cover
Contact Name
Mochamad Yusuf Putranto
Contact Email
selisik@univpancasila.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
selisik@univpancasila.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Selisik : Jurnal Hukum dan Bisnis
Published by Universitas Pancasila
ISSN : 24604798     EISSN : 26856816     DOI : -
Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca sarjana Universitas Pancasila. Pada awal berdirinya Jurnal Selisik dikhususkan pada ragam gagasan hukum dan bisnis. Hal ini tidak lepas dari pengkhususan program studi di PMIH, yakni Hukum Dan Bisnis. Sejalan dengan perkembangan dan pengembangan PMIH, yakni dibukanya program studi baru mengenai Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan, maka tema dan fokus Jurnal Selisik juga mengalami perluasan, diantaranya Hukum, Bisnis, Hukum Konstitusi dan Tata Kelola Pemerintahan sebagai basis susbtansi kajiannya.
Arjuna Subject : -
Articles 135 Documents
Pertukaran Informasi Keuangan Secara Otomatis (Automatic Exchange Of Financial Account Information (AEOI) Untuk Kepentingan Perpajakan (Selisik Tentang : Perpu Nomor 1 Tahun 2017) Bustamar Ayza
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (727.125 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.673

Abstract

Banyak negara-negara yang memberi perlindungan terhadap nasabah perbankan di negerinya untuk kepentingan perpajakan, termasuk Indonesia. Perlindungan Indonesia, data perbankan untuk kepentingan perpajakan diberikan ijin oleh otoritas perbankan atas permintaan Menteri Keuangan. Pemberian data tanpa ijin otoritas perbankan merupakan tindak pidana. Republik Indonesia bersama 99 negara lainnya, telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20. Namun komitmen Indonesia mengimplementasikan komitmen dalam Multilateral Competent Authority Agreementpada tanggal 3 Juni 2015 tentang keterbukaan informasi keuanganuntuk kepentingan perbankan secara otomatis yang harus dimulai September 2018,terkendala karena regulasi perbankan. Bahwa saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang dapatmengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhikebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak; Oleh karenanya Indonesia harus membuat peraturan perundang undangan setingkat undang-undang untuk melaksanakan komitmen tersebut. Hal ini diperkenankan oleh konstitusi Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dengan menerbitkan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang”. Maka pada tanggal 8 Mei 2017 dibentuklah Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 1 Tahun 2017Tentang “Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan” yang kemudian dikenal dengan Automatic Exchange of Financial Account Information/AEoI.
Perlukah Reformasi Hukum Pajak Tb. Eddy Mangkuprawira
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.746 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.674

Abstract

Pemerintah direncanakan akan melakukan tax reform secara menyeluruh baik Undang-undang Pajak yang tergolong Hukum Pajak Material maupun Hukum Pajak Formal. Reformasi merupakan perbaikan (improvement) menuju keadaan perpajakan yang lebih baik terutama dalam upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan RI, mengamanatkan bahwa untuk kepentingan perubahan atau penggantian Undang-undang sekaligus pembentukan Undang undang yang baru, harus disusun Naskah Akademik. Dengan penyusunan Naskah Akademik maka dapat dicegah suatu Undang-undang dijadikan kambing hitam dari ketidak berhasilan pencapaian target dengan alasan Undang-undangnya yang tidak baik sehingga perlu diganti. Penilaian suatu Undang-undang yang tepat harus menggunakan atau diuji dengan Teori Efektivitas Hukum dan Teori Sinkronisasi Hukum. Menurut para pakar perpajakan permasalahan keberhasilan/kegagalan Administrasi Pajak bukan terletak pada kebijakannya, tapi pada implementasinya/praktik pemungutan pajaknya. Jurnal ini disusun dengan menguraikan Latar Belakang Masalah, Permasalahan Utama Perpajakan sehingga Rencana Penerimaan Pajak Tidak Tercapai, Apakah Regulasi Yang Ada Sudah Tepat Atau Masih Kurang/dan Bagaimana Melakukan Reformasi Pajak. Dengan Naskah Akademik yang baik dan tepat dapat diputuskan dengan tepat bahwa langkah yang yang harus diambil adalah cukup dengan amandemen Undang-undang bukannya penggantian Undang-undang. Penggantian Undang-undang dan ketentuan pelaksanaannya dan diikuti Reorganisasi dan persiapan SDM nya memerlukan biaya yang sangat besar.
Memperingati 1 Abad Berlakunya Kuhp: Meneguhkan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia Anggara
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (500.676 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.675

