cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018" : 7 Documents clear
Hak atas Kewarganegaraan bagi Anak dari Transit Migran yang Lahir di Indonesia Ratu Durotun Nafisah
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Indonesia menjadi daya tarik bagi para transit migran, diantaranya termasuk pengungsi dan pencari suaka. Ketidakpastian lama tinggal mereka selama di Indonesia memaksa sebagian diantaranya untuk menikah dan melahirkan anaknya di Indonesia. Melalui asas ius soli terbatas yang dianut UU No. 12/2006, anak-anak transit migran yang lahir di Indonesia dari orang tua tanpa kewarganegaraan dan orang tua yang tidak jelas status kewarganegaraanya berhak atas status kewarganegaraan Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis terhadap anak dari pengungsi Rohingya, ditemukan bahwa asas ius soli terbatas tidak berjalan dalam praktik, anak-anak transit migran yang lahir di Indonesia seperti halnya Rohingya justru berada pada kondisi tanpa kewarganegaraan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat kekosongan produk hukum untuk melaksanakan asas ius soli terbatas, sehingga sekalipun seorang anak berhak atas status WNI, ia tidak memiliki legitimasi secara hukum untuk mendudukan haknya. Selain itu, akar permasalahan berada pada rigidnya politik hukum keimigrasian Indonesia yang bersifat selektif sehingga kurang memandang adanya kebutuhan dalam mengelola urusan transit migran, termasuk kepentingan anak mereka atas pencatatan kelahiran dan perolehan status kewarganegaraan. Kata Kunci: hak atas kewarganegaraan, orang tanpa kewarganegaraan, orang yang tidak jelas status kewarganegaraanya, Rohingya, transit migran. Right to Nationality of Transit Migrant’s Children Born in Indonesia Abstract Indonesia is a transit-migrant magnet state for many of refugees and asylum seekers. The uncertainty of transit duration forced these migrants to married and born their children in Indonesia. Under jus soli principle in Law Number 12 year 2006, children of transit migrants born from stateless and unknown nationality parents in Indonesia are automatically an Indonesian citizen. However, the research conducted towards children of Rohingya refugees born in Indonesia has shown that none of them were granted Indonesian citizenship status. This paper argues that the absence of specific regulation has made it impossible to fully implement the jus soli principle, hence even if many children are eligible to gain Indonesian citizenship, they do not have any legal instrument to legitimate the rights that is entitled to them. Moreover, the grass root problem of the issue is the rigid and selective implementation of Indonesia’s immigration policy who are not friendly towards transit migrant. Hence, the government were lacking of interest to fulfill their needs, including their children right to birth registration and nationality. Keywords: right to nationality, Rohingya, stateless, transit migrant, unknown nationality.
Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Sufiana Julianja
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Studi ini menggambarkan bagaimana kebebasan berekspresi dalam bermedia sosial dapat diatur dalam instrumentasi HAM dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta sejauh mana pembatasan dalam kebebasan berekspresi di media sosial ini dapat dilakukan. Article 19 dan Article 20 ICCPR menyatakan bahwa dalam kebebasan berekspresi tersebut terdapat batasan yang tidak boleh dilewati. Pada awal pembentukan UU ITE, tujuannya untuk membatasi kebebasan berekspresi di dunia maya sudah baik agar masyarakat lebih bertanggungjawab terhadap apa yang disampaikannya dan menguji kedewasaan masyarakat dalam menyikapi makna kebebasan berekspresi dalam bermedia sosial, namun pada pelaksanaannya, pembatasan UU ITE terlalu subjektif dan dinilai membungkam kreativitas dan kebebasan berekspresi, sehingga pengaturannya dianggap semena-mena dan menimbulkan banyak korban. Pada akhirnya, studi ini sangat relevan untuk meninjau ulang kebijakan-kebijakan nasional mengenai pembatasan kebebasan berekspresi dalam bermedia sosial khususnya untuk diharmonisasi dengan pengaturan yang berlaku dalam HAM, dimana pembatasan tersebut bertolak belakang dengan kebebasan. Kata Kunci: berekspresi, HAM, kebebasan, media sosial, pembatasan Abstract This study illustrates how freedom of expression in social media can be regulated in human rights instrumentation and Act No. 19 of 2016 on Amendment to Act Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions, as well as the extent to which restrictions on freedom of expression in social media can do. So in Article 19 and Article 20 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) affirms that in freedom of expression there are boundaries that should not be passed. At the beginning of the establishment ITE Act of its goal to limit freedom of expression in cyberspace is good for the community more responsible for what it conveyed in the social media and test the maturity of the community in addressing the meaning of freedom of expression in social media, but in the implementation of restrictions The ITE Act is too subjective and judged to silence the creativity and freedom of expression, so the arrangement is considered arbitrary, resulting in many victims due to restrictions in the ITE Act. Ultimately, this study is particularly relevant for reviewing national policies on restrictions on freedom of expression in social media particularly to be harmonized with human rights treaties, which are contrary to freedom. Keywords: Expressions, Freedom, Human Rights, Limitation, Social Media
