cover
Contact Name
Muh Ridha Hakim
Contact Email
jurnal.peratun@gmail.com
Phone
+6281277876163
Journal Mail Official
jurnalhukumperatun@mahkamahagung.go.id
Editorial Address
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung, Puslitbang Lt. 10 Jl. Jend. A. Yani Kav. 58, Kel. Cempaka Putih Timur, Kec. Cempaka Putih, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10510
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Hukum Peratun
ISSN : 26155222     EISSN : 26155230     DOI : https://doi.org/10.25216/peratun.%v%i%Y.%p
Core Subject : Social,
The aims of this journal is to provide a venue for academicians, researchers and practitioners for publishing the original research articles or review articles. The scope of articles published in this journal discusses various topics in the field of Administrative Law and other sections related to contemporary problems in administrative law such as: tax law, land law, environmental law, labor law, government law, Regional Government Law, Health Law, Agrarian Law, Public Policy Law, Natural Resources Law and Judicial Review.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 58 Documents
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK BERDASARKAN UU NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DI BIDANG PAJAK PUSAT DAN PAJAK DAERAH / GOOD GOVERNANCE BASED ON LAW NO.30 OF 2014 ON CENTRAL AND LOCAL TAX GOVERNMENT ADMINISTRATION NFN SUPANDI
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.1-10

Abstract

Tugas negara pada prinsipnya adalah menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga negara harus tampil ke depan, turut campur tangan, dan bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat. Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera tersebut, dibutuhkan biaya-biaya. Biaya-biaya tersebut diperoleh dari masyarakat berupa pemungutan pajak, baik Pajak Pusat maupun Pajak Daerah. Pemungutan pajak oleh negara kepada masyarakat tersebut dilaksanakan melalui Keputusan atau Surat Ketetapan (meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar) dan Tindakan (di antaranya tindakan Penagihan Seketika dan Sekaligus, tindakan Paksa, Penyitaan, Sita, Lelang, Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Penyanderaan). Baik Surat Ketetapan maupun Tindakan di bidang perpajakan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu, Surat Ketetapan dan Tindakan Perpajakan harus memenuhi semua persyaratan dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, mulai dari segi legalitas kewenangan, prosedur hingga substansinya, agar terwujud tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Untuk itu, kemampuan dan profesionalitas Badan dan/atau  Pejabat  Perpajakan Pusat maupun Daerah harus ditingkatkan melalui peningkatan pemahaman Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.The state is basically responsible to create prosperity for society, in this case, a state must come forward and actively involved in society. To achieve and create a wealthy society a state needs a funding. The funding comes from society in the form of central and local tax. A tax collection by a state to society has been implemented through a decisions or assessment letter (namely tax underpayment assessment, additional tax underpayment assessment, nil tax assessment, and tax overpayment assessment letter) and an action (namely Instant and Execution Bill action, Forced Letter, Foreclosure, Announcement of Auction, Letter of Pricing Limit Determination, Auction Cancellation, Warrant and Hostage). Either the tax decree or the action on tax was an idea as stated in Law No.30 of 2014 on Government Administration. For that reason, a tax letter and action should meet all the terms and requirements of Law No.30 of 2014, from the legality of authority, procedures, substances in order to perform a good governance. The competencies and professionality of the agency and/ or the officer of Local or Central Tax should be upgraded through the awareness enhancement on Law No. 30 of 2014.
DISKURSUS LEMBAGA EKSEKUSI NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA / THE DISCOURSE OF STATE EXECUTION INSTITUTION IN INDONESIAN LAW ENFORCEMENT NFN YULIUS
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.11-32

