cover
Contact Name
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Contact Email
akppsekp@gmail.com
Phone
+62251-8333964
Journal Mail Official
akppsekp@gmail.com
Editorial Address
Jln. Tentara Pelajar No. 3B, Kota Bogor 16111
Location
,
INDONESIA
Analisis Kebijakan Pertanian
ISSN : 16932021     EISSN : 25497278     DOI : http://dx.doi.org/10.21082
Core Subject : Agriculture,
Ruang lingkup substansi yang dibahas dalam naskah meliputi salah satu atau beberapa aspek sosial ekonomi dalam pembangunan pertanian dalam arti luas atau subsistem dari sistem agribisnis. Pembahasan dapat menyajikan aspek sosial ekonomi dari pembangunan pertanian dan pedesaan, pengembangan agribisnis, atau pengembangan komoditas lingkup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Articles 268 Documents
REKONSTRUKSI KELEMBAGAAN DAN UJI TEKNOLOGI PEMUPUKAN: KEBIJAKAN STRATEGIS MENGATASI KELANGKAAN PUPUK Darwis, Valeriana; Saptana, Saptana
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 2 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.727 KB) | DOI: 10.21082/akp.v8n2.2010.167-186

Abstract

Padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesiadan produktivitasnya ditentukan antara lain oleh tingkat pemakaian pupuk. Meskipun kebijakan pupuk sudah banyak dilaksanakan terutama dalam aspek pengadaan, penyaluran dan harga eceran tertinggi (HET); tetapi kelangkaan pupuk masih sering terjadi. Kajian tentang penyebab kelangkaan pupuk dari sisi pengadaan dan distribusi telah banyak dilakukan, namun penyebab kelangkaan dari sisi pengguna belum mendapat perhatian. Salah satu penyebab kelangkaan ini adalah pemakaian pupuk di tingkat petani yang melebihi dosis anjuran. Sementara itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa teknologi penentuan dosis pupuk tepat guna spesifik lokasi yaitu dengan cara mempergunakan Bagan Warna Daun (BWD), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Agar bisa mengubah perilaku petani dalam pemakaian pupuk menjadi efisien dan efektif sekaligus mencegah terjadinya kelangkaan pupuk, maka dibutuhkan suatu kebijakan holistik dan terpadu antar berbagai stakeholders yang tercakup. Rekontruksi kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong rasionalisasi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani, sehingga diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk dan meningkatkan produktivitas pertanian.  
TINJAUAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI POTONG Yusdja, Yusmichad; Ilham, Nyak
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 2 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.91 KB) | DOI: 10.21082/akp.v2n2.2004.183-203

Abstract

Abstrak tidak tersedia
AGRICULTURAL DEVELOPMENT IN INDONESIA: CURRENT PROBLEMS, ISSUES, AND POLICIES Winoto, Joyo; Siregar, Hermanto
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 1 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.895 KB) | DOI: 10.21082/akp.v6n1.2008.11-36

Abstract

After around a decade since the Asian Financial Crisis, the Indonesian economy has still experienced a relatively slow growth. The growth has tended to increase, but is considerably lower than that of the pre-crisis era. With a relatively low level and the quality of growth, the high rates of unemployment and poverty have been difficult to reduce. Despite its potential role of reducing the rates of poverty and unemployment, agricultural growth and rural development have yet tended to be stagnant. Development efforts, on both agriculture and non-agriculture, have still been concentrated in Java whereby land availability is very limited. The problems of poverty and unemployment seem to have intensified less-sustainable agricultural practices, giving rises?at least partially?to more land degradation and threats to water sustainability. To overcome the problems, the country needs sound/comprehensive agricultural and rural development policy. Effectiveness of such policy in overcoming the problems would depend much on the integration of serious efforts to enhance agricultural productivity as well as to improve rural infrastructure and social-economic institutions. 
ARAH KEBIJAKAN PASCAREVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, nFN; Wahyuni, Sri; Suhaeti, Rita N.; Zakaria, Amar K.
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.864 KB) | DOI: 10.21082/akp.v12n2.2014.157-174

