cover
Contact Name
Nasaruddin
Contact Email
nasarhb@gmail.com
Phone
+6285242574293
Journal Mail Official
jtajdid@gmail.com
Editorial Address
LP2M Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima, Gedung Lantai III, Jln. Anggrek No. 16 Ranggo NaE Kota Bima NTB, Telp. 0374-44646, Fax. 0373-45267
Location
Kota bima,
Nusa tenggara barat
INDONESIA
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan
Published by IAI Muhammadiyah Bima
ISSN : 25498983     EISSN : 26146630     DOI : https://doi.org/10.52266/tadjid
TAJDID merupakan jurnal pemikiran keislaman dan kemanusiaan. Frekuensi penerbitan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun setiap bulan April dan Oktober oleh LP2M IAI Muhammadiyah Bima. TAJDID akan menyajikan ide-ide yang up to date disertai dengan solusi-solusi yang relevan seputar pemikiran keislaman dan kemanusiaan. Terlepas dari itu, secara tehknisnya bahwa TADJID hadir untuk mempermudah penulis, peneliti, mahasiswa, guru bahkan stakeholder lainnya yang berkepentingan akan teori-teori yang relevan yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan/referensi secara luas. TAJDID berkomitmen kuat akan selalu hadir sebagai solusi dalam konteks pengembangan keilmuan dibidang keagamaan dan kemanusiaan (sosial).
Articles 131 Documents
WAJAH ISLAM NUSANTARA PADA TRADISI PETA KAPANCA DALAM PERKAWINAN ADAT BIMA Muhammad Aminullah; Nasaruddin Nasaruddin
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.1

Abstract

Penyelenggaraan peta kapanca dalam masyarakat Bima telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Hadirnya peta kapanca dalam perkawinan adat Bima, merupakan bagian dari respon masyarakat terhadap kebudayaan yang berbasis Islam. Bentuk-bentuk akulturasi Islam dengan budaya Bima atau dalam istilah lain disebut dengan pribumisasi Islam pada tradisi peta kapanca dapat dilihat pada; pertama, pembacaan shalawat dan do’a pada saat dimulainya prosesi boho oi mbaru atau mandi uap dengan bunga-bunga. Kedua, iringan hadrah pada saat prosesi kalondo wei. Ketiga, pembacaan kalam ilahi yang kemudian dilanjutkan dengan jiki kapanca yang berisi pembacaan maulid syaraful anam saat prosesi peta kapanca. Keempat, prosesi peta kapanca yang berjumlah ganjil, melambangkan bahwa Allah swt. menyukai sesuatu yang ganjil dan hiasan bunga-bunga telur yang berjumlah sembilan buluh sembilan buah, melambangkan asmaul husna. Proses pribumisasi Islam pada tradisi peta kapanca itulah yang kemudian membentuk pola atau corak Islam yang khas Bima yang merupakan wajah Islam Nusantara.
Deradikalisasi Agama Melalui Pesantren Nunung Laksamana
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.2

Abstract

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, yang telah memainkan peranannya dalam perkembangan bangsa. Namun, akhir-akhir ini pesantren sering dikaitkan dengan aksi radikalisme dengan mengatasnamakan agama Islam. Tulisan ini akan mengkaji hal-hal yang menghambat terwujudnya kerukunan antar umat beragama, bagaimana sikap dan peran santri dalam mewujudkan kerukunan tersebut dengan melihat aspek sosio-historisnya, serta bagaimana problem solvingnya. Pemahaman terhadap nash yang hanya memperhatikan aspek tekstual saja tanpa mempertimbangkan aspek kontekstualnya akan melahirkan pemahaman yang tidak komperhensif, sehingga muncul aksi-aksi radikalisme yang menghambat terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Dalam hal ini, permasalahannya bukan terletak pada pesantren secara umum, tetapi metode yang digunakan oleh sebagian pesantren dalam memahami teks agama. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia maupun dalam membangun kerukunan antar umat beragama. Tradisi-tradisi yang diterapkan di pesantren dapat membangun pemahaman tentang pluralisme bagi para santri, yaitu tradisi keilmuan dan keagamaan. Melalui kedua tradisi tersebut, santri dapat memahami makna pluralisme yang sebenarnya.
Semantik Al-Qur’an (Sebuah Metode Penafsiran) Fauzan Azima
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.3

