cover
Contact Name
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
Contact Email
wayang.nusantara@isi.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
endahbudiarti30@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
ISSN : 23564776     EISSN : 23564784     DOI : -
Core Subject : Art,
Wayang Nusantara adalah jumal ilmiah pewayangan yang diterbitkan oleh Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjuk:an, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Terbit pertama kali bulan September 2014 dengan frekuensi terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan September.
Arjuna Subject : -
Articles 35 Documents
Sehu: Dalang Wayang Potehi (布袋戲) di Jawa Hirwan Kuardhani
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i1.2996

Abstract

Potehi is a hand-glove puppetry theatre art form, brought by the Chinese emigrant from Fujian in the sixteenth century. It used to be performed in their vessels (Jung-Jung) when they were docked. The Hokkian dialect was used at that time. As more Chinese immigrants settled down in Indonesia, they carried along the Potehi art in Java. Along the way, Potehi ceased to be performed in Hokkien dialect. Instead, it was Melayu Pasar or Melayu rendah (now Indonesian Language) being used, which was indeed the lingua franca among the Chinese community then. Nevertheless songs and poetry were still in Hokkian. Sehu called dalang Potehi. Was originally sehu as Hokkian true, a long the way sehu as Pranakan’s Tionghoa an than in this time sehu from etnic Java. The acculturation with the local society resulted in a very unique Potehi which was different from its original version. Potehi merupakan pertunjukan sarung tangan, yang dibawa para emigran China dari Fujian sekitar abad enam belas. Potehi biasanya dipertunjukkan di Jung-jung atau kapal-kapal mereka ketika sedang mendarat. Mereka menggunakan bahasa Hokkian dalam pertunjukannya. Ketika orang-orang Tionghoa menetap di Indonesia mereka membawa serta kesenian Potehi di Jawa. Pada perkembangannya pementasan Potehi tidak lagi menggunakan bahasa Hokkian melainkan menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah (sekarang bahasa Indonesia), bahasa yang sekaligus menjadi bahasa pengantar kaum Tionghoa saat itu. Walaupun untuk lagu dan syair masih memakai bahasa Hokkian. Sehu merupakan sebutan bagi dalang wayang Potehi. Awalnya sehu adalah orang Hokkian asli, pada perkembangannya adalah orang-orang Peranakan, dan saat ini sehu dari etnis Jawa. Proses akulturasi dengan penduduk setempat membuat pertunjukan Potehi menjadi unik dan berbeda dengan negeri asalnya.
Wayang Hip Hop Dekonstruksi Budaya Tradisi di Yogyakarta Aji Santoso Nugroho
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i1.2997

Abstract

This paper aims to observe the presence of the Hip Hop Puppet in the middle of the Yogyakarta community which is developing quite dynamically. Talcott Parsons’s theory of social action and Derrida’s deconstruction theory is used as a theoretical framework to explain the presence of this Hip Hop Puppet. The theory was chosen because the Hip Hop Puppet was created by Ki Catur Kuncoro by fusing two cultures and simultaneously deconstructing the pure shadow puppets that were present first. Hip Hop puppets were created to meet the needs of today’s young generation. The Hip Hop Puppet was created by Ki Catur Kuncoro with the aim that the young generation does not lose their cultural roots and at the same time still be able to keep up with the times. In addition, the Hip Hop Puppet is intended as an alternative media to convey criticism and proof that traditional culture can be aligned with modern culture. The acceptance of the Hip Hop Puppet as a spectacle that attracts audiences from all walks of life, proves that there is a cultural change in the middle of the social life of the people of Yogyakarta. Tulisan ini bertujuan mengamati kehadiran Wayang Hip Hop di tengah masyarakat Yogyakarta yang berkembang cukup dinamis. Teori Talcott Parsons tentang tindakan sosial dan teori dekonstruksi Derrida digunakan sebagai kerangka teori untuk menjelaskan kehadiran Wayang Hip Hop ini. Dipilihnya teori tersebut karena Wayang Hip Hop diciptakan oleh Ki Catur Kuncoro dengan meleburkan dua kebudayaan dan sekaligus mendekonstruksi wayang kulit purwa yang telah hadir lebih dulu. Wayang Hip Hop diciptakan untuk memenuhi kebutuhan generasi muda zaman sekarang. Wayang Hip Hop diciptakan Ki Catur Kuncoro dengan tujuan agar generasi muda tidak kehilangan akar kebudayaan dan sekaligus tetap dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Selain itu Wayang Hip Hop dimaksudkan sebagai media alternatif untuk menyampaikan kritik dan sebuah pembuktian bahwa budaya tradisi dapat disejajarkan dengan budaya modern. Diterimanya Wayang Hip Hop sebagai tontonan yang menarik penonton dari semua kalangan, membuktikan bahwa terjadi perubahan budaya di tengah kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta.
Hubungan Wayang dan Gending dalam Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta Junaidi Junaidi; Asal Sugiarto
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i1.2998

