cover
Contact Name
Dr. Nurjannah S, SH., MH
Contact Email
nurjajustice@gmail.com
Phone
+6281805222976
Journal Mail Official
jihmediakeadilan@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram Jl. KH Ahmad Dahlan No. 1, Pagesangan, Mataram, 83125
Location
Kota mataram,
Nusa tenggara barat
INDONESIA
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 23390557     EISSN : 26851857     DOI : https://doi.org/10.31764/mk:%20jih
Core Subject : Humanities, Social,
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram. Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum didirikan pada Januari 2012, merupakan lembaga yang yang fokus pada pengembangan jurnal untuk mahasiswa, dosen, dan semua entititas pengemban hukum dalam topik global dan partikular. Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum diterbitkan dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Jurnal ini Menyediakan versi cetak dan akses terbuka langsung ke kontennya dengan prinsip bahwa penelitian tersedia secara bebas untuk diperoleh publik serta mendukung pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Tujuan Jurnal ini adalah menyediakan ruang bagi akademisi, peneliti dan praktisi untuk menerbitkan artikel penelitian asli, atau artikel ulasan. Ruang lingkup tulisan yang diterbitkan dalam jurnal ini berkaitan dengan berbagai topik dibidang hukum Islam dan Bisnis Islam, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Hukum Perdata, Hukum Internasional, Hukum Konstitusi, Hukum Lingkungan, Hukum Kesehatan dan Medis, Hukum Adat, Hukum Internasional, dan bagian Hukum Kontemporer lainnya.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 98 Documents
PILKADA SERENTAK DARI PERSPEKTIF KONFLIK Fanila Kasmita Kusuma
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.174 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v9i2.888

Abstract

This article discusses simultaneous local elections from a conflict perspective. The process of democracy (electoral), conflict is a necessity because every individual or social group has different interests, understandings, and values. Conflict is relatively easy to come from more complex social bases. Democracy is also believed to be a means of transforming conflict. The research method used is normative legal research, with a statute approach and conceptual approach. Analyzed descriptively qualitatively. As for the results of research, that democracy seeks to transform conflict in the form of violence toward the voting booths, from coercive to persuasive. However, democracy and conflict are actually two things that are not easily connected. From many experiences, it is not easy to prove that democracy can be a trigger for conflict, although it can be claimed that the escalation of conflict is caused by political liberalization at work in the democratic process. The existence of a natural conflict for a democratic process. It becomes dangerous if the conflict is repressive and takes the form of violence.Keywords: conflict; simultaneous local election.AbstrakArtikel ini membahas tentang pilkada serentak dari perspektif konflik. Proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks. Demokrasi juga diyakini sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan statute approach dan conceptual approach. Dianalisis secara  deskriptif kualitatif. Adapun hasil penelitian, bahwa demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif. Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik bekerja dalam proses demokrasi. Eksistensi konflik wajar bagi suatu proses demokrasi. Menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence).Kata kunci: konflik; pilkada serentak.
KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM: MENYOAL KONSEP KEADILAN HUKUM HANS KELSEN PERSPEKTIF “AL-‘ADL” DALAM AL-QUR’AN Mukhlishin Mukhlishin; Sarip Sarip
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 11, No 1 (2020): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.519 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v11i1.1954

