cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017" : 10 Documents clear
Realitas Politik Hukum Perundang-undangan Indonesia Pasca Reformasi Indra Perwira
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Hukum sebagai sebuah kesatuan sistem dapat digunakan sebagai sarana untuk mengarahkan perilaku masyarakat dan birokrasi menuju suatu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang dicita-citakan. Salah satu cita-cita kemerdekaan adalah memutus bangsa Indonesia dengan sistem hukum kolonial. Secara bertahap sistem hukum kolonial diperbaharui hingga bangsa ini memiliki sistem hukum nasional sendiri yang sesuai dengan kebutuhan bangsa. Dalam membangun sistem hukum nasional tersebut, penting untuk memiliki kebijakan tentang, arah, bentuk, dan materi hukum atau dikenal dengan istilah politik hukum. Sebelum reformasi politik hukum perundang-undangan tersebut dimuat dalam GBHN. Dengan dihapuskannya GBHN setelah reformasi, politik hukum perundang-undangan tidak memiliki arah yang jelas. Beberapa kecenderungan politik hukum perundang-undangan pasca reformasi adalah pemikiran pembentuk dan penegak hukum bahwa hukum hanya undang-undang,pembentukan undang-undang bersifat reaktif, mudah membentuk lembaga baru, mengedepankan sanksi pidana, dan melalui perundang-undangan politik konstitusi bahwa sektor publik harus menjadi tanggungjawab negara kini banyak dilakukan privatisasi. Tulisan ini diharapkan dapat menggugah para ahli hukum untuk membahas kemana arah politik hukum perundang-undangan saat ini akan dikembangkan. Kata Kunci: Indonesia, Politik Hukum, Perundang-undangan, Realitas, Reformasi. Abstract Law as a legal system is a tool of social and bureaucrats engineering towards desired society and bureaucracy. One of the legal ideals after Indonesian national independence is to replace colonial legal system by Its own legal system that suited with the characters of the nation. In building such a national legal system, it is impoprtant to have an agreed policy on the direction, form, and substances of the legal system developed. It is also known as legal policy. Before 1998 reformation, legal polies regarding legislation are contained in Broad Guidelines on State Policy (GBHN). After the authority of National Assembly to enact GBHN abolished, legal policies regarding legislation have no clear direction. There is several reality on legal policies regarding legislation after the reformation such as the view that the Law is just the Laws (Acts), legislation become reactive rather than responsive, desire to establish new institution, rely on criminal punishment, and privatization of public sector. These trends emphasize that the legal policies regarding legislation has no clear direction. By this paper, i expect to wake legal scholars up, and further discussing some agreed policies regarding the direction of legislation we will develop. Keywords: Indonesia, Legal Policy, Legislation, Reality, Reformation.
Konstitusi dan Pembangunan Mei Susanto
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Artikel ini menjelaskan hubungan antara konstitusi dan pembangunan, mengingat seringkali keduanya dianggap tidak memiliki keterkaitan secara langsung. Dengan menjadikan UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan sebagai objek pembahasan, diperoleh gambaran penting bahwa konstitusi memiliki peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai penjamin perubahan yang teratur dan perekayasa pembangunan yang tertinggi dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Dampaknya dapat terlihat dengan adanya pembangunan pemerintahan dan masyarakat yang demokratis, pembangunan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia, pembangunan hukum, dan pembangunan kesejahteraan rakyat secara lebih baik dibandingkan dengan UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan. Selain itu, dianutnya model directive principle sebagai pengarah pembangunan dalam konstitusi beberapa negara seperti Konstitusi Irlandia, Konstitusi India dan Konstitusi Filipina, dapat dijadikan rule model untuk memasukkan haluan negara secara lebih lengkap dan komprehensif dalam UUD NRI Tahun 1945. Kata Kunci: haluan negara, prinsip-prinsip pengarah, konstitusi, pembangunan, UUD NRI Tahun 1945. Abstract This article discussion the relationship between the constitution and development, since they are ofen regarded as having no direct linkage. By using the 1945 Constitution of Indonesia after amandment as the object of discussion, obtained an important description is that the constitution has an important role in the development as the guarantor of regular change and the highest development engineer in the political, social and economic fields. The impact can be seen with the development of democratic government and society, the development of respect and fullfillment of human rights, development of law, and development of the people’s welfare better than the 1945 Constitution of Indonesia before amandment. In addition, the adoption of the directive principle model as the directive of development in the constitution of several countries such as the Ireland Constitution, the India Constitution, and the Philippines Constitution, can be used as a rule model to incorporate the state guidelines more fully and comprehensively in the 1945 Constitution of Indonesia. Keywords: state guidelines, directive principle, constitution, development, the 1945 Constitution of Indonesia.
