cover
Contact Name
Mada Apriandi Zuhir
Contact Email
madazuhir@yahoo.com.sg
Phone
-
Journal Mail Official
lexlatamihunsri@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. ogan ilir,
Sumatera selatan
INDONESIA
Lex Lata: Jurnal Ilmah Ilmu Hukum
Published by Universitas Sriwijaya
ISSN : -     EISSN : 26570343     DOI : -
Core Subject : Social,
Lex Lata, disingkat LexL, diluncurkan pada tanggal 31 Januari 2019 oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum (MIH) Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Tujuan dari jurnal ilmiah ini adalah untuk menyediakan ruang publikasi baik yang berasal dari hasil penelitian maupun pemikiran ilmiah murni. Jurnal ini mencakup semua bidang dalam ilmu hukum, antara lain: hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum internasional, hukum islam, hukum agraria, hukum perdata, hukum pidana, hukum bisnis, hukum kesehatan, dll.
Arjuna Subject : -
Articles 116 Documents
Penerapan Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia Rustini Rustini; Iza Rumesten
Lex LATA Vol 2, No 3 (2020): Vol 2, No 3, November 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crimes, maka perlunya pengaturan dan penerapan perangkat-perangkat hukum yang memadai (proporsional) dan bersifat luar biasa (comprehensive extraordinary measure). Langkah yang tegas dan sanksi yang berat sangat diperlukan untuk memberikan efek jera. Selain mengatur pidana pokok Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga mengatur dengan tegas sanksi pidana tambahan yang dikenakan terhadap pelaku korupsi salah satunya adalah Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu dalam hal ini hak politik memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Akan tetapi mencabutan hak tertentu dalam konteks Hak Politik terpidana kasus korupsi bertentangan dengan aturan di dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menyatakan beberapa hak yang tidak dapat dikurangi dalam diri manusia salah satunya adalah Hak Memilih dan dipilih pada pemilihan umum.Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi dalam prespektif Hak Asasi Manusia, Bagaimana penerapan penjatuhan sanksi pidana tambahan pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan Bagaimana pengaturan mengenai pencabutan hak politik terpidana kasus korupsi pada masa yang akan datang, Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu Penelitian yang menggunakan bahan-bahan hukum dari penelitian kepustakaan yang dikumpulkan dari bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Pencabutan Hak untuk memilih dan dipilih bagi koruptor tidak melanggar hak asasi manusia karena termasuk dalam kategori derogable rights atau hak yang bisa dilanggar penegak hukum, dalam hal ini hakim yang memutuskan, dalam rangka penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat hal ini sejalan aturan didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan hak memilih dan dipilih tanpa adanya jangka waktu berlakunya vonis pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1 KUHP yang menyatakan mencabut hak tersebut secara utuh, yang seharusnya hanya dibatasi dalam jangka waktu tertentu dan Konsep ideal kedepan ialah perlu adanya pengaturan mengenai pencabutan hak politik terpidana kasus korupsi dengan diberikan  jangka waktu batasan pencabutan hak politiknya menjadi 10 tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya.
PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN PENGUMUMAN IDENTITAS PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK desi amelia; Henny Yuningsih
Lex LATA Vol 2, No 2 (2020): Vol 2, No.2, Juli 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak membutuhkan pemberatan ancaman dan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku. Salah satunya dengan penerapan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Tetapi, hingga saat ini belum terdapat norma mengenai tata cara pelaksanaan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dasar pengaturan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak adalah ketentuan Pasal 82 ayat (5) UUPA Perubahan II juncto Pasal 76E UUPA-Perubahan I, dan Pasal 81 ayat (6) UUPA-Perubahan II juncto Pasal 76D UUPA-Perubahan I. Di sisi lain, tidak terdapat peraturan pelaksana tentang tata cara pelaksanaan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sedangkan terdapat putusan yang menjatuhkan sanksi pidana tambahan sebagaimana dimaksud. Dalam penerapannya, terdapat perbedaan dalam penjatuhan sanksi pidana, karena pada Putusan Pengadilan Negeri Curup Nomor : 116/Pid.Sus/2016/PN.Crp terpidana hanya dijatuhi sanksi pidana pokok, sedangkan pada Putusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor : 82/Pid.Sus/2017/PN.Son terpidana selain dijatuhi sanksi pidana pokok tetapi juga dijatuhi sanksi pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Walaupun demikian, demi keadilan bagi korban, keluarga korban, dan perlindungan bagi anak-anak lain di masa mendatang, seyogyanya terhadap para pelaku tindak pidaa yang serupa haruslah dijatuhi pula sanksi pidana tambahan