Abstract

Organisasi petani mendapatkan situasi baru setelah era pasca Orde Baru, dan terlebih belakangan ini dengan keluarnya berbagai kebijakan baru, yaitu Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Namun, semangat dalam kebijakan ini tidak mudah direalisasikan. Tulisan ini berupaya mempelajari kondisi dan situasi serta peluang yang diberikan dengan kondisi dan berbagai agenda penting yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber untuk melengkapi survei studi tahun 2014 di Kabupaten Agam (Sumbar), Garut dan Majalengka (Jabar), serta Malang dan Gresik (Jatim). Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelusuran informasi terkini dan analisis kebijakan, ditemukan bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi petani belum ideal, sosialisasi masih lemah, dan petani sendiri belum memahami kesempatan yang telah disediakan. Untuk itu, ke depan perlu upaya berbagai pihak agar kondisi ideal yang diinginkan dapat terealisasi, terutama dengan adanya revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2014.
IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PENERAPAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN TERHADAP CAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Indraningsih, Kurnia Suci
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.116 KB) | DOI: 10.21082/akp.v13n2.2015.109-128

Abstract

EnglishLaw No. 16/2006 on Agricultural Extension System, Fisheries and Forestry and its derivative regulations have not improved extension workers? performance to meet farmers? needs including that to succeed food self-sufficiency. This paper aims to analyze (1) implementation of extension laws especially in food self-sufficiency achievement; (2) problems faced by officials and extension workers in implementing agricultural extension; and (3) impacts of extension laws on of food self-sufficiency achievement target. Primary data and information were collected through interviews and group discussions using an ethno-methodology approach. The results showed that extension laws implementation did not fully match with the Law No. 32/2004, especially its derivatives such as PP No. 41/2007 and PP No. 38/2007. However, such derivative legislation was consistent with Law No. 16/2006 and supported rice self-sufficiency achievement in 2014. Implementation of agricultural extension laws deals with the position of agriculture sector is not the priority such that coordination and synchronization between central and regional governments? development programs are still weak. Extension workers? assistance to farmers improved food productivity by 29 to 32.7%. It is necessary to enhance extension workers? assistance to farmers through farmers? capacity building, not solely to increase the food productionIndonesiaUndang Undang No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K); serta peraturan perundang-undangan di bawahnya tampaknya belum memberikan ruang bagi penyuluh untuk dapat bekerja dengan baik sesuai kebutuhan petani. Dalam hal ini termasuk menjawab kebutuhan untuk membuat penyuluh lebih progresif dalam menyukseskan swasembada pangan.  Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis (1) implementasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan; (2) permasalahan implementasi di bidang penyuluhan; dan (3) dampak implementasi legislasi penyuluhan pertanian terhadap capaian sasaran swasembada pangan.  Wawancara dan diskusi kelompok dengan pendekatan ethnomethodology dilakukan untuk mendapatkan informasi yang holistik terkait dengan tujuan evaluasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi peraturan perundang-undangan di bidang penyuluhan belum sepenuhnya sinkron dengan UU No.32/2004, terutama poduk turunannya, yaitu PP No. 41/2007 dan PP No. 38/2007.  Produk turunan perundang-undangan di bidang penyuluhan telah konsisten dengan UU No. 16/2006, dan telah mendukung pencapaian swasembada beras di tahun 2014.  Permasalahan implementasi di bidang penyuluhan pertanian terkait dengan posisi sektor pertanian sebagai ?urusan pilihan? sehingga koordinasi dan sinkronisasi antara program pembangunan pusat dan daerah masih lemah.  Dampak implementasi legislasi penyuluhan terlihat dari peran pendampingan/pengawalan penyuluh terhadap petani telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas padi sebesar 29?32,7%.  Implikasinya secara nasional adalah intensitas pendampingan penyuluh terhadap petani perlu ditingkatkan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas petani, bukan semata-mata pada peningkatan produksi. 
SISTEM KETAHANAN PANGAN NASIONAL: KONTRIBUSI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI ENERGI SERTA OPTIMALISASI DISTRIBUSI BERAS Lantarsih, Retno; Widodo, Sri; Darwanto, Dwidjono Hadi; Lestari, Sri Budhi; Paramita, Sipri
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 1 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (682.251 KB) | DOI: 10.21082/akp.v9n1.2011.33-51

