cover
Contact Name
Bayu Sujadmiko
Contact Email
bayu.sujadmiko@fh.unila.ac.id
Phone
+6281394194918
Journal Mail Official
-
Editorial Address
Gedung C. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145
Location
Kota bandar lampung,
Lampung
INDONESIA
Cepalo
Published by Universitas Lampung
ISSN : -     EISSN : 25983105     DOI : https://doi.org/10.25041/cepalo
Core Subject : Social,
Jurnal ini memiliki visi untuk menjadi jurnal ilmiah di bidang ilmu hukum yang sesuai dengan kearifan lokal Provinsi Lampung, yang akan di analisis secara komprehensif dengan perundang-undangan Nasional atau Internasional dan kondisi sosiologis. Misi dari Cepalo adalah untuk mempublikasikan hasil penelitian ilmiah di bidang ilmu hukum baik dalam skala nasional, maupun skala internasional. Cepalo pada dasarnya berisi topik tentang hukum, sistem hukum, hukum dan ekonomi, sosiologi hukum, antrophologi hukum, kebijakan publik, hukum internasional, hukum adat, hukum administrasi, hukum agraria, hukum islam, hukum bisnis, hukum pidana, hukum kesehatan, filsafat hukum, hukum kesehatan, hukum tekhnologi dan budaya. Namun tidak membatasi pokok bahasan mengenai studi hukum komparatif dan tidak menutup kemungkinan bagi penelitian yang bertemakan tentang kearifan lokal.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 75 Documents
PELAYANAN YANG DITERIMA OLEH MASYARAKAT SEBAGAI PEMBAYAR PAJAK BERDASARKAN PENERAPAN BEBAN PAJAK DAERAH YANG DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH Salsabila Aufadhia Ilanoputri
Cepalo Vol 4 No 2 (2020)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v4no2.2067

Abstract

Pajak merupakan instrumen perekonomian yang menjadi sumber pemasukan utama sebuah negara dan merupakan kewajiban setiap warga negara yang diatur dalam UUD NRI 1945. Pajak di Indonesia sendiri menurut kewenangannya terbagi menjadi pajak pusat dan daerah. Pajak sebagai penopang penerimaan daerah menjadi tidak optimal apabila regulasi dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah tumpah tindih dengan kebijakan perpajakan nasional. Dari sisi masyarakat, rasio penerimaan retribusi daerah lebih tinggi dibandingkan dengan rasio penerimaan pajak daerah tersebut dikarenakan masyarakat menghendaki adanya pelayanan sehingga pemerintah harus memberikan standar parameter pelayanan bagi masyarakat atas kontribusinya dalam pembayaran pajak. Pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sepadan kepada masyarakat sebagai pembayar pajak agar masyarakat dapat merasakan manfaat atas pembayarannya. Berdasarkan hal tersebut maka perumusan masalah yang akan dibahas ialah bagaimana standar pelayanan pajak daerah di Indonesia? dan bagaimana keseimbangan beban pajak daerah dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat? Penulisan ini untuk mengetahui keseimbangan beban pajak daerah dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis dan studi kepustakaan. Hasil menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dari penerimaan pajak daerah dapat diukur melalui dua parameter sebagai bentuk kontraprestasi bagi sektor pajak yang dipungut yakni parameter formal dan parameter ideal. Kontrapretasi tersebut harus sesuai dengan peruntukannya dan ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan pelaksanannya. 
PERUBAHAN WILAYAH LAUT ZONA EKONOMI EKSLUSIF RUSIA DI LAUT HITAM PASCA ANEKSASI KRIMEA Bertoni Dean Simamora; Joko Setiyono
Cepalo Vol 4 No 2 (2020)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v4no2.2079