Pengaruh Fenomena Globalisasi terhadap Relevansi Gagasan Unifikasi Sistem Hukum Nasional di Indonesia Abdurrachman Satrio
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Gagasan untuk menciptakan unifikasi sistem hukum nasional merupakan salah satu politik hukum tetap yang dimiliki Indonesia. Dijadikannya gagasan ini sebagai politik hukum tetap dimaksudkan untuk mengatasi segala permasalahan yang timbul dari kondisi masyarakat Indonesia yang masih terkotak-kotakan oleh pluralisme hukum. Sayangnya, ketika gagasan ini belum juga terwujud guna mengatasi masalah pluralisme hukum yang ada di masyarakat, upaya mewujudkan unifikasi sistem hukum nasional semakin dipersulit oleh fenomena globalisasi yang membawa serta pengaruh globalisasi dalam bidang hukum (globalisasi hukum). Akibat dari globalisasi hukum ini menyebabkan terkikisnya peran negara dalam proses pembentukan hukum nasional, serta membuat tak dapat laginya negara mengatur bidang-bidang hukum yang bersifat transnasional sehingga memunculkan pluralisme hukum dalam bidang-bidang tersebut. Kondisi tersebut jelas membuat gagasan mewujudkan unifikasi sistem hukum nasional perlu untuk dikaji kembali, agar nantinya gagasan ini tetap relevan dijadikan sebagai politik hukum tetap Indonesia. Kata Kunci:Unifikasi, Sistem Hukum Nasional, Politik Hukum, Globalisasi. Abstract The idea to create national legal system unification is one of fixed legal policy in Indonesia. The goal of this idea is to overcome all the problems which rise from the condition of Indonesian’s people who still divided by pluralism of law. Unfortunately, while this idea has not completed to overcome those problems, the effort to create national legal system unification is being complicated by globalization phenomena which is bring out the globalization of law. Consequently, it caused the reduction of state power in national law making process, and the state can no longer regulate transnational law area which is bring out pluralism of law in that areas. This condition caused the idea to create national legal system unification need to re-examine, so in the future this idea still relevant to become Indonesian’s fixed legal policy. Keywords: Unification, National Legal System, Legal Policy, Globalization.
Konstitusi dan Masyarakat Hukum Adat: Meninjau Pengakuan dan Perlindungan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Resha Roshana Putri
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kongres Taman Dunia Kelima yang diselenggarakan di Durban menekankan adanya fakta bahwa hak masyarakat hukum adat di dunia mulai dilanggar dan dilupakan dalam tatanan internasional, termasuk di dalamnya hak hidup dan hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB). Salah satunya adalah kasus Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Secara teoritis dan konseptual, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat seharusnya tertuang di dalam Konstitusi masing-masing negara, mengingat masyarakat hukum adat merupakan bagian dari suatu warga negara. Pengakuan dan perlindungan hak EKOSOB masyarakat hukum adat tidak diatur secara komprehensif dalam UUD 1945, namun justru mengalami progresivitas setelah dikeluarkannya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang akan meneliti secara rinci pasal-pasal hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi yang akan dikaitkan dengan instrumen hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini. Keyword: Konstitusi, masyarakat hukum adat, hak EKOSOB. Abstract In the fifth World Park Congress held in Durban, there was a statement stated that the movement and the existence of indigenous people have been forgotten by international stages, including its right to live and its right of economic, social, and cultural. One of examples can be seen on the case of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). In a theoritical concept, the recognition and protection of indigenous people should be regulated in Constitution, remembering that indigenous people are parts of citizens. The recognition and protection of indigenous people rights of economic, social, and cultural are not regulated clearly in the Indonesian Constitution, yet experiencing its progressiveness after The Constitutional Court Judgement 35/PUU-X/2012 which submitted by AMAN over the Indonesian Act No. 41/1999 regarding Forestry. This paper uses normatif-yuridic approaches to examine in detail the concept of recognition and protection of indigenous people which are recorded in the Indonesian Constitution 1945 and will be related with the other law instruments which have relevances with this paper.
