cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 114 Documents
Elaborasi Wudhu dalam Perspektif Lawn Tafsir al-Ahkam: Kajian Pemahaman terhadap QS. Al-Maidah Ayat 6 Fauzi Fauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11325

Abstract

This article aims to discuss the understanding of ablution in Surat Al-Maidah in the perspective of Ahkam's interpretation. This research is qualitative with documentation data collection techniques. It uses the muqaran (comparative) method by comparing several interpretations of ahkam nuances that are practical (applicative) and intuitively inclined isyari. The result of the research is that the commentator puts forward the views of his school of fiqh tendencies and the style of interpretation according to their respective scientific fields. With their fiqh nuances, some commentators emphasize the members of wudhu', limits (coverage) and frequency of use, including differences in reading rusu'sikum and ru'usakum. According to al-Qusyairi, this washing is not only in the perspective of dhahir but also cleanses the mind to reach spiritual perfection. Artikel ini bertujuan untuk membahas pemahaman wudhu dalam Surat Al-Maidah dalam perspektif tafsir Ahkam. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan menggunakan metode muqaran (komparatif) dengan membandingkan sejumlah tafsir bernuansa ahkam yang sifatnya amali (aplikatif) dan juga isyari yang cenderung intuitif. Hasil dari penelitian adalah bahwa mufassir mengedepankan pandangan kecenderungan mazhab fiqh yang dimilikinya dan corak penafsiran sesuai dengan pembidangan keilmuan masing-masing ada. Sebahagian mufassir dengan nuansa fiqhnya menekankan pada anggota wudhu’, batasan (cakupan) dan frekuensi penggunaannya termasuk perbedaan pada bacaan rusu’sikum dan ru’usakum. Secara isyari, basuhan ini menurut al-Qusyairi, tidak hanya dalam perspektif dhahir, tetapi juga membersihkan batin untuk menggapai kesempurnaan spiritual seorang hamba. 
Qira’at Al-Qur’an dan Perkembangannya di Aceh Muhammad Zaini; Sri Azharani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10183

Abstract

The people of Aceh in general only know one qira'at in reading the Qur'an, namely Qira'at 'Ashim, the history of Hafash, it is caused by the lack of the knowledge of society about qira'at readings from the priests, whereas some people master the reading of qira'ah sab'ah (seven qira'at), qira'ah 'asyarah (ten qira'at) even up to fourteen qira'at. It is marked by the emergence of various writings on the development of qira'at from the Acehnese scholars. However, the limitations of media and socialization make it seem as if this knowledge has never developed. This paper aims to briefly discuss qira'at al-Qur'an and describe how it developed in Aceh, starting from recitation in classical times to modern times. This study uses a descriptive analysis method by collecting data, both in the form of readings and the results of interviews relating to the theme of the discussion. The results of the study show that the development of qira'at in Aceh is a knowledge that should not be forgotten by the wider community, especially the people of Aceh who are not the area of origin from where the Qur'an was revealed. The science and practice of qira'at can develop rapidly in Aceh and get a special place for learning. Masyarakat Aceh pada umumnya hanya mengenal satu qira’at dalam membaca Al-Qur’an, yaitu Qira’at ‘Ashim riwayat Hafash, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bacaan-bacaan qira’at dari para imam. Padahal terdapat beberapa kalangan yang menguasai bacaan qira’ah sab’ah (qira’at tujuh), qira’ah ‘asyarah (qira’at sepuluh) bahkan qira’at empat belas. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai karya tulis pada lintas perkembangan qira’at dari para ulama Aceh. Namun, keterbatasan media dan sosialisasi menjadikan ilmu tersebut seolah-olah tidak pernah berkembang. Tulisan ini bertujuan untuk membahas qira’at al-Qur’an secara ringkas dan menggambarkan bagaimana perkembangannya di Aceh, mulai dari pengajian di masa klasik sampai pada masa modern. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mengumpulkan data-data, baik berupa bacaan maupun hasil dari wawancara yang berkenaan dengan tema pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan qira’at di Aceh menjadi pengetahuan yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat Aceh yang bukan daerah asal dari tempat turunnya al-Qur’an. Bahkan, ilmu dan praktik qira’at bisa berkembang dengan pesat di Aceh serta mendapat tempat khusus untuk pembelajarannya. 
Khazanah Living Quran dalam Masyarakat Aceh Muhammad Ridha
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11372