Abstract

Rusia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dan sumber daya yang banyak. Februari 2014 Rusia melakukan aksi aneksasi di Semenanjung Krimea. Konsekuensi anekasi Krimea oleh Rusia melampaui kekhawatiran akan kedaulatan tanah dan jauh ke perairan Laut Hitam terutama yang berhubungan dengan laut Zona Ekonomi Eksklusif. Pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai memiliki hak untuk mengatur segala kegiatan eksplorasi dan juga eksploitasi sumber daya alam di permukaan laut, di dasar laut dan juga di bawah laut, serta mengadakan penelitian sumber daya hayati maupun sumber daya laut yang lainnya. Timbul permasalahan yaitu: bagaimana perubahan wilayah laut zona ekonomi ekslusif Rusia di Laut Hitam Pasca Aneksasi Krimea dan bagaimana dampak bertambahnya wilayah laut zona ekonomi ekslusif Rusia di laut hitam akibat aneksasi Krimea terhadap Ukraina. Penelitian ini bertujuan untuk melihat mengenai perubahan wilayah laut zona ekonomi eksklusif Rusia di Laut Hitam pasca aneksasi Krimea serta dampaknya terhadap Ukraina. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Metode penelititan normatif yang bersifat kualitatif dalam penelitian terhadap bahan pustaka yang merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder yang bertumpu kepada alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan atau studi dokumen atas permasalahan perubahan wilayah laut zona ekonomi eksklusif Rusia di laut Hitam pasca aneksasi Krimea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa erubahan wilayah laut Rusia di laut hitam yang sangat signifikan tentunya juga akan memberi keuntungan yang sangat besar dalam pemanfaatan zona ekonomi ekslusif yang baru ini bagi Rusia. Mahakamah Internasional (International Court of Justice) dapat menyelesaikan konflik antara Ukraina dan Rusia. UNCLOS 1982 dapat digunakan sebagai panduan dalam penyelesaian masalah mengingat Rusia dan Ukraina. Bagi Ukraina, Kebutuhan Ekonomi dalam bidang ekonomi seperti Perikanan, Kebutuhan barang tambang, arus lalu lintas laut, kebutuhan Angkatan perang Ukraina, dan jalur perdagangan menjadi dampak di aneksasinya Krimea oleh Rusia.
HAK SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA KASUS TERTENTU DALAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERSPEKTIF EQUALITY BEFORE THE LAW Ndaru Satrio; Faisal Faisal
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2109

Abstract

Pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat menimbulkan problematika tersendiri dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban. Ada beberapa problematika yang  ditemukan oleh penulis jika pasal yang tersebut tetap dibelakukan. Problematika yang pertama yaitu pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu menimbulkan saksi dan korban pada tindak pidana yang lain tidak dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Problematika kedua, adanya penerapan pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu menutup kesempatan perkara di luar perkara pidana seperti perkara perdata, perkara TUN untuk mendapatkan hak yang serupa . Problematika yang ketiga adalah konflik norma antara Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Pasal 224 ayat (1) KUHP. Dalam konteks ini penulis menggunakan asas yang relevan sebagai pisau analisis, yaitu asas equality before the law.Penulis berpandangan dengan adanya pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban justru tidak sesuai dengan asas equality before the law, sehingga penulis mempunyai gagasan sebagai berikut: (1) Redaksi pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus segera diubah, (2) Perlindungan saksi dan korban harusnya tidak hanya untuk perkara pidana saja, tetapi juga harus mencakup semua perkara di luar perkara pidana, (3) Pemenuhan kewajiban dan pemberian hak harus senantiasa dijaga keseimbangannya (4) Pembaharuan perlindungan saksi dan korban harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
MAKNA PERJANJIAN SEBAGAI DELIK PIDANA PENIPUAN Joko Sriwidodo
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2135

Abstract

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1313 KUH Perdata. Perjanjian menurut pengertiannya hanya terletak pada lapangan harta kekayaan atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan penipuan menurut pasal 378 KUHP adalah “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (Hoedaniqheid) palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk mengerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun, menghapuskan piutang diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”. Kasus perjanjian merupakan domain hukum perdata, namun pada kenyataannya saat ini banyak dilaporkan secara pidana. Padahal pemidanaan sendiri bukan untuk mengembalikan ganti kerugian, melainkan untuk menghukum. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana Makna Perjanjian menurut Hukum Perdata? (2) Bagaimana Makna Perjanjian Sebagai Delik Pidana Penipuan?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara melakukan kajian dan menganalisa terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dalam Penulisan penelitian ini juga melakukan kegiatan pengamatan terhadap praktek hukum yang ada dilapangan.
PERLINDUNGAN HUKUM EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL PESTA GOTILON MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Barita Ayu Theresssa
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2174

