penal, penal attempts. is one of the efforts to enforce the law or all actions taken by law enforcement officials that focus more on eradication after a crime is committed under criminal law, namely criminal sanctions which constitute a threat to the perpetrator. The functionalization of criminal law in this case is an effort to overcome these crimes through law enforcement and imposition of the death penalty need to be provided so that the purpose of the punishment in creating a deterrent effect (ultimum remedium) is properly implemented. Key words: Death penalty, Ultimum remedium.
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ALIH DAYA DALAM PELAKSANAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL GUNA MENDUKUNG TERWUJUDNYA IKLIM INVESTASI YANG KONDUSIF BAGI TERCAPAINYA KESEJAHTERAAN PEKERJA Nuradi Nuradi
PALAR (Pakuan Law review) Vol 5, No 1 (2019): Volume 5 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.991 KB) | DOI: 10.33751/palar.v5i1.1184

Abstract

ABSTRAK Ketentuan hukum yang mengatur perlindungan hukum pekerja alih daya dalam  pelaksanaan  hubungan  industrial untuk mendukung terwujudnya iklim investasi yang kondusif bagi tercapainya kesejahteraan pekerja  sudah sangat optimal. Optimalisasi perlindungan hukum tersebut terkait dengan Pasal 27  ayat (2) dan Pasal 28D UUD 1945;  UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; dan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara khusus optimalisasi perlindungan pekerja  tercantum dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian implementasi perlindungan hukum pekerja alih daya tersebut belum optimal karena adanya kelemahan dalam Pasal 64. 65 dan Pasal 66  UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan  Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Tentang  Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.  Kendala perlindungan hukum pekerja alih daya dalam  pelaksanaan  hubungan  industrial untuk mendukung terwujudnya iklim investasi yang kondusif bagi tercapainya kesejahteraan pekerja adalah (1) kurangnya sosialisasi peraturan tentang perlindungan hukum pekerja alih daya; (2) keterbatasan dukungan sumber daya aparatur instansi ketenagakerjaan dalam menyosialisasikan ketentuan hukum perlindungan pekerja kepada para pihak perusahaan maupun pekerja/buruh; (3) kecenderungan sikap aparatur yang dipengaruhi oleh kepentingan tertentu; (4) Pasal 17 dan Pasal 32 Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 Tentang  Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang berpotensi membatasi perkembangan pekerjaan alih daya dan menimbulkan perselisihan pelaksanaan pekerjaan alih daya. Konsep perlindungan hukum pekerja alih daya dalam  pelaksanaan  hubungan  industrial untuk mendukung terwujudnya iklim investasi yang kondusif bagi tercapainya kesejahteraan pekerja adalah konsep yang mencakup tiga komponen perlindungan : pertama, perlindungan hukum  pekerja alih daya yang berkeadilan bagi semua pihak; kedua, perlindungan hukum pekerja alih daya untuk mendukung terwujudnya iklim investasi yang kondusif; dan ketiga,  perlindungan hukum pekerja alih daya  yang mendukung tercapainya kesejahteraan pekerja.Kata Kunci :  Perlindungan Hukum, Pekerja Alih Daya, Pelaksanaan Hubungan Industrial ABSTRACTLegal provisions governing the legal protection of outsourced workers in the implementation of industrial relations to support the realization of an investment climate that is conducive to achieving the welfare of workers is very optimal. The optimization of legal protection is related to Article 27 paragraph (2) and Article 28D of the 1945 Constitution; Law No.1 of 1970 concerning Work Safety; UU no. 3 of 1992 concerning Workers' Social Security; and Law No.13 of 2003 concerning Manpower. Specifically the optimization of workers' protection is contained in Law No. 13 of 2003 concerning Employment. However, the implementation of the legal protection of outsourced workers has not been optimal due to weaknesses in Article 64. 65 and Article 66 of Law 13 of 2003 concerning Labor and Manpower and Transmigration Regulation Number 19 of 2012 concerning Terms of Submission of Partial Execution of Work to Other Companies. Obstacles to the legal protection of outsourced workers in the implementation of industrial relations to support the realization of an investment climate conducive to achieving workers' welfare are (1) lack of socialization of regulations concerning the legal protection of outsourced workers; (2) limited support of the apparatus of manpower agencies in socializing the provisions of the legal protection of workers to the parties of the company as well as workers / laborers; (3) apparatus attitude which is influenced by certain interests; (4) Article 17 and Article 32 Minister of Manpower and Transmigration Number 19 of 2012 concerning Conditions of Submission of Partial Execution of Work to Other Companies that have the potential to limit the development of outsourcing work and cause disputes over the implementation of outsourcing work. The concept of legal protection of outsourced workers in the implementation of industrial relations to support the realization of an investment climate conducive to the achievement of workers' welfare is a concept that includes three components of protection: first, the legal protection of outsourced workers that is equitable for all parties; secondly, legal protection of outsourced workers to support the creation of a conducive investment climate; and third, legal protection of outsourced workers that supports the achievement of worker welfare.Keywords: Legal Protection, Outsourced Workers, Industrial Relations Implementation
PELAKSANAAN PIDANA BERSYARAT DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA Sapto Handoyo D.P.
PALAR (Pakuan Law review) Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1, Januari-Juni 2018
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.882 KB) | DOI: 10.33751/palar.v4i1.782