Menggagas Penerapan Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi Muhammad Fauzy Ramadhan
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Dewasa ini, hak konstitusional seseorang atau segolongan masyarakat sering sekali dilanggar dan dicederai oleh pihak-pihak tertentu. Padahal negara sudah menjanjikan untuk menjamin sebuah hak yang terdapat di dalam Undang Undang Dasar yang harusnya diperoleh setiap warga negara. Di dalam konstitusi, hak-hak dasar ini merupakan salah satu bagian yang penting karena merupakan bagian yang menentukan materi dari konstitusi itu sendiri. Maka untuk dapat memberikan sebuah jaminan dan kepastian dalam proses proses penyelenggaraan Negara, baik dalam pembuatan perundang-undangan, proses administrasi Negara dan putusan peradilan yang tidak melanggar hak konstitusional dibutuhkan sebuah gagasan berupa penerapan Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi. Constitutional Complaint ini yang nantinya akan menjaminnya hak konstitusional warga Negara Indonesia dengan memastikan bahwa ketika ada sebuah hak konstitusional dilanggar oleh negara atau pejabat pemerintahan hal tersebut dapat terselesaikan. Bahkan dengan adanya Constitutional Complaint ini tidak akan menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi bukan hanya menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, menyelesaikan sengketa antar lembaga Negara, menyelesaikan sengketa Pemilu, dan Pembubaran Partai Politik, tapi juga nantinya berwenanang untuk menangani pelanggaran Hak Konstitusional melalui mekanisme Constitutional Complaint. Kata Kunci :Constitutional Complaint, Hak Konstitusional, dan Mahkamah Konstitusi, Abstract Nowday, the constitutional rights of a person or a group of people are often violated and injured by certain parties. In fact the constitutional right of a person is a basic right that should be obtained and guaranteed in the Constitution of our Country. In the constitution, these basic rights are an important part because it is the part that determines the material of the constitution itself. Therefore, in order to provide a guarantee and certainty in the process of the State administration process, in the preparation of legislation, the administration process of the State and the judicial decisions that do not violate the constitutional rights required an idea of the application of the Constitutional Complaint in the Constitutional Court. This Constitutional Complaint which will guarantee the constitutional rights of Indonesian citizens by ensuring that when there is a constitutional right violated by any party, it can be resolved. Even with the Constitutional Complaint this will not increase the authority of the Constitutional Court not only to examine the Law against the Constitution, resolve disputes between State institutions, resolve election disputes and the Dissolution of Political Parties, but also later authorized to deal with violations of Constitutional Rights through a mechanism Constitutional Complaint. Keywords :Constitutional Complaint,the Constitutional Right, and the Constitutional Court
Analisis Politik Hukum Pendidikan Dasar di Indonesia Demi Menyongsong Era Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Azeem Marhendra Amedi
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pendidikan dasar menjadi fondasi utama dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan mumpuni demi menunjang pembangunan dan pertumbuhan suatu negara. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari hasil Pertemuan Agenda Pembangunan 2030 di Majelis Umum pada tahun 2015, menjadi tumpuan negara-negara untuk berkembang sesuai apa yang disetujui dalam SDGs, termasuk dalam bidang pendidikan (Tujuan Nomor 4), yang mengamanatkan negara-negara anggota untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, terjangkau, dan mendukung perkembangan SDM. Artikel ini memuat analisis bagaimana Indonesia sejauh ini telah menyelenggarakan pendidikan dasar nasional melalui politik hukum, membahas mengenai permasalahan yang ditemukan dari penyelenggaraan tersebut, dan bagaimana seharusnya Indonesia mengimplementasikan politik hukum pendidikan dasar demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Kata Kunci: Politik hukum, pendidikan, pendidikan dasar, perkembangan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Abstract Primary education is the main foundation to produce the best out of Human Resources in order to support development and growth of a state. Sustainable Development Goals (SDGs) adopted by United Nations (UN) as a result of the 2030 Development Agenda in the General Assembly circa 2015, becomes the benchmark by states to develop in accordance to the agreed goals on the SDGs, including the development of education (Goal no. 4), that constitutes member states to organise quality and accessible education, that also supports human development. This article contains analysis on how Indonesia have organised the national primary education so far through legal policy, explains the problems encountered from the operation, and how Indonesia suppose to implement their legal policy on primary education to achieve Sustainable Development Goals. Keywords: Legal policy, education, primary education, development, Sustainable Development Goals.
