cover
Contact Name
FX. Kurniawan Dwi Madyo Utomo
Contact Email
fxiwancm@gmail.com
Phone
+62341552120
Journal Mail Official
serifilsafatws@gmail.com
Editorial Address
Jl. Terusan Rajabasa 2
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Seri FilsafatTeologi Widya Sasana
ISSN : 14119005     EISSN : 27463664     DOI : https://doi.org/10.35312/
Seri Filsafat Teologi Widya Sasana focuses on philosophical and theological studies based on both literary and field researches. The emphasis of study is on systematic attempt of exploring seeds of Indonesian philosophy as well as contextualization and inculturation of theology in socio-political-historical atmosphere of Indonesia. Scope of Seri Filsafat Teologi Widya Sasana covers various perspectives of philosophical and theological studies from interdisciplinary methodology and cultural-religious point of view of traditions.
Articles 180 Documents
Communicatio In Sacris Berbagi Kasanah Rohani Medium Membangun Persaudaraan di Antara Umat Kristiani Analisa Sejarah, Doktrin dan Iuris I Ketut Gegel
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.25

Abstract

In this paper, the author studies of Communicatio in Sacris as an act of sharing sacraments among Christians. This study begins with the author's observation regarding of relation among Christians at this time. In the past centuries, many dissensions happened and large communities were separated from full communion with Catholic Church. Each excludes others to take part in its own liturgy. However, it should be kept in mind, that unity which Christ willed, stood at the very heart of the Church’s mission. At every era, there have been figures who do not only defend the Church but also open the Church to other Christians, especially, in her liturgical services. It has begun a long the history of the Church. It is sufficient to simply to mention two of them. In 1244 Innocent IV allowed Dominicans to minister separated Christian communities by sharing the Eucharist with them. In modern age, John XXIII who led the 2nd Vatican Council has brought Catholic Church even more open toward other Churches, giving a wide possibility to share sacraments with non Catholic. The purpose of all these actions is for the goodness of souls. The method used in this article is a qualitative research, by analyzing the Church view of communicatio in sacris. The author analyzed the Church documents: 2nd Vatican Council, Canon Law and other sources, including digital sources to support the analysis. From this study, the author found out that communicatio in sacris in its strict meaning means to share sacraments amongs Christians that becomes an instrument to foster fraternity among Christians.
Gereja Sebagai Komunitas Persahabatan Markus Situmorang
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.26

Abstract

Friendship is not something new in human life. It has existed since man existed in the world with others. Awareness of self and other creations encourages man to build friendship. Many philosophers and theologians have had ideas about the meaning of friendship. With friendship, our life becomes meaningful. The Scriptures also give the meaning of true friendship to human being. Therefore, friendship is a very essential thing in human life. True friendship needs to be based on love, trust, sincerity, sacrifice, kindness, and so on. Friendship itself must be born from the soul. A soul that is ready to give the best for friends. The friendships built by people are often fragile and vulnerable to break up. True friendship will not be eroded by time and distance. It will last forever when a soul is united in it. The Church is a community built by Jesus. The Church is born of friendship. Jesus gathers His friends at one Eucharistic table.
Allah Tritunggal: Allah Yang Bersahabat Kristoforus Bala
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.27

Abstract

This article is to describe the imageof the Trinity God who is affectionate based on the Holy Bible and the Church Tradion. The Trinity is God who is Supreme good, plural as well as singular, all-Merciful, inclusive, communicative, and affectionate. God reveals Himself through His creations, the Israelities exodus, the commission of Jesus and the Holy Spirit. In the mids of the world that is easily segregated by the issues of ethnocentrism, radicalism, primodialism, religious fundalism, sacism, horizontal conflicts, etc; the image of the affectionate Trinity God could be the source of inspirations and model to the reformation and transformation of the human race’s better, friendly, harmonious, affectionate, inclusive, and humane life.
Pengaruh Persahabatan Terhadap Kesejahteraan Hidup Manusia Kurniawan Dwi Madyo Utomo
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.28