KERJASAMA PT PERTAMINA EP DENGAN PT PETRO MUBA DALAM PENGUSAHAAN SUMUR TUA MINYAK BUMI DI LAPANGAN BABAT DAN KUKUI DESA SUNGAI ANGIT Adrian Gunawan; Joni Emirzon; Muhammad Syaifuddin
Lex LATA Vol 2, No 3 (2020): Vol 2, No 3, November 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPengusahaan sumur tua minyak memiliki potensi strategis dan ekonomis. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1 Tahun 2008 diterbitkan dalam rangka mengoptimalkan produksi minyak bumi dalam suatu wilayah kerja yang di dalamnya terdapat sumur tua dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua, dengan cara mengikutsertakan partisipasi masyarakat sekitarnya. PT Pertamina EP (BUMN) bekerjasama dengan PT Petro Muba (BUMD) untuk memproduksi minyak bumi pada 565 sumur tua di Lapangan Babat dan Kukui Desa Sungai Angit. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa dan mengevaluasi penerapan Permen ESDM No.1 Tahun 2008 dalam kerjasama pengusahaan sumur tua minyak bumi antara PT Pertamina EP dengan PT Petro Muba di Lapangan Babat dan Kukui Desa Sungai Angit. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang di dukung dengan data empiris, menggunakan pendekatan pendekatan perundangan, sosiologi. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kerjasama dalam bentuk perjanjian yang dilakukan antara PT. Pertamina EP dan PT Petro Muba telah sesuai Permen ESDM No.1 Tahun 2008. Model perjanjian yang digunakan adalah Imbalan Jasa Produksi. Periode perjanjian kerjasama adalah lima tahun dan dapat diperpanjang kembali selama lima tahun. Kerjasama yang dilakukan sudah terlindungi secara hukum dan memberikan manfaat kepada ekonomi masyarakat dan pembangunan di wilayah pengusahaan sumur tua minyak. Kata Kunci: Peraturan, Kerjasama,Pengusahaan,Sumur Tua Minyak
PENGENYAMPINGAN ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI DALAM PRAKTIK PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN alex akbar
Lex LATA Vol 2, No 2 (2020): Vol 2, No.2, Juli 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pemberlakuan asas lex specialis derogat legi generali dalam sistem  peradilan pidana, pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menuntut dan Hakim dalam memutus yang mengesampingkan asas lex specialis derogat legi generali dalam praktik pemidanaan pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan, serta kebijakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan di masa mendatang. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,  dasar hukum asas lex specialis derogat legi generali dalam sistem peradilan pidana adalah ketentuan  Pasal 63 ayat (2) KUHP yang merumuskan bahwa apabila terjadi suatu tindak pidana yang melanggar dua ketentuan hukum pidana atau lebih, yang salah satunya adalah ketentuan hukum pidana umum, dan yang lainnya adalah ketentuan hukum pidana khusus, maka ketentuan hukum pidana khusus itulah yang dikenakan kepada pelakunya. Pertimbangan hukum JPU dalam menuntut dan hakim dalam memutus yang mengenyampingkan asas lex specialis derogate legi generali dalam praktik pemidanaan pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan adalah ketiadaan sanksi pidana denda dan hukuman subsider dalam KUHP serta hati nurani JPU dan hakim dengan kebebasan menentukan tuntutan dan putusan sanksi pidana yang ringan dikarenakan bagi tindak pidana tersebut memiliki batas maksimum khusus. Kebijakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pembakaran hutan dan lahan adalah : pertama, penerapan ancaman pidana dalam tuntutan dan sanksi pidana dalam putusan hakim yang seberat-beratnya ditujukan dan lebih tepat khususnya kepada subjek hukum badan usaha bukan perseorangan; kedua, pelarangan pembakaran hutan sepenuhnya tanpa alasan apapun khususnya pelarangan membukan lahan dengan cara membakar hutan sepenuhnya, mengingat sekecil apapun pembakaran tetap berpotensi kepada perluasan dari akibat pembakaran tersebut yang memberi kerugian yang luas bagi kesehatan masyarakat, keberlangsungan lingkungan hidup, dan negara-negara tetangga, terlebih pembakaran dilakukan pada musim kemarau dan pada masa curah hujan yang rendah.
KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA SUAP DALAM UNDANG-UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Efan Apturedi
Lex LATA Vol 2, No 3 (2020): Vol 2, No 3, November 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan formulasi Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor, dampak hukumnya,  serta kebijakan formulasinya di masa mendatang. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,  pertama, penerapan hukum tindak pidana suap berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 Huruf a dan b UU Tipikor, didapati dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 11/Pid.B/TPK/2008/PN.JKT.PST atas nama terpidana Urip Tri Gunawan dan Putusan PN Surabaya Nomor : 268/ PID.B-TPK/2016/PN.Sby atas nama terpidana Ahmad Fauzi. Kedua terdakwa dalam dakwaannya masing-masing salah satunya  didakwa berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor, tetapi Urip Tri Gunawan dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 12 b UU Tipikor sedangkan Ahmad Fauzi dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor. Padahal, kedua norma tersebut berada dalam undang-undang yang sama, tetapi memiliki unsur-unsur tindak pidana yang serupa, dan masing-masing terdakwa merupakan pegawai negeri atau penyelenggara yang bertindak sebagai penerima suap, yang pada akhirnya berakibat kepada perbedaan penjatuhan sanksi pidana baik pidana penjara, pidana denda, dan subisidaritasnya. Kedua, dampak penegakan hukum tindak pidana suap berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor adalah didapatinya kendala dari faktor (substansi) hukum dan faktor penegak hukum khususnya hakim. Dari faktor hukum, terjadi ketidakpastin hukum dengan wujud pengulangan norma dalam hal kesamaan unsur-unsur tindak pidana pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Tipikor dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, tetapi masing-masing mengadung ancaman sanksi pidana yang berbeda. Dampaknya, senada apabila ditinjau dari faktor penegak hukum khususnya hakim, yaitu terjadi disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim karena kedua norma walaupun memiliki unsur-unsur tindak pidana yang serupa tetapi mengandung ancaman sanksi pidana yang berbeda. Ketiga, kebijakan formulasi tindak pidana suap di masa mendatang adalah judicial review ketentuan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 12 huruf a UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi karena pasal-pasal a quo yang mengandung unsur-unsur tindak pidana yang sama tetapi berbeda dalam ancaman sanksi pidana dapat berpotensi mendiskriminasikan dan merugikan hak konstitusinal serta keadilan bagi warga negara sehingga pasal-pasal a quo menjadi celah “tawar menawar” atau “jual beli” penerapan penjatuhan putusan pidana. Hal-hal demikian telah bertentangan dengan konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan oleh karenanya ketentuan Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor dapat dituntut untuk dihapuskan.
PERLINDUNGAN DAN PENERAPAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG TERLIBAT DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA Caery Arina Putiloka; Ruben Ahmad
Lex LATA Vol 2, No 3 (2020): Vol 2, No 3, November 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak  :  dilatarbelakangi karena banyaknya kasus tindak pidana terorisme yang melibatkan anak. Munculnya banyak perkara terorisme yang melibatkan anak bila tidak ditangani dengan baik  sudah tentu akan mengganggu ketidakpuasan dalam masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan hukum pemidanaan terhadap putusan No:19/Pid.Sus/2011/PN.Klt, mengenai tindak pidana terorisme yang melibatkan anak, dan  konsep yang ideal kedepan terhadap perlindungan dan penerapan hukum pada anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme terdapat dalam  Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA) Pasal 2, 3 dan 5, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA) Pasal 59, 59A,64 dan 69B dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT) Pasal 19 dan16A serta Pasal perlindungan yang krusial yakni pasal 26, 30-43 SPPA. Putusan No:19/Pid.Sus/2011/Pn. Klt menggunakan hukum pemidanaan dengan teori pemidanaan gabungan. Konsep Ideal kedepan untuk perlindungan dan penerapan hukum anak yang terlibat dalam Tindak Pidana Terorisme menggunakan Konsep Deradikalisasi. Kata Kunci : Anak; Deradikalisasi; Pemidanaan;Perlindungan Hukum; Tindak Pidana Terorisme
MITIGASI RISIKO TANGGUNG JAWAB SECARA TANGGUNG RENTENG DEWAN KOMISARIS ATAS KERUGIAN PERUSAHAAN PERSEROAN DALAM PERSPEKTIF PRINSIP – PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE) Muammar Syah Reza
Lex LATA Vol 3, No 2 (2021): Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional. Sebagai pelaku ekonomi, BUMN juga menghadapi ketidakpastian dan risiko yang menjadi kendala bagi mereka dalam usaha mencapai visi dan misi mereka. Salah satu jenis risiko tersebut adalah risiko hukum. Oleh karena itu maka dalam tulisan ini diteliti mengenai Bagaimana penerapan mitigasi risiko Dewan Komisaris untuk mengantisipasi kesalahan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kerugian perusahaan BUMN. Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analitis, pendekatan futuristis, dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum yang diperoleh ditafsirkan menggunakan penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Beban tanggung jawab kerugian yang diderita perseroan menjadi dapat tanggung jawab tanggung renteng bagi semua anggota Dewan Komisaris. Kesalahan yang dilakukan oleh komite-komite dibawah Dewan Komisaris juga menjadi tanggung jawab Dewan Komisaris. Tanggung jawab yang dibebankan kepada Dewan Komisaris juga dibebankan kepada Dewan Direksi secara bersama-sama karena sumber kesalahan berasal dari Dewan Direksi. Mitigasi risiko yang dilakukan Dewan Komisaris yaitu penerapan GCG, efektifitas komisaris Independen, menambah kompetensi anggota Dewan Komisaris melalui pendidikan berkelanjutan serta pelaksanaan pemantauan mitigasi risiko perusahaan oleh komite manajemen risiko sebagai salah satu fungsi pengawasan Dewan Komisaris.