Mekanisme Pemenuhan Restitusi Oleh Pelaku Tindak Pidana yang Mengakomodir Kepentingan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai Bagian Integral dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia Silvy Permatasari
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak International Organization for Migration (IOM) sempai kurun waktu Desember 2014 melansir, Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus perdagangan orang terbanyak disamping China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina. Sebagai komitmen untuk menanggulangi permasalaham tersebut Indonesia meratifikasi Protokol Palermo, instrument tersebut memberikan perhatian secara khusus terhadap hak restitusi sebagai ganti kerugian atas biaya untuk perawatan medis dan/atau psikologis, yang diderita korban akibat kasus yang menimpa dirinya, namun pada tahap implementasinya kerap ditemukan inkonsistensi dalam tahap pengajuan dan penjatuhannya, hal ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 277/Pid.B/2011/PN-BJ, dimana korban tidak mendapatkan hak restitusinya akibat tidak diberikan informasi oleh penyidik akan hak-hak yang dapat diterima; kemudian Putusan Nomor 2301/Pid.Sus/2013/PN.TNG, yang mana hakim tidak mengabulkan total jumlah restitusi korban dikarenakan keterlambatan pengajuan surat keputusan LPSK pada saat pembacaan surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum, kemudian hal yang serupa juga muncul pada Putusan Nomor 609/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel, dimana majelis hakim menolak total jumlah restitusi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, kemudian Putusan Nomor 107/Pid.Sus/2015/PN.Tul, yang mana restitusi gagal dieksekusi dikarenakan pelaku tidak mampu membayar restitusi, kasus-kasus tersebut dapat ditengarai karena aparat pengegak hukum tidak bertindak aktif untuk memperjuangkan hak-hak korban dalam pemenuhan restitusi, tidak adanya pola pemenuhan restitusi yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana merupakan penyimpangan dari amanat Kongres PBB VII tahun 1985 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Oleh karena itu dalam artikel ini penulis akan memberikan sumbangsih pemikiran dengan menggunakan perbandingan status quo ketentuan restitusi dalam peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep negara kesejahteraan dengan tujuan untuk mencapai tatanan yang ideal pemberian restitusi sebagai bagian yang integral dalam sistem peradilan pidana yang memenuhi kebutuhan korban tindak pidana perdagangan orang. Kata kunci: Tindak Pidana Perdagangan Orang, korban, restitusi, negara, sistem peradilan pidana Abstract On December 2014, International Organization for Migration confirmed that Indonesia is one of the states which had many human beings trafficking cases besides China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan, Netherland, Poland, Venezuela, Spain, and Ukraine. As its commitment in order to overcome this issue, Indonesia ratified Palermo Protocol. This protocol specifically governs about the rights of the victims to request for the detriment on medical cure as its restitution. On the other hand, there are inconsistencies on its implementations, specially on the first application of the case and on the enforcement of the final awards. It could be seen on Putusan Nomor 277/Pid.B/2011/PN-BJ, where the victim did not get the information regarding his/her rights from the investigator. Another case emerged on Putusan Nomor 2301/Pid.Sus/2013/PN.TNG, where the judges did not grant the victim's rights for restitution because of the late submission of the Surat Keputusan LPSK at the time of requisitoir trials. On Putusan Nomor 609/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel, the judges rejected the total sum of the restitution proposed by the prosecutor. Putusan Nomor 107/Pid.Sus/2015 ruled that the restitution was failed to be executed because the perpetrator's inability to fulfill it. In all of these cases, the states can not act as the representative of the victim in order to fulfill the restitutions. There is no integrated system of the restitution on the criminal procedural system and this comes as the deprivation of the 7th United Nation Congress 1985 on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hence, in this article, the author would offer the idea to use the status quo comparation of the restitutions' regulations and the approach of welfare state concept to reach the ideal system of providing the restitution as one integral part on criminal procedural system and to meet the needs of the victim on human beings trafficking cases. Keywords: human trafficking, victim, restitution, state, criminal justice system.