Abstract

Justice as an ideal and legal objective can be realized through law. Hans Kelsen said, justice is the legality that the benchmark lies in its validity according to positive law. This study aims to describe the concept of fairness according to Hans Kelsen's philosophy and relevance to the concept of al-Adl al-Qur; an. This study is a literature review, with a philosophical approach - Usul Fiqh. The results of the study show that the concept of al-'Adlu in the Qur'an has a wider scope from a human perspective. Al-'Adl has the substance of absolute justice only possessed by the Divine, revealed to the Prophet Muhammad, the Prophet's behavior is justice (prophetic philosophy). Subjective justice, which is essentially an attempt to fulfill positive legal certainty as a benchmark, is completely untenable. Because, justice is not limited to validity according to positive law but justice must pay attention to the meaning of lafadz al-'Adl is a transcendental basis that is absolute for human benefit. The concept of "al-'Adl" offers three levels of benchmarks of justice, namely dharurîyat, hajîyat and tahsinîyat as the spirit of the Qur'an that links morality and belief.Keywords: absolute, al-‘adl, justice, legal satisfation ABSTRAKKeadilan sebagai cita-cita dan tujuan hukum bisa diwujudkan melalui hukum. Hans Kelsen menyebutkan, keadilan adalah legalitas bahwa tolak ukurnya terletak pada keabsahannya menurut hukum positif. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konsep adil menurut filsafat Hans Kelsen dan relevansi dengan konsep al-Adl al-Qur;an. Metodologi kajian ini merupakan kajian pustaka, dengan pendekatan filosofis-Ushul Fiqih. Hasil kajian bahwa konsep al-‘Adlu dalam al-Qur’an memiliki ruang lingkup lebih luas dari perspektif manusia. Al- ‘Adl memiliki substansi keadilan mutlak hanya dimiliki oleh Ilahi, diwahyukan kepada Nabi Muhammad, maka perilaku Nabi adalah keadilan (filsafat profetik). Keadilan subjektif yang pada esensinya sebagai upaya pemenuhan kepastian hukum positif sebagai tolak ukur, sepenuhnya tidak dapat dipertahankan. Sebab, keadilan tidak terbatas pada keabsahan menurut hukum positif tetapi keadilan harus memperhatikan makna lafadz al-‘Adl basis transendental yang bersifat absolut bagi kemaslahatan manusia. Konsep “al-‘Adl” menawarkan tiga tingkatan tolak ukur keadilan, yakni dharurîyat, hajîyat  dan tahsinîyat sebagai ruh dari al-Qur’an yang mengaitkan antara moral dan kepercayaan.Keyword: absolut, al-‘adl, keadilan kepastian hukum
STUDI KRITIS TERHADAP KONSEP NEGARA HUKUM Ramli Ramli; Muhammad Afzal; Gede Tusan Ardika
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 2 (2019): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (381.683 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v10i2.1969

Abstract

Indonesia is a state of law as stipulated in article 1 number 3 of the 1945 Constitution. Indonesia is one of the countries in the world, which is a state of law. Indonesia's position as a state of law has very broad implications in various other fields. The reality of Indonesian society's life cannot be separated from the existence of the law inherent in a multi-ethnic, multi-cultural society. The term legal state (Rechstaat) is no stranger to constitutional knowledge from ancient times to the present. It's just that in the practice of state administration people are still witnessing whether the rule of law has been fully implemented or not. This research is a type of normative research, and uses descriptive qualitative analysis through critical studies. The results of this study indicate that the concept of rechstaat prioritizes the wetmatigheid principle which then becomes the rechtmatigheid. Elements of Rechstsst: 1) The existence of protection of human rights, 2) The separation and distribution of state power to guarantee the protection of human rights, 3) Governance based on regulations, and 4) The existence of administrative justice. However, the implementation of the said rule of law has not yet been implemented well and comprehensivelyKeywords: Critical Study, Variety of Concepts, State, LawABSTRAKIndonesia ialah negara hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia, yang merupakan negara hukum. Kedudukan Indonesia sebagai sebuah negara hukum, membawa implikasi yang sangat luas pada berbagai bidang lain. Realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan hukum yang melekat pada masyarakat yang multi-etnis, multi-kultural. Istilah negara hukum (Rechstaat) tidak asing lagi dalam pengetahuan ketatanegaraan sejak zaman purba hingga sekarang ini. Hanya saja dalam praktek ketatanegaraan, orang masih menyaksikan apakah negara hukum itu sudah dilaksanakan sepenuhnya atau tidak. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif, dan menggunakan analisis deskriptif kualitatif melalui studi hukum kritis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep rechstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid. Unsur-unsur rechstaat: 1) adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), 2) adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM, 3) pemerintahan berdasarkan peraturan, dan 4) adanya peradilan administrasi. Akan tetapi pada aspek implementatif negara hukum dimaksud belum terlaksana dengan baik dan komprehensifKata kunci: hukum, negara, ragam konsep, studi kritis
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.574.K/PID.SUS/2018 PADA KASUS BAIQ NURIL MAKNUN (DITINJAU DARI KONSEP KEADILAN) Ni Luh Ariningsih Sari
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 1 (2019): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (372.232 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v10i1.1100

