cover
Contact Name
Agus Sumpena
Contact Email
agus.sumpena@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
pjil@fh.unpad.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Journal of International Law
ISSN : 25492152     EISSN : 25491296     DOI : -
Core Subject : Social,
Padjadjaran Journal of International Law (PJIL) is a peer-reviewed international law journal published by the Department International Law, Faculty of Law Universitas Padjadjaran. PJIL publishes its articles annually every January. The articles published by PJIL are scientific articles that explain a research result and analytical review in the field of international law.
Arjuna Subject : -
Articles 91 Documents
The United Nations Security Council Resolution on Sanctions Towards Individual from the Perspective of International Law Suri, Jessica Priscilla
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.886 KB)

Abstract

AbstractThe United Nations (UN) Security Council (SC) holds the primary responsibility to maintain international peace and security. The emergence of international terrorism as a threat to international peace and security encourages the SC to impose sanctions in the form of assets freeze, travel ban and arms embargo towards targeted individuals. However, the implementation of UN targeted sanctions towards individuals has been violating the targeted individual?s human rights to property, rights of movement, rights to privacy, honor and reputation, and also the rights to a fair trial. This article explains the legitimation of the SC Resolutions in imposing sanction towards an individual, and the obligation of UN member states towards the SC resolution that imposes sanctions against its citizen. The article argues that violations of human rights stemming from the implementation of SC Resolutions on sanction towards individuals indicate that the resolutions have been adopted beyond the limits of international law. This condition satisfies the invalidity of such resolutions. In accordance with Article 25 and 103 of the UN Charter, all member states have an obligation to accept, carry on and give priority to the obligation originating from the SC Resolution including to implement the sanction measures towards individuals. Nevertheless, member states must accommodate and harmonize its obligations in respecting, protecting and fulfilling all the individuals? rights who are targeted by the SC along with its obligation to the SC Resolutions.Keywords: Human Rights, Sanction towards Individuals, United Nations Security Council. AbstrakDewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK) memiliki tanggungjawab utama untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Munculnya terorisme internasional sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional mendorong DK untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan aset, pelarangan perjalanan serta embargo senjata kepada individu yang ditargetkan. Penerapan penjatuhan sanksi tersebut menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak terhadap properti, hak kebebasan berpindah, hak atas privasi, kehormatan dan reputasi serta hak atas proses pengadilan yang adil. Artikel ini diawali dengan pembahasan legitimasi resolusi DK yang menjatuhkan sanksi kepada individu, serta memaparkan mengenai kewajiban negara anggota PBB terhadap resolusi DK yang menjatuhkan sanksi kepada warga negaranya. Pelanggaran HAM yang disebabkan oleh penerapan penjatuhan sanksi terhadap individu mengindikasikan bahwa resolusi yang mendasari penjatuhan sanksi tersebut diadopsi dengan melampaui batasan-batasan penjatuhan sanksi DK dan telah kehilangan legitimasinya menurut hukum internasional. Sekalipun negara memiliki kewajiban menerima, melaksanakan dan mengutamakan kewajibannya berdasarkan Resolusi DK yang menjatuhkan sanksi terhadap individu, negara tetap harus mengakomodir dan mengharmonisasikan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM individu yang dijatuhkan sanksi saat melaksanakan kewajibannya yang berasal dari Resolusi DK.Kata Kunci: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Hak Asasi Manusia, Sanksi terhadap Individu.
Indonesia’s New Model of Bilateral Investment Treaty: Comparison with Brazil Putri, Resha Roshana
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.539 KB)

