cover
Contact Name
Ahmad Fairozi
Contact Email
fairozi.unu@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnaltashwirulafkar@gmail.com
Editorial Address
Jl. H. Ramli Selatan No. 20A, Tebet, Menteng Dalam, RT.2/RW.3, Menteng Dalam, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12870
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Tashwirul Afkar
ISSN : 14109166     EISSN : 26557401     DOI : https://doi.org/10.51716/
Tashwirul Afkar adalah jurnal pemikiran keagamaan dan kebudayaan yang mempublikasikan hasil riset di kalangan sarjana dan intelektual untuk kemajuan peradaban dunia. Jurnal ini diterbitkan dua kali setahun dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020" : 6 Documents clear
Wajah Baru Islam Indonesia: Dari Kontestasi ke Pembentukan Lanskap Baru Ahmad Zainul Hamdi
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.3

Abstract

Abstrak Pertanyaan apakah jargon Islam ramah masih layak disematkan kepada Islam Indonesia adalah pertanyaan yang mulai banyak bermunculan. Tingginya angka intoleransi dan kekerasan yang terjadi di sepanjang garis narasi islam Indonesia membuat pertanyaan ini muncul ke permukaan. Setiap pemikiran dan gerakan keislaman selalu berada dalam proses dialog dan negosiasi di antara berbagai diskursus dan gerakan yang berkembang. Situasi sosial-politik juga memengaruhi perkembangan sebuah diskursus, termasuk pilihan-pilihan gerakan. Diskursus pemikiran keislaman Indonesia sejak selalu dinamis berada dalam kontestasi dan negosiasi. Wajah Islam Indonesia selalu berubah seiring dengan dinamika yang ada. Saat ini, ormas-ormas keislaman established seperti NU dan Muhammadiyah menghadapi situasi keislaman baru pasca-Reformasi. Sementara narasi keislaman resmi NU dan Muhammadiyah masih berkarakter moderat, namun berbagai fenomena di lapangan menunjukkan bahwa berbagai pertemuan dan interrelasi di antara diskursus dan gerakan keislaman yang ada mulai membentuk lanskap keislaman baru. Ada pengurus Muhammadiyah yang terang-terangan menjadi tokoh MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) di daerahnya. Begitu juga, tidak sedikit kiai NU yang bersimpati pada cara-cara dakwah FPI (Front Pembela Islam), bahkan menjadi pengurusnya. Para kiai ini menilai bahwa apa yang diperjuangkan FPI sesuai dengan apa yang dibaca di dalam kitab kuning. Anak-anak muda dari kedua organisasi tersebut juga mulai membentuk identitas keislaman baru.   Abstract The question of whether a friendly Islamic jargon still deserve to be attached to the Indonesian Islam has emerged frequently in a recent time. The high rate of intolerance and violence along the lines with the Indonesian Islamic narratives has raised this question. However, every Islamic thought and movement is always in the process of dialogue and negotiation among various developing discourses and movements. The socio-political situation also affects the development of the discourse, including the choices of movements. The discussion of Islamic thought in Indonesia has always been dynamic and has been in contestation and negotiation. The face of Indonesian Islam always changes along with the existing dynamics. Currently, the established Islamic mass organizations such as Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah are facing a new Islamic situation in the post-Reformation. While the official Islamic narratives of NU and Muhammadiyah are still on a moderate character, various phenomena in the field have shown that various meetings and interrelationships between existing discourses and Islamic movements have begun to form a new Islamic landscape. For instance, there are some Muhammadiyah officials who openly become leaders of the MTA (Majelis Tafsir Al-qur’an/Al-Qur'an Tafsir Council) in their areas. Likewise, there are a few NU kiais who are sympathetic to the methods of preaching of FPI (Front Pembela Islam/Islamic Defender Front), and even become its leaders. These kiais consider what’s FPI fighting for is in accordance with what they read in their classical religious references (kitab kuning). Young generations from the both organizations have also started to form a new Islamic identity.
Kontestasi Loyalis, Kritikus dan Orientalis Tentang Wahhabisme Badrus Samsul Fata
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.4

Abstract

Abstrak Sejak kemunculannya, Wahhabisme telah menjadi sasaran kontestasi antara loyalis dan kritikus. Para loyalis telah menggambarkan Wahhabisme sebagai gerakan puritan, revivalis, modern dan bahkan gerakan reformasi teologis Islam. Di sisi lain, para kritikus telah memposisikan Wahhabisme sebagai teologi sesat (bid'ah), ideologi dan gerakan subversif dan menyesatkan, menyimpang dari jalan salaf al-s{a>lih}. Apa yang masih hilang dalam potret ini adalah wacana orientalis tentang Wahhabisme. Dengan menggunakan teori postkolonial yang tersedia saat ini, makalah ini membahas wacana orientalis tentang Wahhabisme dan mengkaji bagaimana mereka telah membentuk studi Islam dalam lingkungan akademik kontemporer.   Abstract Since its emergence, Wahhabism has been subject to contestation between loyalists and critics. The loyalists have been portraying Wahhabism as a puritan, revivalist, modern and even an Islamic theological reform movement. On the other hand, the critics have been positioning Wahhabism as a heretical theology (bid‘ah), a subversive and misleading ideology and movement, deviating from the pious paths of most forefathers (salaf al-s{a>lih}). What is still missing in the picture is the orientalist discourses on Wahhabism. Using the currently available postcolonial theories, this paper will discuss the orientalist discourses on Wahhabism and examine how they has been shaped Islamic studies in the contemporary academic milieu.‎
Advokasi Inklusi Sosial dan Politik Kewarganegaraan: Pengalaman Advokasi Penghayat Marapu di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur Husni Mubarok
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.14

