cover
Contact Name
Locus Media Publishing
Contact Email
locusmediapublishing@gmail.com
Phone
+6281360611911
Journal Mail Official
support@jurnal.locusmedia.id
Editorial Address
Jalan Sunggal, Komplek Sunggal Mas No.A-9. Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia, 20127.
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : 28099265     DOI : -
Core Subject : Education, Social,
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum merupakan sebuah portal jurnal yang didedikasikan untuk publikasi hasil penelitian yang berkualitas tinggi dalam rumpun ilmu hukum. Semua publikasi dijurnal ini bersifat terbuka untuk umum yang memungkinkan artikel jurnal tersedia secara online. Jurnal Konsep Ilmu Hukum menerbitkan penelitian akademik interdisipliner yang menguji atau mengembangkan teori ilmiah hukum atau sosial tertentu tentang hukum dan lembaga hukum, termasuk pengajuan singkat yang mengkritik atau memperluas artikel yang diterbitkan dalam edisi sebelumnya. Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum menekankan pendekatan ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan lainnya, tetapi juga menerbitkan karya sejarawan, filsafat, dan orang lain yang tertarik pada perkembangan ilmu hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 34 Documents
Pengaturan Dan Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Transfer Dana Ditinjau Dari Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana Alberth Mangasi Rumahorbo; Mahmud Mulyadi; Mohammad Ekaputra; Detania Sukarja
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana menambah jenis tindak pidana khusus yang sebelumnya ada di Indonesia. Tindak pidana khusus tersebut adalah tindak pidana transfer dana. Dalam undang-undang tersebut diatur beberapa perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana transfer dana, yang salah satunya adalah perbuatan dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 85.Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konseptual. Data yang digunakan terdiri dari data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik studi pustaka dan studi dokumen, data tersebut dianalisa secara kualitatif.Tidak pidana transfer dana memberikan alternatif baru bagi aparat penegak hukum dalam menentukan ancaman pidana dari suatu peristiwa pidana. Sebelum undang-undang tersebut, aparat hukum cenderung menggunakan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar pemidanaan terhadap peristiwa pidana dimaksud. Namun penerapan undang-undang tersebut masih jarang digunakan aparat hukum karena penerapan ketentuan tersebut membutuhkan proses penyelidikan dan penyidikan yang lebih dalam lagi, untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Undang-undang tersebut juga masih memiliki kekurangan dalam ancaman pidana pokok dan pidana tambahan. Karena apabila pelaku tindak pidana tersebut berbentuk subjek hukum korporasi, maka berlaku ketentuan Pasal 87 undang-undang tersebut, yang menimbulkan kecenderungan bagi Majelis Hakim untuk hanya memberikan sanksi pidana pokok berupa denda dan sanksi tambahan berupa pengembalian dana milik korban atau perbankan, tanpa memberikan sanksi pidana penjara untuk memberikan efek jera. Kata kunci: Perbankan, Sanksi Pidana, Tindak Pidana Transfer Dana. Abstract The Law Number 3 of 2011 concerning Fund Transfers increase the types of special crimes that previously existed in Indonesia. It is a criminal act of transferring funds. The law regulates several acts that qualify as a criminal act of transferring funds, one of them is the act of deliberately controlling and acknowledging as his own funds resulting from the transfer that known or should be known to be not his rights as regulated in Article 85. This study uses a normative research method with a statutory approach and conceptual. The data consists of secondary data. Data collection techniques consisted of literatur study techniques and document studies, the data were analyzed qualitatively. The criminal act of transferring funds provide a new alternative for law officers in determining the criminal threat of a case. Prior to the law, law officers tended to use Article 372 of the Criminal Code as the basis for sentencing the said criminal event. However, the application of the law is still rarely used by legal officials because the application of these provisions requires a deeper investigation process, and to determine criminal liability. The law still has shortcomings in the threat of basic and additional penalties. Because if the perpetrator of the crime is in the form of a corporate legal subject, then the provisions of Article 87 of the law applied, which creates a tendency for the Panel of Judges to only impose basic criminal sanctions as fines and additional sanctions as returning funds belonging to victims or banks, without giving criminal sanctions in prison to provide a deterrent effect. Keywords: Banking, Criminal act of transferring funds, Criminal sanctions.