KARAKTERISTIK PERJANJIAN BUILD OPERATE TRANSFER (BOT) SEBAGAI BENTUK PERJANJIAN INNOMINATE Helen Primadianti
Lex LATA Vol 2, No 1 (2020): Vol 2, No 1, Maret 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perjanjian Build Operate Transfer(BOT) merupakan salah satu bentuk perjanjian kerjasama yaitu salah satu pihak (investor) menyediakan dana dengan membangun dan membiayai untuk mendirikan fasilitas baru dan pemerintah sebagai pemilik tanah/lahan. Perjanjian BOT ini merupakan bentuk perjanjian yang sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, namun tunduk pada kententuan tersebut. Secara umum perjanjian ini  sebenarnya hampir sama dengan  perjanjian-perjanjian yang lainnya, yang tentunya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, tetapi juga ada karakteristik yang membedakannya dari perjanjian lainnya. Dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui dan mengkaji karakteristik Perjanjian BOT dibandingkan perjanjian-perjanjian pada umumnya. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian normatif yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan analisis (analitycal approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa ada karakteristik khusus dalam Perjanjian BOT baik dari segi prestasi, perbuatan hukumnya dan adanya aspek publik yang terkandung dalam perjanjian tersebut.
KEPASTIAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI ABITRASE Forsa Restu Gibran
Lex LATA Vol 3, No 2 (2021): Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKArbitrase dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, menggunakan pendekatan Perundang-undangan dan pendekatan sejarah., Analisis yang digunakan berupa analisis kualitatif. Adapun permasalahan (1) Bagaimanakah komitmen para pihak yang bersengketa terhadap kesepakatan yang telah mereka buat sendiri bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase, bukan pengadilan? Bahwa komitmeen para pihak yang bersengketa terhadap kesepakatan yang telah mereka buat dalam hal ini adanya perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa, perjanjian merupakan kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih dimana satu pihak dalam perjanjian mengikat dirinya untuk melakukan suatu prestasi terhadap pihak lainnya. (2) Bagaimanakah para pihak yang bersengketa dan sikap pengadilan sendiri terhadap proses arbitrase? Para pihak yang bersengketa pada dasrnya membuat kontrak perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela berdasrkan itikad baik dan sikap pengadilan terhadap proses arbitrase. Pengadilan Negeri diberikan wewenang dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase. (3) Bagaimana Efektifitas Penyelesaian Sengketa Bisnis melalui Arbitrase Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Abitrase? Efektifitas penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase memiliki beberapa faktor diantaranya: 1) sengketa dalam batas wajar; 2) komitmen para pihak; 3) keberlanjutan hubungan; 4) keseimbangan posisi tawar menawar; 5) prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia. Kata Kunci : Jaminan, Abitrase, Penyelesaian Sengketa.
LEGALITAS PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) REPUBLIK INDONESIA Ellyas Mozart Z. S.
Lex LATA Vol 3, No 2 (2021): Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

KPK mempunyai tugas dan kewenangan diantaranya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, namun tidak ada kejelasan dan ketegasan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur mengenai kewenangan melakukan pelaksanaan putusan (eksekusi) terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah memperoleh kekuatan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sebagaimana dalam pratiknya selama ini KPK melakukan tindak eksekusi terhadap putusan perkara tindak pidana korupsi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh KPK yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan hakim sebagaimana berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak ada aturan secara jelas dan tegas KPK memiliki kewenangan melaksanakan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (eksekusi), sebagaimana selama ini KPK dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki dasar hukum atau tidak sah dan KPK telah melampaui kewenangan untuk mewujudkan tujuan hukum sehingga tindakan yang dilakukan KPK seharusnya sesuai dengan kewenangannya yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pelaksanaan penetapan hakim.Kata Kunci: KPK, Kewenangan, Pelaksanaan Putusan

Page 1 of 12 | Total Record : 116