Abstract

Dalang when displaying the puppet characters are always supported by the musical, so the concept of relationship must be known in order to avoid incorrect installation. During this time, only disclosed the names, shapes, make signs, playing with, notations balungan, and functions, but the underlying reasons association has not been described in detail, resulting in the replacement of the pair resulting in the incongruity and crisis gending pakeliran knowledge and techniques . The goal is to know about the underlying reason for the installation of a puppet with the musical in every scene. The method used is descriptive identification, based on the literature data and field observations, while the discussion used the theory of functions gending in pakeliran, namely as an illustration, framed, and unifying. The result is the installation of a puppet with the musical based on the shape and character. Dalang ketika menampilkan tokoh wayang selalu didukung oleh gending, sehingga konsep hubungannya harus diketahui agar tidak terjadi salah pemasangan. Selama ini, hanya diungkapkan tentang nama-nama, bentuk, tanda isyarat, garap, notasi balungan, dan fungsinya, tetapi alasan yang mendasari keterkaitannya belum dijelaskan secara detail, sehingga terjadi penggantian pasangan yang berakibat pada ketidaksesuaian dan krisis pengetahuan serta teknik gending pakeliran. Tujuan tulisan ini adalah ingin mengetahui tentang alasan yang mendasari pemasangan wayang dengan gending dalam setiap adegan. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif identifikasi, berdasarkan data pustaka dan pengamatan lapangan, sedangkan pembahasannya digunakan teori fungsi gending dalam pakeliran, yaitu sebagai ilustrasi, pembingkai, dan penyatu. Hasilnya berupa pemasangan wayang dengan gending berdasarkan bentuk dan karakter.
Karakter Bima Sebagai Sumber Inspirasi dalam Karya Seni Grafis Bagaskoro Ardhi; Nooryan Bahari; Sigit Purnomo Adi1
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i1.2999

Abstract

The resulting graphic artwork was inspired by the Bima puppet figure who was dashing, muscular, athletic, honest, brave, never giving up, warlord, and accomplished knight. Bima’s characters and attributes are then poured in this graphic art. This work was created using a high-speed/print technique that has a unique shading effect, such as a texture effect because it goes through the printing process many times. The basic principles of art include unity, balance, harmony, proportion (proportion), and emphasis (domination) used as a theoretical framework. The author utilizes reproductive works in the form of photos of print media and from the internet to be explored. There are 14 works produced from the exploration. Karya seni grafis yang dihasilkan terinspirasi dari tokoh wayang Bima yang gagah, kekar, atletis, jujur, pemberani, pantang menyerah, panglima perang, dan ksatria ulung. Karakter dan atribut Bima itulah yang kemudian dituangkan dalam karya seni grafis ini. Karya ini diciptakan dengan menggunakan teknik cukil tinggi/relief print yang memiliki efek cukilan yang unik, seperti efek tekstur karena melalui proses cetak berkali-kali. Prinsip dasar seni rupa antara lain kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (ritme), perbandingan (proportion), dan penekanan (domination) dipakai sebagai kerangka teori. Penulis memanfaatkan karya reproduksi berupa foto media cetak maupun dari internet untuk dieksplorasi. Ada 14 karya yang dihasilkan dari eksplorasi tersebut.
Wayang Klithik Robot Gandar Setiawan1
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i1.3000