Penerapan Pasal 112 Dan Pasal 127 Ayat 1 Huruf A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika: Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 1023/Pid.Sus/2018/PN.RAP; 762/Pid.Sus/2017/PN.Rap; 712/Pid.Sus/2017/PN.Rap Naharuddin Rambe; Alvi Syahrin; Sunarmi; Mahmud Mulyadi
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu permasalahan nasional yang dipandang serius oleh pemerintah, karena dapat menyebabkan rusaknya moral bangsa, Pelaku tindak pidana narkotika tidak jarang mendapatkan hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang kurang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Pada kasus-kasus narkotika, terdapat beberapa pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku ialah Pasal 114, Pasal 112, dan Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ketiga pasal tersebut, terdapat dua pasal yang multitafsir dan ketidak jelasan rumusan yaitu pada Pasal 112 dan Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal multitafsir tersebut akan mengakibatkan para pelaku kejahatan narkotika (pengedar) akan berlindung seolah-olah dia korban kejahatan narkotika. Bahwa hal tersebut akan berdampak pada penjatuhan hukuman dengan hukuman yang singkat sehingga menimbulkan ketidakadilan pada proses pelaksanaannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk menganalisa, mengidentifikasi formulasi dan perbedaan kualifikasi Pasal 112 dan Pasal 127 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta mengkaji dasar pertimbangan Hakim dalam menerapkan Pasal 112 dan Pasal 127 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Putusan Nomor 1023/Pid.Sus/2018/PN.Rap Nomor 762/Pid.Sus/2017/PN.Rap, dan Nomor 712/Pid.Sus/2017/PN.Rap. Kata kunci: Formulasi, Kualifikasi, Pengeder dan Penyalahguna Narkoba. Abstract Drug traffic and drug abuse are one of the main national and serious problem because they can mar the people's morality. However, the perpetrators of drug criminal offense are treated unfairly in court for justice and legal certainty. In the cases of narcotics, the articles imposed on the perpetrators are Article 114, , Article 112, and Article 127 of Law No. 35/2009 on Narcotics. Of the three Articles above, two of them (Article 112 and Article 127) have multi-interpretation and unclearness of formula about narcotics which can cause the perpetrators (drug dealers) to get the alibi as if he were the victim. That it will cause the sentence will be reduced so that there will be injustice in its implementation. The objective of the research is to analyze and to identify the formulation and the difference of the qualification of Article 112 and Article 127, paragraph 1 letter a of Law No. 35/2009 on Narcotics and analyzed the judges' consideration in implementing of these two Articles in the Verdicts Number 1023/Pd.Sus/2018/PN.Rap, Number 762/Pid.Sus/2017/PN.Rap, and Number 712/Pid.Sus/ Pid.Sus/2017/PN.Rap. Keywords: Drag Dealers and Abuser, Formulation, Qualification.
Analisis Yuridis Peran Pemerintah Kabupaten Gayo Dalam Perlindungan Indikasi Geografis Terhadap Produk Lokal Rifqi Muttaqin
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kendala dalam proses pendaftaran Indikasi Geografis terhadap produk di Kabupaten Gayo untuk pengajuan usul produk yang akan didaftarkan tidaklah mudah dikarenakan indikasi geografis tidak dapat didaftarkan oleh perseorangan harus melalui kelompok masyarakat maupun pemerintah daerah adapun dalam jangka waktunya memerlukan waktu yang lama dan prosedur yang agak rumit dikarenakan produk tersebut harus memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda dari yang lain dan telah mempunyai untuk didaftarkan sebagai produk indikasi geografis. Peran pemerintah daerah untuk pendaftaran Indikasi Geografis terhadap produk di Kabupaten Gayo, keterlibatan peran Pemda penting lainnya terkait pelindungan indikasi geografis adalah pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan indikasi geografis perlu dilakukan dalam rangka untuk tetap menjamin adanya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi diterbitkannya indikasi geografis serta mencegah penggunaan indikasi geografis secara tidak sah. Peran pemerintah setelah adanya pendaftaran Indikasi Geografis terhadap produk di Kabupaten Gayo. Pengadaan obat-obatan terhadap produk lokal yang ada selalu diajukan ke APBA maupun APBN, dikarenakan APBK cukup minim, adapun tindakan pemerintah pasca pendaftaran indikasi geografis melakukan pengawasan dan pembinaan sesuai ketentuan UU merek dan indikasi geografis. Kata kunci: Indikasi Geografis, Pemerintah Kabupaten Gayo, Perlindungan, Produk Lokal. Abstract The obstacles faced during the registration of Geographical