Penyederhanaan Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Pemilu 2017 Alya Yuliamaryam
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pada 21 Juli 2017, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hasil dari pengesahan rapat paripurna DPR , yang utamanya menentukan ambang batas pemilihan Presiden, sebesar 20% dari kursi DPR, atau 25% suara sah nasional, artinya partai politik dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden jika menduduki setidaknya 20% kursi DPR. Sistem seperti ini bertujuan salah satunya untuk melakukan penyederhanan partai politik di Indonesia. Konsep penyederhanaan partai politik pada pemilihan umum 2019 menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Penelitian ini, membahas secara sistematis tentang mekanisme penyederhanaan partai politik dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan implikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap penataan sistem presidensil Indonesia. Kata kunci: ambang batas pemilihan presiden, ambang batas parlemen, penyerdehanaan partai politik , pemilu serentak, DPR Abstract On July 21, 2017, the House of Representatives ratified Law Number 7 of 2017 concerning General Elections. the result of ratification of the House of Representative plenary meeting, which mainly determines the presidential threshold, by 20% of the House of Representative seats, or 25% nationally legitimate votes, meaning that political parties can nominate the President and Vice President if they occupy at least 20% of seats in the House of Representative. One of aims of this system to simplify political parties in Indonesia. The concept of simplifying political parties in the 2019 general election is interesting to be used as research material. this research, systematically discusses the mechanism of simplification of political parties in Law Number 7 of 2017 concerning General Elections and the implications of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections on the arrangement the Indonesian presidential system. Keywords: presidential threshold, parliamentary threshold, simplification of political parties, simultaneous elections, House of Representatives
Problematika dalam Mewujudkan Pancasila Sebagai Ideologi yang Bernilai Substantif Aditya Nurahmani
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2018
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pancasila merupakan mahakarya terbesar bangsa Indonesia yang berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat sejak berabad-abad lampau yang di wariskan dan dipertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Founding Fathers telah berkomitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai pijakan bangsa dan negara. Terlebih Indonesia sebagai negara hukum, tentunya mengharapkan Pancasila dapat hadir dan menjiwai sistem hukum nasional serta hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, harapan tersebut tampaknya tidak sesuai dengan praktek yang berjalan hingga saat ini, dimana Pancasila kerap kali dijadikan ideologi yang bersifat ceremonial symbolic semata, sehingga diperlukan suatu gagasan terbarukan untuk menjadikan Pancasila menjadi ideologi yang bernilai substantif. Melalui tulisan ini, penulis akan mengkaji permasalahan apa saja yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia dalam mewujudkan Pancasila sebagai ideologi yang bernilai substantif, dan menyandingkan dua gagasan yang dipandang tepat menurut para ahli dalam menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bernilai substantif. Kata Kunci: Pancasila, Ideologi substantif, Tata Hukum Nasional, dan Kehidupan berbangsa bernegara Abstract Pancasila is the greatest masterpiece of the Indonesian that comes from the values that lived and developed in the society since centuries ago. The founding fathers have been committed for making Pancasila as the foundation of the state. Moreover, Indonesia as a rechtsstaat country, would expect Pancasila can exist in the national legal system and in the life of the nation. Unfortunately, those expectations do not seem to be in line with current practices, where Pancasila often used as a ceremonial symbolic ideology, so that a renewable idea is needed to make Pancasila as a substantive ideology. Through this paper, the writer will review any problems faced by Indonesia as a nation and as a country in an effort to realizing Pancasila as a substantive ideology and compare two ideas that were deemed appropriate according to experts in making Pancasila a substantive ideology. Keywords: Pancasila, Substantive ideology, National Legal System and The Life of The Nation and State.

Page 1 of 1 | Total Record : 7