Abstract

The study of the Quran as a systematic effort towards matters related to the social phenomena of the Muslim community that responds to the Qur'an has been described since the time of the Prophet and his Companions. The emerging tradition is that the Quran is used as memorization (Tahfiz), sima '(listening), and study of Tafseer in addition to being an object of learning to various regions in the form of "Majlis Quran". This has become a treasure for Muslims. Over time, some more traditions and practices can bring the Qur'an to life. In this case, it would be interesting if we studied the living Quran through the people of Aceh. This can be a knowledge for people who do not know that Aceh has many treasures of traditions and practices through the living Quran. This can also be seen through the community's response to various practices covering the living Quran. This article examines the living Quran by examining the phenomena of living Quran practices that live in an Acehnese society in particular. Studi al-Qur’an merupakan sebuah upaya sistematis terhadap hal-hal yang terkait dengan fenomena sosial masyarakat muslim yang merespon al-Qur’an. Fenomena sosial tersebut sudah mulai sejak zaman Rasulullah dan para Sahabat. Tradisi yang muncul adalah al-Qur’an dijadikan dalam bentuk hafalan (Tahfiz), sima` (listening), dan kajian tafsir disamping sebagai obyek pembelajaran ke berbagai daerah dalam bentuk majlis al-Qur’an. Hal ini menjadi suatu khazanah bagi umat islam. Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah tradisi maupun praktik yang mampu menghidupkan al-Qur’an. Dalam hal ini, akan jadi menarik jika kita mengulik living quran lewat masyarakat Aceh. Hal ini dapat menjadi suatu pengetahuan juga bagi masyarakat yang belum mengetahui bahwa Aceh memiliki segudang khazanah tradisi maupun praktik-praktik melalui living quran. Hal ini juga dapat dilihat melalui respon masyarakat baik dari segi macam-macam praktik yang meliput living quran. Serta mengkaji living quran dengan mengupas fenomena praktik living quran yang hidup di masyarakat Aceh khususnya.
Konteks Teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an Rima Annisa; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12549

Abstract

Prophet Muhammad is a messenger of God who carries the trust to deliver the message and be an example for all mankind. On the other hand, in certain contexts the Prophet Muhammad also received a rebuke from Allah for the mistake of his attitude. This paper aims to explain the opinion of the commentator on the rebuke and in what context the Prophet Muhammad received a rebuke from God. This research is qualitative by examining various sources of tafsir books. The results of this study show that God's rebuke to the Prophet is intended as a teaching and refinement of the Prophet's personality. The author finds several contexts about Allah's rebuke to the Prophet Muhammad in the Qur'an, namely about the Prophet's sour-faced attitude towards Ummi Maktum, giving permission to the hypocrites not to take part in the war, performing pray for the hypocrites who died in disbelief, asking for forgiveness for the polytheists, moving the tongue during the revelation of verses, cursing the polytheists, desiring the spoils of war, making treaties with the polytheists of Mecca without accompanying them with the word ‘Insyā Allāh’ and forbidding things that are lawful by Allah. The various rebukes are recorded in the Qur'an in various contexts, and this proves that the Qur'an is not the work of the Prophet, but he is the recipient of revelation from God and shows that the Prophet Muhammad was a weak creature before God. Nabi Muhammad merupakan salah seorang utusan Allah yang mengemban amanah untuk menyampaikan risalah serta menjadi contoh teladan bagi seluruh umat manusia. Di sisi lain, pada konteks tertentu Nabi Muhammad juga mendapat teguran dari Allah atas kekeliruan sikap yang dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat mufasir terhadap teguran tersebut dan dalam konteks apa saja Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan mengkaji berbagai sumber dari kitab tafsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teguran Allah terhadap Nabi dimaksudkan sebagai pengajaran dan penyempurnaan kepribadiannya. Beberapa konteks teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam al-Qur’an adalah sikap Nabi yang bermuka masam terhadap Ummi Maktum, memberi izin kepada orang-orang munafik untuk tidak ikut berperang, melakukan salat terhadap munafik yang mati dalam keadaan kafir, meminta ampunan bagi orang-orang musyrik, menggerakkan lisan ketika turun wahyu, melaknat orang-orang musyrik, menghendaki harta rampasan perang, membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik Mekah tanpa mengiringi dengan kata ‘Insyā Allāh’ dan mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah. Berbagai teguran tersebut terekam dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks, dan ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah hasil karya Nabi Saw., tetapi ia adalah penerima wahyu dari Allah serta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad merupakan makhluk yang lemah di hadapan Tuhan-Nya. 
Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an: Analisis Penafsiran Kelompok Millah Ibrahim Mohd Farhan bin Md Amin; Maizuddin Maizuddin; Hisyami bin Yazid
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12887