Mewujudkan Efektivitas dan Efisiensi Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum: Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum di Indonesia dan Brazil Irma Ambarini
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Sengketa yang timbul dalam setiap tahapan pemilu, baik dalam tahapan pre-electoral, electoral, maupun post-electoral pada dasarnya dapat saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, penyelesaian seluruh bentuk sengketa pemilu oleh satu badan khusus tentunya akan menimbulkan efektivitas dan efisiensi. Hal inilah yang diterapkan di Brazil sehingga Brazil dikategorikan sebagai negara dengan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu paling efektif. Penyelesaian sengketa pemilu yang terintegrasi berimplikasi pada adanya pengetahuan yang komprehensif yang menimbulkan kesinambungan dalam pemeriksaan dan penyelesaian satu sengketa dengan sengketa lainnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini digagas pembentukan pengadilan khusus pemilu untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Kata Kunci: Pemilu, Sengketa, Perbandingan, Indonesia, Brazil Abstract Disputes arise in every stage of the election, either in the pre-electoral, electoral, or post-electoral stages can essentially be related to one another. Therefore, the settlement of all forms of election disputes by a special body will certainly lead to effectiveness and efficiency. This is applied in Brazil so that Brazil is categorized as the country with the most effective electoral dispute resolution mechanism. An integrated electoral dispute resolution has implications for the existence of a comprehensive shared knowledge which creates sustainability in the examination and settlement of one dispute with another dispute. Therefore, in this paper was initiated the formation of an electoral court to create the effectiveness and efficiency of electoral dispute settlement in Indonesia. Keywords: Election, Dispute, Comparison, Indonesia, Brazil
Merajut Nawa Cita dengan Kebijakan Deregulasi: Perlukah? Nadia Salsabila Hartin; Muhammad Ikram Afif
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Deregulasi merupakan bentuk penghapusan pembatasan-pembatasan serta regulasi-regulasi dengan tujuan tertentu. Saat ini, deregulasi di Indonesia dicangkan dengan Paket Kebijakan Deregulasi. Kebijakan deregulasi bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga berkaitan erat dengan Nawa Cita seperti yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Tulisan ini akan membahas urgensi adanya kebijakan deregulasi di Indonesia,bagaimana sebenarnya skema kebijakan ini dan dampaknya dalam skema hukum di Indonesia. Kata Kunci: deregulasi, iklim investasi, nawa cita, paket kebijakan deregulasi, regulasi. Abstract Deregulation is a form of diminishment of limitations and regulations with certain aim. Now, deregulation in Indonesia is planned with Deregulation Policy Package. This policy’s aim is to increase investment climate in Indonesia. Furthermore, this regulation intercepts with NawaCita, as planned by President JokoWidodo. This article will discuss about deregulation’s urgency, the status quo of the policy and the effects of this policy towards the law scheme in Indonesia. Keywords: deregulation, deregulation policy package, investment climate, nawacita, regulation.
Penerapan Eksaminasi Aktif terhadap Putusan Hakim disertai Prinsip Reward-and-Punishment dalam Rangka Mewujudkan Lembaga Kehakiman yang Bermartabat dan Berintegritas Mochammad Dino Panji Pananjung; Patia Chairunnisa; Rosdiana Triayu
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Wajah suatu lembaga kehakiman tentu sangat bergantung pada martabat, integritas, dan kompetensi seorang hakim dalam menangani suatu perkara. Dimana martabat, integritas, dan kompetensi seorang hakim terefleksikan melalui putusan yang dibuatnya. Namun, wajah lembaga kehakiman Indonesia dewasa ini acap kali menjadi sorotan setelah muncul berbagai putusan hakim yang menuai kontroversi dan menjadi bahan perbicangan publik, yang berdampak pada semakin lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kehakiman. Berangkat dari permasalahan tersebut, melalui penelitian yuridis-normatif, kami menggagas suatu konsep yakni penerapan eksaminasi aktif terhadap putusan hakim yang ditindaklanjuti dengan prinsip reward and punishment, yang merupakan suatu mekanisme evaluasi terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hakim demi mewujudkan lembaga kehakiman yang bermartabat dan berintegritas. Kata Kunci: Eksaminasi, hakim, lembaga kehakiman, putusan, reward and punishment. Abstract The interface of a judicial body will always depend on its dignity, integrity, and the competence of the judges on handling a case. The dignity, integrity and the competence of a judge is reflected through decisions he made. In the other hand, the judicial body of Indonesia now days often become public attention after some controversial decision made by some judges which impact the public trust towards the judicial body. According to that fact, by using judicial-normative research, we initiated a concept which is the implementation of active examination towards a verdict followed by reward-and-punishment principle, which is a mechanism to evaluate a legally binding verdict as the means to enhance the judges quality to realize dignity and integrity of judicial body Keywords: examination. judge, judicial body, reward and punishment, verdict.
