cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015" : 5 Documents clear
Urgensi pemeriksaan Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Perluasan Objek Pra Peradilan Dalam Upaya Perlindungan Hak Asasi Manusia Tajudin I
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Secara yuridis, praperadilan merupakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Selain itu, kewenangan praperadilan juga untuk memeriksa dan memutus permohonan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dalam perkembangannya, kewenangan praperadilan mengalami perluasan. Perluasan kewenangan praperadilan terjadi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memutuskan bahwa pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk dalam kewenangan praperadilan. Adapun yang menjadi topikipermasalahan yaitu apakah urgensi perluasan objek praperadilan didasarkan kepada perlindungan Hak Asasi Manusia? selain itu, bagaimanakah implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No : 21/PUU-XII/2014 terhadap proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan suatu tindak pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam artikel ini dapat diketahui bahwa Pemeriksaan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka dipandang sebagai sesuatu yang urgent untuk ditambahkan dalam objek praperadilan, hal ini didasarkan kepada perlindungan HAM.Pengujian keabsahan penetapan tersangka dilakukan melalui lembaga praperadilan karena lembaga praperadilan merupakan satu-satunya lembaga yang diamanatkan sebagai lembaga pengawasan terhadap tindakan-tindakan penegak hukum yang merugikan hak asasi tersangka. Implikasi dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah mempengaruhi gerak sistemik dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dengan adanya perluasan objek praperadilan, akan menyebabkan bertambahnya beban kerja aparat penegak hukum dan terjadinya peningkatan permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka kepada Pengadilan Negeri. Kata Kunci : Praperadilan, Penetapan Tersangka, HAM
Perkembangan Judicial Review Terhadap Tindakan Pemerintah di Indonesia : (Perbandingan Kelembagaan antara Tradisi Hukum Civil Law dan Common Law) M Adnan Yazar Zulfikar
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak “(the courts) becoming themselves the „third giant‟ to control the mastodon legislator and the leviathan administrator” (Mauro Capplletti) Pranata judicial review berkembang di banyak negara sebagai bentuk pengawasan dari kekuasaan yudikatif terhadap cabang kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan Pemerintahan. Judicial review juga menjadi perlindungan hukum yang efektif bagi warga Negara yang terlanggar haknya oleh tindakan penguasa. Pengujian ini berkembang dengan cara dan kelembagaan yang berbeda di Negara yang tradisi common law dengan civil law. Di Indonesia judicial review terhadap tindakan Pemerintah dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi tergantung kepada jenis tindakan Pemerintah yang diuji. Pranata judicial review di Indonesia berkembang baik dengan pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Abstract Judicial review institution has developed in many countries as judicial instrument to monitor other branches, including executive branches. Judicial review has become effective legal protection for citizens whose rights have been violated by authorites act. This form of review have been developing by different ways and model in countries with common law and civil law traditions. In Indonesia, judicial review of government action carried out by the Supreme Court and judicial bodies underneath, and by the Constitutional Court depends on the nature of government action reviewd. Judicial review institutions in Indonesia have been developing by constitution and statutory development, and court‟s jurisprudence.
Pendidikan Dasar Gratis “Setiap” Warga Negara Indonesia Dalam Konstitusi Kornelius Bill Hiemer Sianturi
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

A. Pendahuluan Secara jelas telah dinyatakan bahwa Hak atas pendidikan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia, dan hal tersebut telah tercantum di Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai jaminan yang diberikan oleh Negara kepada warga Negara. Tentu dalam pelaksanaan hal tersebut yakni dalam memenuhi Hak Asasi manusia harus dijauhi dari praktek perbedaan atau kekhususan yang cenderung diskriminasi. Khusus terkait pendidikan, Hal ini juga perlu dibedakan dengan tindakan Negara yang memberikan penanganan khusus terhadap orang berkebutuhan tertentu antara lain disabilitas, tuna rungu, tuna netra atau lainnya yang terkait. Tindakan Negara untuk membedakan bukanlah atas dasar diskriminasi akan tetapi pemenuhan hak yang sama dengan cara berbeda. Perbedaan yang terlihat ialah seringkali dinyatakan bahwa pendidikan murah atau gratis ini hanyalah hak sebagian orang saja, dalam arti orang yang kekurangan, miskin atau tidak mampu saja . Apakah dapat dikatakan hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap orang yang tidak mendapat pendidikan murah atau pendidikan gratis. Selain itu dipungutnya uang pembangunan atau DSP ( Dana Sumbangan Pembangunan ) yang menjadi tren lembaga pendidikan di Indonesia, tentu sedikit kontraproduktif dengan jiwa pasal 31 ayat 2 yakni Pemerintah wajib membiayainya. Penjelasan diatas menjadi landasan penulisan tulisan ini yakni terkait pendidikan gratis bagi setiap warga Negara bukan saja untuk orang yang tidak mampu akan tetapi untuk semua kalangan di Indonesia termasuk orang kaya dan perihal praktek pemungutan Uang pembangunan
Kritik Terhadap Poligami: Sebuah Komentar Atas 40 Tahun Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bingah Amarwata Sujana
