cover
Contact Name
Muhrisun Afandi
Contact Email
risonaf@yahoo.com
Phone
+6282242810017
Journal Mail Official
-
Editorial Address
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat
ISSN : 25983865     EISSN : 26143461     DOI : https://doi.org/10.14421/panangkaran
Jurnal Panangkaran merupakan jurnal Assosiasi Peneliti Agama-agama yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai media komunikasi hasil penelitian para peneliti, ilmuwan dan cendekiawan. Tujuannya adalah untuk mewadahi, menyebarluaskan dan mendialogkan wacana ilmiah di bidang penelitian sosial keagamaan. Naskah yang dimuat dalam jurnal berasal dari hasil-hasil penelitian maupun kajian-kajian kritis para peneliti agama atau akademisi yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan sosial keagamaan, kelekturan, pendidikan dan keagamaan, agama dan sains. Jurnal terbit setahun 2 kali pada bulan Juni dan Desember.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 5 No. 1 (2021)" : 7 Documents clear
Akhlak Guru dan Penerapannya dalam Pembelajaran di Pesantren Menurut Kitab Adab Ad - Dunya Wa Ad - Diin Siti Chusnit Tamamir Rodhiyah; Moh Aan Khunaifi; Denny Oktavina Radianto
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-04

Abstract

Humans have been equipped with a mind, to develop these minds humans must have a high willingness to learn. In the learning process must pay attention to manners / morals, not only students, teachers also have to pay attention to these morals. From this background, researchers are interested in conducting research that aims to understand more about the morals or manners of teachers in carrying out learning activities and their application in learning in Islamic boarding schools. In this study, researchers used a qualitative descriptive research method. The data collection method used by researchers is by conducting interviews with one of the sources to obtain clear information. From the results of the interview, the researcher concluded that there were 13 adab that the teacher had to pay attention to when the teaching and learning process took place, especially in the pesantren environment.[Manusia telah dibekali akal pikiran. Untuk megembangkan akal pikiran tersebut manusia harus memiliki kemauan belajar yang tinggi. Dalam proses belajar-mengajar harus memperhatikan adab/akhlak, tidak hanya anak didik saja, namun guru juga harus mempehatikan akhlak. Dari latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami lebih lanjut mengenai akhlak atau adab guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran serta penerapannya dalam pembelajaran di pondok pesantren. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengambilan data yang digunakan peneliti adalah dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang jelas. Dari hasil kegiatan wawancara tersebut peneliti menyimpulkan bahwa terdapat 13 adab yang harus diperhatikan guru ketika berlangsungnya proses belajar mengajar terutama di lingkungan pesantren.]
Hasan bin Sabbah dan Gerakan Pembaharuan (Da’wah Jadidah) Syiah Isma’iliyah Abad XI Masehi Rahmat Hidayat
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-01

Abstract

This article discusses the theological renewal initiated with Hasan bin Sabbah in the teachings of Syiah Isma'iliyah after the internal conflict of the Fatimiyah Dynasty. Hasan bin Sabbah with his Assassin Sect revitalises extremely the Isma’iliyah propaganda to streghthen the charisma of Isma’iliyah in Persia. The theological renewal (da’wah jadidah) in Isma’iliyah doctrin was a manifestation of Hasan bin Sabbah’s rejection to the legitimacy of the Abbasid and Seljuq leadership and the Fatimiyah Dynasty. This research is a library research which uses historical analysis methods which include heuristics, verification, interpretation, and historiography. This research found the results (1) The existence of differences in political interests with the old Isma'iliyah tradition encouraged Hasan bin Sabbah to carry out reforms (tajdid) to break political and cultural relations with the Isma'iliyah Fatimiyah association in Egypt. (2) The reformation carried out by Hasan bin Sabbah in Isma'iliyah theology includes the teachings of ta’limiyyah, the Nizar priesthood, ‘ilm zahir dan batin in Islamic teachings, at-ta’wil al-batini, taqiyyah which constructs the extreme character of the Assassin movement, and the continuity of imam mastur.[Artikel ini bertujuan menganalisis pembaharuan ajaran Hasan bin Sabbah dalam doktrin Syiah Isma’iliyah pasca konflik internal Dinasti Fatimiyah. Hasan bin Sabbah dengan Sekte Assassinnya merevitalisasi propaganda Isma’iliyah secara ekstrim untuk memulihkan kekuatan neo-Isma’iliyah di Persia. Pembaharuan teologis (da’wah jadidah) dalam doktrin Isma’iliyah merupakan manisfetasi penolakan Hasan atas keabsahan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dan Saljuk serta Dinasti Fatimiyah Mesir. Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research) yang menggunakan metode analisis historis yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini mendapatkan hasil (1) Adanya perbedaan kepentingan politik dengan tradisi Isma’iliyah lama mendorong Hasan bin Sabbah melakukan pembaharuan (tajdid) untuk memutuskan hubungan politik dan kultural dengan perkumpulan Isma’iliyah Fatimiyah di Mesir. (2) Pembaharuan Hasan bin Sabbah dalam doktrin neo-Isma’iliyah meliputi ajaran ta’limiyyah, keimaman Nizar, ‘ilm zahir dan batin dalam ajaran Islam, at-ta’wil al-batini, taqiyyah yang mengkonstruksi karakter gerakan Assassin yang ekstrim, dan kontinuitas imam mastur.]
Pesan Moral Ayat Isjudū li Ādama dalam Q.S al-Baqarah: 34 dan Q.S. al-Kahfi: 50 (Studi Komparasi Tafsir al-Mishbah dan Tafsir al-Azhar) Muhammad Faishal Haq
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-05