Abstract

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kecukupan ketersediaan beras pada tingkat nasional maupun regional menjadi prasarat bagi terwujudnya ketahanan pangan nasional. Masalah beras di Indonesia juga tidak terlepas dari aspek distribusi akibat adanya kesenjangan produksi antar daerah dan antar waktu. Studi ini mencoba untuk mengkaji (1) ketahanan pangan wilayah ditinjau dari ketersediaan energi, dan kontribusi beras dalam ketersediaan energi, (2) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan kontribusi konsumsi energi yang bersumber dari beras terhadap konsumsi energi total, (3) keragaan wilayah provinsi di Indonesia berdasar ketersediaan dan konsumsi beras, (4) optimalisasi distribusi beras antar daerah di Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa ketahanan pangan wilayah pada tingkat nasional maupun regional dari aspek ketersediaan energi adalah terjamin, meskipun jika dilihat dari Pola Pangan Harapan (PPH) maka ketersediaan pangan belum memenuhi aspek keragaman pangan. Berdasar ketahanan pangan tingkat rumah tangga masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan yaitu sebanyak 10,39 persen di Provinsi Jawa Timur, dan 9,21 persen di Provinsi Sulawesi Selatan dengan ketergantungan terhadap konsumsi energi yang bersumber dari beras masing-masing senesar 47,9 dan 84,19 persen. Secara nasional, terdapat 11 provinsi yang mengalami defisit beras dan 22 provinsi yang mengalami surplus. Jumlah defisit beras di Indonesia tahun 2009 sebesar 2,09 juta ton. Biaya minimum yang diperlukan untuk mendistribusikan beras  daerah surplus ke daerah defisit tersebut sebesar Rp 1,016 milyar.
DAMPAK TARIF IMPOR DAN KINERJA KEBIJAKAN HARGA DASAR SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP DAYA SAING BERAS INDONESIA DI PASAR DUNIA Kariyasa, Ketut
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 4 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.336 KB) | DOI: 10.21082/akp.v1n4.2003.315-330

Abstract

Abstrak tidak tersedia
STRATEGI PENGEMBANGAN PROGRAM SL-PTT PADI: KASUS DI LIMA AGROEKOSISTEM Supriadi, Herman; Rusastra, I Wayan; Ashari, nFN
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.73 KB) | DOI: 10.21082/akp.v13n1.2015.1-17