Abstract

AbstrakLembaga pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14a s/d Pasal 14f Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Timbulnya lembaga pidana bersyarat ini sebagai reaksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, terutama pidana perampasan kemerdekaan jangka waktu pendek, yang dalam hal ini sangat merugikan baik terhadap pelaku tindak pidana, maupun terhadap masyarakat. Pelaksanaan pidana bersyarat harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus. Tujuan pelaksanaan pidana bersyarat yaitu berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasaan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke tengah-tengah masyarakat. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun, pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan syarat Hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Dasar atau alasan penjatuhan pidana bersyarat adalah memperbaiki diri terpidana agar dapat dibina lebih baik lagi dan menghindarkan dari lingkungan yang kurang baik, serta mendidik sikap mental dan sosial bermasyarakat yang baik.Kata kunci: Terpidana, syarat umum, syarat khusus, pembinaan.AbstractConditional criminal institutions are regulated in Articles 14a to Article 14f of the Indonesian Criminal Code. The emergence of this conditional criminal institution as a reaction from public dissatisfaction with the crime of deprivation of liberty, especially the criminal of deprivation of independence for a short period of time, which in this case is very detrimental both to the perpetrators of criminal acts, and against the community. Conditional offenses must meet general and specific requirements. The purpose of the implementation of conditional crimes is to try to avoid and weaken the negative consequences of the crime of deprivation of liberty that often hinders the correctional efforts of prisoners to return to the midst of society. In decisions that impose a prison sentence, as long as the duration is not more than one year, conditional penalties can be imposed, provided that the Judge does not want to impose a criminal for more than one year. The basis or reasons for conditional criminal offenses are to improve the convict's self so that they can be fostered better and avoid bad environment, and to educate people with good mental and social attitude. Keywords: Convicted, general conditions, special requirements, coaching.
IMPLEMENTASI PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS KORUPSI BANDARA RADEN INTAN LAMPUNG (STUDI PUTUSAN NOMOR 5/PID.SUS-TPK/2020/PN.TJK) Atri Pala Sapitri; Bambang Hartono; Recca Ayu Hapsari
PALAR (Pakuan Law review) Vol 7, No 1 (2021): Volume 7, Nomor 1 Januari-Maret 2021
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (833.894 KB) | DOI: 10.33751/palar.v7i1.3032

Abstract

Abstrak    Penelitian ini bertujuan untuk Mengenalisis pertimbangan hakim  Judex Factie dalam menjatuhkan putusan terhadap putusan bebas       korupsi pekerjaan Land Clearing pematangan lahan fasilitas sisi udara barutahap I Bandara Raden Intan II Lampung yang menyatakan terdakwa bebas dari segala dakwaan dalam perkara sudah sesuai dengan Pasal 183 jo Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat peneliti simpulkan bahwa proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi dalam putusan Nomor 5/Pid. Sus-TPK/2020/PN-Tjk didasarkan pertimbangan hakim Yudex Factie dan pada alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan pengadilan dalam kasus korupsi pekerjaan land Clearing pematangan lahan fasilitas sisi udara tahap I Bandara Raden Intan II Lampung signifikan terhadap pembuktian dakwaan oleh penuntut umum, mematahkan konstruksi yuridis penuntut umum sehingga dakwaan primair tidak terpenuhi dan dituntut dengan dakwaan subsidair.     Kata kunci :Korupsi, Putusan Bebas, Judex Factie.
ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEBAGAI KREDITUR SERTA PENYELESAIAN PERKARA PAILIT YANG TERJADI PADA PERUSAHAAN KAWASAN BERIKAT (Studi Kasus Putusan MA No: 652 K/Pdt.Sus-Pailit/ 2014) Risman Syah Thohir
PALAR (Pakuan Law review) Vol 6, No 2 (2020): Volume 6, Nomor 2 Juli-Desember 2020
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (847.406 KB) | DOI: 10.33751/palar.v6i2.2218

