cover
Contact Name
Erni Agustin
Contact Email
media_iuris@fh.unair.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
media_iuris@fh.unair.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Media Iuris
Published by Universitas Airlangga
ISSN : -     EISSN : 26215225     DOI : -
Core Subject : Social,
Media Iuris E-ISSN (2621-5225) is an open-access-peer-reviewed legal journal affiliated with the Faculty of Law of Airlangga University, which was published for the first time in 2018 in the online version. The purpose of this journal is as a forum for legal scholars, lawyers and practitioners to contribute their ideas to be widely disseminated for the development of legal science in Indonesia. This journal is published three times a year in February, June and October. Scope of articles ranging from legal issues in the fields of business law, constitutional law, administrative law, criminal law, international law, comparative law, and other legal fields.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS" : 7 Documents clear
REKAMAN ELEKRONIK PERSONAL CHAT PADA SOCIAL MEDIA SEBAGAI ALAT BUKTI I PUTU KRISNA ADHI
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.179 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.9829

Abstract

Abstract:This journal is titled "Personal Chat Electronic Record on Social Media as a Proof Tool". The problem formulation of this journal contains how a Personal Chat can be used as a legitimate evidence in front of the court seen from Indonesia's positive law and also the comparison of some personal chat features on some social media that can be used as valid evidence in court. This writing uses a normative legal research method by linking various sources related to the validity of the Personal Chat as a valid proof. The reason for using normative due to the obscurity of norms in national rules regarding the verification of Personal Chat in court. The conclusion of this journal is in accordance with the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions which will then be referred to as the ITE Law, Electronic Information and / or Electronic Documents and / or results the print is a valid legal proof, and this Personal Chat is a proof of evidence that the Personal Chat as a proof cannot stand alone. The requirement for Personal Chat to become evidence in the trial is that it has fulfilled the formal and material requirements, accompanied by expert information or digital forensics, fulfills the verification of authentication and also the necessity of merging with other evidence as a provision for the minimum principle of evidence. Regarding the use of personal chat as a legitimate means of proof it is also not immediately obtained from various social media, but from several social media applications that have fulfilled the standardization of authenticity and security guarantees.Keywords: Electronic Recordings, Personal Chat, Social Media, Digital Evidence.Abstrak:Jurnal ini berjudul "Rekaman Elektronik Personal Chat Pada Social Media Sebagai Alat Bukti". Rumusan masalah jurnal ini berisikan tentang bagaimana suatu Personal Chat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dimuka pengadilan dilihat dari hukum positif Indonesia dan juga komparasi dari beberapa fitur personal chat pada beberapa social media yang dapat dijadikan alat bukti yang sah dimuka persidangan. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengaitkan berbagai sumber yang berkaitan dengan keabsahan Personal Chat tersebut sebagai alat bukti yang sah. Alasan mempergunakan normatif dikarenakan kekaburan norma dalam aturan nasional mengenai pembuktian Personal Chat di dalam pengadilan. Kesimpulan dari jurnal ini yaitu sesuai dengan -Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya akan disebut Undang-Undang ITE, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, serta Personal Chat ini sebagai alat bukti petunjuk dimana Personal Chat sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri. Syarat agar Personal Chat menjadi alat bukti dalam persidangan adalah telah memenuhi syarat formil dan materiil, disertai oleh keterangan ahli atau digital forensik, memenuhi kasifikasi otentifikasi dan juga keharusan penggabungan dengan alat bukti lain sebagai sebuah ketentuan adanya prinsip minimum alat bukti. Mengenai penggunaan personal chat sebagai alat bukti yang sah juga tidak serta-merta didapat dari berbagai social media akan tetapi dari beberapa aplikasi social media yang sudah memenuhi standarisasi otentisitas dan jaminan keamanan.Kata kunci : Rekaman Elektronik, Personal Chat, Social Media, Alat Bukti.
PENEGAKKAN HUKUM ATAS PENGAWASAN PEMBAWAAN UANG TUNAI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Retta Ayu Mawarni
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.78 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.9106

Abstract

Terdapat permasalahan yang menarik terkait pengawasan pembawaan uang tunai oleh pelaku pembawaan uang tunai ke dalam maupun ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin berkembang terutama penukaran uang rupiah terhadap uang asing sejumlah Rp. 100.000.000,00 di tempat penukaran uang. Namun di sisi lain, akibat dari pelaku tersebut membawa uang dalam pecahan besar disalahgunakan sebagai penyuapan dan sebagai pelacakan aliran dana kepada pihak lain yang menerima dana oleh pelaku tersebut. Berkaca dari permasalahan tersebut, guna memberantas pencucian uang maka terdapat dua institusi yaitu Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan berwenang menindaklanjuti pelaku yang tidak melaksanakan laporan pembawaan uang tunai karena Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan sebagai fokus utama pencegahan pelaku pembawaan uang tunai ke dalam maupun ke luar negeri sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Pencucian Uang serta dalam hal pencegahan pelaku diwajibkan melaksanakan dan memberitahukan laporan pembawaan uang tunai tidak boleh melebihi Rp 100.000.000,00 agar tidak dikenai sanksi pidana dan sanksi administrasi dan mencegah keuangan yang direkayasa. 
DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK YANG DILAKUKAN OLEH ADVOKAT DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI KUASA KLIEN mohamad adnan fanani
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.929 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.10457