Perluasan Keikutsertaan Pengadilan Nasional terhadap Proses Arbitrase di Indonesia: Harmonisasi Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dengan UNCITRAL Model Law 1985/2006 Jerina Novita Elpasari
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Arbitrase merupakan salah suatu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang cukup sering digunakan umumnya dalam sengketa bisnis. Arbitrase dipandang sebagai suatu mekanisme efektif yang dapat mengakomodasi kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya karena tata cara pelaksanaannya dapat ditentukan dengan kesepakatan dan sifatnya yang bersifat rahasia. Walaupun Arbitrase dipandang cukup efektif, namun dalam pelaksanaannya mekanisme ini memiliki beberapa kelemahan yang cukup fatal dalam hal sifat sementaranya (ad Hoc), tidak adanya daya paksa terhadap para pihak di dalamnya, serta kondisi bahwa mekanisme ini tidak dapat serta merta mengikat pihak ketiga. Arbitrase membutuhkan bantuan dari pengadilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif telah mengatur mengenai hubungan dan bentuk bantuan yang dapat diberikan oleh pengadilan nasional terhadap arbitrase di Indonesia, namun hal tersebut belum cukup untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul karena kelemahan yang dimiliki Arbitrase. Dalam hal ini dibutuhkan suatu perluasan bentuk peran dan bantuan yang dapat diberikan pengadilan terhadap arbitrase yang lebih menyeluruh dengan mengacu pada ketentuan dalam UNCITRAL Model Law 1985/2006 sebagai salah satu instrumen hukum arbitrase yang cukup komprehensif. Kata Kunci: Arbitrase, pengadilan, perluasan peran pengadilan, Uncitral Model Law, UU Arbitrase. Abstract Arbitration is one of the most common alternative dispute resolution mechanisms in business disputes. Arbitration is as an effective mechanism that can accommodate the interests of the parties involved because it can be determined by agreement and its confidential nature. Although the arbitration is deemed to be quite effective, in practice it has some fatal flaws in terms of its temporary nature (ad hoc), the absence of imperium against the parties in it, and the condition that this mechanism can not necessarily bind a third party. Arbitration requires court assistance to cover the shortfall. Law No. 30 of 1999 on Alternative Dispute resolution settlement and Arbitration has set out the relations and forms of assistance that the national courts can provide to arbitration in Indonesia, but that is not sufficient to overcome problems that may arise from the weaknesses of the Arbitration. In this case, there is a need to accommodate the expansion of roles and assistance that can be given by the court to Arbitration based on the provisions of UNCITRAL Model Law 1985/2006 as one of the most comprehensive instruments of arbitration law. Key words: Arbitration, National Court, Expansion of national court roles, UNCITRAL Model Law, Arbitration Law.