Abstract

Salah satu isu hukum yang sering mengemuka di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)  adalah berkaitan dengan pelaksanaan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi Putusan PTUN cenderung menghadapi kendala, sehingga merugikan pencari keadilan. Penyebabnya secara in abstracto terletak pada norma pengaturan pelaksanaan putusan yang masih belum tegas, sedangkan secara in concreto penyebabnya adalah ketidakpatuhan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap hukum. Secara substansi (legal substance), pengaturan eksekusi upaya paksa di PTUN yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan TUN belum cukup memadai, dan demikian juga dengan struktur hukum lembaga eksekusi di PTUN yang hanya berpedoman pada jurusita dan pengawasan ketua PTUN, tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga pelaksanaan eksekusi tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis melakukan penelitian hukum ini. Berdasarkan konsep Pengembangan Hukum Nasional, tujuan pembentukan PTUN terkait dengan falsafah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dilindungi dan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakat. Salah satu wujud perlindungan hukum tersebut adalah dilaksanakannya setiap putusan PTUN yang telah berkekuatan tetap. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang pembentukan lembaga hukum baru yang khusus menjalankan fungsi eksekutorial lembaga peradilan. Keberadaan lembaga hukum yang baru ini, dengan mengingat adanya teori pembagian kekuasaan, semestinya berada di bawah jajaran lembaga eksekutif setingkat menteri. Nomenklatur yang tepat bagi lembaga pelaksana putusan pengadilan tersebut menurut Penulis adalah Lembaga Eksekusi Negara (LEN). LEN ini bukan hanya diperuntukkan bagi PTUN, melainkan juga lembaga peradilan lain dapat melimpahkan kewenangan eksekusinya ke LEN, agar pengaturan dan pelaksanaan eksekusi bersifat komprehensif.One of the legal issues often arise in the Administrative Court is the decision implementation of the Administrative Court (PTUN) which already has a permanent legal force. PTUN decision execution tend to face obstacles, thus harming seekers of justice. The in abstracto cause lies in the indecisiveness of decision implementation regulation norm, while the in concreto cause lies in the non-compliance of agencies and/ or government officials against the law. Substantively, PTUN regulation of forced execution regulated in the Administrative Law has not been sufficient. The legal structure of the execution institution in PTUN which is only guided by the bailiff and the supervision of the Head of the Administrative Court, also can not run properly. In result the execution was not effective. To answer the problem, the writer undertake this legal research. Based on the concept of national law development, the aim of PTUN founding was related to a nation of law based on Pancasila and UUD 1945, for that reason, the individual right was protected.The manifestation of legal protection is the decision implementation of PTUN which has permanent legal force. Therefore, there is a need to regulate the formation of new legal institutions that specifically carry out the judicial executive function of the judiciary. The existence of this new legal institution, in view of the theory of power-sharing, should be under the rank of the ministerial executive body. The right nomenclature for the executing agency of the court decision according to the Author is the State Execution Institution (LEN). This LEN is not only for PTUN, but also other judicial institutions can delegate its executive authority to LEN, so that the execution order and execution are comprehensive.
URGENSI HARMONISASI HUKUM DI BIDANG PENANGGULANGAN MALADMINISTRASI BERUPA PENYALAHGUNAAN WEWENANG (SEBUAH REFLEKSI ATAS PUTUSAN MK NO. 25/PUU-XIV/2016) / CRIMINAL AND ADMINISTRATIVE LAW: AN URGENT NECESSITY OF HARMONIZATION IN ERADICATING MALADMINISTRATION ASSOCIATED WITH ABUSE OF POWER (A REFLECTION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION NO. 25 YEAR 2016) ENRICO SIMANJUNTAK
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.33-56

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 mengkonfirmasi batas pertanggung-jawaban administrasi dan pidana, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) maupun kebijakan legislasi lain. Upaya pemberantasan korupsi dengan pendekatan represif cenderung menafikan sarana hukum administrasi dalam mencegah terjadinya kejahatan tipikor yang sebenarnya dari sudut pandang hukum administrasi merupakan salah satu bentuk maladministrasi. Putusan MK ini perlu ditindaklanjuti dalam kebijakan legislasi ke depan, agar lebih diatur hubungan antara: (1) Harmonisasi pengertian keuangan negara; (2) Harmonisasi antara pengembalian kerugian negara dalam hukum pidana dan hukum administrasi; (2) Harmonisasi Kelembangaan Antara Pengawas Internal dan Eksternal; (3) Sinkronisasi upaya hukum sebagaimana dimaksud pasal 35 PP. No. 48/2016.The Constitutional Court decision No. 25/PUU-XIV/2016 confirms administrative and criminal responsibility boundary, as defined in Government Administrative Act (UUAP) and other legislation policies. Efforts to eradicate corruption by repressive approach tend to deny the means of administrative law in preventing corruption which is from the point of view of administrative law, corruption is one form of maladministration. This Constitutional Court's decision needs to be followed up by harmonization in the legislation policy in the future concerning (1) Harmonization of state financial defenition; (2) Harmonization between the return of state losses in criminal law and administrative law; (2) Harmonization of between Internal and External Supervisors; (3) Synchronization of legal remedies as referred to Article 35 PP. No. 48/2016.
PENERAPAN PERADILAN ELEKTRONIK DI LINGKUNGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA / THE IMPLEMENTATION OF ELECTRONIC COURT IN ADMINISTRATIVE JUDICIARY NFN SUDARSONO
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.%p