Abstract

Millah Ibrahim is a group that emerged in Johor and believes that prayer is not an obligation in Islam, they believe in the Day of Judgment, and are trying to unite the teachings of Islam, Christianity, and Judaism so that it has a great impact on the common people. Their opinions are based on the verses of the Qur'an with a distorted understanding. This article tries to examine how the deviations in the interpretation of the Qur'an were carried out by the Millah Ibrahim group and how the impact of these deviations on the people of Johor. The results show that the deviations in interpretation carried out by Millah Ibrahim's group are seen in Surah al-Maidah verse 68, Surah al-Baqarah verse 22, al-Ankabut verse 45, and al-Hijir verse 87. These deviations generally occur because of the lack of fulfillment of the requirements to become a commentator. The impact of these deviations, where the general public in Johor was consumed by the explanations presented by this group. This group explains that what is meant by the Day of Judgment mentioned in the Qur'an is not the day when this world is destroyed and then the jinn and humans are resurrected, but what they mean is the day of religious awakening. Millah Ibrahim merupakan satu kelompok yang muncul di Johor, dan berpandangan bahwa salat bukan kewajiban dalam Islam, mereka percaya pada hari kiamat, dan berusaha menyatukan ajaran Islam, Kristen dan Yahudi, sehingga memberi dampak yang besar kepada masyarakat awam. Pendapat-pendapat mereka didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an dengan pemahamanan yang meyimpang. Artikel ini mencoba menelaah bagaimana penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh kelompok Millah Ibrahim dan bagaimana dampak penyimpangan tersebut terhadap masyarakat Johor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan penafsiran yang dilakukan oleh kelompok Millah Ibrahim terlihat dalam surat al-Maidah ayat 68, surat al-Baqarah ayat 22, al-Ankabut ayat 45, dan al-Hijir ayat 87. Penyimpangan tersebut pada umumnya terjadi karena kurang terpenuhinya syarat-syarat untuk menjadi seorang mufasir. Dampak dari penyimpangan tersebut, dimana masyarakat awam di Johor termakan oleh penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh kelompok ini. Kelompok ini menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan hari kiamat yang disebut dalam al-Qur’an bukanlah hari dimana dunia ini hancur dan kemudian jin dan manusia dibangkitkan kembali, tetapi yang mereka maksud adalah hari kebangkitan agama.
Tahfiz Al-Qur’an dalam Perspektif Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Periode 2013-2015 Furqan Amri; Suarni Suarni; Nurul Fadhilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12553