Abstract

This paper aims to reveal what is the true moral message in the sentence Isjudu> li A>dama. Therefore, the research focuses on the fragments of these verses in Surah al-Baqarah verse 34 and al-Kahfi verse 50. Understanding the moral message in every verse of the Koran is very important to know. It aims to make the message of the Koran relevant today. In this study, the analysis was carried out on two tafsir works, namely Tafsir Al-Mishbah by M. Quraish Shihab and Tafsir Al-Azhar by Hamka. Both are products of Indonesian interpretation, they use the tah{lily method of interpretation, with the pattern of adabi ijtima'i. However, from the results of the author's analysis using qualitative research methods and literature, and supported by comparative studies with several aspects of the object of study, the conclusion is that the interpretation in the Al-Misbah Tafsir; specifically on the two verses above, it is more comprehensive than the explanation of the Tafsir Al-Azhar. And also, in the Tafsir Al-Misbah, a more dominant moral message is found, in addition to mutual respect, respect and respect as fellow beings, Al-Baqarah verse 34 can be the basis for the obligation to respect those who are knowledgeable. [Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap apa sebenarnya pesan moral pada kalimat Isjudu> li A>dama. Maka dari itu, penelitian terfokuskan pada penggalan ayat tersebut yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 34 dan al-Kahfi ayat 50. Memahami pesan moral dalam setiap ayat al-Quran sangat penting untuk diketahui. Hal tersebut bertujuan untuk merelevansikan pesan al-Quran di zaman sekarang. Dalam penelitian ini, analisis dilakukan pada dua karya tafsir, yakni Tafsir Al-Mishbah karya dari M. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Azhar karya dari Hamka. Keduanya merupakan produk tafsir nusantara, sama sama menggunakan metode tafsir tah{lily, bercorak adabi ijtima‘i. Namun dari hasil analisis penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan kepustakaan, serta ditunjang dengan studi komparasi/muqaran dengan beberapa aspek obyek kajian dihasilkan kesimpulan bahwa tafsiran dalam Tafsir Al-Misbah; khusus pada dua ayat di atas, lebih komprehensif dibandingkan penjelasan Tafsir Al-Azhar. Dan juga, dalam Tafsir Al-Misbah ditemukan pesan moral yang lebih dominan, selain harus saling memuliakan, menghormati dan menghargai sebagai sesama makhluk, Al-Baqarah ayat 34 dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berpengetahuan.]
Agama, Modernisme, dan Kepengaturan: Agama Lokal Pasca-1965 Karunia Haganta; Firas Arrasy
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-02

Abstract

This article aims to examine the relationship between the state and local religions which underwent major changes after the September 30, 1965 Movement. Local religions experienced marginalization after the 1965 tragedy, ranging from the stigma of atheism to not being recognized as a religion, but a culture that needs to be fostered and even prevented become a new religion. We analyze local state-religion relations from the perspective of James C. Scott's high-modernism and Michel Foucault's governmentality. In our analysis, the state plays a role in this process of marginalization by reproducing a modernity vision that is full of simplification of the complexity of local religions. Through various policies, the state carries out regulations that aim to change adherents of local religions to being good citizens according to the standards set by the state. The recognition given to local religions is very limited and even shows other discriminatory characteristics of the state such as determining monotheism as the standard of a religion, a criterion that is highly biased in the paradigm of world religions. We conclude that the state is not a solution because of the nature of modernity and the simplification it always contains.[Artikel ini bertujuan untuk mengamati relasi antara negara dengan agama lokal yang mengalami perubahan besar setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965. Agama lokal mengalami marginalisasi setelah tragedi 1965, mulai dari stigma ateisme sampai tidak diakui sebagai agama, melainkan suatu kebudayaan yang perlu dibina dan bahkan dicegah untuk menjadi agama baru. Kami menganalisis relasi negara-agama lokal melalui perspektif high-modernism James C. Scott dan kepengaturan (governmentality) Michel Foucault. Dalam analisis kami, negara berperan dalam proses marginalisasi tersebut dengan mereproduksikan visi modernitas yang penuh simplifikasi terhadap kompleksitas agama lokal. Melalui berbagai kebijakan, negara melakukan kepengaturan yang bertujuan untuk mengubah penganut agama lokal menjadi subjek warga negara yang baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan negara. Pengakuan yang diberikan terhadap agama lokal amat terbatas dan bahkan menunjukkan sifat diskriminatif lain dari negara seperti menentukan monoteisme sebagai standar suatu agama, kriteria yang amat bias paradigma agama dunia. Kami menyimpulkan negara bukan solusi karena watak modernitas dan kepengaturan yang selalu dikandungnya.]
Kontestasi Merebut Kebenaran Agama (Studi Analisa di Kecamatan Jatipurno, Kabupaten Wonogiri) Khairil Umami; Arif Wibowo
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-03