Abstract

Setiap orang memiliki rasa harga diri mengenai kehormatan dan rasa harga diri mengenai nama baik. Tindak pidana penghinaan (beleediging) yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus, ditujukan untuk memberi perlindungan bagi kepentingan hukum mengenai rasa semacam ini. Tentang tindak pidana penghinaan (pencemaran nama baik), ada yang merupakan penghinaan umum dan ada penghinaan khusus yang diatur dalam KUHP.Tesis ini menggunakan metode penelitian  normatif dengan mengkaji pengaturan hukum mengenai tindak pidana pencemaran nama baik. Sumber data yang digunakan dalam tesis ini adalah data sekunder dan digolongkan atas bahan hukum primer yang terdiri dari KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku – buku dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam hal surat yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik yang dilakukan oleh advokat dalam melaksanakan tugasnya sebagai kuasa klien. Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi Pendekatan Perundang-Undang an (Statute Approach) dan pendekatan konseptual ( Conceptual Approach). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Dengan penulisan ini diharapakan dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembacanya.
ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM YANG MELAKUKAN PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK Astrid Ayu Pravitria
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.172 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.10158

Abstract

Tesis ini berjudul “Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Yang Melakukan Pemerkosaan Terhadap Anak”, yang dalam penulisannya digunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normative, dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Apa karakteristik anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan pemerkosaan terhadap “Anak”?, (2) Apakah Ratio Decidendi Putusan Hakim dalam perkara anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan pemerkosaan terhadap anak, apakah sudah memperhatikan aspek perlindungan anak? (ditinjau dalam perspektif perlindungan anak) terkait dengan Putusan Perkara Nomor 206/Pid.Anak/2011/PN.Sby mengenai pemerkosaan yang dilakukan oleh Achmad Suryo Raharjo Bin Abdullah (16 Tahun) terhadap Tyas Wahyuningsih (15 Tahun) dan Putusan Perkara Nomor 113/Pid.Anak/2012/PN.Sby mengenai pemerkosaan yang dilakukan oleh Bayu Waskito Aji Bin Aji (17 Tahun) terhadap Sri Wahyuni (15 Tahun 6 Bulan). Dari pendekatan tersebut dihasilkan bahwa, rumusan masalah yang pertama membahas mengenai karakteristik anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan pemerkosaan terhadap anak. Dari pembahasan tersebut tersebut maka akan jelas terlihat mengenai karakteristik anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan yang korbannya anak.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN TERHADAP MALPRAKTEK PADA PENGOBATAN TRADISIONAL Syifa Alam
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.502 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.10203