Abstract

Dalam mewujudkan amanat Konstitusi untuk menegakkan hukum dan keadilan, Peradilan harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dalam upaya mewujudkan Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi tersebut, perlu diterapkan penyelesaian perkara secara daring (online) oleh Peradilan Elektronik. Peradilan Elektronik ini sejalan dan mendukung penerapan asas-asas umum peradilan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk rechtpraak), sehingga dapat mencegah perilaku maladministrasi dan koruptif. Pada dasarnya, dengan memberdayakan sumberdaya yang telah dimiliki saat ini (baik berupa perangkat aturan hukum, perangkat teknologi, hingga sumber daya manusia), Peradilan Tata Usaha Negara dapat menyelenggarakan Peradilan Elektronik Sebagian, yang meliputi pelayanan Pendaftaran, Pembayaran, Pemanggilan, Replik, Duplik dan Kesimpulan secara elektronik. Mahkamah Agung hanya perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung dan menyiapkan aplikasi untuk menyelenggarakan Peradilan Elektronik Sebagian ini. Adapun penyelenggaraan Peradilan Elektronik Sepenuhnya (yang meliputi semua tahapan Hukum Acara dan Administrasi Perkara) belum dapat dilaksanakan akibat kendala Hukum Acara, untuk itu dalam penerapan Peradilan Elektronik Sepenuhnya terlebih dahulu harus dilakukan perubahan atas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.In realizing the mandate of the Constitution to enforce law and justice, the Judiciary should be done in a simple, quick and light cost as stated by Act Number 48 of 2009. In an effort to realize a simple, fast and light cost judiciary in accordance with the information technology advances, online court settlement is required by The Electronic Court. The Electronic Court is in line and supports good judicial general principles (algemene beginselen van behoorlijk rechtpraak), so as to prevent maladministration and corrupt behavior. In essence, by empowering existing resources (in the form of a set of rules of law, technological devices, to human resources), The Administrative Court of Indonesia may administer Partial Electronic Court, which includes the services of Registration (Pendaftaran), Payment (Pembayaran), Summons (Panggilan Sidang), Reply (Replik), Rejoinder (Duplik) and Conclusion (Kesimpulan) electronically. The Supreme Court only needs to issue a Supreme Court Regulation (Peraturan Mahkamah Agung) and prepare an application to administer this Partial Electronic Court. Whereas the Full Electronic Court (which covers all stages of the Procedural Law and Case Administration) can not be implemented due to the constraints of the Procedural Law, therefore, in the application of the Full Electronic Court, the Law of Procedure must be amended as stipulated in Act Number 5 of 1986 was amended twice last by Act Number 51 of 2009.
KONSTRUKSI MAKNA IZIN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN VERSUS KEBIJAKAN KEMUDAHAN INVESTASI DI PROVINSI LAMPUNG / MEANING CONSTRUCTION OF LICENSE AS THE CONTROL INSTRUMENT VERSUS THE EASE INVESTMENT POLICY IN LAMPUNG PROVINCE NFN FATHONI; S TISNANTA
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.%p