Abstract

In a socio-cultural society that is pluralistic and still upholds the values of gotong royong or customs in general that appear on the surface, there is no problem that means anything else until it leads to the issue of contestation. This can be seen at a glance in the community in Jatipurno Wonogiri District. However, the reality is that in the midst of the existing diversity, both internal and inter-religious diversity, various problems are often found that alternate between individual, social and institutional issues. The main problem that researchers want to reveal about diversity in Jatipurno District is the issue of contestation in seizing religious truth. In this study, the author wants to reveal two main issues. First, how the socio-historical arena (field) of the community in Jatipurno sub-district plays its role in seizing religious truth. Second, how each contestant plays a capital symbol to reach a habitus in society. To uncovering these two problems, researcher used a sociological approach from Pierre Bourdieu's thinking with a qualitative type of research. From the results of the analysis, it can be seen that although socio-historically the people in Jatipurno District come from the same ethnicity and race, due to the different ideological issues involved, the elites and their members have a desire to maintain their existence and increase the number of their religious organization communities. Before playing the capital symbol, each uses the arena, which the researcher simplifies into three, namely; the arena of institutions, communities and bureaucratic institutions, they use this continuously with a series of methods to form a habitus in society which in the end they play with the various capitals they have.[Dalam sosiokultural masyarakat yang majemuk dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong atau pun adat istiadat secara umum yang tampak  dipermukaan tidaklah terdapat suatu persoalan yang berarti apa lagi sampai mengarah pada persoalan kontestasi. Hal inilah sepintas yang terlihat pada masyarakat di Kecamatan Jatipurno Wonogiri namun, realitanya ditengah keberagaman yang ada, baik keberagaman interen umat beragama ataupun antar umat beragama sering sekali ditemukan berbagai problem yang silih berganti baik yang berhubungan dengan persoalan individu, sosial kemasyarakatan maupun institusi. Persoalan pokok yang ingin peneliti ungkap terhadap keberagaman di Kecamatan Jatipurno adalah Persoalan Kontestasi dalam merebut kebenaran agama. Dalam penelitian ini penulis hendak menggungkap dua pokok persoalan pertama, bagaimana sosio historis arena (field) masyarakat di kecamatan Jatipurno dalam memainkan perannya dalam merebut kebenaran agama, kedua adalah bagaimana masing-masing kontestan memainkan capital simbol untuk menggapai sebuah Habitus dalam sosial masyarakat. Untung mengungkap kedua persoalan tersebut peneliti menggunakan pendekatan sosiologi dari pemikiran Pierre Bourdieu dengan jenis penelitian kualitatif. Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa walaupun secara sosio historis masyarakat di Kecamatan Jatipurno berasal dari suku maupun ras yang sama namun karena persoalan ideologi yang masuk berbeda – beda, sehingga para elite dan anggotanya memiliki hasrat untuk mempertahankan eksistensi dan menambah jumlah komunitas organisasi keagamannya. Sebelum memainkan capital simbol masing-masing menggunakan arena, yang peneliti sederhanakan menjadi tiga yaitu ; arena institusi, komunitas dan lembaga birokrasi, hal ini mereka gunakan secara terus menerus dengan serangkaian metode untuk membentuk suatu habitus dalam masyarakat yang pada akhirnya mereka memainkan berbagai modal capital yang mereka miliki.]
Interaksi Sosial antar Pemeluk Agama di Madinah Era Nabi Muhammad Saw Perspektif Kajian Hadis Landy Trisna Abdurrahman
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-06