Abstract

Sumatera Utara merupakan Provinsi di Indonesia yang memiliki keberagaman suku dan budaya. Diantaranya tentu suku Batak Toba termasuk suku yang mayoritas di dalamnya. Dalam suku Batak Toba dikenal banyak kreasi tradisional dan juga melakukan beberapa kegiatan upacara atau ritual tradisional, salah satu diantaranya adalah Pesta Gotilon. Pesta Gotilon dalam bahasa batak yang berarti panen merupakan kegiatan adat yang merupakan ungkapan syukur para petani kepada Tuhan atas hasil panen pertanian yang melimpah dan berharap di kemudian hari akan melimpah lagi. Dalam tradisinya, para petani akan membawa “silua” atau persembahan yang dipersembahkan kepada Tuhan. Melalui jurnal ini, Penulis menemukan bahwa Pesta Gotilon yang merupakan suatu upacara/ ritual adat yang dilindungi oleh Hukum Internasional maupun Hukum Nasional di Indonesia. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) tidak hanya menjadi perhatian bagi Hukum Internasional, tetapi juga Negara bahkan Pemerintah Pusat sekalipun.
POLICY ON OVERCOMING VILLAGE BUDGET DEVIATIONS BY THE GOVERNMENT INTERNAL SUPERVISORY APPARATUS IN INDONESIA (CASE STUDY OF TANJUNGSARI VILLAGE, LAMPUNG) I Ketut Seregig; Bambang Hartono; Yustina Ndari
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2211

Abstract

Corruption is deeply rooted in Indonesia. This fact is undeniable when this crime has occurred at the lowest government level, namely in the village government. One sample of cases raised in this study is the alleged Corruption Crime committed by the Head of Tanjungsari Natar Village, South Lampung, named Robangi. The problems examined in this alleged criminal act are the factors causing the perpetrator to commit the criminal act of corruption. Second, the pattern of countermeasures carried out by APIP in resolving the case. The method used is qualitative and in the research data collection using a normative juridical approach and empirical juridical. Meanwhile, the theory used as a knife of analysis is the theory of Non-Penal Policy proposed by Muladi and Barda Nawawi Arief, which states that "non-penal policy is the prevention of crime which prioritizes the prevention of crimes committed by guidance, aims to prevent before the crime occurs, and/or the perpetrator does not repeat his actions".The results showed that the factors causing the perpetrator to commit these acts were because the project implementation was not following the proposal, the use of funds was not per the project proposal (total loss), the reason was that at the request of the community, the planned construction was moved to another place. This act is procedurally violating the SOP for the management of state finances. However, empirical facts prove no state loss in the corruption crime allegedly committed by the village head. Based on these facts, APIP South Lampung Regency has implemented a countermeasures policy by imposing administrative sanctions on the village head of Tanjungsari, Natar District, South Lampung.
THE RECONSTRUCTION OF THE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM FOR ADDRESSING CORRUPTION CRIME IN THE FRAMEWORK OF SUPPORTING NATIONAL DEVELOPMENT Maroni Maroni; Nenny Dwi Ariani; Dheka Ermelia Putri
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2231

