cover
Contact Name
Asri Hidayat
Contact Email
asri.hidayat@kemdikbud.go.id
Phone
+628114118474
Journal Mail Official
-
Editorial Address
Jl. Sultan Alauddin km.7, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia, 90221
Location
Kota makassar,
Sulawesi selatan
INDONESIA
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora
ISSN : 25024345     EISSN : 26864355     DOI : https://doi.org/10.36869
Core Subject : Social,
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora is an open access, a peer-reviewed journal published by Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan.
Articles 119 Documents
KITAB JAWAN SEBAGAI PELESTARI BAHASA JAWA: STUDI KASUS KITAB TERBITAN MENARA KUDUS, 1952-1990-AN Jamaluddin Jamaluddin
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 2 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (899.322 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i2.59

Abstract

Makalah ini mengkaji peran kultural yang dimainkan oleh Kitab Jawan, khususnya yang diterbitkan oleh Penerbit Menara Kudus, dalam melestarikan Bahasa Jawa di periode kedua abad ke-20. Kitab Jawan merupakan kitab-kitab terjemahan maupun saduran dari kitab-kitab yang digunakan di pesantren, berbahasa Jawa dengan huruf Arab, atau yang dikenal dengan istilah pegon. Jenis kitab ini banyak diterbitkan oleh Penerbit Menara Kudus yang lahir pada 1952. Kitab Jawan yang diterbitkan tidak semata-mata memiliki kepentingan ekonomi, tetapi ia juga memiliki kepentingan keagamaan dan juga kepentingan kultural. Kepentingan terakhir ini mewujud dari keberadaannya sebagai media pelestari bahasa Jawa. Peran Kultural Kitab Jawan ini lah yang dikaji dalam makalah ini. Metode sejarah digunakan dalam kajian ini, dengan mendasarkan pada arsip perusahaan, terbitanterbitan Menara Kudus, dan sumber-sumber pendukung lainnya dalam merekonstruksi peran kultural Kitab Jawan terbitan Menara Kudus dalam melestarikan bahasa Jawa di periode kedua abad ke-20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kitab Jawan terbitan Penerbit Menara Kudus memiliki peran kultural dalam menjaga dan melestarikan bahasa Jawa melalui 4 jenis terbitannya, yaitu Kitab Pegon, Kitab Makna Gandul Jawan, Kitab Syair, dan Kamus Bahasa Arab-Jawa.
“TARI DINGGU” EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA syamsul bahri
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 5, No 1 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2806.603 KB) | DOI: 10.36869/.v5i1.22

Abstract

Artikel ini mengungkap sebuah karya seni, yaitu tari dinggu. Jenis tari ini dilakoni masyarakat suku bangsa Tolaki, khususnya yang bermukim di daerah Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Tari dinggu ini lahir dari kreasi masyarakat yang memperagakan suatu kegembiraan menyambut keberhasilan dalam usaha bertani, khusus bertani padi sawah. Itulah sebabnya sehingga dikatakan bahwa jenis tarian ini hadir ketika masyarakat Tolaki Mekongga sudah menjadikan padi sebagai bahan baku makanan pokok. Tari dinggu yang intinya menceritakan mengenai pesta kegembiraan dan kesyukuran atas panen, dalam pementasannya menorehkan cara menumbuk bulir padi menjadi beras. Olehnya itu dalam tarian ini, selain diiringi beragam alat musik seperti gong, gendang, dan suling. Bahkan sebagai penambah maraknya pementasan tari dinggu, para penari yang terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan dengan jumlah 10-12 orang, berpakaian dengan berhias beragam assesoris. Dalam pementasan tari dinggu, para penari selain memperkenalkan pakaian adat suku bangsa Tolaki, penari juga memperkenalkan tiga komponen peralatan tradisional yang digunakan masyarakat memproses bulir padi menjadi beras, yaitu lesung dan alu yang dibuat dari bahan baku kayu, serta tampi atau nyiru yang dianyam dari bahan baku bambu. Kata Kunci: Tari dinggu, Mekongga.
PENGGUNAAN GAYA BAHASA DALAM SASTRA LISAN TORAJA Abdul Asis
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 2 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.303 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i2.62