Abstract

The interaction between human beings, regardless of the differences, is a necessity. Also interaction and intercommunication between religious communities is no exception in this contemporary era. However, there are various narratives that are quite discriminatory in Islam which can be used as a basis for discriminating against and hating followers of other religions. Whereas in the early era of Islam, especially in the era of Medina, the Prophet Muhammad (PBUH) had interacted with followers of other religions, especially Jews, Christians, Magi (majusi), and Pagans. Even Medina before the Prophet's era was a fairly plural area in terms of belief and religion. This paper is written by asking questions (1) how was the social interaction at the beginning of the Prophet Muhammad in Medina from the perspective of hadith, and (2) what is the “basic idea” contained in the hadith narrations that recorded social interactions in Medina during the era of the Prophet Muhammad? The results of the research in this paper found that there were social interactions between religious communities that were quite intense and in the principle of helping each other and obeying the Prophet Muhammad as a leader. The basic idea in the hadith narrations that record social interactions at that time is that the Prophet Muhammad SAW punished or attacked people of other religions because of their disobedience and disobedience, not solely because of their beliefs.[Interaksi antar umat manusia, apapun perbedaannya, adalah hal yang niscaya. Tak terkecuali interaksi antar umat beragama di era kontemporer ini. Namun terdapat berbagai narasi yang cukup diskriminatif dalam agama Islam yang bisa dijadikan dasar untuk bertindak diskriminatif dan membenci pemeluk agama lain. Padahal pada era awal Islam, terutama pada era Madinah, Nabi Muhammad SAW telah berinteraksi dengan umat pemeluk agama lain, terutama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum Pagans. Bahkan Madinah sebelum era Nabi adalah daerah yang cukup plural dari sisi kepercayaan dan agama. Makalah ini ditulis dengan mengajukan pertanyaan (1) bagaimana interaksi sosial pada masa awal Nabi Muhammad di Madinah dalam perspektif hadis, serta (2) ide dasar apa yang terkandung dalam riwayat-riwayat hadis yang merekam interaksi sosial di Madinah pada era Nabi Muhammad SAW? Hasil penelitian dalam makalah ini menemukan bahwa terdapat interaksi sosial antar umat beragama yang cukup intens dan dalam prinsip saling membantu serta menaati Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin. Ide dasar pada riwayat-riwayat hadis yang merekam interaksi sosial pada masa tersebut adalah Nabi Muhammad SAW menjatuhkan hukuman atau menyerang umat beragama lain dikarenakan perilaku mereka yang tidak menaati serta membangkang, bukan semata-mata karena keyakinan yang mereka anut.]
Audio Visual Dakwah Media Baru Khalid Basalamah Perspektif Honeycomb Social Media Apang Abdul Goffar; Nanda Fahrun Nisa
Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : LP2M UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/panangkaran.2021.0501-07

Abstract

This article describes the audio-visual da'wah as a form of da'wah innovation in the digital era. By using the honeycomb social media concept, this paper will explore the role of the seven honeycomb social media frameworks in audio-visual da'wah activities on YouTube. This paper focuses on the discussion of the audio-visual da'wah conducted by Ustadz Khalid Basalamah on his personal YouTube channel. Khalid Basalamah Official Channel is one of the audio-visual da'wah activists through YouTube which has the most subscribers and its da'wah is in great demand by many people. By using the virtual observation method or online observation of audio-visual da'wah conducted by Ustadz Khalid Basalamah on his youtube channel. This article is important to read if you want to see the role of the honeycomb concept that has emerged in the last 10 years in the world of media studies and is widely used as a reference by social media researchers, in connection with Ustadz Khalid Basalamah's audio-visual da'wah activities on YouTube. Finally, it is known that there are two blocks in the honeycomb social media framework that have a role in seeing the success of Ustadz Khalid Basalamah's audio-visual da'wah.[Artikel ini menjelaskan tentang audio visual dakwah sebagai bentuk inovasi dakwah di era digital. Dengan menggunakan konsep honeycomb social media, tulisan ini akan mengeksplorasi peran tujuh kerangka honeycomb social media dalam aktivitas audio visual dakwah di youtube. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada audio visual dakwah yang dilakukan oleh Ustadz Khalid Basalamah di kanal youtube pribadinya. Kanal Khalid Basalamah Official merupakan salah satu aktivis audio visual dakwah melalui youtube yang memiliki pelanggan terbanyak dan dakwahnya sangat diminati oleh banyak kalangan. Dengan menggunakan metode pengamatan virtual atau pengamatan online atas dakwah audio visual yang dilakukan oleh Ustadz Khalid Basalamah di kanal youtubenya. Tulisan ini penting untuk dibaca jika ingin melihat peran konsep honeycomb yang muncul dalam 10 tahun terakhir di dunia media studies dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti media sosial, dalam hubungannya dengan aktivitas audio visual dakwah Ustadz Khalid Basalamah di youtube. Akhirnya diketahui bahwa terdapat dua blok dalam kerangka honeycomb social media yang memiliki peran dalam melihat keberhasilan audio visual dakwah Ustadz Khalid Basalamah.]

Page 1 of 1 | Total Record : 7