Abstract

Wayang is a autentic culture from Indonesia. Wayang has many figure and character. It is main idea of this make the artwork. Inspiration of the artwork also from observation robot forms. Robot has the furious and futuristic form. Like the progression of technologi, form of robot also more experiencing form progression. Until now, form of robot still identic and can not losed from imajinative forms. This prossesing to make the artwork use created methode from Gustami, it is a three stages six steps creating craft artwork. First stage is eksploration consist of observation and finding refference steps. Second stage is desaigning consist of making the sketch and making the gambar teknik or modeling steps. Third stage is forming consist of create artwork and finished with value and evaluation steps. Result of visual form is a three dimension artwork with futuristic robot form. Visual form the artwork is a transformastion of futuristic wayang klithik with robot form. The puppet figures are Wrekudara and Gatotkaca Combination form is a method for impression and aesthete value of the artwork. Wayang merupakan budaya asli dari Indonesia. Wayang memiliki berbagai macam tokoh dan karakter. Wayang menjadi ide utama dalam penciptaan karya ini. Inspirasi karya juga muncul dari pengamatan bentuk-bentuk robot. Robot memiliki bentuk yang variatif dan futuristik. Sesuai dengan perkembangan teknologi, bentuk robot juga mengalami perkembangan yang lebih bermacam-macam. Sampai saat ini, bentuk robot masih identik dan tidak bisa lepas dari bentuk-bentuk imajinatif. Proses pembuatan karya seni ini menggunakan metode penciptaan dari Gustami, yaitu metode tiga tahap enam langkah dalam menciptakan karya seni kriya. Tahap pertama yaitu eksplorasi yang meliputi langkah pengamatan dan pencarian sumber pustaka. Tahap kedua merupakan tahap perancangan yang terdiri dari langkah pembuatan beberapa sketsa dan pembuatan gambar teknik ataupun model. Tahap yang ketiga yaitu tahap perwujudan yang terdiri langkah pengerjaan karya, dan diakhiri dengan penilaian juga evaluasi karya yang telah jadi. Bentuk visual yang dihasilkan yaitu karya seni tiga dimensi dengan bentuk futuristik menyerupai robot. Bentuk visual karya merupakan penggabungan antara bentuk wayang klithik dengan bentuk robot. Tokoh wayang yang dibuat yaitu Wrekudara dan Gatotkaca. Perpaduan bentuk dilakukan sebagai cara untuk memberikan kesan dan nilai estetik pada karya.
Wayang Bèbèr Damarwulan Mahmudi Mahmudi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 2 (2018): September 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i2.3048

Abstract

This “Wayang Bèbèr Damarwulan” work is an interpretation of wayang bèbèr based on the creator’s experience in studying arts. This work is a wayang Bèbèr artwork using traditional picture language (two dimension theory) and shape transformation theory. Both of these theories are used to combine the art of “kethoprak” with the story of Damarwulan into Wayang Bèbèr which then performed as a new version of wayang Bèbèr. By combining kethoprak into wayang Bèbèr, it is expected to be a new attractive and interesting wayang Bèbèr performance for the society. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan adalah suatu bentuk interpretasi baru dari wayang bèbèr. Interpretasi baru ini lahir dari pengalaman yang diperoleh perancang selama menekuni dunia seni, baik seni lukis maupun seni pedalangan. Karya Wayang Bèbèr Damarwulan ini merupakan penggarapan wayang bèbèr berdasarkan teori bahasa rupa tradisional/RWD (teori ruang waktu datar) dan teori alih wahana. Kedua teori tersebut digunakan sebagai kerangka berpikir dalam merancang Wayang Bèbèr Damarwulan yang merupakan sebuah karya wayang bèbèr versi baru perpaduan antara kethoprak cerita Damarwulan dengan wayang bèbèr. Karya ini diharapkan dapat membuat pertunjukan wayang bèbèr semakin menarik dan diminati masyarakat.
Review Lakon Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Wahana Eksplorasi Model Perancangan Lakon Dalam Rangka “Njajah Désa Milang Kori” B. Djoko Suseno
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 2 (2018): September 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i2.3049