Abstract

This study aims to find out how the views of students of the study program of al-Qur'an and Tafsir of the year among 2013-2015 on the subject of tahfiz al-Qur'an . This research is field research using a qualitative approach that is guided by qualitative data, namely data from questionnaires, interviews, observations, and documentation. Collecting the data using a research instrument in the form of a list of questions summarized in a questionnaire and distributed to 50 samples of al-Qur'an and Tafsir students in the year among 2013-2015. Meanwhile, interviews were conducted with the caregivers for the tahfiz al-Qur'an subject. The documentation method is used to collect data about things in the form of transcripts, notes, photos, and so on and complete the data obtained from interviews or observations. The collected data is then analyzed and it shows that: All students of the Al-Qur'an and Tafsir Study Programs agree that Hifz al-Qur'an is a very important subject for this major. Among the reasons they explained was that with the existence of this Constitutional Court, it was very easy to understand the Qur'an and also study its Tafsir. Based on the results of the interviews, it can be concluded that the lecturers always provide direction regarding the methods that can be applied in memorizing the Qur'an, and the obstacles faced by students can be resolved by always approaching the Qur'an. Abstrak: Tahfiz al-Qur’an merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir mulai dari semester pertama hingga semester lima. Dalam proses belajar mengajar, banyak mahasiswa yang menyetor hafalan kepada dosen ketika mendekati batas waktu setoran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015 terhadap mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Penelitian ini bersifat kajian lapangan dengan pendekatan kualitatif yang berpedoman pada data hasil angket, wawancara, obeservasi dan dokumentasi. Pengumpulan data melalui angket didistribusikan kepada 50 orang sampel mahasiswa Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015, sedangkan wawancara dilakukan terhadap dosen pengasuh mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir setuju bahwa Hifz al-Qur’an adalah mata kuliah yang sangat penting bagi Program Studi ini, alasan yang mereka jelaskan adalah karena mata kuliah ini membantu mahasiswa dalam memahami al-Qur’an dan juga mempelajari Tafsirnya. Para dosen senantiasa memberikan pengarahan terkait metode-metode yang dapat diterapkan dalam menghafal al-Qur’an, dan kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa dapat diselesaikan dengan senantiasa mendekatkan diri kepada al-Qur’an.
Penafsiran Ayat-Ayat Takdir dalam Al-Qur’an Nuraini Nuraini; Khairunnisa Khairunnisa
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12579

Abstract

Muslims throughout history have been divided into three groups in the understanding of fate: groups that are excessive, groups that deny, and groups that are moderate. In strengthening the argument in the debate, each group uses the verses of the Qur'an incompletely. Resulting in contradiction of verses. This is the problem that the author raises in this study, by reviewing three books of Tafsir. The methods used are mauḍhūʻi and muqarān methods, with the type of qualitative research of literary objects. The research aims to determine the interpretation of the verses of fate in the Qur’an according to Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl al-Qur’an, and al-Miṣbāḥ. According to Tafsīr al-Ṭabarī, fate is an absolute provision that has been written in Lauḥ Mahfūz, whether in the form of good or bad. But with the perseverance of worship, the provisions or fate in Lauh Mahfuz can be changed. According to the fī Ẓilāl of the Qur’an, human fate is supernatural therefore man must strive in all his deeds even if the end result is determined by Allah. According to Tafsīr al-Miṣbāḥ, human beings are in the fate of Allah which have certain dimensions. So that God commands human beings to choose based on the potential of the intellect that has been bestowed by Him. The author understands that fate is everything that has been written in Lauḥ Mahfūz. But this does not mean that human beings should ignore the ability of the intellect that has been bestowed by God. Umat Islam dalam sepanjang sejarah terbagi menjadi tiga kelompok dalam memahami takdir: kelompok yang berlebihan, kelompok yang mengingkari, dan kelompok yang bersikap pertengahan terhadap takdir. Untuk menguatkan argumen dalam berdebat, masing-masing menggunakan dalil al-Qur’an secara tidak utuh. Sehingga ayat-ayat tersebut terlihat seakan-akan bertentangan. Permasalahan inilah yang penulis angkat di dalam penelitian ini, dengan mengkaji dari tiga kitab Tafsir. Metode digunakan adalah metode mauḍhūʻi dan muqarān, dengan jenis penelitian kualitatif objek kepustakaan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat takdir di dalam al-Qur’an menurut Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl Al-Qur’an, dan al-Miṣbāḥ. Menurut Tafsīr al-Ṭabarī, takdir adalah ketentuan mutlak yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz, baik berupa kebaikan atau keburukan. Namun dengan ketekunan beribadah ketentuan atau takdir di Lauh Mahfuz dapat saja berubah. Menurut fī Ẓilāl Al-Qur’an, takdir manusia bersifat ghaib karena itu manusia harus berusaha dalam segala perbuatannya meskipun hasil akhir ditentukan oleh Allah. Menurut Tafsīr al-Miṣbāḥ, manusia berada dalam takdir-takdir Allah yang memiliki ukuran-ukuran tertentu. Sehingga Allah menyuruh kepada manusia untuk memilih berdasarkan potensi akal yang telah di anugerahkan-Nya. Penulis memahami bahwa, takdir adalah segala sesuatu yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz. Namun bukan berarti manusia harus mengabaikan kemampuan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Interpretasi Khimar dan Jilbab dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Sri Kiki Novianda
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12555