Abstract

AbstractHealthy treatment with medical method or traditional method are a form of health services by health workers. Amid the development of health technology in the medical field, there are still many people who choose traditional treatment as a solution to healing their diseases. Based on article 11 paragraph (1) Law number 36 year 2014 concerning Health Worker stated that Traditional Healer is categorized as a Health Worker. Since there are so many people that interest with traditional treatment, the government provides regulations and provides practice health services permits related to operate traditional treatment as a form of legal protection  for users of health services. In order to provide traditional treatment practice permit it is required to obtain the recommendation from association of traditional treatment. When Traditional Healer conducts health service, he needs to comply with the procedurs in professional standard, health services standard and procedurs standard that have been determinded by the association of traditional treatment. In practice of traditional treatment there is civil relation between traditional healer and patient. Traditional healers in performing health services for patients can make mistakes or defaults that cause a decreased health for the patients. This condition will harm the patients, therefore there should be a form of legal protection for patients so that patients can claim their rights in order to create a legal certainty in health services, especially traditional treatment. The regulation of legal protection in civil form is not regulated in details in Law number 36 year 2009 concerning Health, so that it is required to further study the form of legal protection for the patients refer to Burgerlijk Wetboek, Law number 8 of 1999 concerning Consumer Protection along with an analyze of a case regarding a traditional treatment patient who is harmed upon health service provided by traditional healer.  Keywords: Traditional Treatment, Patients, Legal Protection AbstrakPengobatan dengan cara medis maupun dengan cara tradisional merupakan bentuk dari pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan. Ditengah perkembangan teknologi kesehatan dalam bidang medis, masih banyak masyarakat yang memilih pengobatan tradisional sebagai alternatif penyembuhan penyakit. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pengobat Tradisional dikategorikan sebagai Tenaga Kesehatan. Dikarenakan banyaknya masyarakat peminat pengobatan tradisional, pemerintah memberikan peraturan maupun izin praktik terkait pelayanan kesehatan dalam bentuk pengobatan taradisional sebagai bentuk perlindungan hukum kepada pengguna jasa pelayanan kesehatan. Dalam Pemberian izin praktik pengobatan tradisional diperlukan rekomendasi dari asosiasi pengobatan tradisional. Pengobat tradisional dalam melakukan pelayanan kesehatan harus mematuhi ketentuan-ketentuan dalam standar profesi, standar pelayanan kesehatan dan standar prosedur yang sudah ditentukan. Dalam praktik pengobatan tradisional terdapat hubungan keperdataan antara pengobat tradisional dengan Pasien. Pengobat tradisional dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien bisa saja melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kemunduran kesehatan pada pasien. Hal tersebut merugikan pasien, oleh sebab itu harus adanya bentuk perlindungan hukum bagi pasien sehingga pasien dapat menuntut haknya agar terciptanya kepastian hukum atas pelayanan kesehatan khususnya pengobatan tradisional. Pengaturan mengenai bentuk perlindungan hukum secara perdata tidak secara detail diatur dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga perlu dilakukan pengkajian atas bentuk upaya hukum tersebut berdasarkan Burgerlijk Wetboek, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen beserta dengan analisis atas suatu kasus pasien pengobat tradisional yang dirugikan atas pelayanan pengobat tradisional.Kata Kunci : Pengobatan Tradisional, Pasien, Perlindungan hukum
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BANK PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERINGKAT KEDUA DALAM EKSEKUSI OBJEK HAK TANGGUNGAN DIMAS NUR ARIF PUTRA SUWANDI
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.527 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.10183

Abstract

Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan tentunya sarat akan resiko, maka Bank wajib untuk mengelola resiko tersebut, oleh karena itu diperlukan adanya manajemen resiko. Manajemen resiko diartikan sebagai serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. Sehingga sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Bahwa terhadap satu objek jaminan hak tanggungan yang dibebani lebih dari satu hak tanggungan tersebut, dapat diajukan pada lebih dari 1 (satu) Bank ataupun diajukan pada Bank yang sama dengan pemegang hak tanggungan yang pertama. Namun adanya peringkat dalam hak tanggungan tersebut seringkali menjadi permasalahan dalam pelaksanaan eksekusinya. Bahwa perlindungan hukum tersebut seolah seringkali tidak didapatkan oleh Bank selaku kreditur peringkat kedua, karena dalam pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan terjadi penolakan dari KPKNL karena kedudukan Bank bukan sebagai pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama. Artikel ini bertujuan untuk menelaah kedudukan Kreditur peringkat kedua dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan ketika hak tanggungan peringkat pertama sudah dilakukan roya karena kredit pertama sudah lunas, sedangkan peringkat kedua akan melakukan eksekusi atas objek Hak Tanggungan dengan dasar peringkat namun seringkali Balai Lelang menolak dengan alasan ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
BATAS USIA PENSIUN GURU SWASTA DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Hafin Auni Qashrina
Media Iuris Vol. 1 No. 3 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.85 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i3.10201

Abstract

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur aturan-aturan ketenagakerjaan secara umum, tetapi pengaturan yang tegas dan jelas mengenai berapa batas usia pensiun yang berlaku tidak diatur. Tidak adanya pengaturan tersebut meliputi pekerja pada bidang pemerintahan  maupun non pemerintahan. Pada beberapa pekerja dalam pemerintahan seperti halnya Tentara/|Polisi, Hakim, telah terdapat aturan batas usia pensiun  yang jelas dalam undang-undang profesi terkait, tetapi hal tersebut berbeda dengan profesi guru karena banyak guru yang bekerja tidak hanya dalam status pekerja pemerintahan namun juga dalam status non pemerintahan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru yang diangkat dan ditempatkan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Guru Pegawai Negeri; b. Guru Swasta. Dalam peraturan tersebut diatur pula batas usia pensiun guru yang diatur pada usia 60 tahun. Meskipun demikian pembedaan yang tegas antara batas usia pensiun Guru Pegawai Negeri dan Guru Swasta tidak tidak diatur, hal tersebut berakibat pada praktik Penyelenggara Pendidikan Swasta yang menerapkan ketentuan usia pensiun untuk Guru Swasta kurang dari 60 tahun.

Page 1 of 1 | Total Record : 7