Abstract

AbstractIn the past few years, there has been a surge in lawsuits against the mechanism for resolving international investment disputes through the Investors State Dispute Settlement (ISDS) forum proposed by foreign investors who are host states, including Indonesia. Most of the claims are due to policies of the host country which are intended to protect the basic rights of the people such as the right to health, the right to a healthy environment, taxes, as well as the minimum standard of wages for workers. This policy provides a loss for foreign investors and is considered as a violation of the Bilateral Investment Treaty (BIT). BIT is often recognized to be detrimental to Indonesia, because it potentially can disrupt the sovereignty of the country, especially when it is dealing with foreign investors disputes. By using a comparative juridical approach as a research method, this article tries to provide sufficient rules for new BIT model by comparing with Brazil. Brazil?s Cooperation and Investment Facilitation Agreement (CIFA) has succeeded in reforming Brazil investment regime (specifically on its BITs). Indonesia therefore needs to change several provisions in its BITs as also provided in CIFA Brazil, which is not member of the ICSID Convention.Keywords: BIT, CIFA, Investor State Dispute Settlement, ICSID AbstrakBeberapa tahun terakhir, ada lonjakan tuntutan hukum terhadap mekanisme penyelesaian sengketa investasi internasional melalui  Investor State Dispute Settlement (ISDS), sebuah forum yang diusulkan oleh investor asing yang menjadi negara tuan rumah    termasuk Indonesia. Sebagian besar tuntutan disebabkan oleh kebijakan negara tuan rumah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar masyarakatnya seperti hak atas kesehatan, hak atas lingkungan yang sehat, pajak, juga standar minimum upah pekerja. Kebijakan ini berdampak pada kerugian bagi investor asing dan dianggap sebagai pelanggaran Bilateral Investment Treaty (BIT). BIT seringkali dianggap merugikan bagi Indonesia, karena dapat mengganggu kedaulatan negara, khususnya ketika berhadapan dengan sengketa internasional dengan investor asing. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan, artikel ini mencoba untuk memberikan aturan hukum yang memadai untuk model BIT yang baru dengan melakukan perbandingan dengan BIT Brazilia yang disebut Cooperation and Investment Facilitation Agreement (CIFA). Brazil dipilih karena merupakan negara yang berhasil melakukan reformasi terhadap rezim investasinya, khususnya pada BIT. Hasil dari perbandingan tersebut adalah Indonesia perlu merubah beberapa ketentuan dalam BITs nya, seperti yang terkadung dalam CIFA di Brazil, yang bukan merupakan negara anggota dari Konvensi ICSID.Kata Kunci: BIT, CIFA, Penyelesaian Sengketa Investor-Negara, ICSID
Former Child Soldiers Status: How the International Criminal Court Considers Its Significance in the Sentencing Process Pananjung, Dino Panji; Poerana, Sigar Aji
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.929 KB)

Abstract

AbstractIn armed conflicts, children are often kidnapped and forced to become child soldiers since it is relatively easy for them to be indoctrinated (by violence and threats) and taught to commit crimes, such as looting and murder. Disobeyed children and those who try to escape will be punished in the form of torture or even executed in front of other children soldiers as a deterrence lesson. After no longer serving as soldiers, as they are growing up, they are entitled a status of  ?former? child soldiers. Due to their backgrounds, it is most likely that those ?former? child soldiers might still live in rebellious environments and even consistently commit serious crimes including international crimes under the jurisdiction of International Criminal Court (ICC). This research thus analyses how the status of ?former? child soldiers plays significant role as a mitigating factor of punishment in the case brought before the ICC. The practices of ICC demonstrate that it has never considered the historical background of perpetrators including their ?former? status as child soldiers when deliberates a sentencing. This is due to the fact that such considerations are not stipulated in the Rome Statute. This article argues that ICC may refer to other considerations beyond what are written in Rome Statute. Article 21(3) of the Rome Statute can be used as a legal basis to consider the ?former? child soldier status as a sufficient factor to mitigate the punishment.Keywords: Child Soldier, International Criminal Court, Mitigating Factor, Judgment and Sentencing. AbstrakDalam konflik bersenjata, anak seringkali diculik dan dipaksa menjadi tantara anak, mereka juga didoktrin paksa (melalui kekerasan atau ancaman) serta diajakan untuk melakukan kejahatan seperti menjarah dan membunuh. Mereka yang tidak menurut dan yang mencoba melarikan diri akan dihukum dengan disiksa di hadapan para tantara anak lainnya sebagai contoh agar tidak ditiru oleh anak lainnya. Mereka disebut ?mantan tantara anak? setelah tidak lagi menjadi tentara atau telah dewasa. Tidak menutup kemungkinan ketika dewasa  mereka  hidup dengan jiwa pemberontak dan melakukan kejahatan serius bahkan kejahatan internasional yang menjadi jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Penelitian ini membahas apakah Mahkamah Pidana Internasional mempertimbangkan riwayat seorang pelaku kejahatan internasional yang menjadi seorang mantan tentara anak untuk meringankan hukuman mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik Mahkamah Pidana Internasional tidak pernah mempertimbangkan latar belakang pelaku kejahatan internasional sebagai mantan tentara anak. Penelitian ini berkesimpulan bahwa seharusnya Hakim Mahkamah Pidana Internasional dapat menggunakan ketentuan diluar Statuta Roma berdasarkan pasal 21(3) untuk mempertimbangkan status mantan tentara anak sebagai factor peringan hukuman.Kata Kunci: Tentara Anak, Mahkamah Pidana Internasional, Faktor Peringan, Pemidanaan.
The Interrelation between Forced Eviction and the Right to Development Ghiblartar, Difa; Handayani, Irawati
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (393.842 KB)