Abstract

Friendships are fundamental to human social life. Therefore, people try every great effort to build and maintain these friendships. The aim of this paper is to discuss the effect of friendship on the well-being of individuals at every stage of human development. The method used to achieve this goal is to explore the results of studies related to friendship and its effect on human well-being. The results of these studies indicate that friendship can be related to well-being. Healthy friendships help people to adjust and give them happiness. Happy people also tend to try to build and maintain friendships. Contrarily, unhealty friendships lead to loneliness and depression. Friendships which has been built since childhood also affects the well-being of an individual’s life at the later stages of human development.
Antara Eureka Dan Erica: Konsep Manusia Di Era 4.0 Valentinus Saeng
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manusia kontemporer sedang memulai sebuah era baru yang disebut Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 tiada lain adalah sebuah tahapan yang lebih tinggi atau langkah maju dari Revolusi Industri terdahulu, yang ditandai oleh kehadiran Internet of and for Things (IOT), artificial in- telligence (AI), genetic engineering (GE), Inplantable Technologis, Storage for All, The Connected Home, Big Data, Driverless Cars, Robot Doctor, Neurotechnologies, Bitcoin and Blockchain, 3D Print- ing.1 Kehadiran beraneka ragam perangkat teknis super-canggih itu mengubah mulai dari pola kerja, gaya hidup, cara berkomunikasi dan bertransportasi, cara menjaga maupun merawat kesehatan, pola pengambilan kebijakan hingga eksistensi dan desain dari sebuah kota (Smart City) maupun hakikat atau jati diri manusia (life extension, memory extraction, Designer Being atau Designer Babies)2 karena kemampuan alat-alat itu merobotkan kemanusiaan.3 Maka satu persoalan besar yang hendaklah diperhatikan, jika ditinjau dari sudut manusia, ialah apakah kehadiran alat-alat teknologi yang super-pintar itu hanya untuk meringankan beban kerja, meningkatkan produksi, meringkas jarak dan mempersingkat waktu, dan di bidang biologi misalnya, berhenti pada menyembuhkan penyakit, memulihkan luka-luka atau memperpanjang nafas dan menyentosakan hidup manusia, dapat dimanfaatkan untuk membuat hidup manusia “menjadi lebih baik”?
“Percikan” Revolusi 4.0 Refleksi Filosofis Tentang Siapa Manusia Dan allah FX. EKO ARMADA RIYANTO
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jika revolusi industri 4.0 dimetaforakan sebuah “big bang” peradaban baru manusia zaman ini, baiklah refleksi kecil ini menyimak “percikan- percikannya”. Sebab, meski dentumannya tidak terdengar, “percikan- percikan” itu diantaranya secara nyata berdampak pada diri dan keluarga kita, suasana dan tuntutan institusi tempat kita bekerja, sekolah dan sistem pendidikan dengan mentalitas baru dari peserta didik di mana kita mengajar, komunitas rumah kita menghayati panggilan dan perutusan, societas dan bangsa yang kita abdi, dan terutama persekutuan umat Allah yang kita cintai.
Revolusi Industri 4.0: Kapitalisme Neo-Liberal, Homo Deus Dan Wacanasolusi (Suatu Tinjauan Filsafat Sosial) Sermada Kelen Donatus
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Filsafat sosial bergumul dengan fenomen revolusi industri 4.0, yang menghadirkan suatu realitas masyarakat yang disebut masyarakat digital dalam era revolusi industri 3.0 dan 4.0. Peneropongannya berawal dari usaha penulis untuk melukiskan basis filsafat yang melatar-belakangi kelahiran revolusi industri dan disusul dengan pencermatan terhadap masyarakat digital dalam sistem kapitalisme neo-liberal yang sedang meraja di dunia. Jawaban terhadap pertanyaan, siapa manusia dan di mana tempat agama atau Allah dalam masyarakat digital akan dikemukakan dalam bagian tiga dan pada bagian akhir dilontarkan sebuah wacana tentang pentingnya satu mata uang yang berlaku di seluruh dunia.
Revolusi Industri Keempat, Perubahan Sosial, Dan Strategi Kebudayaan Robertus Wijanarko