Abstract

This paper aims to explain the meaning, function and position of the words khimar and jilbab in the Qur’an. In Surat al-Nur verse 31 Allah explains the limitations of the aurat of a Muslim woman and details the meaning of khimar as a cloth (veil) used to cover her hair (head), neck and chest. Meanwhile, in Surat al-Ahzab verse 59, Allah explains about the clothes that serve to cover the entire body of women. Both words have the same meaning and purpose, namely as a cover for women's aurat. Generally, people understand that the hijab is a khimar (veil), such an understanding will affect its users and obscure its true meaning. This study is a literature study, data used from various scientific works that lead to the problems studied. The main data sources used are tafsir books, to find the meaning and position of the two terms. The results show that khimar and jilbab are two words with different meanings. Khimar is a garment that reaches half of the jilbab, while the jilbab is a garment that covers the entire body. It can be concluded that the word jilbab which is understood by the public as the veil, is basically the meaning of khimar, while the jilbab is a garment or wide shirt that is able to cover the entire body of women. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan makna, fungsi dan kedudukan kata khimar dan jilbab dalam al-Qur’an. Dalam Surat al-Nur ayat 31 Allah menjelaskan tentang batasan aurat perempuan muslim dan merinci makna khimar sebagai kain (kerudung) yang digunakan untuk menutup rambut (kepala), leher dan dadanya. Sedangkan dalam Surat al-Ahzab ayat 59, Allah menjelaskan tentang pakaian yang berfungsi untuk menutup seluruh tubuh perempuan. Kedua kata tersebut memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu sebagai penutup aurat perempuan. Umumnya, masyarakat memahami bahwa jilbab adalah khimar (kerudung), pemahaman demikian akan mempengaruhi penggunanya dan mengaburkan makna sebenranya. Kajian ini bersifat kepustakaan, data yang digunakan dari berbagai karya ilmiah yang mengarah pada permasalahan yang diteliti. Sumber data utama yang digunakan ialah kitab-kitab tafsir, untuk menemukan makna dan kedudukan dua istilah tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa khimar dan jilbab merupakan dua kata dengan makna yang berbeda. Khimar adalah pakaian yang mencapai setengah dari jilbab, sementara jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh. Dapat disimpulkan bahwa kata jilbab yang dipahami oleh masyarakat secara umum dengan maksud kerudung, pada dasarnya adalah pengertian dari khimar, sedangkan jilbab merupakan pakaian atau baju lebar yang mampu menutupi seluruh tubuh perempuan. 
Ungkapan Ūlū Al-Albāb menurut Mufasir Syukran Abu Bakar; Putri Balqis
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12559

