cover
Contact Name
Nurzamzam
Contact Email
zamzam.law@gmail.com
Phone
+6285242942361
Journal Mail Official
bolrev.borneo@gmail.com
Editorial Address
Jalan Amal Lama No 1 Tarakan Kalimantan Utara
Location
Kota tarakan,
Kalimantan utara
INDONESIA
Borneo Law Review Journal
ISSN : 25806750     EISSN : 25806742     DOI : https://doi.org/10.35334/bolrev.v4i2
Core Subject : Social,
Jurnal Borneo Law Review is the Journal of Legal Studies that focuses on law science. The scopes of this journal are: Constitutional Law, Criminal Law, Civil Law, Islamic Law, Environmental Law, Human Rights and International Law. All of focus and scope are in accordance with the principle of Borneo Law Review.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 110 Documents
PERAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN Jawahir Thontowi
Borneo Law Review Volume 1, No 1 Juni 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v1i1.707

Abstract

Penguasaan kepemilikan atas suatu wilayah merupakan salah satu tujuan suatu negara. Permasalahan terkait wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia kerap terjadi semenjak kemerdekaan masing-masing negara. Persengketaaan wilayah perbatasan umumnya timbul karena perbedaan pandangan tentang garis batas antara suatu Negara atas garis batas yang terletak dalam gambar. Hukum internasional telah sejak lama mengatur dengan jelas dan memberikan kepastian hukum tentang wilayah perbatasan suatu negara. Penentuan batas-batas suatu negara tersebut ditentukan oleh proses-proses hukum internasional, baik mempergunakan konsep self determination, asas uti possidetis, dan perjanjian batas negara. Sehingga penentuan batas-batas suatu negara diharapkan tidak lagi menimbulkan konflik. Perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia dan Malaysia, telah memberikan kepastian hukum tentang batas-batas antara kedua negara. Sehingga, dasar hukum pemerintahan kolonial tersebut sudah sepantasnya dijadikan bahan acuan bagi Indonesia dan Malaysia untuk menentukan luas wilayahnya masing-masing. Kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia perlu untuk semakin ditingkatkan. Hal ini tentu saja memandang bahwa wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan sungguh mengalami ketimpangan, baik sarana dan prasarana diantara kedua negara.Peningkatan kualitas sumber daya masyarakat lokal melalui capacity building programe, diharapkan dapat meningkatkan peran penegakan hukum yang berasaskan pada kearifan lokal masyarakat wilayah perbatasan
EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN ATAS PERKARA PERTANAHAN YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP Yosef Rama
Borneo Law Review Volume 2, No 2, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v2i2.725

Abstract

Eksekusi perkara pertanahan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah perwujudan dari nilai nilai keadilan dan kepastian hukum. Semua pihak sejatinya harus menghrmati dan dan melaksanakan baik pihak yang berperkara maupun pihak ketiga yang terkait. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dipandang sebagai sebuah kebenaran, karena itu harus dihormati dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai tanggungjawab moral dan tanggung jawab hukum. Secara normatif diatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan Tata Usaha Negara. Namun dalam tataran implementasi mengalami hambatan hambatan. Eksekusi Putusan pengadilan negeri atas perkara pertanahan yang berkekuatan tetap mendapatkan hambatan-hambatan dari pihak yang kalah.Pihak yang kalah melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan eksekusi atas putusan pengadilan yang berkekuata tetap,sehinggadalam pelaksnaannya menggunakan bantuan aparat keamanan. Demikian pula Pengadilan atas perkara pertanahan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sangat tergantung niat baik Badan atau instansi pemerintah.Hal ini terjadi karena tidak adanya lembaga pemaksa seperti halnya putusan perkara perdata.
REFORMULASI PENYEDIAAN DANA PENANGGULANGAN BENCANA AKIBAT KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI INSTRUMEN PAJAK LINGKUNGAN Tengku Erwinsyahbana; Rizki Rahayu Fitri; Anjasmara Rambe; Taufik Azhar Nasution
Borneo Law Review Volume 2, No 1 Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v2i1.720