Abstract

Njajah désa milang kori program is an activity of going around from one place to another in Bantul regency. This activity is one of the moral responsibility of the academic civitas of Pedalangan FSP ISI Yogyakarta for the world’s recognition of wayang kulit, which in fact began to have signs of fading in Bantul society. The move is intended as a vehicle to increase the appreciation of the community as well as improving the ability of dalang, both for lecturers and students majoring Pedalangan ISI Yogyakarta. The program is a place to experiment and explore new formats of wayang performances according to the demands of the era. One of these steps is reusing Lakon Alap-alapan Sukèsi by Ki Nartosabdo into the Ngayogyakarta tradition in a concise format. The questions are: (1) What elements are considered in the re-work; (2) Whether the results are stillfollowing the rules of the puppetry; and (3) whether the results of the work have met the criteria of the demands of the times. Through the study of balungan balungan plays and the concept of rap-rapet obtained the conclusion that: (1) Issues submitted are only the main points only; (2) Broadly speaking the plays still follow the pattern of pathet by reducing the jejer and the scene; (3) It meets the demands of the times, new in the aspect of the duration of time; and (4) have not been able to produce ashow that seems relaxed and less able to build a living reality. The results of this study are expected to intensify the re-evaluation so that the  purpose of developing the world of puppetry can be achieved. Program njajah désa milang kori adalah sebuah kegiatan mendalang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain di Kabupaten Bantul. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral civitas akademika jurusan Pedalangan FSP ISI Yogyakarta atas pengakuan dunia terhadap wayang kulit, yang pada kenyataannya mulai ada tanda-tanda memudar pamornya dalam masyarakat Bantul. Langkah tersebut dimaksudkan sebagai wahana peningkatan apresiasi masyarakat sekaligus peningkatan kemampuan mendalang, baik bagi dosen maupun mahasiswa jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta. Program tersebut merupakan ajang bereksperimen dan mengekplorasi format baru pertunjukan wayang sesuai dengan tuntutan jamannya. Salah satu dari langkah tersebut adalah garap-ulang Lakon Alap-alapan Sukèsi oleh Ki Nartosabdo ke dalam tradisi Ngayogyakarta dalam format pakeliran ringkas. Yang menjadi pertanyaan adalah: (1) Unsur apa saja yang diperhatikan dalam garap-ulang tersebut; (2) Apakah hasil garap tersebut masih mengikuti kaidah-kaidah dalam pedalangan; dan (3) Apakah hasil garap tersebut sudah memenuhi kriteria tuntutan jaman. Melalui telaah pola balungan lakon dan konsep sambung-rapet diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Permasalahan yang disampaikan hanyalah yang pokok-pokoksaja; (2) Secara garis besar lakon masih mengikuti pola pathet dengan mengurangi jejer dan adegan; (3) Hal yang memenuhi tuntutan jaman, baru dalam aspek durasi waktu; dan (4) Belum mampu menghasilkan pertunjukan yang terkesan santai dan kurang mampu membangun realitas yang hidup. Hasil penelitian ini diharapkan semakin menggiatkan telaah ulang sehingga tujuan pengembangan dunia pedalangandapat tercapai.
Wrémada: Sebuah Transformasi Tantri dalam Pertunjukan Wayang Bali I Kadek Bhaswara Dwitiya
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 2 (2018): September 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i2.3050