Abstract

Abstrak Advokasi pluralisme agama umumnya stagnan, jika bukan gagal. Komunitas minoritas masih mengalami diskriminasi atau pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan walaupun beragam advokasi telah dilakukan. Di tengah situasi tersebut, advokasi inklusi sosial menawarkan terobosan baru. Melalui trilogi (penerimaan sosial, pelayanan publik, dan perubahan kebijakan), advokasi tersebut berhasil mendorong pemerintah mencatat data kependudukan penghayat Marapu (Akta Kelahiran) yang sebelumnya tidak diakui lantaran agama atau keyakinannya. Studi ini akan menjelaskan mengapa advokasi inklusi sosial terhadap komunitas Marapu berhasil dan bagaimana implikasinya terhadap politik kewarganegaraan di Indonesia. Menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara, observasi lapangan, dan membaca dokumen-dokumen advokasi, studi ini menemukan bahwa inklusi sosial sebagai framework dalam advokasi tersebut efektif dalam menghasilkan perubahan. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa model demokrasi inklusif yang menekankan deliberasi warga, termasuk kelompok rentan, lebih tepat untuk menjelaskan politik kewarganegaraan di Indonesia dibanding penjelasan kewarganegaraan formal dan informal.   Abstract The advocacy for religious pluralism has generally stagnated, not to say failed. Minority communities still experience discrimination or violations of freedom of religion and belief. Amid this situation, the advocacy for social inclusion offers a breakthrough. Through its trilogy (social acceptance, public services, and policy changes), this advocacy has succeeded in encouraging the government to record the demographic data of Marapu adherents such as birth certificates that were previously not recognized because of their religion or belief. This study will explain why the advocacy for social inclusion in the context of the Marapu community is thriving and how it has implications for the politics of citizenship in Indonesia. Using qualitative research method: interviews, field observations, and reading advocacy documents, this study finds that social inclusion as a framework for advocacy is effectively generating change. This experience shows that an inclusive democracy model that emphasizes the deliberation of citizens, including vulnerable groups, is more appropriate to explain the politics of citizenship in Indonesia for minority groups rather than the formal and informal explanations of citizenship.
Gus Dur dalam Keberagaman Pendidikan Islam Nur Solikhin
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.16

Abstract

Abstrak Persepsi publik seringkali menganggap bahwa pendidikan Islam hanya fokus di lembaga formal. Apabila persepsi itu terus langgeng, maka pendidikan Islam akan sulit untuk menjawab tantangan modernitas.  Artikel ini memaparkan bagaimana cara kerja pikiran Gus Dur dalam pemikiran pendidikan Islam. Teori persepsi diri digunakan untuk melihat proses pembentukan konsep diri, harga diri dan presentasi diri Gus Dur. Dengan pendekatan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data dokumentasi, studi ini menemukan bahwa pada bagian konsep diri, proses pembentukan diri Gus Dur dilakukan melalui pengalaman, pengetahuan, tingkah laku, penilaian orang lain, perhatian, minat dan suasana hati. Hal yang membentuk konsep diri Gus Dur, yaitu orang, buku dan situasi. Pada bagian harga diri, terdapat nilai-nilai yang melekat pada diri Gus Dur dan nilai yang diperjuangkannya. Pemikiran pendidikan keislaman Gus Dur tidak secara tiba-tiba, tapi melalui pembentukan konsep diri dan harga diri. Gus Dur mempresentasikan pemikirannya tentang pendidikan Islam untuk menjawab tantangan modernitas.   Abstract The public perception often perceives that Islamic education has only focused on formal institutions. If this perception continues, Islamic education will find it difficult to answer the challenges of modernity. This article describes how Gus Dur's thoughts evolve around Islamic education discourses. Self-perception theory is used to see the process of forming self-concept, self-esteem and self-presentation of Gus Dur. With a qualitative method approach and a documentation data technique, this study found that in the self-concept section, Gus Dur's self-formation process was carried out through experience, knowledge, behavior, other people's judgments, attention, interests and self-mood. Gus Dur's self-concept was shaped by people, books and socio-political situations. On the part of self-esteem, there are some inherent values of Gus Dur that he fought for in his entire life. The thought of Gus Dur about the issue of Islamic education were not sudden, but through the formation of self-concept and self-esteem. Gus Dur presented his thoughts on Islamic education to answer the challenges of modernity.
Hukum Islam dalam Tradisi Masyarakat Nahdliyyin: Implementasi Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal di Indramayu Nurkholis Sofwan
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.17

