cover
Contact Name
Afandi Sitamala
Contact Email
asitamala@untirta.ac.id
Phone
+62254-280330
Journal Mail Official
jurnalnuranihk@untirta.ac.id
Editorial Address
Faculty of Law, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jl. Raya Jakarta, KM. 4, Pakupatan, Kota Serang, Provinsi Banten. Telp. (0254) 280330 Ext. 218, Fax.: (0254) 281254
Location
Kab. serang,
Banten
INDONESIA
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 26557169     EISSN : 26560801     DOI : http://dx.doi.org/10.51825/nhk
Core Subject : Humanities, Social,
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum also known as Nurani Hukum is national peer review journal on legal studies. The journal aims to publish new work of the highest calibre across the full range of legal scholarship, which includes but not limited to works in the law and history, legal philosophy, sociology of law, Socio-legal studies, International Law, Environmental Law, Criminal Law, Private Law, Islamic Law, Agrarian Law, Administrative Law, Criminal Procedural Law, Commercial Law, Constitutional Law, Human Rights Law, Civil Procedural Law and Adat Law. Nurani Hukum: Jurnal Ilmu Hukum is published by Faculty of Law, University of Sultan Ageng Tirtayasa in Collaboration with Pusat Kajian Konstitusi Perundang-Undangan dan Pemerintahan (PKKPUP). periodically published in December and June and the approved and ready to publish in the website and hardcopy version will be circulated at every period. Therefore, all articles published by Nurani Hukum: Jurnal Ilmu Hukum will have unique DOI number. In 2021, the Nurani Hukum requires English as its main language, and therefore accepts journals only in English.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 86 Documents
DILEMATIKA KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM MENYELENGGARAKAN PILKADA DAN PEMILU MENURUT UNDANG - UNDANG DASAR 1945 Dede Kurniawan
Nurani Hukum Vol 1, No 1 (2018): Vol. 1 No. 1 Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v1i1.4816

Abstract

Perspektif Hukum dalam Main Hakim Sendiri Tina Asmarawati
Nurani Hukum Vol. 3 No. 1 Juni 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i1.8951

Abstract

Pengeroyokan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini sering diberitakan baik dalam media cetak maupun televisi. Maling yang dihajar hingga babak belur, pemerkosa yang dianiaya keluarga korban, bahkan yang lebih miris yaitu kejadian pembakaran oleh warga terhadap orang-orang yang diduga sebagai dukun santet. Tidak dapat dipungkiri selain di kota-kota besar, pengeroyokan terhadap orang yang diduga tersangka kejahatan juga terjadi di berbagai daerah.Di Kabupaten Solok  (Nagarai) warga yang terpancing emosinya mengeroyok seorang pemuda (A) hingga tewas yang dianggap sering kali mengganggu ketentraman dan keamanan lingkungan setempat. Korban yang tidak menerima tuduhan tersebut kemudian berusaha untuk menikam ketua pemuda yang menasihatinya. karena kesal ketua pemuda yang kemudian diikuti oleh warga kampung tersebut mengejar korban dan smengeroyoknya hingga tewas.Keresahan masyarakat terhadap aksi pembegalan pada akhirnya memunculkan "pengadilan jalanan" sebagaimana telah diutarakan di atas terhadap para .pelakunya.Bagaikan sudah menjadi "tradisi" di Indonesia, pelaku kejahatan yang berhasil ditangkap warga pasti harus merasakan hukuman dari "hakim-hakim jalanan" sebelum diamankan polisi.Namun, aksi "hakim-hakim jalanan" itu pada akhirnya juga membuat miris karena terlampau brutal dan sadis. Masih segar di ingatan publik, pelaku begal di Tangerang Selatan yang dihakimi dan dibakar hidup-hidup oleh massa demikian juga beberapatahun yang lalu didaerah sekitar Kopti, Kalideres. Menurut peneliti D A, dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan empat faktor penyebab mengapa ada koresponden yang masih memilih main hakim sendiri. Pertama, rendahnya kepercayaan publik bahwa aparat penegak hukum akan bertindak adil. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang menunjukkan angka 46,7 persen publik tidak percaya sama sekali pada aparat. Sementara, yang percaya sebesar 42,2 persen.Mayoritas publik juga cenderung percaya bahwa proses hukum yang dilakukan aparat hukum di Indonesia mudah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya, kedekatan dengan aparat hukum atau kompensasi materi. Sementara hanya sebesar 23,4 persen yang masih menaruh harapan terhadap aparat hukum bahwa aparat masih bisa bekerja secara independen. "Gambaran ini menunjukan bahwa mindset publik penuh curiga dengan proses hukum yang berjalan.
Pemberlakuan Sertifikasi Halal Secara Wajib Terhadap Produk Asing Menurut Persetujuan Tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Technical Barrier To Trade Agreement) Hambali Hambali
Nurani Hukum Vol. 2 No. 2 Desember 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v2i2.8840