Abstract

Dana penanggulangan bencana akibat kerusakan lingkungan hidup sangat besar, dan apabila kerusakan lingkungan hidup terjadi karena pemanfaatan sumber daya alam, maka selayaknya perusahaan dibebani dana penanggulangan bencana melalui instrumen pajak lingkungan. Mengingat arti penting instrumen pajak lingkungan perlu dilakukan penelitian, dengan tujuan untuk mendeskripsikan kebijakan penyediaan dana penanggulangan bencana yang terjadi karena kerusakan lingkungan hidup dan menyusun formulasi pajak lingkungan guna penyediaan dana penanggulangan bencana akibat kerusakan lingkungan hidup. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif dan bersifat deskriptif, sedangkan bentuknya adalah preskriptif. Data penelitian yang digunakan yaitu data sekunder, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Paradigma penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka analisis dilakukan secara yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah daerah yang dialokasikan dari anggaran pendapatan daerah, padahal jika kegiatan perusahaan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang menjadi penyebab terjadinya bencana, maka sudah seharusnya perusahaan dibebani tanggung jawab untuk menyediakan dana penanggulangan bencana, dan hal ini ditetapkan melalui internalisasi dana eksternal perusahaan. Hal penting yang perlu diformulasikan dalam instrumen pajak lingkungan, terkait dengan dasar hukum penetapan pajak lingkungan, tarif pajak yang harus dibayarkan, prosedur pemungutan pajak lingkungan, dan penggunaan dana yang diperoleh dari pajak lingkungan untuk penanggulangan bencana. Formulasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penyediaan dana penanggulangan bencana akibat adanya kerusakan lingkungan hidup karena pemanfaatan sumber daya alam, seharusnya tidak dibebankan kepada pihak yang tidak ikut menikmati keuntungan dari kegiatan usaha
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP ZONASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL DI PROVINSI KALIMANTAN UTARA Nurul Ridwan Yusuf
Borneo Law Review Volume 3, No 2, Desember 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v3i2.1080

Abstract

ABSTRAKKewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Di Provinsi Kalimantan Utara oleh Nurul Ridwan Yusuf dan dibimbing oleh Dr. Marthen B. Salinding, S.H., M.H dan Dr. Marthin Balang., S.H., M.Hum. Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diangkat antara lain: 1. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Mengelola Sumberdaya Perikanan, 2. Upaya Pemerintah Daerah dalam meminimalisir konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Provinsi Kalimantan Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara normatif dan mengkaji isu hukum menggunakan prinsip hukum serta dengan menggunakan metodologi pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). dan disajikan dalam bentuk diskriptif analitik dengan menggambarkan hasil dari penelitian ini secara jelas sesuai dengan pendekatan yang dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memecahkan kebuntuan dan kevacuman serta permasalahan atas kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan kewenangan pemerintah provinsi Kalimantan utara, dengan rumusan masalah diantaranya tentang bagaimana implementasi kewenangan pemerintah provinsi Kalimantan utara dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta upaya pemerintah meminimalisir konflik pengelolaan sumberdaya perikanan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsep yang dilakukan masih bersifat sederhana dan cenderung berorientasi pada upaya memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga upaya percepatan untuk mensejahterahkan nelayan belum maksimal sebagaimana diharapkan. Terhadap kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada pelaksanaannya tidak terjadi pelanggaran kewenangan akan tetapi pemerintah provinsi Kalimantan utara belum maksimal dalam memanfaatkan kewenangan yang telah diberikan untuk mensejahterahkan masyarakatnya, sedangkan terkait upaya meminimalisir konflik pengelolaan sumberdaya perikanan, pemerintah provinsi Kalimantan utara telah melakukan beberapa upaya akan tetapi upaya yang dilakukan lebih pada upaya meredam dan bersifat sementara tidak menyelesaikan permasalahan dan cenderung menimbulkan masalah diantaranya tumpang tindih daerah penangkapan ikan, kepastian hukum dan keadilan serta perlindungan bagi nelayan kecil/tradisional.Kata Kunci: Kepastian hukum, Batas Wilayah Pengelolaan, Keadilan dan Penyelesaian KonflikABSTRACTThe authority to manage fisheries resources carried out by the regional government is in accordance with the division of functions authorized by the regional government of the province of North Kalimantan and has been carried out since regional autonomy began in the region. Until now, the concept of fisheries resource management carried out by the northern Kalimantan government is still simple and tends to be oriented towards efforts to obtain Local Revenue (PAD) so that the acceleration of efforts to prosper fishermen has not been maximized as expected. Regarding the authority in the management of fisheries resources in its implementation, there is no violation of authority, but the North Kalimantan provincial government has not been maximized in utilizing the authority that has been given to the welfare of its people. In an effort to minimize conflict over fisheries resource management, the North Kalimantan provincial government has made several efforts but the efforts made are more on efforts to reduce and temporarily not solve problems and tend to cause problems including overlapping fishing areas, legal certainty and justice and protection for small fishermen /traditional.Keywords: conflict, fisheries resourc
KEPASTIAN HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Tengku Erwinsyahbana; Ramlan Ramlan
Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.715