Abstract

The urgency for criminal justice system reconstruction of the corruption is given the legal gap in eradicating corruption law if it is only carried out by the Regional Corruption Court, which is domiciled in the Capital Province. Because the Corruption Court’s working area is so broad, it is because many corruption cases to be tried, it will also require large fees and a large number of judges, and ideally, it will take a long time in the process of examining. Meanwhile, on the other hand, there is an obligation for the corruption case settlement by the Corruption Court to be carried out quickly, simply and at low cost. This paper’s problems are: (a) Why is it important to reconstruct the Corruption Criminal Justice System? (b) What is the ideal construction of the Corruption Criminal Justice System to support national development in Indonesia? The research method is qualitative with juridical normative and sociological approaches, especially in collecting primary data to reconstruct the corruption criminal justice system. This research shows that the ideal construction of the corruption court system is to support National Development, namely the relative competence of the Regional Corruption Court, which is not limited by the administrative area of a province. The Republic of Indonesia’s administrative area consists of various Provinces and Regencies/Cities. In these conditions, ideally, the relative competence of a Corruption Court can also examine corruption cases in districts/cities close to the Corruption Court, even though they are located in a different province from the domicile of a Corruption Court.
PERSPECTIVE OF RELIGIOUS JUSTICE IN THE FORMULATION OF PENAL REFORM Reski Anwar; Faisal Faisal; Rio Amanda Agustin
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2240

Abstract

The perspective of justice from law enforcement is only on the law’s guidance, not based on God’s guidance that prioritizes substantive justice. The idea of religious justice contained in the renewal of criminal law there is Article 53 paragraph (2), with the provision reads in considering the establishment of law and justice as referred to in paragraph (1) there is a conflict that can not be met, the judge must prioritize justice. The recommendations are stated because the explanation of Article 53 paragraph (2) says that justice and legal certainty are two legal objectives that are often not in line with each other and difficult to avoid in legal practice. A rule of law that meets more legal certainty demands, the more likely aspects of justice are urged. Metode research used in this study is normative research, namely research on library materials that are essential data that is classified as secondary data that rests on data collection tools similar to literature studies or document studies. The results showed that if in the application of concrete events, justice and legal certainty are mutually urgent, then the judge, as far as possible, prioritizes justice over legal certainty. Religious Justice that exists in the value of Pancasila formulated into the renewal of criminal law justice contains a demand that people treat others following their rights and obligations. The treatment is not indiscriminate or compassionate; instead, everyone is treated equally under their rights and responsibilities.
THE WAR AGAINST IMPUNITY FOR INTERNATIONAL CRIME: OPTICAL ILLUSION? Ovide Egide Manzanga Kpanya
Cepalo Vol 5 No 2 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no2.2185

Abstract

Deliberation on the imprescriptibility principle in international criminal law motivates determination towards the principle's function against impunity for international crimes. It is indeed a question of confronting this principle with judicial responsiveness, which relies on the speed of the criminal response. However, the current criminal response seems somewhat poorly considering the arising crimes. The poor execution enables criminals than the victims, which injures society. Therefore, it leads to inadmissibility. It is for this purpose that imprescriptibility arises and imposes itself comfortably. The research's conclusion attempts to demonstrate another facet of imprescriptibility. Imprescriptibility includes the impunity's ineffectiveness which passes irreversibly where ipso facto ensures impunity. This condition was perceived as a temporary and partial absence of justice that produced its socio-legal effects. Thus, the uncertainty of a judicial reaction resulting implicitly from this principle foster indolence in society. Over time, this would unsurprisingly lead to a denial of justice and eternal impunity.
ISLAMIC BANK SUSTAINABILITY IN INDONESIA; VALUE AND FINANCIAL PERFORMANCES BASED ON SOCIAL RESPONSIBILITY AND GREEN FINANCE Helma Malini
Cepalo Vol 5 No 2 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no2.2360

Abstract

This paper investigates the sustainability perspective of Islamic banks' financial decisions, performance, and corporate value where Corporate Social Responsibility (CSR) and green finance are moderation variables. The analysis method used multivariate statistical methods, structural equation modelling with the WarpPLS software program and testing panel data regression models using the E-Views software program. The datasets used involves 34 Islamic banks in Indonesia. This study found a significant relationship between CSR and green finance implementation to financial decisions, financial performance, and corporate value of Islamic banks in Indonesia. However, the relationship is heterogeneous or dissimilar across different quantiles. This means that CSR and green finance implementation only achieve short-term profit, not long-term sustainability. The study also reveals that corporate social responsibility contributes the most to Islamic banks' investment decisions and market value. Thus, policies focusing on integrated CSR in Islamic banking are required to improve sustainability opportunities.