Abstract

EnglishIntegrated Crop Management Field School (ICM - FS) performance is less optimal due to some problems, especially centralized seed procurement and distribution, low quality of seeds, lack of coordination, and inappropriate technology introduced. Objectives of this study are t o obtain policy strategies and to get indicative programs of ICM - FS to support the promotion of the national rice production. The study was conducted in five rice agro - ecosystems, i.e. irrigated (West Java, East Java and South Sumatra), insufficient rainfe d drainage (West Java), good rainfed drainage (Banten), swamp (South Sumatra), and dryland (Yogyakarta). Primary data was collected through structured interviews in 2012 from 262 respondents consisting of policy maker s , program implementers, participants an d non - participants of ICM - FS. Analysis tool used was SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats), logical framework matrix programs, as well as ICM - FS development indicative program . The results showed that ICM - FS programs in irrigated and drylan d areas we re quite strong and potential to be successful in increasing rice national production. ICM - FS programs in rainfed and swamp areas deal with some weaknesses but still possible for further production improvement. Farmers in irrigated and rain - fed a gro - ecosystems have already adopted newly improved varieties (VUB) before the program ICM - FS implemented. Thus, newly - improved seed aid for farmer groups w a s less effective. Seed delivery was also delayed along with its low quality. It is necessary to imple ment seed price subsidy through involvement of local seed producers and seed retailers at village level. Improved technologies required are adaptive hybrid rice and efficient cropping systems such as direct seeding and potential dwarf varieties. In the fut ure, ICM - FS should include integrated management of rural - base rice agribusiness area supported by easy better to capital, inputs, and marketing IndonesiaKinerja SL-PTT selama ini dinilai belum optimal di mana banyak permasalahan terutama dalam pengadaan dan distribusi benih yang sentralistik, kualitas dan jenis benih yang tidak sesuai kebutuhan, kurang koordinasinya pengawalan, kurang layaknya teknologi yang diintroduksikan, yang kesemuanya secara simultan menyebabkan peningkatan produktivitas padi relatif masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi strategi kebijakan dan program-program indikatif SL-PTT untuk menunjang peningkatan produksi padi nasional. Penelitian dilakukan di lima agroekosistem, yaitu di sawah irigasi (Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan), sawah tadah hujan drainase baik (Jawa Barat), sawah tadah hujan drainase buruk (Banten), lahan pasang surut (Sumatera Selatan), dan lahan kering (Daerah Istimewa Yogyakarta). Data primer digali tahun 2012 melalui wawancara terstruktur dari 262 responden yang terdiri dari penentu kebijakan, pelaksana program, peserta, dan nonpeserta SL-PTT. Alat analisis yang digunakan adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) dan matriks program kerangka kerja logis (logical framework) serta program indikatif pengembangan SL-PTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan SL-PTT di lahan sawah irigasi dan lahan kering cukup kuat dan berpeluang besar untuk lebih berhasil dalam peningkatan produksi nasional. Posisi SL-PTT di lahan tadah hujan dan pasang surut walaupun masih banyak kelemahannya, berpeluang untuk lebih berkembang meningkatkan produksi padi nasional. Petani di agroekosistem sawah irigasi dan tadah hujan sudah menggunakan varietas unggul baru (VUB) sejak sebelum program SL-PTT, sehingga BLBU untuk kelompok tani ini dianggap kurang efektif dan bahkan berdampak negatif berupa keterlambatan penyaluran dan rendahnya kualitas benih. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah perlunya perubahan sistem pengadaan benih BLBU menjadi benih subsidi harga yang melibatkan penangkar lokal dan kios di desa. Upaya peningkatan produktivitas padi perlu ditingkatkan dengan teknologi terobosan antara lain pengembangan padi hibrida yang adaptif dan sistem tanam yang efisien (tanam benih langsung dan varietas berumur pendek). Kelembagaan SL-PTT ke depan hendaknya diarahkan pada pengelolaan terpadu kawasan agribisnis padi pada hamparan wilayah desa, yang didukung dengan kemudahan akses modal, pemasaran, dan ketersediaan saprodi.
PRAKTEK SUBSIDI EKSPOR BERAS DI NEGARA LAIN: MUNGKINKAH DITERAPKAN DI INDONESIA? Sawit, M. Husein
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 3 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (364.843 KB) | DOI: 10.21082/akp.v7n3.2009.231-247