Abstract

Indonesia mewajibkan sertifikasi halal pada semua produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di  wilayah  Indonesia melalui  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Peraturan hukum kewajiban sertifikasi halal terhadap produk asing dinilai dapat menjadi hambatan perdagangan dan aturan perdagangan  World Trade Organization  yang termuat dalam Technical Barrier to Trade Agreement mewajibkan negara anggota harus memastikan bahwa peraturan dibuat disusun, ditetapkan dan diterapkan tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis keberadaan peraturan hukum kewajiban sertifikasi halal terhadap produk asing menurut TBT Agreement dan perbuatan hukum pemerintah dalam pemenuhan kesesuaian peraturan kewajiban sertifikasi halal bagi produk asing dengan TBT Agreement.   Penelitian   menggunakan   tipe   yuridis   normatif   dan   data   yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, WTO Agreement dan TBT Agreement, bahan hukum sekunder, yakni buku-buku dan jurnal ilmiah, dan bahan hukum tersier,  yakni  kamus  hukum.  Pendekatan  yang  digunakan  yakni  pendekatan yuridis historis, eksplanatoris, sinkronisasi hukum dan komparatif. Teknik pengumpulan  data  melalui  penelitian  kepustakaan  dan  dikaji  menggunakan analisis kualitatif. Keberadaan peraturan hukum kewajiban sertifikasi halal terhadap produk asing dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 konsisten terhadap ketentuan TBT Agreement. Perbuatan hukum pemerintah melalui peran- perannya dalam pemenuhan kesesuaian peraturan kewajiban sertifikasi halal bagi produk asing terhadap ketentuan TBT Agreement yakni berupa pelaksanaan dan penerapan prinsip-prinsip yang terdapat dalam TBT Agreement ke dalam regulasi teknis yang telah dan akan diterbitkan oleh badan dan lembaga pemerintah Indonesia.Indonesia requires halal certification on products that enter, circulate, and traded in the territory of Indonesia through Law No. 33 of 2014 on Halal Product Assurance. The regulation of halal certification obligations on foreign products are considered to be a trade barrier and the trade rules of World Trade Organization in the Technical Barrier to Trade Agreement require that member shall ensure that regulations are not prepared, adopted or applied with the effect of creating unnecessary obstacles. The purpose of this research is to know and analyse the existence of regulation of halal certification obligations on foreign products according to TBT Agreement and legal action of government in fulfilment of regulation of halal certification obligation for foreign product with TBT Agreement. The study used normative juridical type and the data used secondary data sourced from primary legal materials, namely Law No. 33 of 2014, WTO Agreement and TBT Agreement, secondary legal materials, namely books and scientific journals, and tertiary legal materials, law dictionary. The approach used is the juridical approach of historical, explanatory, legal synchronization and comparative. Techniques of collecting data through library research and studied using qualitative analysis. The existence of regulation of halal certification obligation on foreign products in Law No. 33 of 2014 is consistent with TBT Agreement. The legal act of the government through its roles in the fulfilment halal certification which obligated s  on  foreign products to the provision of TBT Agreement, namely the implementation and application of the principles in the TBT Agreement into the technical regulations that have been and will be issued by Indonesian government agencies and institutions.
Dinamika Negara Hukum Indonesia: Antara Rechtsstaat dan Rule Of Law Rokilah Rokilah
Nurani Hukum Vol. 2 No. 1 Juni 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v2i1.8167