Abstract

AbstractCountry?s development is one of the most common reason to evict inhabitant forcibly. This is because individuals or communities are often placed as objects in the development process and hence causing the closure of a room of their participation in such process. In the perspective of human rights, development is deemed as an individual right from which, every human being has the right to participate, contribute, and receive benefits of the result. This article aims to analyse the cases of forced evictions according to the right to development in Human Rights Law and sees how such right has been implemented as a state obligation at the national level. The study thus reveals that certain principles of the right to development, such as a holistic development, placing humans as the central subject of development,  as well as participation in the development process,  can sufficiently protect individuals and communities from the case of forced evictions. This article further argues that state plays significant role to ensure the fulfillment of the right to development.Keywords: Forced Eviction, Human Rights, Right to Development, State Obligation AbstrakPembangunan negara merupakan salah-satu alasan paling umum penyebab terjadinya penggusuran paksa. Hal ini dikarenakan individu atau masyarakat ditempatkan sebagai objek pembangunan yang menyebabkan tertutupnya ruang partisipatif dalam pembangunan tersebut. Dalam perspektif hak asasi manusia, pembangunan diklaim sebagai hak dimana setiap orang berhak untuk berpartisipasi, berkontribusi dan menerima manfaat hasil pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perspektif hak atas pembangunan terhadap penggusuran paksa, serta bagaimana kewajiban Negara dalam menerapkan hak tersebut ditingkat nasional. Berdasarkan analisis terhadap prinsip-prinsip dalam hak atas pembangunan seperti pembangunan yang holistik; penempatan manusia sebagai subjek sentral dari pembangunan dan juga partisipasi dalam proses pembangunan dapat melindungi individu atau masyarakat dari penggusuran paksa. Untuk menjamin pemenuhannya, Negara dalam menerapkan hak atas pembangunan ditingkat nasional.Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Hak atas Pembangunan, Penggusuran Paksa, Kewajiban Negara 
Protection of Human Rights in Southeast Asia with Special Reference to the Rohingya in Myanmar: A Critical Study of the Effect of ASEAN’s Policy and Action on ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Rachminawati, Rachminawati; Mokhtar, Khairil Azmin
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.423 KB)