Abstract

Hukuman mati telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli – ahli hukum. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, hukuman mati juga tidak lepas dari politik hukum dari kebijakan kriminal yang dianut oleh Indonesia. Setelah 1 abad berlakunya KUHP, hukuman mati tetap menjadi alat dan instrument politik dari pemerintahan yang berkuasa. Hal ini menimbulkan pluralitas politik hukum pidana mati berdasarkan corak dan watak dari masing – masing pemerintahan yang menghasilkan ketentuan pidana mati tersebut. Meskipun mengalami fase transisi demokratik, namun pemerintahan pada masa transisi gagal dalam memutuskan hubungan dengan watak pemerintahan pada masa lalu. Pemutusan hubungan secara radikal ini merupakan prasyarat dasar untuk berlangsungnya transisi demokrasi. Aspek perlindungan hak asasi manusia juga tidak mendapatkan perkembangan wacana yang cukup menarik. Yang terjadi adalah deviasi demokrasi dimana pranata dan kelembagaan demokrasi telah terbentuk, namun instrumen hukum terutama dalam kebijakan kriminal belum mendemokratisasikan dirinya. Hak asasi manusia sebagai ciri terpenting dari Negara hukum semestinya mendapatkan pertimbangan yang utama dalam penentuan kebijakan kriminal.
Abu-Abu Regulasi LGBT Di Indonesia Karlina Sofyarto
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.793 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.676

Abstract

Kehadiran LGBT menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. LGBT dilarang oleh agama dan dianggap menyalahi adat dan kepantasan sosial. Bagi masyarakat yang pro terhadap LGBT menyatakan negara harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, transgender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Permasalahan yang dibahas yaitu kedudukan LGBT dalam ketentuan hukum dan HAM di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deduktif dan dalam pembahasannya disesuaikan dengan pokok masalah yang disajikan untuk memperoleh kesimpulan atas permasalahan yang diteliti. Hukum positif Indonesia belum mengatur secara eksplisit tentang LGBT, misalnya KUHP hanya memberikan hukuman kepada orang yang melakukan hubungan pencabulan antara orang dewasa dengan yang belum dewasa. DUHAM menyatakan hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum.
Tinjauan Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Budimansyah Alpha; Hendrik
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (551.081 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.677

Abstract

Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis, sebagai Negara hukum Indonesia dalam praktek kenegaraannya senantiasa bersandar kepada aturan hukum yang berlaku dan hukum diposisikan sebagai panglima serta sebagai Negara demokratis jabatan-jabatan dalam ketatanegaraan dipilih melalui kontestasi pemilihan umum. Sejak digulirkannya reformasi dan berbarengan dengan terjadinya amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 maka terjadi perubahan yang signifikan terhadap ketatanegaraan di Indonesia. Munculnya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi pada amandemen ke-3 membawa angin segar karena Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus hasil pemilihan umum. Penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dalam rangka memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Pengaturan yang sumir terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus hasil pemilihan umum menjadi persoalan karena pemilihan umum berdasarkan rezim pengaturannya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilihan umum pada rezim pertama yaitu pemilihan umum dalam rangka memilih DPR-RI, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan umum pada rezim kedua dalam rangka memilih kepala daerah 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pembagian rezim pemilihan umum dan pengaturan yang sumir terhadap kewenangan memutus hasil pemilihan umum berdampak pada apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili semua rezim Pemilu atau hanya Pemilu pada rezim pertama saja. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dimana data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus sengketa pemilihan umum namun dengan syarat sebelum dibentuk peradilan khusus pemilu dan dengan berbagai persoalan ketika nanti peradilan khusus dibentuk dan di bawah lingkungan Mahkamah Agung.
Masih Perlukah Adanya Hakim AD HOC Sekarang Ini ? Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.568 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.678