Abstract

“Wrémada” is reinterpretations of once episode of Tantri stories, it’s to respond of social-culture phenomena in Indonesia. As we know, the television programs expose coruption in some departmens and institutions. In the other side, the majority of Indonesia society  wereunderestimating of traditional arts. Based on this phenomena,title of this art work was used “Wrémada”, it’s mean is “the monkey was stunned by position and authorities. This art work to fuse three genre, there are wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah, in which each of those had different of playing technical and space. But they were colaborated to be one unity art work, and so, this art work can be accepted of Baliness society. And it explained once widya component of Tantri’s story, so it be rebornd and reflected by Indonesia society, and so to build a nations character based on local norm and convention. My expectations of tenants, it can be wise and be guided by the chess pariksa or called by the name of chess nayasandhi is the same, different, funds, and danda. “Wrémada” merupakan reinterpretasi dari salah satu cerita dalam Tantri, untuk merespon kondisi sosial budaya bangsa Indonesia dewasa ini. Sebagaimana banyak diberitakan di televisi tentang pejabat tinggi negara yang terjerat kasus korupsi. Fakta demikian ditunjang oleh kondisi budaya bangsa khususnya kesenian tradisional yang menunjukkan adanya gejala mulai terpinggirkan. Atas dasar hal tersebut maka karya ini diberi judul “Wremada”, yang artinya kera yang mabuk jabatan dan kekuasaan.Karya ini merupakan gabungan tiga jenis wayang, yaitu wayang golek, wayang peteng, dan wayang lemah. Ketiganya memiliki teknik bermain dan ruang gerak yang berbeda, kemudian dikolaborasikan menjadi satu kesatuan karya yang utuh. Karya ini dimaksudkan untuk menjabarkan salah satu komponen widya dalam cerita Tantri agar dikenali kembali oleh masyarakat. Karya ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam pembangunan karakter bangsa, khususnya pola perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa sesuai dengan kapasitas masing-masing. Harapan penggarap, karya ini dapat dijadikan cermin bagi masyarakat agar bersikap bijaksana dengan berpedoman pada catur pariksa atau catur nayasandhi,yang meliputi sama, beda, dana, dan danda.
Aktualisasi Diri Ki Seno Nugroho: Tinjauan Pemenuhan Kebutuhan dalam Teori Motivasi Abraham H. Maslow Elisha Orcarus Allasso
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 2 (2018): September 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i2.3051

Abstract

The purpose of this research is to reveal self-actualization Ki Seno Nugroho as a dalang by way of examining his motivation in meeting the level of needs. Maslow’s motivational theory, especially regarding the fulfillment of needs used to analyze self-actualization Ki Seno Nugroho. This research uses ethnographic method in describing field observation and interview result. From the analysis results obtained conclusion self-actualization KiSeno Nugroho is the peak of the process of fulfillment of the needs level. Achievement of self actualization needs begins with knowing the talent and potential. Awareness of the talent possessed dreams as the highest needs and to achieve them must go through a long process. Ki Seno Nugroho has succeeded in actualizing himself and fulfilling his dream through his talent. After he succeeded in realizing his dreams in his youth to become a puppeteer favored by the public, his next dream is to keep fans and prepare the next generation in order to preserve the Javanese culture especially the puppet show. The attainment of self-actualization through the level of fulfillment of needs will continue and develop as long as it lives.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap aktualisasi diri Ki Seno Nugroho sebagai seorang dalang dengan cara menelisik motivasinya dalam memenuhi tingkat kebutuhan. Teori motivasi Maslow khususnya mengenai pemenuhan kebutuhan digunakan untuk menganalisis aktualisasi diri Ki Seno Nugroho. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dalam mendiskripsikan pengamatan lapangan dan hasil wawancara. Dari hasil analisis didapat kesimpulan aktualisasi diri Ki SenoNugroho adalah puncak dari proses pemenuhan tingkat kebutuhan.  Pencapaian kebutuhan aktualisasi diri diawali dengan mengetahui bakat dan potensi yang dimiliki. Kesadaran mengenai bakat yang dimiliki melahirkan impian sebagai kebutuhan tertinggi dan untuk mencapainya harus melalui proses panjang. Ki Seno Nugroho telah berhasil  mengaktualisasikan diri dan mewujudkan impiannya melalui bakat yang dimilikinya. Setelah ia berhasil mewujudkan impiannya di masa muda yaitu menjadi dalang yang digemari oleh masyarakat, impian selanjutnya adalah mempertahankan penggemar dan mempersiapkan generasi berikutnya agar dapat melestarikan budaya Jawa terutama pertunjukan wayang. Pencapaian aktualisasi diri melalui tingkat pemenuhan kebutuhan akan terus berlangsung dan berkembang selama ia hidup.
Retorika I Dewa Made Rai Mesi dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Irawan Rabi I Putu Ardiyasa
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 2, No 2 (2018): September 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v2i2.3052