Abstract

Salah satu sastra daerah yang perlu diungkap adalah penggunaan gaya bahasa dalam Sastra Lisan Toraja. Medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, maka pengamatan terhadap bahasa ini pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu untuk menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya.Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa dalam Sastra Lisan Toraja. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah deksriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, sehingga dalam pelaksanaannya dilakukan dengan teknik inventarisasi, bacasimak, dan pencatatan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam Sastra Lisan Toraja ditemukan beberapa gaya bahasa antara lain dalam cerita Pedatuan sola Riuq Datu terdapat gaya bahasa personifikasi dan repetisi. Dalam cerita Bokkoqbokkoq terdapat gaya bahasa repetisi, cerita Saleq sola Pasau terdapat gaya bahasa simile, cerita Pakkalisse terdapat gaya bahasa simile. Cerita Gonggang ri Sadokkoq menggunakan gaya bahasa simile.
Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Nelayan Desa Bambu Kabupaten Mamuju Ansaar Ansaar
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 5, No 2 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (396.46 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v5i2.40

Abstract

          Materi tulisan yang disajikan ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Kabupaten Mamuju. Tulisan ini, selain bertujuan untuk mengetahui seberapa besar gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat nelayan di Desa Bambu Kabupaten Mamuju, juga untuk memahami bagaimana pola adaptasi yang dilakukan masyarakat nelayan tersebut dalam menghadapi perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilengkapi dengan studi literatur. Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan Focused Group Discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dampak perubahan iklim terhadap kegiatan ekonomi nelayan di Desa Bambu, melalui dua aspek yaitu aspek ekologis dan sosial ekonom. Pada aspek ekologis, dampaknya dapat dilihat seperti perubahan musim ikan dan pola angin yang selalu berubah sehingga menyebabkan nelayan mengalami kerugian, karena semakin sulit menentukan waktu yang tepat untuk melaut. Sementara aspek sosial ekonomi, dampaknya yakni menurunnya kualitas sumber air penduduk, menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh beberapa faktor, seperti sulitnya menentukan wilayah atau lokasi tangkapan, sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, serta meningkatnya resiko melaut. Nelayan di Desa Bambu memiliki strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, meskipun pada kenyataannya masih terdapat pula yang tidak melakukan aktifitas apapun ketika hasil tangkapan menurun. Ada beberapa pola adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan nelayan setempat dalam menghadapi perubahan iklim, antara lain menjadi buruh bangunan, bertani, mengolah atau mengeringkan ikan untuk selanjutnya dijual kembali di pasar, menjadi tukang ojek, serta melakukan penghematan dengan cara mencukup-cukupkan apa yang ada agar kebutuhan makan setiap hari terpenuhi. Kata Kunci: Pola adaptasi, masyarakat nelayan, perubahan iklim.   
MAKNA SIMBOLIK PAKAIAN ADAT MAMASA DI SULAWESI BARAT Ansaar Ansaar
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (648.534 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i1.78

Abstract

Penulisan artikel ini, selain bertujuan untuk mendeskripsikan pakaian adat Mamasa juga untuk mengungkapkan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Materi dalam tulisan ini diambil dari hasil penelitian lapangan dengan menggunakan metode wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa pakaian adat Mamasadalam penggunaannya,berkaitan erat dengan stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Selain berfungsi untuk menutupi fisik pemakai, pakaian adat Mamasa juga memiliki makna atau filosofi tersendiri sebagaimana yang diakui dalam masyarakat Mamasa dan tersirat melalui simbol-simbol tertentu. Pakaian adat Mamasa ini memiliki bentuk atau karakteristik tersendiri yang membedakan dengan pakaian adat dari daerah lainnya. Pakaian adat ini dibedakan dalam dua jenis, yaitu pakaian adat yang dipakai oleh kaum bangsawan (tana’ bulawan) dan pakaian adat untuk kalangan masyarakat umum.Diantaranya penggunaan bayu pongko’, bayu kalonda, dan talana tallu buku (celana khas Mamasa) yang merupakan simbol pakaian kebesaran bagi tokoh-tokoh hadat yang ada di Mamasa.Warna putih menjadi salah satu unsur pembeda dari kedua jenis ini.Demikian pula halnya dengan aksesoris yang dipakai, selain berfungsi sebagai pelengkap penampilan, aksesoris-aksesoris ini memiliki makna simbolik yang penting artinya bagi masyarakat Mamasa. Seperti pare passan (kalung), gayang (keris), gelang (rara maupun lola), yang merupakan simbol dari kekayaan si pemakai.
SISTEM KEPEMIMPINAN PUA PADA MASYARAKAT ADAT CEREKANG iriani sarah
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 5, No 2 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.702 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v5i2.29