Abstract

The Indonesian state of law, originating from Pancasila and the 1945 Constitution. This is reaffirmed in Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution, that the State of Indonesia is a state of law. The use of Rechtsstaat and Rule of Law in the concept of a state of law is to distinguish the civil law legal system called the Continental European legal system and the common law legal system called Anglo Saxon, the legal system used in the UK. The relationship between the rule of law and democracy is that democracy must operate within the corridor of the law. This study uses a normative juridical approach, which is the law in reality in social life, as the law is operated by the community in everyday life. Data collection techniques are carried out by means of library research, namely the study of documents that are relevant to research in the libraryNegara hukum Indonesia, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini dipertegas dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Pemakaian Rechtsstaat dan Rule of Law dalam konsep negara hukum ini untuk membedakan sistem hukum civil law yang disebut sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum common law yang disebut Anglo Saxon, yaitu sistem hukum yang digunakan di Inggris. Hubungan negara hukum dengan demokrasi adalah bahwa demokrasi harus berjalan dalam koridor hukum. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu hukum dalam kenyataannya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sebagaimana hukum itu dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library research) yakni studi terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian di perpustakaan. 
Multikulturalisme dan Diskursus Atas Moralitas dalam Logika Pluralisme Hukum Ikhsan Alfarisi
Nurani Hukum Vol 1, No 1 (2018): Vol. 1 No. 1 Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v1i1.4811

Abstract

Konsep multikulturalisme lahir sebagai kebutuhan akan rekognisi kemajemukan dalam kebudayaan. Wacana ini sejatinya hadir sebagai jawaban yang menengahi konstestasi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat majemuk. Dalam praktiknya, multikulturalisme menghadapi tantangan yang riil dihadapan moralitas yang hidup dalam masyarakat. Salah satunya adalah artikulasi atas moral yang hadir dalam tafsir yang tunggal. Hal ini mempunyai implikasi bahwa ontologi moral mempunyai aspek yang tetap dan berlaku umum. Tulisan ini mempunyai tujuan membuka relung-relung tabir ontologi moralitas dan bagaimana relasinya dengan konsepsi multukulturalisme serta bagaimana refleksi moralitas dan hukum. Hipotesisnya adalah kebenaran merupakan sebuah diskursus politis sehingga metode kajian disini akan menggunakan kritik ideologi. Dalam kajian ini pembahasan atas moralitas berada dalam kontestasi antara kelompok sosial dalam masyarakat yang dominan. Titik pijak multikulturalisme sebagai penanda yang membuka pemaknaan atas moral pada koordinat yang plural. Oleh karenanya, dipaparkan juga pengoperasian logika pluralisme hukum yang hanya akan efektif jika problema moralitas plural ini juga hadir dalam diskursus hukum. Dengan kata lain, ontologi moralitas yang plural menjamin kesetaraan dalam realitas hukum.
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-XIV/2016 dalam Perspektif Hermeneutika Hukum Muhammad Fajar Hidayat; Ririen Ambarsari
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.8573