Abstract

The dominance of religious influence in the field of marriage law is inevitable, for marriage is also a worship that the Lord commands the human race. The religious rules governing marriage can not be ruled out by anyone who wants to carry out their marriage, but there is a tendency that religious values or precepts are neglected, on the grounds of human rights, whereas based on the 1945 Constitution and Law no. 39 of 1999, that in certain cases the exercise of human rights can be limited by religious values. Given that interfaith marriages are forbidden by religion (Islam), then interfaith marriage on the grounds of human rights, can not be justified. An important paradigm that also needs to be straightened out that marriage is not included as a human right, because it is the right to form a family that includes human rights, the way it is done through legitimate marriages, that is legitimate according to religion and state law
PENDEKATAN MULTI REZIM HUKUM ( MULTI DOOR SYSTEM) PADA TINDAK PIDANA PERIKANAN Hamzah Kharisma; Syafruddin Syafruddin
Borneo Law Review Volume 3, Nomor 1, Juni 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v3i1.1013

Abstract

ABSTRAK Kejahatan perikanan yang terjadi di dunia, khususnya Indonesia, dewasa ini tidak lagi terbatas pada masalah administrasi saja, Banyak tindak pidana lain yang juga terjadi bersamaan terjadi dalam tindak pidana perikanan. Perbuatan pidana di atas masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak sama, ada kalanya suatu tindakan pidana yang ternyata diatur dalam lebih dari satu ketentuan pidana. Tindak pidana perikanan sebagai pidana asal (predicate crime) sering kali tidak maksimal dalam penanganannya dikarenakan kewenangan penyidik perikanan sesuai Undang undang No. 45 tahun 2009 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang terbatas mengakibatkan tidak terprosesnya tindak pidana lain. Tindak pidana perikanan sebagai kejahatan ekonomi dan lingkungan yang merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) sehingga harus ditangani dengan cara luar biasa (extraordinary act). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendekatan multi-rezim hukum (multi door approach) terhadap tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain terkait perikanan dapat dilakukan dengan penerapan concursus realis. Kata Kunci : Tindak Pidana Perikanan, Multi-rezim hukum, dan Concursus realis. AbstractFisheries crimes that occur in the world, especially Indonesia, today are no longer limited to administrative problems. Many other crimes that occur simultaneously occur in criminal acts of fisheries. The criminal acts above each have their own unequal consequences, there are times when a criminal act turns out to be regulated in more than one criminal provision. Fisheries criminal acts as predicate crime are often not optimal in handling due to the authority of fisheries investigators in accordance with Law No. 45 of 2009 as already amended and supplemented by Law No. 31 of 2004 concerning limited fisheries resulted in the non-processing of other criminal acts. Crime of fisheries as an economic and environmental crime which is an extraordinary crime (extraordinary crime) so it must be handled in an extraordinary way (extraordinary act). The results of this study indicate that a multi-regime approach to law (multi-door approach) to criminal acts of fisheries and other criminal acts related to fisheries can be done by applying Concursus realist. Keywords: Fisheries Crime, Multi-regime law, and Concursus Realist
DASAR FILOSOFI MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Marthen B. Salinding
Borneo Law Review Volume 1, No 1 Juni 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v1i1.709