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem kepemimpinan tradisional di Luwu, khususnya Pua sebagai pemimpin masyarakat adat Cerekang yang dianggap sebagai bekas kerajaan tertua di Kabupaten Luwu. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui teknik wawancara, observasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa masyarakat Cerekang masih memegang teguh adat istiadat mereka dan menganggap dirinya masih keturunan dari raja pertama di Luwu, yakni Sawerigading. Oleh karena itu, masyarakat Cerekang masih mememiliki pemimpin adat yang dikenal dengan istilah pua, yakni pua laki-laki dan pua perempuan. Pua laki-laki yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannnya dan pua perempuan mengurus masalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi. Sampai saat ini, Pua merupakan seorang pemimpin informal yang sangat disegani oleh masyarakat Cerekang, karena dianggap sebagai penerus kepercayaan Sawerigading. Oleh sebab itu, tidak sembarang orang bisa menjadi Pua, karena ditentukan berdasarkan hasil pilihan dari dewata atau sang pencipta, menurut masyarakat Cerekang dan sampai saat ini masyarakat Cerekang sangat menghargai pua dan mengakui keberadaannya sebagai pemimpin spiritual mereka.
TRAJEKTORI JARINGAN ULAMA DI BONE DAN WAJO 1900-1950 Taufik Ahmad
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 1 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (392.363 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i1.68

Abstract

Pembentukan dan perkembangan jaringan ulama tidak dapat dipisahkan dengan perubahan-perubahan sosial politik regional dan global. Munculnya gejolak politik di Timur Tengah mempengaruhi ritme perkembangan jaringan ulama di Sulawesi Selatan. Studi ini bermaksud untuk menganalisis jaringan ulama di wilayah Bone dan Wajo 1900-1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah, studi ini membuktikan bahwa trajektori jaringan ulama di wilayah Bone dan Wajo berkerja secara fleksibel dalam mersepon perubahan sosial politik dalam konteks lebih luas. Pada decade awal abad ke 20, ketika kontrol pemerintah Hindia Belanda menguat, transmisi intelektual Islam bekerja secara non-formal yang diperankan oleh imam-imam melalui pengajianpengajian kitab di masjid. Ketika politik etis Hindia Belanda mulai menghasilkan elite baru yang terdidik, jaringan ulama pun dengan dukungan otoritas lokal merespon dengan membangun basis pendidikan yang lebih modern. Berdirinya pesantrean As‟Adiyah di Sengkang dan Madrasah Amiriah di Watampone adalah respon atas pentingnya Pendidikan Islam modern.Akibatnya lebih jauh, akses pendidikan tidak lagi terbatas pada lingkaran kekerabatan, namun melonggar dan semakin terbukanya ruang kepada setiap orang untuk belajar agama. Transmisi intelektual Islam melalui Pendidikan modern ini selanjutnya melahirkan elite-elite baru dalam masyarakat Bone dan Wajo.
SEJARAH MIGRASI ETNIS TIONGHOA DI KOTA PALOPO PADA AWAL ABAD XX M. Thamrin Mattulada
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 2 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i2.55