Abstract

Rai Mesi is an interesting phenomenon in the world of puppetry in Bali because its presence offers a different color and is able to revive the wayang kulit purwa. It is also what makes it a legendary dalang for the people. Rai Mesi as a dalang who is good at bringing stories, always be the first choice for people who want to hold a puppet show. Each show is always packed with spectators. It is therefore not surprising that the style of Rai Mesi puppetry is still used as a reference by the young puppeteers until now. Given its capacity as the mastermind of the story, the focus of the discussion in this paper is the issue of rhetoric that focuses on the choice of words, the use of language, and the way of narration, both in narrative and in dialogue. The data used is Lakon Irawan Rabi in the form of ribbon tape recordings which are then transcribed into written form. The result of the research shows that Rai Mesi has succeeded in composing the Irawan Rabi play as a Javanese wayang kulit playwoman to play Balinese parrot leather puppets through the processing of language style, bothbeautiful language, hilarious, figurative, and alternation. In addition to processing the style of language, Rai Mesi in his speech also inserted the language outside Bali, be it the language of the archipelago and foreign languages. Rai Mesi’s rhetoric is very communicative.Rai Mesi merupakan fenomena yang menarik dalam dunia pedalangan di Bali karena kehadirannya menawarkan warna yang berbeda dan mampu menggairahkan kembali pertunjukan wayang kulit purwa. Hal ini pula yang membuatnya menjadi dalang legendaris bagi masyarakatnya. Rai Mesi sebagai dalang yang pandai membawakan cerita, selalu menjadi pilihan pertama bagi masyarakat yang ingin menyelenggarakan pertunjukan  wayang. Setiap pertunjukkannya selalu dipadati penonton. Oleh karenaitu tidak mengherankan apabila gaya pedalangan Rai Mesi masih dijadikan acuan oleh dalang-dalang muda hingga sekarang. Mengingat kapasitasnya sebagai dalang cerita, maka fokus bahasan dalam tulisan ini adalah masalah retorika yang berfokus pada pemilihan kata,  pemakaian bahasa, serta cara penuturannya, baik dalam narasi maupun dialognya. Data yang digunakan adalah Lakon Irawan Rabi dalam bentukrekaman kaset pita yang kemudian ditranskrip ke dalam bentuk tulisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rai Mesi telah berhasil menggubah Lakon Irawan Rabi sebagai lakon wayang kulit Jawa menjadi lakon carangan wayang kulit parwa Bali melalui pengolahan gaya bahasa, baik bahasa indah, kocak, kiasan, dan alternasi. Selain mengolah gaya bahasa, Rai Mesi dalam tuturannya juga menyisipkan bahasa luar Bali, baik itu bahasa Nusantara maupun bahasa asing. Retorika Rai Mesi sangat komunikatif.

Page 1 of 4 | Total Record : 35