cover
Contact Name
HALIDA ZIA
Contact Email
halidazia234@yahoo.com
Phone
+6281278680105
Journal Mail Official
riodatin@gmail.com
Editorial Address
jln. Diponegoro, No. 27, Rimbo Tengah, Muara Bungo-Jambi
Location
Kab. bungo,
Jambi
INDONESIA
RIO LAW JURNAL
ISSN : -     EISSN : 27229602     DOI : 10.36355
Core Subject : Humanities, Social,
Rio merupakan sebutan untuk kepala desa laki-laki di Kabupaten Bungo, provinsi Jambi. Fakultas Hukum Universitas Muara Bungo memilih nama ini untuk memberikan sebuah identitas atau pengenal supaya dikenal civitas akademika di seluruh Indonesia. Rio Law Journal mengumpullkan artikel hukum kemudian menyesuaikan format mengikuti standar Asosiasi Pengelola Hukum Se-Indonesia. Rio Law Journal mengumpulkan tulisan dan penelitian Dosen Fakultas Hukum Universitas Muara Bungo secara berkala.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 53 Documents
DEKRIMINALISASI TERHADAP PASAL 127 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Widia Ulfa
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 1: Februari 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i1.330

Abstract

Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan tujuan dari dibentuknya UU Narkotika itu sendiri, karena ketentuan pasal ini mengkriminalisasi penyalah guna narkotika dengan pidana penjara maksimal 4 tahun, sementara tujuan dari dibentuknya UU Narkotika dalam Pasal 4 huruf d mengamanatkan bahwa negara wajib untuk menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Ada pula beberapa ketentuan pasal lainnya yang bermasalah dalam perumusan norma karena adanya ketidakjelasan terminologi dalam memandang pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan narkotika sehingga mengakibatkan pengaturan lainnya menjadi bias dan simpang siur. Terdapat kekaburan norma dalam UU Narkotika tersebut, menyebabkan terhambatnya pemberian hak rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Penelitian ini bertujuan agar Pasal 127 UU Narkotika direkomendasikan untuk dihapuskan atau didekriminalisasi dan selain itu perlu adanya penyempurnaan rumusan atau sinkronisasi istilah terkait pengertian dan status antara pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkotika sehingga hak-hak mereka untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial dapat dijamin dengan baik.Kata kunci: dekriminalisasi; kriminalisasi; narkotika; rehabilitasi
TRIAL BY THE PRESS TERHADAP PROSES PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH Nirmala Sari
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 2 (2020): Agustus - Desember 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i2.408

Abstract

Peneliti telah berusaha untuk meneliti dan mencermati mengenai Trial By The Press Terhadap Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Persepsi Asas Praduga Tidak Bersalah. Penelitian ini telah menemukan bahwa Implikasi hukum trial by the press terhadap asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.                      Tidak ada aturan dan ukuran yang jelas seorang wartawan atau lembaga pers untuk dikatakan  telah melakukan perbuatan trial by the press terhadap tersangka atau terdakwa. Sedangkan Trial By The Press sendiri adalah peradilan sepihak yang dilakukan oleh media massa dengan memberikan berita terus menerus  sehingga menarik opini public  untuk menghakimi tersangka atau terdakwa yang dianggap bersalah padahal proses perkara belumlah selesai atau berkekuatan hukum tetap. Sehingga Trail by the press dapat mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan vonis dikarenakan tuntutan massa karena pemberitaan yang terus menerus. Pers memiliki undang-undang yang melindunginya yaitu diatur di Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat 1, 2, 3 dan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.                      Pasal 2: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.Pasal 4 ayat (2): Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pasal 4 ayat (3): Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.Pasal 18 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000.                      Diperkuat dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28f, bahwa:“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.                      Dan kebebasan pers juga merupakan hak asasi manusia yang dipertegas dalam pasal 19 Deklarasi Universa Hak Asasi Manusia bahwa;“Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.Kata kunci : Trial By The Press, Tindak Pidana Korupsi, Asas Praduga Tidak Bersalah.
PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL Nirmala Sari
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 1: Februari 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i1.326