Abstract

Kota Palopo Sulawesi Selatan adalah sebuah kota yang multietnik. Hal ini tidak terlepas dari posisinya yang terletak di daerah pesisir, yang memungkinkannya menjadi wilayah terbuka terhadap pendatang asing dari berbagai penjuru dunia. Tionghoa merupakan salah satu etnik pendatang yang mendiami wilayah Kota Palopo. Berbeda halnya dengan daerah lain di Indonesia, orang Tionghoa dan penduduk lokal BugisMakassar di Kota Palopo tidak pernah terdengar konflik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui migrasi Etnis Tionghoa di Kota Palopo, Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20. Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode sejarah. Pertama, tahap heruistik (pengumpulan data), pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field reseach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan Cina dan Luwu telah memiliki akar sejarah yang sangat kuat. Kisah La Galigo menceritakan perkawinan Sawerigading dengan We Cudai yang melahirkan keturunan raja-raja Luwu dan dipercayai oleh masyarakat Luwu. Pada awal abad ke-20, migrasi imigran Cina ke Kota Palopo tidak hanya untuk berdagang tetapi juga untuk menetap dan ikut membangun Kota Palopo.
LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA MATTULADA “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” slamet riadi
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 5, No 1 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2598.898 KB) | DOI: 10.36869/.v5i1.14

Abstract

Penelitian ini bermaksud untuk menginterprestasi epistemologi seperti apa yang terdapat dalam karya Mattulada, Latoa; Suatu lukisan antropologi politik orang bugis. Pembahasan terkait epistemologi dalam suatu karya etnografi, masih kurang mendapatkan perhatian serius, oleh kalangan akademisi, khususnya yang bergelut dalam bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis epistemologi dalam suatu karya, penelitian ini menggunakan metode pencarian beberapa sumber pustaka, yang berhubungan dengan karya Mattulada. Setelah itu, melakukan pembacaan induktif-deduktif, guna untuk menemukan asumsi dasar yang menjadi landasan Mattulada menghasilkan karya-karyanya. Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan mendasar, yakni pertama, karya Mattulada berjudul Latoa ini sangat bercirikan positivisme, pun sama dengan beberapa karyanya yang lain, kedua, meskipun memiliki epistemologi yang sama di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada yang lain memiliki paradigma yang berbeda. Katakunci: Epistemologi, Positivisme, Latoa 
SENARAI CERITA ORANG CULAMBACU: SUATU CATATAN ETNOGRAFI Sarlan Adijaya
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 4, No 2 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.903 KB) | DOI: 10.36869/pjhpish.v4i2.47

Abstract

Senarai Cerita Orang Culambacu: Suatu Catatan Etnografi adalah suatu penggalan tulisan dari penelitian saya dengan judul Etnografi orang Culambacu yang dilaksanakan pada Tahun 2018. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan dan kerangka etnografi guna mengungkap kebudayaan orang Culambacu secara menyeluruh. Pada tulisan ini diketengahkan bagian-bagian yang dianggap paling penting untuk diketahui khalayak akademik perihal orang Culambacu yakni mengenai asal usul, sejarah dan persebaran serta pengetahuan orang Culambacu. Kedua hal ini nantinya akan sangat baik digunakan oleh kaum akademisi dan praktisi sebagai stepping stone untuk memahami orang Culambacu dan kebudayaannya secara lebih mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Culambacu memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan orang Tolaki, orang Bungku, orang Palopo, orang Buton dan orang Ternate. Menurut kisah disebutkan bahwa pada dasarnya nenek moyang orang Culambacu, orang Tolaki, orang Palopo, orang Buton, dan orang Ternate adalah bersaudara—hal mana nenek moyang orang Culambacu adalah seorang perempuan. Melalui penelitian ini pula diketahui bahwa orang Culambacu sudah lama menganut Islam. Gelombang keIslaman orang Culambacu khususnya terjadi pada periode sejarah DI/TII, mengingat daerah Culambacu dijadikan sebagai salah satu basis tentara Islam ketika itu. Orang Culambacu tidak lagi mewarisi pengetahuan nenek moyang mereka, baik terkait dengan konsepsi tentang ketuhanan, konsepsi tentang manusia maupun konsepsi tentang lingkungan. 

Page 1 of 12 | Total Record : 119