Abstract

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan. Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disamping itu mediasi juga dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan di Pengadilan yang mekanismenya di dasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PEMBATASAN MASA JABATAN KEPALA DAERAH DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Mohammad Ilham Agang
Borneo Law Review Volume 2, No 2, Desember 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v2i2.726

Abstract

In accordance with legal issues that have been defined, the findings of this research are (1) the term of office of the head of the region should be limited so that the head region can carry out their duties and functions well as mandated in legislation. It also to prevent abuse of authority; (2) The principle of term limits of heads of regions in Indonesia within the framework of the democratic constitutional state in achieving good governance is that the position of head of the region is limited by time, the substance of the authority and the place or location. In order to run a good political education and consider the moral aspects, the head of region post should be clearly limited in term of its period. (3) The law setting of term limit of head of region in Indonesia under article 7 letters N and O of act number 8 of 2015 concerning election of governors, regents, and mayors clearly noted that they never serve yet as governor, regent and mayor for two period at the same position. The law is very clear that the head and deputy head of the region can only serve two times period and thereafter cannot be re-elected because it is at risk to misuse the authority and tend to perform acts of maladministration. Based on the findings above, this dissertation suggests at least three points (1) the term of office of the head of the region should be limited so that the head region can carry out their duties and functions well as mandated in legislation. It also to prevent abuse of authority; (2) The principle of term limits of heads of regions in Indonesia should be clarified in detail to prevent multiple interpretations among people that ultimately lead to polemic that may interfere the Indonesian government performance. (3) There must be clear legal sanctions against the head of region candidate who violates the requirements to run for election as the head of the region based on Law No. 8 of 2015 concerning Election of governors, regents, and mayors.
SOLUSI HUKUM BAGI TERWUJUDNYA KEPASTIAN HUKUM ATAS BANGUNAN YANG BERDIRI DIATAS TANAH WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN (WKP) KOTA TARAKAN Marthen B.Salinding; Sulaiman Sulaiman
Borneo Law Review Volume 2, No 1 Juni 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v2i1.721

Abstract

Tanah Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) adalah hak menguasai Negara yang pengelolaanya diserahkan kewenangan kepada PT. Pertamina (Persero)sebagai pemegang Hak pakai.Secara defakto, diatas tanah WKP di Kota Tarakan berdiri ribuan bangunan baik milik masyarakat maupun milik pemerintah dimana sebagian besar belum memiliki bukti penguasaan secara yuridis. Permasalahan dalam penelitian ini adalah status hukum penguasaan PT. Pertamnina (Persero) atas tanah WKP di Kota Tarakan dan solusi hukum yang memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikkan bangunan di atas tanah WKP Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa status tanah WKP adalah sebagai hak pakai sebagai konversi dari hak Erfpacht. PT. Pertamina adalah pemegang hak Pakai atas tanah WKP di Kota Tarakan. Sedangkan solusi hukum bagi pemberian kepastian hukum pemeilik bangunan di atas tanah WKP adalah dengan diberikan Hak Guna Bangunan (HGB)
PERLINDUNGAN HUKUM PIHAK KETIGA DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KERUSAKAN HUTAN Patria Patria
Borneo Law Review Volume 3, No 2, Desember 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35334/bolrev.v3i2.1081