Abstract

Izin merupakan instrumen yang paling sering digunakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu fungsi izin adalah sebagai instrumen pengendalian dan pengawasan pemerintah bagi masyarakat, termasuk dunia usaha. Isu paling penting bagi dunia adalah kemudahan perizinan usaha, termasuk dalam hal investasi dengan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di daerah. Semakin mudah prosedur perizinan, maka persepsi investor terhadap iklim investasi semakin baik, namun secara teori, maka fungsi pengendalian izin akan semakin longgar. Penelitian ini hendak membahas tentang paradoksal antara penyederhanaan perizinan yang berlangsung di Provinsi Lampung dengan semakin longgarnya fungsi pengawasan izin. Pembahasan dalam penelitian ini akan dibedah dengan menggunakan metodologi penelitian hukum yang bercorak normologis, sehingga hukum dipahami sebagai seperangkat norma peraturan tertulis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perizinan investasi sebagai bahan hukum. Hasil penelitian akan diupayakan untuk mengonstruksi pemaknaan penyederhanaan izin yang tidak menghilangkan fungsinya sebagai instrumen pengendalian. Penyederhanaan perizinan dimaknai sebagai pemangkasan rantai birokrasi, bukan pengurangan fungsi izin sebagai instrumen pengendalian.License is the instrument which is the most often used by the government in the administration. One of the functions of the permit is as an instrumen of control and supervision of the government for the community, including the business world. The most important issue for the world is the ease of business licensing, including in terms of investment with the implementation of one-stop service (PTSP) in the region. The easier the licensing procedure, the investor perceptions of the investment climate the better, but in theory, the permission control function will be looser. This research is about to discuss about the paradox between simplification of licensing which take place in Lampung Province with increasingly control function of permit supervision. The discussion in this study will be dissected by using legal research methodology that is patterned norm, so that law is understood as a set of norms of written regulation. The approach used is the approach of legislation applicable in the field of investment licensing as legal material. The results of the research will be attempted to construct the meaning of simplification of license which does not eliminate its function as control instrument. The simplification of licensing is interpreted as the cutting of the bureaucratic chain, not the reduction of the function of the license as a control instrument.
WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA / THE AUTHORITY OF FINANCIAL AND DEVELOPMENT MONITORING AGENCY IN AUDITING THE STATE FINANCIAL LOSSES TRI CAHYA INDRA PERMANA
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.%p

Abstract

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan, kewenangan BPKP untuk menghitung atau mengaudit kerugian keuangan negara tetap ada. Adapun kewenangan BPKP yang tidak diperbolehkan adalah men-declare atau menyatakan adanya kerugian keuangan negara. Hal tersebut sesuai dengan beberapa putusan badan peradilan, baik putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.With the enactment of Supreme Court Letter Number 4 Year 2016 who said that the authorized agency in declaring the state financial losses is BPK (Financial Examiners Board), Authorization of BPKP (Financial and Developmen Monitoring Agency) in auditing/counting state financial losses still exist. This is in accordance with some of court decisions such as constitutional court and both criminal court and administrative court.
KEPUTUSAN FIKTIF POSITIF SEBAGAI BENTUK REFORMASI BIROKRASI BERDASARKAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE / FICTIVE POSITIVE DECISION AS A FORM OF BUREAUCRATIC REFORM BASED ON THE GOOD GOVERNANCE PRINCIPLES BAGUS TEGUH SANTOSO; NFN SADJIJONO
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.112018.%p