Abstract

Dalam putusannya yang dibacakan pada tanggal 14 Desember 2017 terhadap perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan uji materi tentang zina dan hubungan sesama jenis atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diatur dalam KUHP dengan Pemohon yakni Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. dan kawan-kawan. Pada prinsipnya, para Pemohon memohon agar MK menghilangkan sejumlah ayat, kata dan/atau frasa dalam Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Walaupun ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, tetap saja 5 (lima) orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra berpendapat bahwa MK hanya memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, MK hanya dapat membatalkan UU dan tidak dapat mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat UU atau peraturan sebagai positive legislator. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis apakah Putusan MK tersebut sudah mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat atau tidak apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan MK tersebut, belum mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika hukum. Putusan MK tersebut lebih mengedepankan aspek kepastian hukum semata dengan mengorbankan keadilan dan kemanfaatan. Kebutuhan positive legislator bukan kebutuhan yang parsial tapi komprehensif. Positive legislator lebih melihat bahwa hakim harus memiliki gagasan keadilan substantif yang berubah mengikuti perkembangan masyarakat, tidak semata-mata keadilan prosedural. Positive legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilakukan, manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.In its verdict read out on December 14, 2017 against case Number 46 / PUU-XIV / 2016, the Constitutional Court ruled in rejecting the lawsuit for adultery and same-sex, or lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) matters that are regulated in the Criminal Code with the Petitioner namely Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. and friends. In principle, the Petitioners request that the Constitutional Court omit a number of verses, words and / or phrases in Article 284 paragraph (1), paragraph (2), paragraph (3), paragraph (4), paragraph (5), Article 285 and Article 292 Criminal Code. Although there are dissenting opinions from 4 (four) Constitutional Justices namely Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, and Aswanto, still 5 (five) other Constitutional Justices namely Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, and Saldi Isra argued that the MK only had the authority as a negative legislator. That is, the Constitutional Court can only cancel the Act and cannot take the authority of Parliament in making laws or regulations as positive legislators. The purpose of this study is to find out and analyze whether the Constitutional Court Decision reflects the sense of justice that lives in the community or not when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The research method used is legal research. The results showed that the Constitutional Court's Decision, did not reflect a sense of justice that lives in the community when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The Constitutional Court's decision emphasizes the aspect of legal certainty at the expense of justice and expediency. The needs of positive legislators are not partial but comprehensive needs. Positive legislators see that judges must have an idea of substantive justice that changes with the development of society, not merely procedural justice. Positive legislators by expanding the scope of a criminal act (strafbaar feit) can be done, when the norms of the law actually reduce and even conflict with religious values and the divine light which is basically 'given' for the order and welfare of human life.
Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Trading In Influence dalam Tindak Pidana Korupsi Mochamad Ramdhan Pratama
Nurani Hukum Vol. 3 No. 1 Juni 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i1.8275

Abstract

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditelusuri lebih lanjut maka akan ditemukan sebuah kelemahan mendasar, yaitu tidak ditemukannya suatu ketentuan pidana yang mengatur trading in influence. Hal itu tentu saja menimbulkan resiko bagi keberlanjutan pemberantasan korupsi di masa depan, karena trading in influence belum dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam hukum positif di Indonesia. Sebagai solusinya, melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan memperdagangkan pengaruh atau trading influence, guna mewujudkan integritas pembangunan dan pembaharuan hukum pidana nasional berdasarkan filosofi melindungi segenap bangsa dan mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, perbuatan tersebut harus diatur dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kebijakan (policy approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia belum mengadopsi keseluruhan norma dari UNCAC, khususnya aturan tentang perdagangan pengaruh (trading in influence). Padahal, dalam tataran praktek, perdagangan pengaruh sangat jamak terjadi di Indonesia dengan memanfatkan kekuasaan atau otoritas yang mereka miliki untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage). Perdagangan pengaruh banyak dilakukan oleh pihak swasta maupun oleh penyelenggara negara. Meskipun demikian, undang-undang yang berlaku saat ini belum bisa menjerat perdagangan pengaruh yang dilakukan oleh pihak swasta yang menerima keuntungan akibat kedekatan atau pengaruhnya terhadap otoritas publik. Praktek ini banyak terjadi di lingkungan partai politik
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum (Studi Kasus Putusan No.28/PDT.G/2018PT.BDG) Silvi Yuniardi
Nurani Hukum Vol. 2 No. 2 Desember 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v2i2.8656