Abstract

AbstractSince its inception over four decades ago ASEAN has been working towards improving the lives of its citizens. Year 2009 has opened another chapter with the inauguration of AICHR pursuant to Article 14 of the ASEAN Charter at the 15th ASEAN Summit. Ever since, AICHR has conducted various activities. In the midst of these ?progress?,  the vital question remains unanswered; To what extend AICHR has been successful in protecting human rights of citizens in ASEAN countries? This shall be answered through qualitative legal research. This study serves as an analytical basis to predict the future development of the AICHR as well as human rights protection in South East Asia. Furthermore, it contributes to the reform of both ASEAN and AICHR toward implementation of human rights in the region. This research focuses on human rights issues of the Rohingya in Myanmar whereby ASEAN?s policy and action relating to the issue are examined. The finding shows that the policy and action of ASEAN does not provide much support in protecting the rights of the Rohingya. On the contrary, the policy has hindered the effort of AICHR in protecting human rights. AICHR is considered not independent since it almost completely relies on ASEAN. This article thus suggests ASEAN and its member states  to take real and concrete measures to protect human rights.  In   achieving  AICHR  and ASEAN?s objectives, ASEAN member states must respect human rights and support AICHR with necessary power and measure.Keywords: AICHR, ASEAN, Human Rights, Myanmar, Rohingya. AbstrakSejak kelahirannya empat dekade yang lalu, ASEAN selalu berupaya meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Tahun 2009 membuka lembaran baru ASEAN dengan adanya inaugurasi AICHR berdasarkan Pasal 14 dari Piagam ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-15. Semenjak itu, AICHR telah melaksanakan berbagai kegiatan. Dalam perkembangannya, masih terdapat  pertanyaan penting yang belum terjawab; sejauh mana keberhasilan AICHR dalam  melindungi hak asasi dari warga negara-negara di ASEAN? Untuk menjawabnya, pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian hukum kualitatif. Penelitian ini berfungsi sebagai dasar analisis untuk memprediksi perkembangan AICHR juga perlindungan HAM di ASEAN. Selain itu, penelitian ini diharapkan  dapat memberikan berkontribusi terhadap reformasi ASEAN dan juga AICHR dalam perlindungan HAM  di ASEAN. Penelitian ini memfokuskan pada isu HAM kelompok  Rohingya di Myanmar dengan menelaah kebijakan dan tindakan ASEAN terhadap isu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan ASEAN tidak memberikan cukup  dukungan dalam perlindungan HAM terhadap Rohingya, namun sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang ada telah menghalangi uapaya AICHR dalam melindungai HAM. Sehingga  AICHR tidak benar-benar independen sebab AICHR bergantung nyaris sepenuhnya pada ASEAN. Oleh karenanya, ASEAN dan negara-negara anggotanya sebaiknya melakukan berbagai upaya  yang nyata dan konkret untuk melindungi HAM. Agar AICHR bisa merealisasikan maksud dan tujuannya, ASEAN dan negara-negara anggotanya harus menghormati HAM dan mendukung AICHR melalui berbagai upaya dan kekuatan yang diperlukan.Kata Kunci: AICHR, ASEAN, Hak Asasi Manusia, Myanmar, Rohingya.
Rising Sea Level: Legal Consequences on the Shifting of Coastal State Baseline Narnina, Ratu Gita; Afriansyah, Arie
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.667 KB)

Abstract

AbstractBaseline is a line drawn from the coastal configuration features, which is very important because the drawing of a baseline allows a coastal State to claim its own maritime zone as measured from said line. However, this concept of baseline currently faced new phenomena called the sea-level rise caused by the climate change. Climate change is caused by the accumulation of greenhouse gas emissions in the atmosphere and causing the earth's surface temperature and sea surface temperatures to increase causing the melting of ice and glaciers. Based on survey data Fifth Assessment Report conducted by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), it is said that in 2100 the rise of sea water will reach 0.52m to 0.98m. In this regard, the rise of seawater brings a legal implication of the possibility in a shift of the baseline due to the inundation of the coastline used as a place to draw the baseline itself, resulting in the possibility of States losing juridical claims in its maritime zone. Coastal States must now begin to have awareness regarding the impacts caused by rising sea level in order to anticipate and reduce the impact of rising sea level.Keywords: Baseline, Climate Change, Maritime Zone, Rising-Sea Level. AbstrakGaris pangkal merupakan garis yang ditarik dari fitur-fitur konfigurasi pantai yang sangat penting karena penarikan garis pangkal memungkinkan suatu negara untuk mengklaim zona maritim miliknya, diukur dari garis tersebut. Akan tetapi, garis pangkal ini kini menghadapi kendala yaitu fenomena kenaikan air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim disebabkan karena menumpuknya gas emisi rumah kaca dan menyebabkan suhu permukaan bumi dan suhu permukaan air laut meningkat sehingga menyebabkan mencairnya es dan gletser di bumi. Dari kejadian tersebut lahirlah fenomena yang dinamakan kenaikan air laut. Berdasarkan data dari survei yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam Fifth Assessment Report, dikatakan bahwa pada tahun 2100 kenaikan air laut akan mencapai 0,52m hingga 0,98m. Dalam hal ini, kenaikan air laut akan membawa implikasi hukum terkait kemungkinan adanya pergeseran pada garis pangkal dikarenakan tergenangnya wilayah garis pantai yang digunakan sebagai tempat untuk menarik garis pangkal, sehingga besar kemungkinan terjadinya hilangnya klaim yuridis pada zona maritim tertentu. Negara-negara pantai sekarang sudah harus menyadari dampak yang disebabkan oleh kenaikan air laut ini sehingga kemudian dapat mengantisipasi dampak dari kenaikan air laut.Kata Kunci: Garis Pangkal,  Perubahan Iklim, Zona Maritim. Kenaikan Air Laut
The Use of Autonomous Weapon Systems in Armed Conflict: Legality and Challenges for Future Weapon Regulation Wilia, Andreas
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (407.709 KB)