Abstract

Sejak Masa Nabi saw., telah banyak usaha yang dilakukan oleh para ulama untuk mengungkapkan makna dan isi yang terkandung di dalam al-Qur ’an. Banyak metode-metode yang mereka gunakan untuk mengungkap inti dan konsep-konsep yang ditawarkan al-Qur ’an. Metode-metode pentafsiran tersebut semakin berkembang dari generasi ke generasi. Mulai dari era klasik dengan metode tafsir tematiknya, era modern dengan beragam metode tafsir mulai dari tafsir sastra, tafsir ‘ilmi dan lainnya, hingga era kontemporer dengan menggunakan metode linguistik yang diadopsi dari keilmuan Barat. Salah satu metode pentafsiran yang digunakan saat ini adalah metode semantik. Semantik sendiri merupakan sebuah metode yang meneliti tentang makna-makna dan konsep-konsep yang terdapat pada kata di dalam al-Qur’an dengan mempelajari langsung sejarah penggunaan kata tersebut, bagaimana perubahan maknanya, dan pembentukan konsep yang terkandung di dalam kata tersebut. Semantik al-Qur ’an menggunakan pendekatan sosio-linguistik untuk mengungkapkan pembentukan konsep yang dikandung dalam sebuah kata di dalam al-Qur ’an. Metode ini diawali dengan penjelasan definisi kata, pengungkapan kesejarahan kata dari awal kata tersebut diucapkan oleh masyarakat Arab hingga digunakan dalam al-Qur ’an, hubungan antara kata tersebut dengan kata yang lain di dalam ayat maupun surah (munasabah), dan menjelaskan konsep- konsep yang terkandung di dalamnya hingga membentuk sebuah pandangan dunia al-Qur ’an.
Larangan Tasyabbuh Dalam Perspektif Hadist Nablur Rahman Annibras
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.4

Abstract

Meniru budaya atau tradisi milik bangsa lain merupakan buah dari adanya interaksi sosial antara dua entitas atau kultur yang berbeda. Persinggungan budaya semacam ini membuka peluang adanya keterpengaruhan suatu kelompok atas tradisi atau kebiasaan kelompok lain. Keterpengaruhan yang kemudian melahirkan peniruan-peniruan tradisi seperti yang telah dicontohkan sebelumnya. Dalam ranah kajian Islam, konsep seperti ini dinamakan dengan nama tasyabbuh. Tasyabuh merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Sebagaimana yang terdapat dalam banyak hadis, bahwa Rasulullah melarang akan praktek tasyabbuh tersebut khususnya terhadap tradisi atau kebiasaan dari kaum Yahudi dan Nasrani. Dalam memaknai hadis-hadis tentang tasyabuh tersebut, terjadi perbedaan pendapat dikalang para ulama terkait boleh atau tidaknya tasyabuh khususnya meniru tradisi kaum Yahudi dan Nasrani. Melalui kajian matan dan sanad, bahwa hadis-hadis yang menjelaskan tentang larangan tasyabuh terhadap tradisi-tradisi kaum non-Muslim khususnya kaum Yahudi dan Nasrani merupakan bentuk perlindungan atas identitas ke-Islaman umat Muslim. Dalam hal ini, tasyabuh merupakan sebuah pelanggaran apabila bertentangan dengan akidah dan syariah, yaitu tidak menyinggung kaidah-kaidah normatif agama baik itu nash al-Qur ’an maupun al-Sunnah serta bukan bagian dari kebiasaan khusus kaum Yahudi dan Nasrani.
Pendekatan Social Exchange Perspekstif George C. Homans Umar Umar
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.5