Abstract

Indonesiadiperkirakan akan mampu berproduksi beras melebihi tingkat konsumsi DN (dalam negeri). Kelebihan produksi tsb berdampak positif terhadap penguatan ketahanan pangan melalui rendahnya risiko impor beras yang harganya di pasar dunia tidak stabil. Di pihak lain, kelebihan produksi dapat menekan harga beras DN,  mengurangi insentif petani produsen, sehingga akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan kenaikan produksi gabah/beras nasional. Ekspor beras adalah salah satu solusinya. Namun, daya saing beras tidak selalu ditentukan oleh surplus produksi, umumnya ditentukan oleh disparitas harga beras DN vs LN (luar negeri). Manakala HPP (harga pembelian pemerintah) gabah/beras (kualitas medium) selalu dinaikkan misalnya, maka surplus produksi beras medium tidak cukup kompetitif untuk diekspor. Harga FOB Jakarta untuk beras IR III dan kualitas medium HPP  jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ekspor FOB dengan kualitas yang sepadan yaitu Viet25 persen, Pak25 persen atau Thai25 persen, khususnya setelah April 2009.  Demikian juga harga beras super/premium Setra jauh lebih tinggi dari harga beras Viet5 persen dan Thai White 100 persen B, khususnya setelah Juli 2008.Namun,Indonesiamampu bersaing pada beras kualitas aromatik, seperti Cianjur Kepala setelah Nopember 2008. Pada Juni 2009 misalnya, harga Thai Fragrant USD 917/ton, bandingkan dengan harga beras Cianjur Kepala hanya USD 845/ton (FOB). Kalau Bulog/pemerintah kelebihan stok yang umumnya kualitas medium diekspor untuk mencegah penurunan harga gabah, serta eskses stok, maka pemerintah perlu mempertimbangkan subsidi ekspor sekitar USD 200/ton. Kalau ekspor beras mencapai 100 ribu ton misalnya, maka total subsidi ekspor menjadi sekitar USD 20 juta atau sekitar Rp 200 milyar. Mungkin subsidi ekspor beras  diperkirakan sulit diterima DPR atau masyarakat luas. Kalau ingin memurahkan beras, mengapa harus diekspor, bukankah lebih baik disubsidi penduduk dalam negeri? Tampaknya, ekspor beras bukan sekedar perhitungan ekonomi.
DAMPAK UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR TERHADAP EKSISTENSI KELEMBAGAAN SUBAK DI BALI Tarigan, Herlina; Simatupang, Pantjar
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.911 KB) | DOI: 10.21082/akp.v12n2.2014.103-117

Abstract

Di Bali, implementasi Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air berkelindan dengan politik ekonomi dan pembangunan pariwisata massal, secara sinergis menyebabkan perubahan dimensi pemanfaatan air dari fungsi sosial, pertanian, dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan dan harmoni, ke arah fungsi ekonomi dan pariwisata yang mengedepankan efisiensi dan nilai tambah ekonomi. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak implementasi undang-undang tersebut terhadap kelembagaan pengairan subak dan sektor pertanian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor kapitalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan air yang berperan mendukung pembangunan berbasis pariwisata berkembang pesat, mendorong munculnya fenomena privatisasi dan komersialisasi air, yang selanjutnya menyebabkan eksploitasi air secara berlebihan, penurunan air untuk pertanian, dan konversi lahan pertanian, yang akhirnya menurunkan produksi pertanian dan pendapatan petani. Privatisasi dan komersialisasi air juga menyebabkan perubahan kelembagaan berupa peluruhan ruang spasial, nilai-nilai otonomi dan kelekatan sosial, tata kelola, kepemimpinan dan kuasa serta kewenangan subak. UU No. 7/2004 seyogianya diterapkan penuh disiplin atau malah mungkin lebih baik direvisi atau dikaji ulang konstitusionalitasnya.

Page 1 of 27 | Total Record : 268


Filter by Year

2003 2021


Filter By Issues
All Issue Vol 19, No 2 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Desember 2021 Vol 19, No 1 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Juni 2021 Vol 18, No 2 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 18, No 1 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 2 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 1 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 2 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 1 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 2 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 2 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 1 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 2 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 1 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 4 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 3 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 1 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 4 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 3 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 2 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 1 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 4 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 3 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 2 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 1 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 4 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 3 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 2 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 1 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 4 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 3 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 2 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 1 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 4 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 3 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 2 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 1 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 4 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 3 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 2 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 1 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 4 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 3 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 2 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 1 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 4 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 3 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 2 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 1 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 4 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 3 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 2 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 1 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian More Issue