Abstract

This study discusses the concept of justice in the decisions of the first level court up to the appeal in the case of Baiq Nuril Makmun. At the Mataram District Court decided the judge was free, but at the level of appeal by the Supreme Court, Baiq Nuril was found guilty. Using the type of normative research. The approach method used in this research is the statute approach, case approach, and qualitative descriptive analysis. The results of the study found that, the basis of consideration of judges at the first level and cassation was different. At the level of Cassation this case stated that the elements of Article 27 paragraph (1) of the ITE Law were fulfilled, but the sociological aspects that caused the case as explained in the facts of the trial escaped the consideration of the Supreme Judge so that the Supreme Court ruling did not have a sense of justice because the judge does not examine and explore what is the fact of the trial.Keywords: baiq nuril's case; concept of justicePenelitian ini membahas tentang konsep keadilan pada putusan pengadilan tingkat pertama sampai dengan kasasi pada kasus Baiq Nuril Makmun. Persidangan di Pengadilan Negeri Mataram hakim memutus bebas, namun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, Baiq Nuril diputus bersalah. Menggunakan jenis penelitian normative. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan kasus (case approach), serta analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa, Dasar pertimbangan Hakim pada tingkat pertama dan kasasi berbeda. Pada tingkat Kasasi kasus ini dinyatakan telah dipenuhinya unsur-unsur dari Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang ITE, namun aspek sosiologis yang menjadi penyebab terjadinya kasus tersebut sebagaimana yang djelaskan pada fakta persidangan luput dari pertimbangan Hakim Agung sehingga putusan Mahkamah Agung dirasa tidak memiliki rasa keadilan karena hakim tidak mencermati dan mendalami apa yang menjadi fakta persidangan.Kata Kunci: kasus baiq nuril; konsep keadilan
IMPLIKASI JUDICIAL REVIEW TERHADAP HAK ANGKET YANG DIAJUKAN OLEH DPR PASCA PUTUSAN MK NO.26/PUU-XVI/2017 TENTANG PERMOHONAN HAK ANGKET DPR Agnes Fitryantica
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 11, No 1 (2020): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (504.713 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v11i1.1353

Abstract

The Constitutional Court based on Article 24C of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has 4 authorities and 1 obligation. These provisions are further contained in Article 10 of Law Number 24 Year 2003 concerning the Constitutional Court. The constitutional authority of the Constitutional Court in examining, adjudicating and deciding cases of judicial review of the constitution is about the constitutionality of norms. The method used is normative (doctrinal) legal research, using secondary data in the form of primary, tertiary and secondary legal materials. One of the legal materials used as the basis for analysis is the judge's decision and its implications for the judicial review. The results of the study that, the authority to test the Act against the 1945 Constitution theoretically or practically, makes the Constitutional Court as a controlling and balancing body in the administration of state power. The KPK is not the object of the Parlement questionnaire rights. The ruling emphasized that the KPK was an institution that could be the object of the questionnaire right by the Parlement. The implications of the decision of the Constitutional Court Number 36 / PUU-XV / 2017, can be grouped in two ways, namely: first, the implications are positively charged, namely the affirmation of the ownership of the House of Representatives questionnaire rights in Indonesian governance. Second, the negative implication is the possibility of using the DPR's excessive questionnaire rights without regard to existing limitations.Keywords : constitutional court; KPK; parlement.Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban. Ketentuan tersebut dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah mengenai konstitusionalitas norma. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (doktrinal), dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, tersier dan sekunder. Salah satu bahan hukum yang dijadikan dasar analisis adalah putusan hakim dan implikasinya terhadap yudicial review. Hasil penelitian bahwa, kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 secara teoritis atau praktis, menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengontrol dan penyeimbang dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, Dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pemohon yang pada intinya menyebut KPK bukan merupakan objek hak angket DPR. Putusan tersebut menegaskan KPK merupakan lembaga yang dapat menjadi objek hak angket oleh DPR. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 tersebut, dapat dikelompokkan dalam dua hal, yaitu: pertama, implikasi yang bermuatan positif, yaitu penegasan dimilikinya hak angket Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketatanegaran Indonesia. Kedua, Implikasi yang bermuatan negatif yaitu adanya kemungkinan penggunaan hak angket DPR yang eksesif tanpa memperhatikan batasan-batasan yang ada.Kata Kunci: DPR; KPK; Mahkamah Konstitusi.     
PROBLEMATIKA PENGKADERAN DI PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH MATARAM DALAM PERSPEKTIF NORMA PENGKADERAN MUHAMMADIYAH Mappanyompa Mappanyompa; Imawanto Imawanto
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 1 (2019): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (391.613 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v10i1.1106