Abstract

AbstractAutonomous Weapon Systems (AWS) has been developed as an alternative weapon system in the battlefield. It has a fundamental difference with other weapon systems which lies in the decision making carried out without human intervention. AWS is able to take decisions about life and death and has been legally, morally and ethically challenged. However, as a smart weapon, it gives significant advantage since it can be deployed in very danger areas for human being in the battlefield for the purpose of self-defense in critical situation. This article argues that AWS is still a conventional weapon and its use cannot be absolutely prohibited even if it is deemed as a vulnerable and destructive weapon which potentially violates international humanitarian law (IHL). AWS can fully comply with IHL basic principles for as long as there is a sufficient legal basis that regulates the limit and legality of its use. Accordingly, as a ?modern? smart weapon, this article suggests that the future AWS regulation should be followed by appropriate technical provisions on the AWS? development, production, ownership, transfer and use in armed conflict.Keywords: Armed Conflict, Autonomous Weapon Systems, International Humanitarian Law, Weapon Regulation AbstrakSistem Senjata Otonom (AWS) telah dikembangkan sebagai sistem senjata alternatif dalam pertempuran dan memiliki perbedaan fundamental dengan sistem senjata lain yaitu, keputusan yang diambil tanpa adanya intervensi manusia. AWS mampu untuk memutuskan hidup dan matinya target kombatan sehingga penggunaannya ditentang bagik secara hukum, moral, dan etika karena berpotensi merusak moral dan etika dalam peperangan. Namun demikian, sebagai senjata modern, AWS memberikan keuntungan yang nyata mengingat AWS dapat ditempatkan di daerah yang berbahaya bagi manusia untuk alasan bela diri dalam situasi yang sangat sulit. Penelitian ini menyatakan bahwa AWS tetap merupakan senjata konvensional yang penggunaannya tidak dapat dilarang secara absolut sekalipun berpotensi menjadi senjata penghancur yang dapat melanggar hukum humaniter. AWS mampu untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum humaniter sepanjang pengaturan dan pembatasan penggunaannya diatur dalam instrumen hukum humaniter yang memadai yang hingga saat ini belum tersedia. Dengan demikian,  penelitian ini menyarankan bahwa aturan AWS masa depan harus juga mencakup aturan-aturan teknis tentang pengembangan, pembuatan, kepemilikan, pengalihan serta penggunaan dari AWS dalam sengketa bersenjata.Kata Kunci: Aturan Senjata, Konflik Bersenjata, Hukum Humaniter Internasional, Sistem Senjata Otonom
The UN Security Council and Climate Change: From ‘Cold War’ to ‘Warming War’ Mulyana, Imam
Padjadjaran Journal of International Law Vol 3, No 2 (2019): PJIL VOLUME 3, NUMBER 2, JUNE 2019
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.428 KB)