Abstract

The Qur'an is a holy book that contains a discussion of many things, one of which is related to reason, namely ulū al-albāb. The word ulū al-albāb is mentioned 16 times in the Qur'an. Ulū al-albāb means people who have a reason or use reason. In the Indonesian translation, the term ulū al-albāb is defined as intelligent people or people who have common sense, while interpreters (mufasir) give a general and different meaning to the word ulū al-albāb. On this basis, it is necessary to conduct an in-depth study of the meaning of ulū al-albāb, so that it can be known in detail the meaning of ulū al-albāb according to the views of interpreters. This study is bibliographic in nature and the data collection is carried out thematically (mauḍū'i). The results showed that the interpreters gave different meanings regarding the term ulū al-albāb. SayyidQutb explained that ulū al-albāb are the people who first received direction to taqwa, while according to M. QuraishShihab it means people who have pure reason (a mind that is clean from lust), while al-Maraghi defines ulū al-albāb with people who understand and maintain the meaning of life, the secrets and wisdom of enforcing the law, and the benefits contained in the law. The duties and responsibilities of ulū al-albāb are to disseminate knowledge to lead society and foster the morals of Muslims. Alquran merupakan kitab suci yang memuat pembicaraan banyak hal, salah satu pembicaraannya berkenaan dengan akal, yaitu ūlū al-albāb. Kata ūlū al-albāb disebutkan sebanyak 16 kali dalam Alquran.Secaralahirūlū al-albābberarti orang yang mempunyai akal atau menggunakan akal.Dalam terjemahan Indonesia, istilah ūlū al-albāb diartikan dengan orang-orang yang berakal atau orang-orang yang mempunyai akal sehat, sedangkan mufasirmemberi pemaknaan terhadap kata ūlū al-albāb  secara umum dan berbeda. Atas dasar tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam tentang makna ūlū al-albāb, sehingga dapat diketahui dengan detail maknaūlū al-albābmenurut pandangan ulama tafsir. Kajian ini bersifat kepustakaan dan dalam pengumpulan data dilakukan secara mauḍū’i (tematik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mufasirmemberikan pengertian yang berbeda-beda terkait istilah ūlū al-albāb. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa ūlū al-albābyaitu orang-orang yang pertama kali mendapat pengarahan kepada taqwa, sedangkan menurut M. Quraish Shihab mengartikannya dengan orang yang mempunyai akal murni (akal yang bersih dari hawa nafsu), sementara al-Maraghi ūlū al-albābmendefinisikannya dengan orang yang mengerti dan memelihara arti kehidupan, mampu memahami rahasia dan hikmah ditegakkannya hukum, mereka mampu memahami maslahat yang terdapat didalam hukum. Tugas dan tanggung jawab ūlū al-albābadalahmenyebarluaskan ilmu pengetahuan dalam rangka memimpin masyarakat dan membina akhlak umat Islam.
Problematika Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm Usmani pada Al-Qur’an Cetakan Indonesia dan Malaysia Muhammad Zaini; Nor Hafizah binti Mat Jusoh
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12508

Abstract

The Qur'an is a direct miracle of the Prophet Muhammad and the main source in Islam. Therefore, the Qur'an needs to be kept seriously, not only in understanding and interpreting it, but also in knowing the history of its descent, the form of the letters, and how the letters are formed. Rasm Usmani is Rasm al-Qur'an which has been agreed upon by the companions of the Prophet and is used as a guide and reference standard for writing the Qur'an by Muslims until now. However, there are still many prints of the Qur’an that violate Rasm Usmani. from the background of problem above, this study aims to find out how the history of the writing of the Qur'an, the background of the emergence of Rasm Usmani and the rules for writing verses of the Qur'an in Rasm Usmani. This research is a literature study with a historical approach. The results showed that the writing of the Qur'an was the sunnah of the Prophet which was followed by ijmak (agreement) by all scholars, because the writing was in the form of tauqifiyyah which was carried out under the supervision of the Prophet. Rasm Usmani is the writing of the verses of the Qur'an which was used and approved by Caliph Usman when the process of writing the Qur'an was carried out. The Uthmani Rasm has been agreed upon by the scholars, so that the Rasm must be followed in its entirety by not adding or subtracting a single letter. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. secara langsung dan  sumber utama dalam Islam. Karena itu al-Qur’an perlu dijaga secara sungguh-sungguh,  tidak hanya pada memahami dan menafsirkannya, tapi juga mengetahui sejarah turunnya, bentuk huruf-hurufnya, dan  bagaimana bentuk hurufnya. Rasm Usmani merupakan Rasm al-Qur’an yang telah disepakati sahabat Rasulullah serta dijadikan pedoman dan standar rujukan penulisan  al-Qur’an oleh kaum muslim sampai sekarang. Namun, masih terdapat banyak cetakan al-Qur’an yang menyalahi Rasm Usmani. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah penulisan al-Qur’an, latar belakang munculnya Rasm Usmani serta kaidah-kaidah penulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam Rasm Usmani. Penelitian ini bersifat kepustakaan dengan pendekatan historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah yang diikuti secara ijmak (sepakat) oleh seluruh ulama, karena penulisannya berbentuk  tauqifiyyah yang dilakukan di bawah pengawasan Nabi. Rasm Usmani merupakan penulisan ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan dan disetujui oleh Khalifah Usman ketika proses penulisan al-Qur’an dilakukan. Rasm Usmani telah disepakati para ulama, sehingga rasm itu harus diikuti secara utuh dengan tidak menambah atau mengurangi satu hurufpun. 

Page 5 of 12 | Total Record : 114