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pada Agustus 2015 Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70, dan pada Oktober 2015 akan genap 40 tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi sarana pengatur perkawinan di Indonesia. Melihat dari jangka waktu keberlakuan undang-undang ini, tentu dapat kita sesuaikan persepsi bahawa 40 tahun bukanlah waktu singkat. Timbul pertanyaan, bagaimana kesesuaian undang-undang ini di tengah masyarakat yang terus berubah dan berkembang selama 40 tahun. Salah satu isu kontroversial yang kerap kali disuarakan dan dimintakan pertimbangan untuk dihapuskan dari undang-undang ini adalah perihal poligami. Poligami disinyalir merupakan penyumbang kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap wanita yang terikat dalam pekawinan. Kata Kunci: poligami, kekerasan, diskriminasi, wanita, perkawinan Abstract On August 2015 Indonesia will celebrate its 70th independence, and on October 2015 Marriage Act Number 1/1974 will fullfill its duty to serve and regulate marriage in Indonesia. If we look on this act periodic time of validity, one conclusion comes to mind, 40 years was not a short time. We may ask, how does this act adjust to 40 years of development and innovation in society. One of the controversial issue that always be expressed and often requested to be eliminate is polygamy. Polygamy turned out to contribute as agent of discrminatory treatment and violence toward woman whom engage in marriage. Key words: polygamy, violence, discrimination, woman, marriage
Mewujudkan Keadilan Atas Akses Sumber Daya Hutan Bagi Masyarakat Hukum Adat Nusantara Dalam Perspektif Hukum Progresif Muhammad Nur Ramadhan; Al Ghaniari Perkoso; Azizah Nur Hanifah
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 3 NOMOR 1 DESEMBER 2015
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kedudukan masyarakat hukum adat dalam hal pengelolaan hutan atas sumber daya hutan telah tercantum dalam peraturan perundangan-undangan serta diperkuat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat. Karya tulis ini membahas mengenai ketidakmampuan pengelolaan hutan dengan mengunakan pendekatan teknologi, ekonomi dan politik dalam menjaga hutan tetap lestari, dan juga membahas mengenai perwujudan keadilan bagi masyarakat hukum adat dalam memperoleh akses terhadap sumber daya hutan yang notabene hutan sebagai sumber penghidupan mereka. penerapan pendekatan kearifan lokal masyarakat hukum adat dinilai ampuh sebagai upaya untuk merevitalisasi kedudukan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat sebagai implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat hukum adat merupakan salah satu prinsip dalam mekanisme community based forestry management yang menempatkan peran yang lebih substansial dalam masyarakat hukum adat terhadap pengelolaan hutan. Prinsip ini menempatkan kedudukan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah (negara) seimbang sebagai pemangku hak dan kewajiban dalam pengelolaan hutan terutama hutan yang menjadi kawasan tempat tinggal dan tempat mata pencaharian masyarakat hukum adat. Dengan luasan hutan di Indonesia yang mencapai puluhan juta hektar serta eksistensi masyarakat hukum adat yang masih bertahan sampai sekarang, secara faktual belum menerapkan prinsip ini dalam mekanisme pengelolaan hutan, khususnya hutan adat. Artinya kenyataan saat ini kemudian mengakibatkan masyarakat hukum adat kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat dan pemegang hak.Dalam hal tersebut, aparat penegak hukum yang notabene memiliki tugas untuk menegakkan hukum harus berani untuk menerobos kekakuan teks peraturan dengan menjunjung tinggi keadilan terhadap kedudukan masyarakat hukum adat guna memecahkan masalah-masalah yang ada. Pada perkembangannya tersebut, dapat menjadi acuan pada tingkat ASEAN dalam penggunaan sistem community based forestry management yang menggunakan pendekatan kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan di masingmasing negara sebagai wujud terciptanya integrasi global serta menggunakan semangat hukum progresif dalam pemecahan masalah yang ada. Kata Kunci: masyarakat hukum adat, community based forestry management, integrasi global, hukum progresif Abstract The status of indigenous people upon administering the forest resources has been regulated in the National Laws and recently strengthened by the Constitutional Court Ruling No. 35/PUU-X/2012 concerning adat forest. This article deals with the inability of forest administration using technological, economical, and political approach, in order to maintain the sustainable forest. Also, to argue about the manifestation of justice for indigenous people in obtaining access upon forest resources which ipso facto is their primary source of living. The implementation of local wisdom by indigenous people assessed as effective in dealing with revitalization of their status upon administering the adat forest as an implementation of Constitutional Court Ruling No. 35/PUU-X/2012. The local wisdom approach by the indigenous people considered as one of the principle in the community-based forestry management mechanism, which sets more substantial role of indigenous people upon forest administration. This principle sets the balanced position between indigenous people and the government (State) as the bearers of rights and obligation in forest administration which particularly has been used as their shelters and livelihood. Within million-hectares wide of Indonesian forest, presently, the existence of indigenous people had not yet factually implementing the local wisdom principle, particularly adat forest. Presently, the empirical condition has then resolved in the loss of right of indigenous people upon forest as their primary source of living, causing frequent conflicts within the stakeholders of adat forest. In this situation, law-enforcer which ipso facto obligated to enforce the law, has to disrupt the rigidity of the text upon regulations with prioritizing justice for indigenous people in order to resolve present problems. Within the development of this issue, it can be referred in the ASEAN level upon the implementation of community-based forestry management system which used local wisdom approach by indigenous people in administering forests in each countries as a step towards global integration and also to use the spirit of progressive law development to resolve present problems. Keywords: indigenous people, community-based forestry management, global integration, progressive law

Page 1 of 1 | Total Record : 5