Abstract

ABSTRAKHutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia yang perlu dijaga kelestariannya oleh semua pihak. Namun dalam berbagai kesempatan banyak perusakan hutan dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab baik perorangan maupun Korporasi, Karena itu dibuatlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pеncеgahan dan Pеmbеrantasan Pеrusakan Hutan Permasalahan yang diangkat, yaitu : (1). Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015 dan (2). Perlindungan hukum pihak ketiga Dalam Tindak Pidana Pelaku Illegal Logging.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif karena menggunakan bahan hukum primer dan skunder dengan pendekatan konseptual,pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2317 K/Pid.Sus/2015 yang telah mengabulkan Kasasi Penuntut Umum atas Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 44/PID.SUS/2015/ PT PALtanggal 6 Juli 2015 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 54/Pid.B/2015/PN.DGL, tanggal 27 Mei 2015 terhadap barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Truck merk Mitsubishi canter warna kuning kas merah nomor registrasi DN 8614 VD dirampas untuk Negara, yang secara imperatif telah ditentukan dalam Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang menyatakan “Di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk Negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut”Pihak ketiga pemilik barang dalam perkara pidana sering kali kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam memperoleh kembali barang miliknya yang terkait dengan tindak pidana. Tidak semua undang -undang yang memerintahkan penyitaan dan perampasan terhadap barang yang terkait dengan tindak pidana memberikan perlindungan kepada pihak ketiga dalam memperoleh barang miliknya. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pihak ketiga dapat diberikan perlindungan hukum dan konsekuensi hukumnya dengan mengajukan gugatan secara perdata atau melakukan intervensi sebelum perkara diputus agar hakim dalam putusannya tidak merampas barang milik pihak ketiga tersebut, dan yang paling utama perlindungan hukum tersebut diberikan oleh hakim melalui putusannya yang mempunyai visi pemikiran ke depan dan mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum, di mana dalam suatu ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, kesusilaan, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim bebas dan berwenang mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan, sehingga putusan tersebut dapat dijadikan yurisprudensi tetap.Kata Kunci: Perlindungan Pihak Ketiga, dan Illegal Logging.ABSTRACTIndonesian forest is one of the centers of biodiversity in the world that needs to be preserved by all parties. However, in many opportunities, forest destruction is carried out by individuals who are not responsible for either individuals or corporations. Therefore Law No. 18 of 2013 concerning Land and Forest Destruction is made. The issues raised are: (1). Ratio Decidendi Decision of the Supreme Court Number 2317 K / Pid.Sus / 2015 and (2). Third party protection in the crime of illegal logging.The research method used is a normative juridical research method because it uses primary and secondary legal materials with a conceptual approach, a legal approach and a case approach.Based on the results of the study it can be concluded that the Decision Ratio Decidendi of the Supreme Court Number 2317 K / Pid.Sus / 2015 has granted the Cassation of the Public Prosecutor for the Decision of the Palu High Court Number 44 / PID.SUS / 2015 / PT PAL dated July 6, 2015 which corrects the Donggala District Court Decision Number 54 / Pid.B / 2015 / PN.DGL, dated May 27, 2015 for evidence in the form of: 1 (one) Truck unit Mitsubishi brand canter yellow red cash registration number DN 8614 VD seized for the State, which has been imperatively determined in the Elucidation of Article 16 of Law Number 18 of 2013 concerning Prevention and Eradication of Forest Destruction, which states "In addition to forest products not accompanied by a Certificate of Legality of Forest Products, transportation equipment, both land and water used to transport forest products, is seized for the State, this is intended so that the owners of transport services / transporters are also responsible for the legitimacy of the forest products being transported.The third party owner of the goods in a criminal case often lacks legal protection in recovering his property related to a criminal act. Not all laws that ordered the seizure and seizure of goods related to criminal acts provided protection to third parties in obtaining their property. The results of the study concluded that third parties could be given legal protection and legal consequences by filing a lawsuit or intervening before the case was decided so that the judge in his decision did not seize the property of the third party, and the most important legal protection was given by the judge through his decision have a vision of the future and have moral courage to make a legal breakthrough, in which in the provisions of existing laws are contrary to the public interest, decency, decency, and humanity, namely the values that live in society, the judge is free and authorized take decisions that are contrary to the articles of the law concerned with the aim of achieving truth and justice, so that the decision can be made permanent jurisprudence.Keywords: Third Party Protection, and Illegal Logging.

Page 5 of 11 | Total Record : 110