Abstract

This article discusses the problem of cadre formation in Muhammadiyah Mataram universities in the perspective of cadre norms. In full, cadres are those who have been completed in following all formal cadres, tested in informal cadres and have provisions through informal formation. Their existence is not only expected in the existence of the organization to be maintained, but also expected that the cadres will continue to carry out the mission of the organization's movement to the full. This type of research is quantitative explanatory research, with data collection techniques through library research and field work research. The results of the study show that regeneration occupies a very strategic position for the survival of Muhammadiyah as a community and Islamic missionary movement Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Cadreization must be of serious concern from all Muhammadiyah leaders and Muhammadiyah's charitable business leaders, especially in West Nusa Tenggara. The foundation of sincere intention to live Muhammadiyah and not only seek life in the Muhammadiyah as the message of the founder of the late KH. Ahmad Dahlan. The origins of the Kemuhammadiyahan strategic position holder in the Muhammadiyah charity business must be directly proportional to the cadre process that has been traversed on the basis of commitment and the complete and complete cadre norm.Keywords: cadre norms; cadre problems; Muhammadiyah universities.Artikel ini membahas tentang problematika pengkaderan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Mataram perspektif norma pengkaderan. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Keberadaan mereka bukan saja diharapkan dalam eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksplanatif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui library research dan field work research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaderisasi menempati posisi yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan dan gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Kaderisasi menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dari segenap pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah, terutama di Nusa Tenggara Barat. Landasan niat yang tulus untuk menghidup-hidupkan Muhammadiyah dan tidak semata mencari hidup dalam Muhammadiyah sebagaimana pesan sang pendirinya almarhum KH. Ahmad Dahlan. Asal-usul kemuhammadiyahan pemegang jabatan strategis di amal usaha Muhammadiyah harus berbanding lurus dengan proses pengkaderan yang telah dilalui atas dasar komitment dan norma pengkaderan secara tuntas dan paripurna.Kata kunci: norma pengkaderan; perguruan tinggi Muhammadiyah; problematika pengkaderan.
TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMIDANAAN DALAM PERBARENGAN TINDAK PIDANA MENURUT KUHP Fahrurrozi Fahrurrozi; Abdul Rahman Salman Paris
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.134 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v9i2.889

Abstract

This study discusses the forms of crime in the context of criminal acts or the comparison of criminal acts (same loop) that occur in society. This happens where one person commits a crime, but it is not uncommon for one person to commit several functional crimes at the same time in the same place. On the other hand, there is also one person who determines the number of crimes at different times in different locations which in criminal law is known as the term of criminal acts or sharing criminal acts (same loop) or in Dutch is same loop van Strafbare Feiten. This study uses a normative method using qualitative descriptive analysis. The results of this study indicate that there are three forms of criminal acts namely Concursus Idialis, continuing actions and realist Concursus while the penal system in the proportion of criminal acts can be applied to three methods, namely Stelsel absorption, cumulative Stelsel, and limited cumulative Stelsel.Keywords: criminal code; criminal system; joint crime. AbstrakPenelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk kejahatan perbarengan perbuatan pidana atau perbarengan tindak pidana (samenloop) yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi dimana satu orang melakukan satu kejahatan tapi tidak jarang terjadi satu orang melakukan beberapa kejahatan baik dalam waktu yang sama di tempat yang sama. Disisi lain, ada juga satu orang yang melakukan beberapa kejahatan pada waktu yang berbeda di tempat yang berbeda pula yang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah perbarengan perbuatan pidana atau perbarengan tindak pidana (samenloop) atau dalam bahasa belanda ialah sameloop van strafbare feiten. Penelitian ini menggunakan metode normatif, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga bentuk perbarengan tindak pidana yaitu concursus idialis, perbuatan berlanjut dan concursus realis sedangkan sistem pemidanaan dalam perbarengan tindak pidana dapat diterapkan tiga stelsel yaitu stelsel absorpsi, stelsel kumulasi dan stelsel kumulasi terbatas.Kata kunci: KUHP; sistem pemidanaan; perbarengan tindak pidana.
CERAI BERSYARAT (SHIGHAT TA’LIQ) MENURUT DUAL SISTEM HUKUM (Hukum Islam dan Hukum Perdata) Nurhadi Nurhadi
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 11, No 1 (2020): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (591.915 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v11i1.1151