Penerapan Sistem Strong Bicameralism di Indonesia Sebagai Upaya Optimalisasi Kewenangan MPR Adhyatma Wikrama Maheswara; Ikhsan Permana; Khairunnisa Andira
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang besar terhadap kewenangan yang dimiliki MPR, di mana tidak ada satupun kewenangan MPR yang bersifat tetap. Selain itu sistem perwakilan Indonesia yang berbentuk tiga badan perwakilan turut berperan dalam menciptakan ketidaksinambungan antara MPR dengan lembaga perwakilan lainnya. Oleh karena itu, optimalisasi kewenangan dan kedudukan MPR saat ini menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji agar setiap lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat melaksanakan perannya masing-masing secara optimal demi terwujudnya keseimbangan antara lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya. Melalui metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif-komparatif analitis, Penulis menyimpulkan bahwa dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia, MPR sebagai lembaga negara tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 secara optimal. Hal ini dikarenakan kewenangan yang dimilikinya bersifat insidentil dan seremonial, di mana hal tersebut juga dipengaruhi sistem perwakilan yang dianut Indonesia saat ini. Untuk mengatasi permasalahan ini, terciptalah suatu gagasan untuk mengubah MPR menjadi parlemen bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD sebagai kedua kamar di dalamnya dengan kewenangan yang setara (strong bicameralism). Apabila gagasan ini diaktualisasikan akan memberikan dampak positif yaitu sistem checks and balances yang lebih baik dalam lembaga legislatif itu sendiri dan kepada cabang kekuasaan lainnya. Selain itu juga akan terjadi penguatan nilai demokrasi dan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan maupun saat pembuatan suatu produk hukum di Indonesia. Untuk mengaktualisasikan gagasan ini perlu dilakukan kembali perubahan UUD 1945 secara komprehensif agar MPR dan sistem perwakilan di Indonesia dapat berjalan secara tepat dan optimal guna mewujudkan sistem politik yang demokratis, bermartabat dan lebih baik. Kata Kunci: Bikameral, DPD, DPR, MPR, Sistem Perwakilan. Abstract The amendment of the UUD 1945 has brought great impact to the MPR. None of the authority currently possessed by the MPR in the Amendment of the UUD 1945 is fixed. In addition, Indonesia's representative system in the form of three representative bodies also causes imparity with other representative bodies. Therefore, the optimization of the MPR’s current authority and position becomes a very important object to be studied so that every state institution in Indonesia can play an optimal role and every state institutions will be balance. Through a normative juridical method, we conclude that the MPR's current authority is not optimal because of its incidental and ceremonial authority, which is influenced also by the current Indonesian representative system. To overcome this problem, an idea was created to convert the MPR into a bicameral parliament consisting of DPR and DPD as two chambers within it with strong bicameralism. If this idea is actualized, it will bring a positive impact in the checks and balances system within the legislature itself and to other branches of power. In addition, this idea will strengthen the democratic values in every decision making process and when making legislation. To actualize this idea, it is necessary to amend the UUD 1945 comprehensively so that the MPR and the representative system in Indonesia can run properly and optimally in order to create a democratic, dignified, and better political system. Keywords: Bicameral, Regional Representative Council, House of Representative, People’s Consultative Asesmbly,Representative System .
Organisasi Masyarakat di Indonesia: Perubahan Politik Hukum Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakaatan dan Persepsi Masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20 Anandy Satrio Purnomo; Ikhsan Permana; Dwamy Trezaryo Junansyah; Septian Aditya Prabowo; Shafira Meidina Rafaldini; Shafira Nadya R. Sembiring
Padjadjaran Law Review Vol. 5 (2017): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 5 NOMOR 1 DESEMBER 2017
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pada tanggal 10 Juli 2017, Wiranto selaku Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Kemanan mengumumkan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam pertimbangannya, Wiranto berpendapat bahwa Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang genting dan mendesak untuk segera mengatasi permasalahan yang ada, yang mana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak menganut asas contrarius actus sehingga tejadi kekosongan hukum dalam hal penegakan hukum yang efektif untuk membubarkan Organisasi Massa yang secara terang-terangan menganut dan menyebarkan paham anti-pancasila. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 2017, Perppu tersebut disahkan menjadi Undang-Undang melalui sidang paripurna dengan agenda pembahasan Perppu tersebut. Terjadi pro dan kontra terkait eksistensi Perrpu ini sehingga menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Di dalam artikel ini penulis akan mencoba untuk membahas secara sistematis substansi politik hukum Perppu ini dan penulis akan coba membingkai persepsi pro dan kontra yang terjadi di masyarakat. Kata kunci: Kontra, Organisasi Massa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Persepsi, Pro. Abstract On July 10, 2017, Wiranto as Coordinating Minister for Political, Legal and Security announced the issuance of Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2017 on Amendment of Law Number 17 Year 2003 on Social Organization. In his consideration, Wiranto argued that Indonesia is currently in a critical situation and urgent to immediately overcome the existing problems, which in Law No. 17 of 2013 on Social Organizations do not adhere to the principle of contrarian actus so that there is a legal vacuum in the case of law enforcement which is effective for dissolving the Mass Organization which openly embraces and disseminates anti-Pancasila ideology. Then on October 24, 2017, the Perppu was passed into the law through a plenary session with the agenda discussion of the Perppu. There are pros and cons related to the existence of Perrpu, which is so interesting to be used as research material. In this article the author will try to systematically discuss the legal substance of this Perppu and the author will try to frame the perceptions of the pros and cons that occur in society. Keywords: Cons, Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2017 on Amendment to Law Number 17 Year 2013 on Community, Perception, Pros, Community Organizations.

Page 1 of 1 | Total Record : 10