Abstract

ABSTRAKKondisi perekonomian yang tidak stabil, mendorong Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk memberikan fasilitas penangguhan  bea masuk dan pajak dalam rangka impor kepada perusahaan yang berstatus sebagai Kawasan Berikat. Dimana atas penangguhan tersebut, maka DJBC dapat bertindak sebagai kreditur apabila terjadi kepailitan pada perusahaan kawasan berikat. Terkait status sebagai kreditur, telah diatur melalui Undang-Undang no 17 tahun 2006 bahwa DJBC memiliki kedudukan sebagai kreditur preferen. Namun demikian, hal tersebut tidak menjamin bahwa DJBC akan mendapat pembayaran sesuai tagihan sebagaimana terjadi pada kasus kepailitan PT Kepsonic Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian kepailitan serta kedudukan DJBC sebagai kreditur atas harta kepailitan di kawasan berikat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu pendekatan kasus terkait kepailitan yang terjadi di PT Kepsonic Indonesia  sebagaimana memiliki ketetapan hukum berdasar Putusan Mahkamah Agung RI No: 652 K/Pdt.Sus-Pailit/2014. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kegagalan DJBC mendapatkan hak piutangnya dikarenakan tidak terpenuhinya syarat formal akibat adanya keterlambatan dalam pengajuan keberatan atas pembagian harta oleh kurator. Dimana hukum kepailitan,  masih dirasa belum dapat memberikan keadilan yang merata atas seluruh kreditur terutama terkait dengan prosedur formal yang masih berpotensi menimbulkan dampak negatif dalam pelaksanaannya. Kata Kunci: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Pailit, Kawasan Berikat, Kreditur Preferen
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN TEGUH RIANTO
PALAR (Pakuan Law review) Vol 2, No 1 (2016): Volume 2 Nomor 1 Januari - Juni 2016
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (956.489 KB) | DOI: 10.33751/palar.v2i1.934

Abstract

ABSTRAKJurnal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan jelas Pengawasan Ketenagakerjaan di Perusahaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan mengenai perusahaan yang menghalang-halangi Pengawas Ketenagakerjaan yang akan masuk ke perusahaan untuk melakukan pemeriksaan di perusahaan, karena jika perusahaan tersebut menghalang-halangi pengawas ketenagakerjaan maka dapat diancam dengan tindak pidana ringan. Dalam jurnal penelitian ini menggunakan studi kasus putusan Pengadilan Negeri Serang Perkara Nomor 4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg. yang menjatuhkan putusan tindak pidana ringan kepada seorang manajemen perrusahaan PT. Siemens Indonesia karena menghalang-halangi Pengawas Ketenagakerjaan saat akan memeriksa perusahaannya. Tujuan penelitian ini agar dapat mengetahui peranan Pengawas Ketenagakerjaan, tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dan apakah dengan adanya putusan tindak pidana ringan tersebut dapat membuat efek jera bagi perusahaan-perusahaan lainnya. Peran Pengawas Ketenagakerjaan adalah untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah ketenagakerjaan. Karakteristik sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan membedakan perbuatan pidana di bidang ketenagakerjaan ke dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran, subjek yang di ancam pidana terdiri atas pegawai (Pengawas Ketenagakerjaan) dan koporasi (pengusaha). Penerapan sanksinya dilakukan secara alternatif, yaitu pelaku tindak pidana dapat diterapkan salah satu sanksi. Juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus. Nominal denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan untuk digunakan pada masa sekarang.Kata kunci: Pengawas Ketenagakerjaan, Perusahaan, Tindak Pidana Ringan. ABSTRACTThis research journal aims to find out clearly Labor Inspection in Companies based on Act Number 3 of 1951 concerning Labor Inspection concerning companies which prevent Labor Inspectors from going into the company to conduct inspections in the company, because if the company obstructs inspectors employment can then be threatened with minor criminal offenses. In this research journal, the case study of Serang Perkara District Court Number 4 / Pid.Tipiring / 2016 / PN.Srg. which handed down a verdict of a minor crime to a company management PT. Siemens Indonesia for blocking obstruct the labor inspector when checking his company. The purpose of this study is to be able to know the role of labor inspectors, criminal offenses in the field of labor and whether the existence of these minor criminal offenses can create a deterrent effect for other companies. The role of the labor inspector is to oversee the implementation of the laws and regulations that govern labor issues. The characteristics of criminal sanctions in Law Number 3 of 1951 concerning Labor Inspection distinguish criminal acts in the field employment in the form of crime and violations, subjects threatened with criminal law consist of employees (Labor Inspector) and coporation (employers). The application of sanctions is carried out alternatively, namely that a criminal offender can be subject to one of the sanctions. Also do not adhere to the minimum sanctions and special maximum sanctions. The nominal penalty referred to in Article 6 paragraph (4) is only Rp. 500, - (five hundred rupiah) which is not relevant to use today.Keywords: Labor Inspector, Company, Criminal Acts Light.

Page 5 of 23 | Total Record : 226