Abstract

Marriage is a sacred covenant that unites two deeply bound human beings (mitsaqan ghalizha). The agreement was concluded in a consent agreement between guardian and future husband. Indonesian civil law requires saying the husband's sighat ta'liq to his wife. The essence of sighat ta'liq is conditional divorce between the two. Using normative (doctrinal) legal research, and comparative law approach (fiqh of comparative Mazhab). The results of the study explain that Islamic law assesses a legal marriage if enough conditions and harmony, without sighat ta'liq. Indonesian sighat ta'liq requirements are in government policy through the decree of the minister of religion number 3 of 1953. The aim of the sighat ta'liq is to protect the wife from the abuse of her husband, if the husband violates, the wife has the right to sue in a religious court (divorce). Lafadz sighat ta'liq was made referring to the regulation of the minister of religion number 2 of 1990, but the lafadz contained an understanding of "new marriage and a direct promise of divorce". Compilation of Islamic Law (KHI) as an enactment legislation explanation of UUP number 1 of 1974 Article 46 paragraph 3 does not require sighat ta'liqKeywords : conditional; divorce; dual law; shighat ta’liq; system.Pernikahan merupakan akad sakral yang menyatukan dua insan terikat kuat (mitsaqan ghalizha). Perjanjian disimpul dalam ijab kabul antara wali dan calon suami. Hukum perdata Indoesia mengharuskan mengucapkan sighat ta’liq suami kepada istrinya. Inti dari sighat ta’liq adalah perceraian bersyarat antara keduanya. Menggunakan penelitian hukum normatif (doktrinal), dengan pendekatan perbandingan hukum (fikih perbandingan mazhab). Hasil penelitian menjelaskan bahwa hukum Islam menilai pernikahan sah jika cukup syarat dan rukunnya, tanpa sighat ta’liq. Hukum di Indonesia kebersyaratan sighat ta’liq ada dalam kebijakan pemerintah melalui maklumat menteri agama nomor 3 tahun 1953. Tujuan adanya sighat ta’liq dalam rangka melindungi istri dari kesewenangan suami, jika suami melanggar, istri berhak menggugat ke pengadilan agama (cerai gugat). Lafadz sighat ta’liq dibuat mengacu pada peraturan menteri agama  nomor 2 tahun 1990, namun lafadz tersebut mengandung pemahaman “baru nikah langsung janji cerai”. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai peraturan perundangan penjelasan dari UUP nomor 1 tahun 1974 Pasal 46 ayat 3 tidak mewajibkan sighat ta’liq.Kata Kunci: bersyarat; bersyarat; dual sistem hukum; shighat ta’liq.
PERAN DAN WEWENANG PERAWAT DALAM MENJALANKAN TUGASNYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN Lalu Wirentanus
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 2 (2019): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.509 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v10i2.2013