Abstract

Keberadaan hakim ad hoc pada awalnya dikarenakan kurangnya kepercayaan masyarakat pada pengadilan, sehingga dipandang perlu pengawalan hakim ad hoc dalam pelaksanaan peradilan di pengadilan Tipikor. Penentuan hakim ad hoc dan komposisinya pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi semula diatur pada Pasal 56 ayat (1) Jo Pasal 58 ayat (2), Jo. Pasal 59 ayat (2) Jo Pasal 60 ayat (2) Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa jumlah hakim ad hoc melebihi jumlah hakim karir dalam satu majelis, akan tetapi sejak diberlakukannya Undang-undang No.46 Tahun 2009 yang khusus merubah ketentuan mengenai penentuan komposisi hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diserahkan kepada kebijakan masing-masing Ketua Pengadilan Tipikor. Untuk menghasilkan sebuah putusan dalam sistem peradilan pidana adalah didasarkan pada musyawarah dan jika tidak tercapai maka diambil suara terbanyak yang tentunya akan selalu dimenangkan oleh hakim yang jumlahnya lebih besar, dan jika hakim yang jumlahnya komposisinya lebih besar adalah para hakim karier maka sebagus kualitas hakim ad hoc tetap putusan yang dihasilkan tidak akan maksimal dan terjadilah putusan yang terdapat dissenting opinion yang sering kita jumpai sekarang ini. Sehingga sudah saatnya perlu dikaji kembali apakah masih perlu adanya hakim ad hoc dalam dunia peradilan di Indonesia? jangan sampai biaya menghadirkan hakim ad hoc yang cukup besar akan tetapi tujuan awal keberadaan hakim ad hoc yang diharapkan oleh masyarakat tidak terwujud.
Nota Bene Jangan Ragu Menghukum Korporasi (Menegakkan Undang Undang Pajak Dengan Menghukum Korporasi Atau Dengan Penyanderaan Badan (Gijzeling) ? ) Mardjono Reksodiputro
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.81 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.679

Abstract

Proses penegakan hukum di Indonesia beberapa waktu ini menarik perhatian kita semua, khususnya para pengamat hukum. Tentu perhatian kita yang utama adalah pada masalah proses hukum dari Ketua DPR kita yang sekaligus juga Ketua Umum salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Tetapi saya tidak ingin membicarakan kasus itu, saya ingin menoleh pada masalah yang mungkin agak luput dari perhatian kita dan juga dari media massa.
Politik Hukum Dalam Demokrasi Ekonomi Indonesia Asep Bambang Hermanto
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.806 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v4i1.680