Abstract

Kedudukan Pegawai Negeri Sipil dalam setiap organisasi pemerintahan mempunyai peranan yang sangat penting, sebab pegawai negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Untuk dapat mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan dituntut Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier. Namun dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya banyak mengalami kesulitan-kesulitan sehingga memerlukan pengaturan yang baik, termasuk dalam proses pengangkatan Pegawai Negeri Sipil untuk menduduki jabatan struktural, karena kedudukan jabatan struktural sangatlah rentan dengan penyimpangan-penyimpangan atau kepentingan pribadi yang mendominasi seperti kepentingan politik, kerabat keluarga dan lain-lain.Penelitian terhadap Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural di Kabupaten Bungo dilakukan melalui pendekatan peraturan dan teori yang dihubungkan dengan kenyataan yaitu bagaimana pelaksanaan peraturan kepegawaian di Kabupaten Bungo, yang disebut juga penelitian hukum empiris. Peraturan yang menjadi barometer adalah Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Lemahnya aturan hukum yang berkaitan dengan sanksi pelanggaran terhadap pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 berdampak berkepanjangan dikalangan Pegawai Negeri Sipil itu sendiri, terhadap pelayanan publik serta kinerja Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bungo, antara lain timbulnya sikap apatis dan egosentris bawahan terhadap atasan serta reaksi sosial lainnya, antara lain berupa perilaku yang acuh tak acuh terhadap ugas dan persaingan tidak sehat antar sesama pegawai dan lain-lain yang pada akhirnya menyebabkan Pegawai Negeri Sipil terkotak-kotak secara pikiran.Kata kunci : Pegawai Negeri Sipil, Jabatan Struktural.
PENGETAHUAN HUKUM TENT ANG HUKUM ACARA PERDATA Halida Zia; Mario Agusta; Desy Afriyanti
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 2 (2020): Agustus - Desember 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/.v1i2.404

Abstract

Hukum acara perdata  adalah serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang mengatur pelaksanaan hukum perdata pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam penegakan hukum perdata materiil perlu adanya hukum formil yang mengatur tentang bagaimana hukum materil terlaksana sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia guna tidak terjadinya main hakim sendiri (Eigenrechting. Berbeda dengan hukum acara pidana yang telah memilki sumber hukum tersendiri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedangkan sumber hukum acara perdata masih bermber dari beberapa undang-undang sektoral seperti Undnag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur tentang teknis pelaksanaan serta beberapa undang-undang lainnya.Keywords: Hukum Acara Perdata, Sumber Hukum Acara perdata
HAKIKAT KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA Denindah Olivia
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 2 (2020): Agustus - Desember 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i2.409

Abstract

Pelaksanaan hak kebebasan berekspresi, tanpa adanya rasa takut atau campur tangan penting untuk eksis di tengah-tengah masyarakat yang demokratis, di mana setiap orang mendapatkan akses dalam menikmati hak asasi manusia. Sayangnya, pemerintah di berbagai negara di dunia seringkali memenjarakan orang disebabkan oleh pelaksanaan hak kebebasan berekspresi Pemerintah seringkali melarang penyampaian pidato yang mangandung ujaran kebencian, namun juga kedapatan melakukan penyalahgunaan wewenang mereka untuk membungkam keberagaman pendapat dari warganya, serta mengeluarkan regulasi (peraturan perundang-undangan) yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi belakangan ini. Kebebasan berekspresi sedang berada dalam krisis dikarenakan perlindungannya terancam oleh adanya pihak berwenang yang bersifat represif terhadap aktivis, LSM serta individu yang kritis. Tulisan ini akan menganalisis hak kebebasan berekspresi sebagai suatu hak asasi manusia yang penegakkannya perlu untuk diperkuat di era modern dewasa ini.  Kata kunci : demokratis, hak asasi manusia, hak kebebasan ekspresi, regulasi, pemerintah.
ANALISIS YURIDIS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI Khaidir Khaidir
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 1: Februari 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/.v1i1.327

Abstract

Yang melandasi dasar kebijakan perumusan pembalikan beban pembuktian dalam peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37 A, dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan beban pembuktian ketentuan Pasal 12B dari Perspektif perumusan unsur delik dicantumkan secara lengkap dan jelas (Materiele Feit) dalam suatu pasal sehingga membawa implikasi yuridis, jaksa penuntut umum imperative membuktikan perumusan delik tersebut, karena seluruh bagian inti delik tersebut sehingga  yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kemudian ketentuan Pasal 37 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian karena dicantumkan atau tidak norma Pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan.                 Ketentuan pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta banda yang belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhklan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) Huruf (a) UU nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap gratifikasi jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya terdakwa tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Pasca berlakuknya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi  2003 (KAK 2003) diperlukan suatu modifikasi perumusan norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif, dan restorative.                 Penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam proses persidangan perkara korupsi hakim belum dapat menerapkan ketentuan tersebut. Didalam praktik proses pembalikan beban pembuktian dalam UU  Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 belum dapat digunakan sebagai sarana hukum untuk mempercepat proses pemulihan kerugian/perekonomian Negara (Asset Recovery).                 Faktor yang menghambat pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi adalah pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di dalam hukum, danhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara profesional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimafaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat. Kata kunci : Analisis Yuridis,  Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi.
KESADARAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL STUDI KASUS DI SMA NEGERI 2 MUARA BUNGO Windarto Windarto; Firya Oktaviany
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 2 (2020): Agustus - Desember 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i2.405