Abstract

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman dan praktik fidyah salat bagi orang yang telah meninggal sebagai tradisi masyarakat Nahdiyyin di Indramayu. Doktrin adanya fidyah salat memang menimbulkan kontroversi yang cukup sengit di tengah masyarakat, ada yang pro dan kontra. Meski demikian, sebagian masyarakat meyakini bahwa fidyah salat merupakan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, sebagaimana ditulis dalam kitab-kitab al-Syafi’iyyah seperti Niha>yah al-Zai>n, Tarsyi>ḥ al-Mustafi>di>n, dan Iʻa>nah al-Ṭa>libi>n. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pemahaman masyarakat terhadap fidyah salat bagi orang meninggal dan pelaksanaan tradisi fidyah salat bagi orang meninggal yang dilakukan masyarakat Nahdliyyin di Indramayu. Penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif deskriptif. Adapun teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan dua cara yaitu kepustakaan (library research) dan lapangan (field research). Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah kitab-kitab al-Syafi’iyyah sebagai sumber rujukan masyarakat Nahdliyyin tentang fidyah salat, dan studi lapangan dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi terhadap masyarakat Indramayu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu dipahami sebagai suatu ih}t}iya>t} (kehati-hatian) terhadap salat yang pernah ditinggalkan oleh kerabat yang meninggal. Tradisi fidyah ini dilakukan dengan cara membolak-balikkan beras/uang dari wali kepada fakir miskin, dan sebaliknya sebanyak belasan hingga puluhan kali. Hal ini dilakukan untuk menutupi utang salat seseorang yang diasumsikan pernah meninggalkan salat selama seumur hidupnya. Abstract This paper aims to describe the understanding and practice of fidyah prayer for people who have died as a tradition of Nahdliyyin’s community in Indramayu. The doctrine of their fidyah prayer has caused a fierce controversy in the community, there are pros and cons. However, some people believe that fidyah prayer is the teaching of Islam Ahl al-Sunnah Waljama'ah, as written in the books of al-Syafi'iyyah like Nihayah al-Zain, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn,and I'ānah al-Talibīn. The questions pursued in this study are; 1) How does the Nahdliyyin community in Indramayu against Fidyah prayers for the deceased?; 2) How do the practices of Fidyah prayers tradition being  performed by the Nahdliyyin community in Indramayu?. This study employs a descriptive qualitative metodh. The technique of data collection is done in two ways: library research and field research. Literature study is conducted by examining the books of al-Syafi'iyyah as a reference source of Nahdliyyin community about fidyah prayer, while the field studies are conducted through observation, interview and documentation to the community in Indramayu. This study concluded that fidyah prayer tradition in Indramayu community is understood as iḥṭiyāṭ (prudence) to the prayers which might abandoned by relatives who died. Fidyah tradition is done by rotating back and forth the rice / money from the family to the poor, and vice versa as many as a dozen to tens of times. This is done to cover the assumed debt of praying belong to someone who might abandoned it during his/her lifetime.
Sekularisasi dalam Pertarungan Simbolik: Studi Konflik Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Manislor Kuningan Arip Budiman
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.21

Abstract

Abstrak Ketika terjadi konflik antar umat beragama di Indonesia, tindakan penyelesaian yang diambil oleh pemerintah tentunya harus mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab, jika pemerintah tidak mengacu pada kedua dasar itu, yang terjadi adalah tindakan diskriminasi, seperti tindakan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip sekularisasi dalam menangani konflik keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi. Data diperoleh melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan tokoh Ahmadiyah, pemerintah, dan Ormas Islam yang berpengaruh di Kabupaten Kuningan. Studi ini menemukan bahwa prinsip sekularisasi tidak berjalan dengan baik di Kabupaten Kuningan di mana pemerintah Kabupaten Kuningan beritndak cukup diskriminatif terhadap pemenuhan layanan dasar Jemaat Ahmadiyah di Manislor dengan mennangguhkan e-KTP yang berdampak pada pencatatan nikah.   Abstract When there is a conflict between religious communities in Indonesia, the resolution taken by the government should refer to Pancasila and the 1945 Constitution. If the government does not refer to these two principles, it can trigger the acts of discrimination, such as the government’s decisions in resolving the conflict of the Ahmadiyah Community of Indonesia (JAI). This study aims to determine the implementation of the principle of secularization in dealing with religious conflicts of the Ahmadiyya Community in Kuningan. The methodology used in this research is qualitative with an ethnographic approach. The data were obtained through observation, documentation, and interviews with influential Ahmadiyah figures, officials from the government and leaders of Islamic organizations in Kuningan District. This study found that the principle of secularization did not work well in Kuningan District where the Kuningan Regency government was discriminatory towards the fulfillment of basic services of the Ahmadiyah Community in Manislor by suspending e-ID Card which had some serious impacts including on the marriage registration.

Page 1 of 1 | Total Record : 6