Abstract

Struktur sosial kehidupan manusia secara hakikat saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Seorang manusia dalam konteks hubungan sosial antar sesamanya, dianggap memiliki kontribusi bagi manusia lainnya bilamana melakukan transaksi sosial kemanusiaan. Konsep transaksi sosial inilah yang dijabarkan George C. Homans dalam teori- nya social exchange yang secara subtantif menjelaskan bentuk-bentuk proposisi sosial manusia mulai dari proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu-agresi yang sejatinya muatan proposisi tersebut dapat menjadi fondasi pembelajaran sosial manusia. Teori sosial exchange juga erat hubungan dengan deskripsi perilaku yang saling me- mengaruhi dalam membangun hubungan sosial seperti adanya unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan yang dapat menciptakan keseimbangan, keselarasan, dan kerharmonisan hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Pesantren Menurut Cak Nur Dan Yudian Wahyudi Yan Yan Supriatman
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.6

Abstract

Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia, dan merupakan lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Kyai, santri dan ada masjid serta santri yang tinggal menetap di lingkungan pesantren menjadi kompenen dan syarat sehigga bisa dikatakan sebagai sebuah pesantren. Dalam penelitian ini mengkaji tentang bagaimana konsep pendidikan pesantren menurut Cak Nur dan Yudian Wahyudi dengan eksistensinya di Era Modern sekarang. Fokus kajian dikaji yang terdiri kurikulum, metode pengajaran yang digunakan, materi ajar, sistem sebagai sebuah lembaga pendidikan dan pengaruh kyai serta peran para santri. Dalam memperoleh data, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan library research yang kemudian data di analisis dengan cara komparatif. Diantara hasil penelitian yang didapat adalah masing-masing konsep pesantren baik oleh Cak Nur maupun Yudian Wahyudi memiliki kelebihan tersendiri. Konsep pesantren yang oleh Cak Nur hanya bersifat teoritis saja karena sampai sekarang Cak Nur belum memiliki pesantren. Sedangkan konsep pesantren oleh Yudian Wahyudi selain berguna secara teoritis juga telah diaplikasikan ke dalam pesantren yang dimilikinya sendiri yang terletak di daerah Yogyakarta. Namun kedua tokoh tersebut sama-sama pernah menimba ilmu di pesantren dan sama-sama lulusan salah satu Universitas terkemuka di luar negeri
Oksidentaslisme: Menuju Integralisasi Epistemologi Studi Islam Anwar Sadat
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.7

Abstract

Oksidentalisme adalah studi tentang Barat atau segala sesuatu yang berkaitan dengan Barat baik ilmu pengetahuan, budaya, politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Oksidentaslisme merupakan gagasan orisinil Hasan Hanafi untuk membendung arus kolonialisasi pemikiran atau membendung arus pemikiran Barat yang superior dan menganggap Timur sebagai wilayah yang dijajah secara pemikiran dan kebudayaan. Barat yang menganggap Timur Islam sebagai daerah koloni (jajahan) era baru pasca orientaslime yang digagas oleh Edward Said. Upaya meretas kolonialisasi pemikiran dan kebudayaan antara ego/al-anâ dan the other/ al-akhâr tersebut perlu adanya kesadaran bersama bahwa Timur Islam pernah memberikan konstribusi atas peradaban Barat sedangkan Barat memberikan sumbangan metodologi keilmuan yang positif atas Timur Islam. Timur dan Barat bukanlah batas geografis dan ideologis yang harus dipandang secara dikotomik-dualistik yang memperuncing perbedaan antara ego/al-anâ dan the other/al-akhâr tetapi satu kesatuan umat atau umatan wa hidah yang telah di diktum oleh Allah dalam al- Quran yang berarti satu kesatuan ummat dan satu kesatuan sumber pengetahuan dan peradaban.
Pemikiran Islam Tentang Nafs Muh. Aidil Sudarmono
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 1 (2017): April
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i1.8