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbincangan tentang datangnya era baru yang disebut Revolusi Industri keempat mulai marak dilakukan di banyak lingkup komunitas yang berbeda. Fenomena ini diperbincangkan dari perbagai sudut dan bidang kehidupan. Mulai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, industri dan perdagangan, hukum, sosial dan politik, agama, filsafat, pendidikan, sampai bidang kebudayaan. Perubahan yang terjadi ditengarai tidak hanya menyangkut cara bagaimana teknologi membantu manusia dalam mengerjakan pekerjaan dan menjalani hidupnya, tetapi juga bagaimana perubahan tersebut menyebabkan adanya proses-proses disurpsi dalam berbagai bidang kehidupan, dan bahkan, sebagaimana Klaus Schwab sendiri tengarai, akan mengubah cara kita memahami diri kita sendiri sebagai manusia.1 Dengan kata lain Revolusi Industri keempat, sebagaimana yang terjadi menyusul revolusi industri sebelumnya, tidak hanya memicu perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mengakibatkan proses- proses perubahan sosial, dan juga mengubah pandangan tentang unsur-unsur hakiki tentang manusia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengajukan kemungkinan desain strategi kebudayaan yang bisa dilakukan untuk menjawab perubahan- perubahan sosial yang terjadi, sebagai akibat berkembangnya revolusi industri keempat. Karena itu panulis akan berangkat dari pemetaan korelasi antara revolusi industri dan perubahan sosial, mulai dari revolusi industri pertama, kedua, ketiga, dan akhirnya keempat. Tentu saja korelasi revolusi industri tahap-tahap sebelumnya beserta perubahan sosial yang terjadi, disajikan di sini sejauh membantu pembaca untuk memberi gambaran tentang apa yang terjadi. Sementara korelasi antara Revolusi Industri keempat beserta konsekuensinya akan diurai sedikit lebih luas. Selanjutnya penulis akan menyajikan beberapa pemikiran untuk menyusun strategi kebudayaan sebagai jawaban adanya transformasi sosial yang terjadi.
Di Manakah allahmu? Teologi Mzm 42-43 Bagi Orang Di Zaman 4.0 Berthold Anton Pareira
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kita hidup di zaman teknologi. Perkembangannya begitu men- cengangkan sampai orang kehilangan kesadaran tentang dirinya. Dapatkah perkembangan ini tidak ada titik berhenti? Apakah yang dicari dan dirindukan manusia? Suatu dunia yang makin baik? Manusia yang makin beradab? Amerika Serikat misalnya sebagai negara yang paling canggih dalam kemampuan teknologinya tidak memperlihatkan bahwa kemajuan tek- nologinya membawa manusia makin baik. Di samping hal-hal yang menggembirakan untuk kebaikan umat manusia, kita melihat bahwa teknologi canggih untuk membunuh dan menghancurkan makin dikembangkan. Kita dapat mengatakan bahwa dia menjadi persoalan dan membawa banyak persoalan dalam dunia ini. Dunia kita tidak menjadi lebih beradab dan damai. Persoalan manusia di zaman revolusi industri 4.0 ini tidak berkurang malahan mungkin makin bertambah. Mengapa? Apakah karena orang mulai menyingkirkan Allah dalam pemikiran dan hidupnya seperti yang tampak dalam pandangan penganut Homo- deus? Saya tidak tahu. Akan tetapi, dalam konteks semacam ini para teolog (dan filsuf) tidak dapat berdiam diri. Mereka harus memberi pencerahan. Para teolog harus mempertanggung-jawabkan imannya akan Tuhan untuk membimbing umat menghayati imannya dengan lebih baik. Bagaimana kita harus menafsirkan situasi ini, mengapa orang sampai menyingkirkan Allah? Menurut Albert Schweitzer, seorang pemusik,filsuf, teolog dan dokter- misionaris (1875-1965), manusia itu bertindak etis kalau kehidupan itu suci baginya. Kalau Allah tidak ada lagi, maka manusia menjadi binatang buas. Kemajuan teknologi bisa membawa kebiadaban bila kehidupan itu tidak suci baginya.1 Tokoh besar ini menggandengkan tindakan etis dengan pengakuan akan Allah. Saya kira situasi orang yang kehilangan Allah ini patut ditanggapi dengan baik karena dampaknya bagi kehidupan juga besar sekali. Situasi orang kehilangan Allah ini mengingatkan saya akan Mzm 42- 43 di mana pertanyaan “di manakah Allahmu” muncul secara kuat dan membawa derita bagi pemazmur. Mungkin jawaban dan penderitaannya masih punya arti bagi kita. Dari sebab itu, saya mau merenungkan mazmur ini dan mencoba menanyakan maknanya bagi kita. Pertanyaan “di manakah Allahmu” adalah suatu pertanyaan yang tajam dan dapat mempunyai arti bagi siapa saja baik orang beriman maupun tak beriman.
Di Manakah allah Mereka? Suatu Renungan Berilhamkan Mzm 115 Untuk Zaman Berhala Teknologi Berthold Anton Pareira
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu tantangan terbesar bagi Gereja dan orang beriman dalam zaman modern ini ialah derasnya arus berhala baru yang melanda umat manusia. Berhala memang selalu menyertai perjalanan sejarah umat manusia sudah sejak zaman purbakala, tetapi berhala zaman sekarang dapat dikatakan baru meskipun tidak terlepas dari berhala-berhala sebelumnya. Berhala baru ini adalah dampak dari kemajuan teknologi yang luar biasa. Kemajuan ini sampai ke tingkatan orang memberhalakan ciptaannya dan memberhalakan diri sendiri. Inilah yang baru.

Page 3 of 18 | Total Record : 180