Abstract

Hadirnya perubahan paradigma dan konsep terkait keputusan tata usaha negara dari yang semula fiktif negatif sesuai ketentuan Pasal 3 UU PTUN, menjadi keputusan fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU AP mencerminkan adanya spirit peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari reformasi birokrasi bagi aparatur pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada perkembangannya, PTUN tidak hanya menguji terhadap sengketa kepegawaian, namun juga berperan aktif memberikan perlindungan terhadap rakyat apabila terdapat tindakan dan/atau keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dinilai merugikan kepentingan konstitusional (cacat yuridis dan/atau maladministrasi). Melalui semangat perubahan dalam pasal 53 UU AP jo Perma No 8 Tahun 2017 tentang konsep Keputusan Fiktif Positif, menjadikan pemerintah bersikap responsif dan komunikatif ketika melakukan pelayanan publik. Artinya apabila 10 hari kerja atau batas waktu tertentu sesuai amanat perundang-undangan permohonan yang diajukan oleh warga masyarakat/subjek hukum telah diterima dan berkas lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, namun badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau memberikan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Dengan demikian, diam/lambatnya pemerintah dalam melakukan pelayanan publik, berdasarkan UU AP menjadikan tindakan tersebut sebagai objek sengketa pemerintahan yang dapat dipersoalkan melalui PTUN agar badan dan/atau pejabat pemerintahan melaksanakan dan/atau memberikan permohonan yang dimohonkan tersebutThe emerge of the fictive positive decision as mention in Act No 30/2014 as previously known as the negative decision in article 3 Administrative Court Act (Act No 5/1986 jo 9/2004 jo 51/2009) reflecting the spirit of bureaucratic reform in the frame of public service (bestuurzorg). In the spirit of changes, nowadays in the article 53 Government Administration Act jo Supreme Court Regulation No 8/ 2017 about fictive positive decision concept, enhance the public officer/government to be transparent and communicative (perceptive) in order to the public service. It means, if 10 work day or the due date was selected in law provision about proposal which has been sent by applicant and the document has accepted fully by public officer or government and the public officer or government not immediately answer the proposal, so the proposal automatically will be accepted legally. Thus, the stagnant (silent) of the public officer or the government in order to public service duty, referring to Administrative Government Act make it becomes part of the government dispute and incompetence in assessing by the administrative court, so that the final decree from the administrative court can be forcing to the public officer or government to do the command and take the executive action or the executive decision to issued the proposal which has applied before for the applicant interest.
TRANSPLANTASI KETENTUAN SANKSI ADMINISTRATIF PADA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2016 DALAM PROSES EKSEKUSI OLEH KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA / TRANSPLANTATION OF PROVISIONS ON ADMINISTRATIVE SANCTIONS ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 48 OF 2016 IN THE PROCESS OF EXECUTION BY THE CHIEF OF ADMINISTRATIVE COURT nfn MULYONO; nfn SUDARSONO; nfn AGUSTONO
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.122018.145-162

Abstract

Kendala utama belum dapat dilaksanakannya penjatuhan sanksi administratif terhadap Pejabat Pemerintahan yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah belum diterbitkannya peraturan perundang-undangan sebagai aturan pelaksananya. Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan, muncul wacana untuk mentransplantasi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tersebut dalam pelaksanaan Eksekusi oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk itu, dilakukanlah penelitian hukum ini, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasilnya adalah ketentuan sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 dapat diterapkan secara mutatis mutandis oleh Ketua Pengadilan dalam pelaksanaan Eksekusi terhadap Pejabat Pemerintahan yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.The main obstacle to the implementation of administrative sanctions imposed on Government Officials who are not willing to implement the Decision of the Administrative Court which has permanent legal force as intended by Article 116 paragraph (4) of Law Number 51 of 2009 is not yet the issuance of legislation as the implementing rule . With the enactment of Government Regulation Number 48 of 2016 about Procedures for Imposing Administrative Sanction to Government Officials, there is a discourse to transplant the provisions of Government Regulation Number 48 of 2016 in the implementation of the Execution by the Chief of the Administrative Court. For this reason, this legal research was carried out, with a statute approach and a conceptual approach. The result is that the provision of administrative sanctions in Government Regulation Number 48 of 2016 can be applied mutatis mutandis by the Chief of the Administrative Court in the Execution of Government Officials who are not willing to enforce a Court Decision that has permanent legal force.
CARA MUDAH PAHAMI PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN MELALUI KONSEP 3 IN 1 IN THE LAND ACQUISITION / HOW TO EASILY UNDERSTAND LAND PROCUREMENT FOR DEVELOPMENT USING 3 IN 1 IN THE LAND ACQUISITION CONCEPT JAROT WIDYA MULIAWAN
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.122018.163-182