Abstract

AbstractThe impacts of climate change around the world have become global concern at both national and international level. A broad scheme of international cooperation to mitigate their impacts has been engaged through several international legal frameworks. However, such efforts are considered insufficient to stem the consequences and causes of climate change. It is therefore important to examine a proper legal enforcement mechanism for the climate change issues. This paper thus starts with explaining the scope and definition of climate change and sees whether it has correlation with the security issues. It is followed by examining the authority of the UN Security Council (UNSC) vested in the UN Charter and observes whether it has authorisation in enforcing the climate change issues. Although, as a result of its examination, this article finds that UNSC mechanism widen possible measures in enforcing climate change?s issues rather than other existing mechanisms under international law, it still suggests that UNSC mechanism shall only be used as a last resort after the other enforcement mechanisms are exhausted.Keywords: climate change, threat to international peace and security, UN Security Council. AbstrakDampak perubahan iklim di berbagai belahan dunia telah menjadi perhatian negara-negara tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional. Upaya untuk menanggulangi dampak dari perubahan iklim melalui sejumlah kerja sama internasional telah secara luas dilakukan namun belum mampu mencegah penyebab dan menghentikan dampak dari perubahan iklim tersebut. Dengan demikian, penentuan mekanisme penegakan hukum yang paling tepat dalam memeriksa kasus perubahan ilklim ini merupakan hal yang penting. Tulisan ini dimulai dengan penjelasan fenomena perubahan iklim dan hubungannya dengan isu keamanan. Pertama-tama artikel ini membahas ruang lingkup dari perubahan iklim dan kewenangan Dewan Keamanan (DK) PBB. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mencari cara lain dalam penanggulanan dampak dari perubahan iklim, sangatlah penting untuk memahami serangkaian otoritas yang dimiliki DK PBB. Tulisan ini berkesimpulan bahwa mekanisme DKPBB ternyata menunjukan kemungkinan yang lebih luas dalam hal penerapan sanksi yang lebih memaksa dan lebih mengikat dibanding mekanisme lain yang telah ada saat ini sebagai mekanisme untuk menanggulangi perubahan iklim. Meskipun tulisan ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan hukum untuk mengatasi masalah perubahan iklim, akan tetapi mekanisme internasional yang lain diluar mekanisme Dewan Keamanan PBB harus tetap menjadi prioritas dan dijalankan terlebih dahulu.Kata kunci: perubahan iklim, ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional,  Dewan Keamanan PBB.
The Courts and Treaties: Indonesia’s Perspective Agusman, Damos Dumoli
Padjadjaran Journal of International Law Vol 1, No 1 (2017): PJIL Volume 1, Number 1, January 2017
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (420.911 KB)

Abstract

AbstractThis article discusses the enforceability of treaties under Indonesian legal system. The purpose of this article is to explore and provide answers to the following questions: (i) whether or not international law may be directly invoked and enforceable under domestic legal system (ii) how and to what extent Indonesian courts are using international law especially the treaties. In providing analysis to the above questions, this article discusses the notion of courts and judicial competence and judicial attitude towards treaties. This article suggests that there is no doubt that the courts may apply treaty provisions to the case at hand without and by virtue of national legislations. However, the attitude of the courts towards treaties as demonstrated in a number of cases above does not reveal any clear indication on the question of the status of treaties under domestic law especially with regard to the method on how the legal system incorporates treaties under domestic law. The Court decision has therefore not yet contributed to the attempt for seeking a legal determination of the domestic status of a treaty as well as the mode for granting its domestic validity.Keywords: domestic validity, Indonesian perspective, monism and dualism, status of treaties, treaty practices.AbstrakArtikel ini membahas mengenai pemberlakuan perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkaji dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini: (i) apakah hukum internasional dapat secara langsung dijadikan rujukan dan berlaku dalam sistem hukum domestik; (ii) bagaimana dan sampai mana pengadilan Indonesia menggunakan hukum internasional khususnya perjanjian internasional. Dalam memberikan analisis terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas, artikel ini membahas perihal pengadilan dengan kompetensi yudisialnya, dan perilaku yudisial terhadap perjanjian internasional. Artikel ini berkesimpulan bahwa pengadilan dapat menerapkan langsung perjanjian internasional terhadap perkara. Namun demikian praktik pengadilan dalam beberapa perkara yang terkait dengan perjanjian internasional belum memberikan indikasi yang jelas tentang kedudukan hukum perjanjian. Putusan Pengadilan oleh karena itu belum berkontribusi dalam upaya untuk mencari determinasi hukum terkait status domestik dari suatu perjanjian internasional dan cara pemberlakuan suatu perjanjian internasional dalam hukum domestik.Kata kunci: monisme dan dualisme, praktek perjanjian internasional, perspektif Indonesia, status perjanjian internasional, validitas domestik.
Responsibility to Protect: A New Form of Humanitarian Intervention? Handayani, Irawati
Padjadjaran Journal of International Law Vol 1, No 1 (2017): PJIL Volume 1, Number 1, January 2017
Publisher : Padjadjaran Journal of International Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.283 KB)