Abstract

The increasing need for health services requires nurses currently to have knowledge and skills in various fields. At present, nurses have a broader role with an emphasis on improving health and preventing disease, as well as looking at clients comprehensively. This study discusses the role and authority of nurses in carrying out their duties based on the provisions of law number 38 of 2014 concerning nursing. This research is normative research with a legislative approach and critical legal studies. The results of the study that the role of nurses must be able to ensure that the company meets the laws and regulations, develop health surveillance programs, conducts counseling, coordinates health promotion activities and fitness, at all. As for the authority of nurses, based on article 30 paragraph (1) of law number 38 of 2014 that nurses carry out their duties as providers of nursing care in the field of individual health efforts, nurses are authorized to a) carry out holistic nursing assessments, b) establish a nursing diagnosis, c) plan nursing actions. Carry out nursing actions, d) evaluating the results of nursing actions and so on which, based on reality, are still not well implemented.Keywords: authority of nurses, nursing law, roleABSTRAKBertambahnya kebutuhan pelayanan kesehatan menuntut perawat saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif. Penelitian ini membahas tentang peran dan wewenang perawat dalam menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi hukum kritis. Hasil penelitian, bahwa peran perawat harus mampu meyakinkan bahwa perusahaan memenuhi peraturan perundangan-undangan, mengembangkan program surveilance kesehatan, melakukan konseling, melakukan koordinasi untuk kegiatan promosi kesehatan dan fitnes, dan seterusnya. Adapun kewenangan perawat, berdasarkan pasal 30 ayat (1) undang-undang nomor 38 tahun 2014 bahwa perawat menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, perawat berwenang a) melakukan pengkajian keperawatan secara holistik. b) menetapkan diagnosis keperawatan. c) merencanakan tindakan keperawatan. melaksanakan tindakan keperawatan. e) mengevaluasi hasil tindakan keperawatan dan seterusnya yang berdasarkan kenyataan masih belum terimplementasi dengan baik.Kata kunci: undang-undang keperawatan, peran, wewenang perawat
PENGATURAN REKSADANA SYARIAH DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIAENGATURAN REKSADANA SYARIAH DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA Baiq Nur Aini Dwi Suryaningsih
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10, No 1 (2019): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.598 KB) | DOI: 10.31764/jmk.v10i1.1101

Abstract

This research is related to the Arrangement of Sharia Mutual Funds in the Construction of Positive Laws in Indonesia. Sharia mutual funds are one of the instruments that play an essential role in the capital market in Indonesia. The emergence of Sharia Mutual Funds originated from conventional mutual funds. The many needs of financial institutions in the capital market that operate with sharia principles, Sharia Mutual Funds appear and act according to Islamic sharia provisions and laws. Both in the form of contracts between investors as property owners (Shahibul Maal) and investment managers as representatives of Shahibul Maal, and between investment managers as representatives of Shahibul Maal and investment users. Islamic mutual funds will not invest their funds in bonds of companies whose management or products are contrary to Islamic sharia, for example, alcoholic beverage factories, pig industry, financial services involving usury in operations and businesses that contain immorality. This study uses the Statute Approach and Conceptual Approach, which are complemented by primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Regulation of Sharia Mutual Funds in Indonesia under the Capital Market Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market and Financial Services Authority Regulation Number 19/POJK.04/2015 concerning Issuance and Requirements of Sharia Mutual Funds and other technical regulations. And specifically, Sharia Mutual Funds are regulated in the Fatwa of the National Sharia Council of the Indonesian Ulema Council Number 20/DSN-MUI/IV/2001 concerning the Guidelines for implementing Investment for Sharia Mutual Funds. Furthermore, Islamic mutual funds at the normative level require a strong foundation in the context of regulation, specifically in positive law in Indonesia to accommodate the needs of the community for the bill. Keywords: regulation; sharia mutual funds; positive legal construction.ABSTRAKPenelitian ini berkaitan dengan Pengaturan Reksadana Syariah dalam Konstruksi Hukum Positif di Indonesia. Reksadana Syariah merupakan salah satu instrumen yang berperan penting dalam pasar modal di Indonesia. Munculya Reksadana Syariah bermula dari Reksadana konvensional. Banyaknya kebutuhan akan lembaga keuangan dalam pasar modal yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah, maka Reksadana Syariah muncul dan beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi. Reksadana syariah tidak akan menginvestasikan dananya pada obligasi dari perusahaan yang pengelolaannya atau produknya bertentangan dengan syariah Islam misalnya pabrik minuman beralkohol, industri pertenakan babi, jasa keuangan yang melibatkan riba dalam operasionalnya dan bisnis yang mengandung maksiat. Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach), yang dilengkapi dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Pengaturan Reksadana Syariah di Indonesia berdasarkan Undang– Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.04/2015 Tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa Dana Syariah dan Peraturan teknis lainnya. Dan secara khusus Reksadana Syariah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Pedoman pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah. Selanjutnya Reksadana syariah pada tataran normatif memerlukan landasan yang kuat dalam konteks pengaturan secara khusus dalam hukum positif di Indonesia hal tersebut untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hukum. Kata kunci: konstruksi hukum positif; reksadana syariah.

Page 1 of 10 | Total Record : 98