Abstract

Proses pembangunan bangsa Indonesia era global ini memerlukan sistem perekonomian yang kuat agar kesejahteraan umum bagi rakyat dapat terwujud sesuai tujuan negara yang tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujun negara tersebut selanjutnya diatur dalam Pasal 33 UUD NRIT 1945 (Pasca Perubahan), yang menyebutkan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang- undang. Pasal 33 UUD NRIT 1945 tersebut memberikan dasar pijakan dalam membangun dan mengembangkan perekonomian Indonesia. Di samping itu, juga dapat dijadikan filter oleh pemerintah dan rakyat Indonesia di dalam menghadapi dampak negatif perkembangan liberalisasi perekonomian dunia abad 21 ini. Akan tetapi, sistem perekonomian Indonesia yang berlandaskan Pasal 33 UUD NRIT 1945 tersebut, dalam tataran implementasinya yang diatur oleh undang undang ternyata tidak sejalan dengan tujuan negara dan tafsir Pasal 33 UUD NRIT itu sendiri, akhirnya sering tidak tercapainya dalam membangun dan mewujudkan perekonomian Indonesia yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat atau kemakmuran rakyat. Sebab politik hukum dari pembentuk undang undang salah men-desain produk hukum pelaksana dalam sistem peronomian Indonesia yang berdasarkan ekonomi kekeluargaan atau disebut koperasi sulit terwujud dan hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (politik ekonomi tertentu). Hal ini dapat dilihat dari materi muatan Pasal 33 dan/atau penambahan ayat-ayat dalam Pasal 33 UUD NRIT 1945 tersebut menjadi rancu dan tidak jelas, terlebih produk hukum dibawahnya seperti undang-undang banyak menjadi tidak bermaksud untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kebijaksanaan negara seharusnya melahirkan demokrasi ekonomi dan sosial yang diinginkan Moh. Hatta yaitu usaha bersama, asas kekeluargaan, dan dengan wujud koperasi, karena itu penting bagi negara untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat.
Urgensi Mata Kuliah Politik Hukum Di Perguruan Tinggi Di Jakarta Berbasis Kompetensi Kerangka Nasional Indonesia Martini; Efridani Lubis
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (735.867 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v4i1.681

Abstract

Politik Hukum menjadi mata kuliah baru pada program studi secara umum mengikuti perubahan kurikulum pada tahun 2017. Ketentuan ini menggerakkan beberapa perguruan tinggi, termasuk Universitas Negeri Jakarta (UNJ) untuk memasukkan mata kuliah tersebut pada kurikulum UNJ. Namun demikian, belum ada data yang menunjukkan bahwa kebijakan ini memberikan dampak pada kualifikasi lulusan sebagaimana ditentukan dalam capaian pembelajaran lulusan (CPL). Berlatar belakang hal inilah penulis memandang perlu melakukan evaluasi dan studi untuk mengetahui pentingnya mata kuliah dimaksud pada pendidikan tinggi, khususnya bagi UNJ. Wilayah penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dengan beberapa universitas di sekitar Jakarta, baik yang negeri maupun yang swasta dan mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif dengan metode content analysis yang mengkaji informasi tertulis baik literatur, media massa, maupun buku. Adapun sumber data yang digunakan meliputi data primer, data sekunder, maupun data tertier. Hasil studi menunjukkan bahwa mata kuliah Politik Hukum pada perguruan tinggi sekitar Jakarta belum diberikan pada level Strata 1 (S1), melainkan pada level Strata 2 (S2). Namun demikian, dari hasil kuesioner yang diberikan kepada mahasiswa UNJ, UNJ tetap mendukung pemberian mata kuliah bagi mahasiswa S1, terutama mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) karena mata kuliah ini memberikan manfaat besar untuk memperluas pengetahuan dan memahami hubungan antara politik, hukum, dan komunitas sosial di Indonesia.Di lain pihak, perlu menyesuaikan arah pemberian mata kuliah yang pada umumnya bersifat analisis yang melampui standar S1 dengan kualifikasi level 6 berdasarkan KKNI.
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dan Implikasi Terhadap Perkembangan Praperadilan Wahyu Iswantoro
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.041 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v4i1.682

Abstract

Hakim sebagai aktor penegak hukum dan keadilan harus mampu mengikuti perkembangan hukum yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kewenangannya seorang Hakim harus mampu menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, hal itu dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum (Rechtsvinding) yang secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan. Penemuan hukum oleh Hakim dalam kaitan dengan perluasan objek serta ruang lingkup Praperadilan semakin hari semakin luas dan bertambah. Pada awalnya muncul dari penemuan hukum oleh Hakim Praperadilan melalui pertimbangan hukum dalam putusannya, dan bahkan hingga saat ini telah ada 4 (empat) Putusan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yang memperluas ruang lingkup dan objek praperadilan. Hal tersebut tentu menimbulkan implikasi dan permasalahan, apakah sebenarnya penemuan hukum tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan hukum dimasyarakat.

Page 5 of 14 | Total Record : 135