Abstract

Pemahaman tentang jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Jiwa termasuk aspek trasendental yang secara johiriyah dan lahiriyah tidak dipisahkan dalam kajian tentang sisi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan terutama merujuk kajian skriptual dalam konsepsi teologi Islam. Sehubungan dengan hal itu, beragam pendapat dan pandangan dari para pemikir Islam yang mengkonstruksikan makna jiwa sebagai Nafs yang mempunyai arti sebagai roh manusia, nyawa, seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama menjadi semangat, maksud sebenarnya, arti yang tersirat, dan buah hati. Lebih lanjut lagi, telaah konsepsi teologi Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam akan bersandar pada dari akarnya yaitu al-nafs. Al-Nafs juga diartikan darah, karena seseorang apabila kehilangan darah maka ia kehilangan jiwanya. Meskipun dalam pemaknaan umum dipahami sesungguhnya jiwa dalam pandangan pemikir Islam terdapat kecnderungan memposisikan Jiwa sabagai Nafs juga berarti roh, hal ini dilihat dari beberapa ayat menyebutkan kata al-nafs dengan arti ruh yang berkaitan langsung dngan jasad manusia sebagai komponen fisik manusia. Pada aspek ini kata al-ruh dengan al- nafs memiliki kedekatan makna, al-nafs berarti bernafas dan al-ruh yang jika dijamakkan, al-arwah adalah penentu hidup atau matinya manusia.
WAHDAT AL-ADYAN: MODERASI SUFISTIK ATAS PLURALITAS AGAMA Nur Kolis
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 2 (2017): Oktober
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i2.42

Abstract

Perkembangan hubungan antara umat beragama ccenderung kehilangan spirit kemanusiaannya yang universal, berganti dengan semangat kelompok dan individu. Isu agama diangkat untuk keepentingan individu, kelompok, dan kekuasaan. Gagasan tentang pembelaan terhadap Tuhan telah menjadi gagasan yang utopis. Iman kemudian tertuju pada institusi agama, bukan kepada Tuhan. Akhirnya penganut ajaran agama lain dianggap bukan peenyembah Tuhan. Secara bertubi-tubi sikap keagamaan tersebut memicu terjadinya peperangan atas nama agama. Berbagai langkah solutif telah coba diwacanakan. Dikalangan pemikir Islam sufistik, jauh sebelum muncul wacana pluralisme agama, terdapat satu gagasan tentang waḥdat al-adyân atau “kesatuan agama-agama”. Pemikir sufistik waḥdat al-adyân menawarkan satu gagasan moderat yang humanis, dan universal dalam konteks relasi agama-agama, mengandung pesan moral yang terkait secara langsung dengan masalah harmoni kehidupan sosial keagamaan. Universalitas konsep waḥdat al-adyân terdapat pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Konsep waḥdat al-adyân dalam tasawuf dipopulerkan oleh dua tokoh sufi ternama, yaitu Husin Mansur al-Ḥallâj (w. 922 M) dan Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi wahdat al-wujûd (w. 1240 M). Al-Ḥallâj menggandengkan konsep waḥdat al-adyân dengan hulûl, sedangkan Ibn ‘Arabi. Pemikiran dua sufi tersebut saling melengkapi, al-Ḥallâj sebagai penggagas waḥdat al-adyân sedangkan Ibn ‘Arabi membuat ide-ide al-Ḥallâj menjadi sistematis.
FILSAFAT ISLAM: KEJAYAAN DAN KONFLIK DENGAN ORTODOKSI Ruslan Ruslan
TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol 1 No 2 (2017): Oktober
Publisher : LP2M IAI Muhammadiyah Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52266/tadjid.v1i2.43

Abstract

Dinamika sejarah filsafat Islam pernah mengalami kejayaan sekaligus menghadapi masalah pertentangan yang membuatnya tidak bisa berkembang secara pesat disebabkan penolakan dari kaum ortodoksi Islam. Era Ibnu Sina merupakan era kejayaan filsafat Islam dimana gagasan dan konsep pemikiran filosofisnya menjadi rujukan masyarakat pada zamannya. Berbeda dengan Sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali. Berdasarkan proses pencarian yang dilakukannya, ia menemukan bahwa kebenaran atau Islam yang orisinal itu ada pada konsep dan pemikiran yang ortodoks (murni). Konsep sang pembela Islam tidak berjalan mulus, karena Ibnu Rusyd yang merupakan salah satu tokoh penting dunia Muslim yang sering melontarkan kritikannya terhadap pemikiran Islam ortodoksi yang diwakili oleh Imam al-Ghazali. Bahkan al-Ghazali sering dituduh sebagai penyebab kejumudan dalam dunia Islam.

Page 1 of 14 | Total Record : 131