Abstract

Media Sosial tidak bisa lepas dan dihindarkan dari kehidupan masyarakat.Semakin meluasnya sudut kehidupan manusia yang menggunakan teknologi dan membutuhkan informasi menjadikan teknologi dan informasi tidak bisa dijauhkan. Dengan adanya penyuluhan hukum ini maka siswa SMA Negeri 2 Muaro Bungomeningkat kesadarannya dalam menggunakan teknologi dan informasi dengan bijak. Mereka juga mengetahui dampak atau akibat dari penggunaan teknologi yang salah. Sehingga menimbulkan diharapkan menimbulkan kesadaran hukum bagi para siswa SMA Negeri 2 Muaro Bungo. Metode PPM dilakukan dengan mengamati permasalahan mitra, mennggunkan pendekatan sosial, partisipatif dan penekatan hukum.  Key words: etika, media sosial
PENGATURAN PENGEMBANGAN UMKM DI INDONESIA Halida Zia
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 1: Februari 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i1.328

Abstract

Pembangunan nasional berdasarkan konstitusi negara Indonesia yakni terdapat dalam  Pasal 33 UUD 1945 tentang demokrasi ekonomi. Salah satunya adalah ekonomi kerakyatan yang dapat berkembang menjadi sumber kekuatan ekonomi yang mandiri dan handal. UMKM memiliki peran dan potensi yang strategis yakninya dapat menyerap tenaga kerja dan bertahan pada saat krisis dunia sekalipun namun tentunya juga ada  permasalahan UMKM terutama dalam akses permodalan dan kemitraan dengan usaha besar.  Peraturan perundang-undangan yang ada belum memberikan kepastian hukum pada UMKM dalam hal akses permodalan terkait dengan jaminan kredit. Ada lebih banyak produk hukum tentang perlindungan terhadap UMKM terutama dari akses permodalan dan kemitraan usaha. Adapun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM sebagai payung hukum yang mengatur tentang sumber modal UMKM dan aturan terkait lainnya Seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sayangnya dari sekian banyak produk hukum yang telah dikeluarkan oleh pemerintah namun belum efektif dalam mengembangkan UMKM sebagaimana cita-cita dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar yakninya menciptakan demokrasi ekonomi yang handal dan mandiri dan dapat bersaing baik skala regional maupun global. Saran agar semua stakeholder bersama-sama berpartisipasi dalam mewujudkan kepastian hukum yg jelas dan tegas serta pelaku usaha besar melakukan kemitraan dengan UMKM.Kata Kunci     : Pemgaturan, Pengembangan, UMKM
PENYALAHGUNAAN ASET NEGARA TERHADAP PEJABAT SECARA PRIBADI DI LUAR FUNGSI KEDINASAN DAN JABATAN Cindy Oeliga; Yensi Afita
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 2 (2020): Agustus - Desember 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i2.406

Abstract

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk sanksi yang diterapkan bagi pejabat yang menggunakan aset negara di luar fungsi jabatan dan kedinasan serta bagaimana dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibatnya. Penulisan ini menggunakan Metode penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu suatu penelitian yang mengkaji baik ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sistematis hubungan antar ketentuan hukum, hukum dalam hal ini bukan sekedar peraturan perundang-undangan, melainkan juga yurisprudence (case law), nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam hidup bermasyarakat, asas-asas hukum, dan juga literature hukum yang berisi pandangan para sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi yang tinggi (the most highty qualified scholar’s opinion). Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa Pengelolaan barang milik daerah meliputi: Perencanaan kebutuhan dan penganggaran, Pengadaan, Penerimaan dan penyaluran, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan, Pemindatanganan, Penatausahaan, Pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi. Bentuk sanksi yang diberikan bagi pejabat atas kelalaian, penyalagunaan atas pengelolaan barang milik negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kata Kunci : Penyalahgunaan Aset Negara, Larangan, Sanksi
PENGATURAN ABORSI DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN INDOENESIA Cindy Oeliga Yensi Afita
RIO LAW JURNAL Vol 1, No 1: Februari 2020
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v1i1.329

Abstract

Dalam konteks KUHP aborsi sangat jelas dilarang dengan alasan apapun dan dalam keadaan apapun. Namun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengecualikan hal tersebut dengan alasan kedaruratan medis dan akibat korban perkosaan dan sebagai pelaksananya dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Hal ini jelas bertentangan dengan KUHP serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan memiliki hak untuk hidup dan meningkatkan taraf  hidupnya begitu pula sebaliknya dengan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Akibat hukum terhadap wanita dan dokter yang melakukan tindakan aborsi ialah dilindungi dan mendapat kekebalan hukum jika tindakan aborsi tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan dan standar di dalam Undang-Undang. Akibat hukum yang ditimbulkan jika tetap diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi ialah akan terjadinya ketidakpastian hukum. Kata Kunci: Pengaturan, Aborsi, Peraturan Perundang-undangan