Abstract

AbstractHuman rights issues have become a common topic that continuously being discussed around the world. The major concern of international community on the protection of basic human rights leads to a challenge for the nation state to fulfill its commitment to protect the basic rights of their people from the possibility of harm that comes from internally or externally. Meanwhile, the principle of mutual understanding and respect among states and non-interference to domestic affairs of particular state has been generally recognized as the main principle in international law. Sometimes, a conflict that occurred inside a state, which is theoretically becomes a domestic issue, could be escalated and become a mutual concern of international society. When a human right violation occurred inside a state, ideally international community can not only ‘sit and watch’. Especially when the violations are classified as grave breaches of human rights. The world community has a moral obligation to offer an assistance and search a solution to end that violations. It is cleary noted that Article 2 (4) and Article 2 (7) United Nations (UN) Charter should not be regarded as an absolute prohibition of interference. Those articles are the limitation so that the intervention should not endangered territorial integrity, political independence and not contrary to the purposes of UN. However, the territorial integrity would be broken if the state lose their territory permanently, and in the context of humanitarian intervention there is no taking over a territory, since the main purpose is only to restore the condition as a result of human rights violation that occurred. Based on this assumption so intervention not contrary to UN Charter. One thing should be emphasized is that the requirements for intervention have to be very clear.Following an unsettled debate on criterion of humanitarian intervention, a few years ago there were a new concept which is believed as an improvement or a ‘new face’ from humanitarian intervention. It called the doctrine of Responsibility to Protect. Generally, both of these concepts have similarity, especially with the main purpose on guarantee basic human rights and provide such protection when the authorized government is unable and unwilling to do so. However, the RtoP doctrine can not also avoid its controversy. The main discussion on this doctrine particularly questioning the legal status of this doctrine in international law and whether RtoP is only a new form of humanitarian intervention.Keywords: humanitarian internvention, responsibility to Protect (R2P), duty to protect, non intervention, customary international law.AbstrakIsu mengenai HAM telah menjadi topik umum yang terus menerus didiskusikan diseluruh dunia. Perhatian utama dari komunitas internasional dalam hal perlindungan mendasar HAM selanjutnya menantang negara-negara untuk melakukan pemenuhan komitmen mereka agar melakukan perlindungan hak-hak mendasar dan tindakan yang dapat mengancam baik secara internal maupun secara eksternal. Sementara itu prinsip salaing pengertian dan penghargaan antar negara, prinsip non-intervensi dalam hubungan domestik telah diakui sebagai prinsip utama dalam hukum internasional. Kadang, konflik yang lahir di dalam negeri, yang secara teori adalah konflik domestik, dapat menjadi perhatian bersama masyarakat internasional. Pada saat terjadi pelanggaran HAM didalam suatu negara, seharusnya komunitas internasional tidak hanya ‘duduk dan melihat’. Khususnya pada saat terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM. Komunitas negara mempunyai kewajiban moral untuk menawarkan bantuan dan mencari solusi untuk mengakhiri pelanggaran tersebut.Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 (4) dan Pasal 2 (7) Piagam PBB, pasal-pasal ini tidak dapat diangap sebagai larangan absolut intervensi. Pasal-pasal tersebut adalah pembatasan sehingga intervensi tidak membahayakan integritas wilayah, indpendensi politik dan tidak bertentangan dengan tuujuan PBB. Meskipun demikian, integritas wilayah dapat hilang apabila negara kehilangan wilayahnya secara permanen, dan dalam konteks intervensi kemanusiaan tidak ada pengambilalihan wilayah, karena tujuan utamanya hanya untuk mengembalikan kedaaan pada saat terjadinya pelanggaran HAM. Berdasarkan asumsi tersebut, maka intervensi tidak bertentangan dengan Piagam PBB. Hal lain yang harus diperjelas bahwa alasan intervensi haruslah jelas.Mengikuti perdebatan yang tidak kunjung sellesai tentang kriteria intervensi kemanusiaan, beberapa tahun yang lalu dibuatlah suatu konsep yang dianggap sebagai wajah baru dari intervensi kemanusiaan. Secara umum, kedua konsep ini mempunyai kesamaan, terutama dengan tujuan utama dalam menjamin HAM dan menyediakan sejumlah perlindungan pada saat pemerintah yang berwenang tidak mampu dan tidak dapat memberikan jaminan HAM. Meskipun demikian, doktin RtoP tidak dapat terhindar dari kontroversi. Diskusi utama dari doktrin ini adalah pertanyaan tentang status hukum dari doktrin hukum internasional dan apakah RtoP merupakan bentuk lain dari intervensi kemanusiaaan.Kata kunci: intervensi kemanusiaan, tanggung jawab untuk melindungi (R2P), kewajiban perlindungan, non intervensi¸ hukum kebiasaan internasional.

Page 1 of 10 | Total Record : 91