Abstract

Pada setiap kegiatan pembangunan, ketersediaan tanah untuk lahan pembangunan sering menjadi kendala. Kendala dihadapi karena tanah merupakan sumber daya alam yang bersifat terbatas, terutama tanah negara juga sudah sangat terbatas persediaannya. Untuk menyediakan lahan tersebut maka perlu dilakukan pengadaan. Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pengadaan tanah didasarkan atas adanya kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam pengadaan tanah karena  kurangnya pemahaman instansi terkait dan juga masyarakat dalam memahami mekanisme dan prinsip-prinsip Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum tersebut. Pengadaan tanah dapat dipahami melalui konsep 3 in 1 in the Land Acquisition untuk mempermudah kegiatan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition merupakan kegiatan perolehan tanah dari awal sampai akhir atau dari hulu ke hilir yang akhirnya bermuara pada tiga titik yaitu titik start yaitu aspek perizinan (penetapan lokasi), titik decision yaitu aspek penguasaan tanah (pelepasan hak) dan titik product yaitu aspek sertifikasi tanah.In every development activity, the availability of land for development land is often an obstacle. Constraints are faced because land is a limited natural resource, especially state land which has very limited supply. To provide the land, it is necessary to procure. Land acquisition is an activity to provide land by giving reasonable and fair compensation to the rightful parties. Land acquisition is based on the existence of public interests, namely the interests of the nation, state, and society which must be realized by the government and used as much as possible for the prosperity of the people. One of the problems that often occurs in land acquisition is due to a lack of understanding of the relevant agencies and the community in understanding the mechanism and principles of Land Acquisition for Development in the Public Interest. Land acquisition can be understood through the 3 in 1 concept in the Land Acquisition to facilitate Land Acquisition activities for Development in the Public Interest. The 3 in 1 concept in the Land Acqusition is land acquisition activities from beginning to end or from upstream to downstream which ultimately leads to three points, namely the starting point, namely the licensing aspect (location determination), the decision point, namely the land tenure aspect (release of rights) and point product, namely the aspect of land certification.
PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TANJUNGPINANG / DEVELOPMENT OF THE INTEGRITY ZONE IN TANJUNGPINANG ADMINISTRATIVE COURT ANDRI MOSEPA; AGUS ABDUR RAHMAN; FEBRIANSYAH ROZARIUS
Jurnal Hukum Peratun Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan bekerja sama dengan Ditjen Badimiltun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/peratun.122018.183-202

Abstract

Lembaga pengadilan harus mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat Indonesia dengan mewujudkan proses peradilan ke dalam suatu proses yang sederhana, cepat dan dengan biaya yang ringan tanpa mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Salah satu hal yang dapat membantu mewujudkan hal tersebut adalah dengan penerapan Reformasi Birokrasi serta pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Pada tahun 2018, Mahkamah Agung RI melalui Sekretaris Mahkamah Agung RI menunjuk Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang sebagai salah satu pengadilan yang ditunjuk untuk mewujudkan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Pengadilan-pengadilan yang ditunjuk dalam hal ini ditugaskan untuk melaksanakan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di satuan kerjanya masing-masing, yang kemudian akan dilakukan penilaian oleh Tim Penilai Internal dan Tim Penilai Eksternal serta dilanjutkan dengan survei dari Lembaga Survei Independen yang akan berujung kepada peninjauan skor Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung RI. Hasil penilaian tersebut akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan Tim Penilai Nasional yang diketuai oleh Wakil Presiden RI untuk menentukan kelayakan Mahkamah Agung RI dalam hal kenaikan tunjangan kinerja Pegawai Non-Hakim Mahkamah Agung RI.Court institutions should gain the trust from Indonesian society with achieving a simple, fast and cost-effective of judicial process without compromising on accuracy and precision to seek out the truth and justice. One of the things that can encourage is by the implementation of Bureaucratic Reforms as well as the Development of the Integrity Zone Towards Corruption-Free Zone nor Clean and Serving Bureaucracy Zone. In 2018, the Supreme Court of Republic Indonesia through the Secretary of the Supreme Court of Republic Indonesia was pointed Tanjungpinang Administrative Court as one of the courts in order to manifest the Development of the Integrity Zone Towards Corruption-Free Zone nor Clean and Serving Bureaucracy Zone. The nominated courts were assigned to implement the Development of the Integrity Zone Towards Corruption-Free Zone nor Clean and Serving Bureaucracy Zone in each court, which will be assessed by Internal Assessor Team and External Assessor Team and surveyed by Independent Survey Institution which will lead to Bureaucratic Reform score review for the Supreme Court of Republic Indonesia. The result will be considered by National Assessor Team that chaired by the Vice President of Republic Indonesia to determine the eligibility of the Supreme Court of Republic Indonesia to obtain performance allowances enhancement for Supreme Court of Republic Indonesia’s Non-Judge Employees.