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Persinggungan kompetensi dalam penyelesaian sengketa  perbankan syariah dengan mendalami kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah pasca putusan MK No.93/PUU-X/2012 dan kepastian hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah yang sudah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama tetapi masih diselesaikan di Peradilan Negeri. Fokusnya pada pendekatan yuridis normative, dengan tiga varian pendekatan yaitu, pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan conseptual dan pendekatan kasus. Sumber data yang digunakan mecakup data sekunder yaitu data dokumentasi perundang-undangan dan studi pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa, perbedaan penafsiran terhadap kompetensi Peradilan Agama bukan lagi sebagai kendala dalam menyelesaikan perkara perbankan syariah, sebab bila dicermati seksama, bunyi pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 telah memberikan kompetensi absolut kepada Peradilan Agama. Bahkan, penyelesaian perkara ekonomi syariah tersebut menurut pasal pasal 55 ayat 1 tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.   Disamping itu, pertimbangan hakim dalam perkara nomor 28/Pdt.G/2018/PT.Bdg telah memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa, bahwa penyelesaian sengekta perbankan syariah merupakan kompetensi absolut dari peradilan agama.  Pertimbangan hakim dalam perkara tersebut juga selaras dengan pasal 51 dan 52 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah dan pasal 14 UU Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.This study aims to determine the intersection of competence in the settlement of Islamic banking disputes by exploring the authority of the Religious Courts in resolving Islamic banking disputes after the decision of the Constitutional Court No.93 / PUU-X / 2012 and the legal certainty of sharia banking dispute settlement which has become an absolute competence of the Religious Courts but still  settled in the District Court.  The focus is on the normative juridical approach, with three variants of the approach namely, the statutory approach, the conceptual approach and the case approach.  The data source used includes secondary data, namely legislation documentation data and literature study which includes primary, secondary legal material.  The results of the study indicate that, differences in interpretation of the competence of the Religious Courts are no longer an obstacle in resolving Islamic banking matters, because if examined closely, the sound of article 55 paragraph (1) of Law Number 21 Year 2008 has given absolute competence to the Religious Courts.  In fact, the settlement of the sharia economic case according to article 55 paragraph 1 must not be in conflict with the sharia principle.  In addition, the consideration of judges in case number 28 / Pdt.G / 2018 / PT.Bdg has provided legal certainty for the parties to the dispute, that the settlement of syariah banking securities is an absolute competence of the religious court.  Judges' considerations in the case are also in line with articles 51 and 52 of Law No.  21 of 2008 concerning Sharia banking and article 14 of Law Number 50 of 2009 concerning Religious Courts.
PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PENGGUNAAN PERJANJIAN BAKU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Dede Agus
Nurani Hukum Vol 1, No 1 (2018): Vol. 1 No. 1 Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v1i1.4817

Abstract

Pemahaman Diversi Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU SPPA Dadan M Djajadisastra
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.9204

Abstract

Perubahan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menjadi Undang-undang No. 11 tahun 2012 tetang sistem peradilan pidana anak (SPPA), atau lebih tepatnya pergantian peraturan perudangan tersebut karena dipandang bahwa UU No. 3 tahun 1997 belum mengakomodir kepentinngan terbaik bagi anak, hal ini didasari oleh banyaknya anak yang dipidana maupun di tahan, menurut lembaga penelitian Unicef yang bekerja sama dengan UI bahwa pada tahun 2004-2005 anak yang dipidana penjara sebanyak 2000 (dua ribu) dan ditahan sebanyak 110 (seribu seratus). Oleh sebab itu dipandang perlu bahwa pemidaan bagi anak harus ada perubahan. UU No. 11 tahun 2012 tentang  SPPA merupakan peraturan yang diharapkan mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak, sebagaiana tertuang dalam UUNo. 17 tahun 2016 perubahan kedua unndang-undang pelindungan anak, bahwa pemidanaan adalah jalan terakhir (ultimum remedium), dan UU SPPA memuat paraturan pemidanaan yang baru yaitu restoratif dan diversi, yang mana tidak terdapat dalam aturan sebelumnya, alternatif pemidaan tersebut diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi penanganan pelaku tindak pidana anak. namun pada kenyataannya UU SPPA belum bisa menjadi harapan, karena berdasarkan data dari Institut Criminal Justice Sistem (ICJR) sampai dengan bulan Juni 2017 anak yang dipidana sebanyak 2500 (dua ribu lima ratus) berarti ada peningkatan dari tahubn 2005, hal ini disebabkan karena adanya pembatasan yang diatur dalam pasal 7 UU SPPA, namun sebenarnya permasalahan tersebut hanya dari pamahaman yang terlalu rigid sehingga pemidanaan adalah jalan terakhir dan alternatif pemidanaan sebagaimana diharapkan oleh Undang-undang tersebut menjadi tidak bisa dilaksanakan secara optimal.