Indications are: that the submission of the product proposal is not easy since geographical indications cannot be registered by individuals. Geographical indications must be proposed by community groups or local government; the registration process takes a long time and requires a quite complicated procedure because the product must have certain characteristics and be different from other products that have already been registered. The role of local government in the registration of Geographical Indications for the products in Gayo regency and the involvement of other Local Governments (Pemda) regarding the protection of Geographical Indications is in terms of counseling and supervision. Both counseling and supervision on the Geographical Indications are required in order to continue to guarantee reputation, quality, and characteristics which have been the basis of the issue of Geographical Indications and to prevent the unauthorized use of Geographical Indications. In addition, the procurement of local medicines requires the procedure by submitting a proposal either to Aceh Government Budget (APBA) or State Budget (APBN) because Village Revenue and Expenditure Budget (APBK) is relatively minimal. Therefore, the role of local government after registration of Geographical Indications of the products in Gayo regency is exercised by conducting supervision and counseling under the provision of the Law on Trademark and Geographical Indications. Keywords: Gayo Regency Government, protection of geographical indications, local product.
Wanprestasi Pengeluaran Performence Bond (Jaminan Pelaksana) Dalam Kontrak Pekerjaan Pengeboran Minyak : Studi Putusan Mahkamah Agung No. 731/PK/Pdt/2018 Selvina
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jaminan Pelaksana pada kontrak pengeboran minyak adalah jaminan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pemberi kerja/pemilik proyek dalam meminimalkan risiko kerugian yang akan terjadi jika pelaksana proyek/kontraktor dari perusahaan penyedia jasa pengeboran minyak dan gas bumi wanprestasi. . Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dapat terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil pembahasan dalam penelitian ini adalah tidak terpenuhinya capaian berupa pelaksanaan pekerjaan pemboran minyak yang hasilnya tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditandatangani, pekerjaan pemboran minyak tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, pekerjaan pemboran minyak selesai tetapi tidak sesuai dengan jangka waktu atau dengan pekerjaan yang telah diperjanjikan dalam kontrak pemboran minyak. Kontrak jaminan kerja no. 16.9463.02.08.0472 ditandatangani oleh PT Asuransi Ramayana Tbk dengan PT Saripari Pertiwi Abadi dengan nilai kontrak sebesar US$ 42.201.000 (US Dollar empat puluh dua juta dua ratus satu ribu) sampai dengan US$ 37.091.975,87 (US Dollar) tiga puluh tujuh juta sembilan puluh -seribu sembilan ratus tujuh puluh lima delapan puluh tujuh sen) dengan nilai jaminan USD 2.110.050 (dua juta seratus sepuluh ribu lima puluh dolar Amerika Serikat) tidak lagi mempunyai kekuatan hukum oleh para pihak karena dibatalkan oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal ini adalah Putusan Mahkamah Agung No. 731 PK/Pdt/2018. Kata kunci: Jaminan Pelaksana, Pengeboran Minyak. Abstract Performance bond (performance bond) of oil drilling contracts is a guarantee whose purpose is to provide protection to the employer/project owner in minimizing the risk of loss that will occur if the project implementer/contractor of the oil and gas drilling service provider company defaults. The type of research used in this research is normative juridical research. The nature of this research is descriptive analytical. The data used is secondary data which can consist of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The results of the discussion in this study are the non-fulfillment of achievements in the form of the implementation of oil drilling work whose results are not in accordance with the signed agreement, the oil drilling work cannot be completed according to the agreed timeframe, the oil drilling work is completed but not in accordance with the timeframe or with the the work that has been agreed upon in the oil drilling contract. Employment guarantee contract no. 16,9463.02.08.0472 signed by PT Asuransi Ramayana Tbk with PT Saripari Pertiwi Abadi with a contract value of US$ 42,201,000 (US Dollar forty-two million two hundred and one thousand) to US$ 37,091,975.87 (US Dollar) thirty-seven million ninety-one thousand nine hundred seventy-five eighty-seven cents) with a guarantee value of USD 2,110,050 (two million one hundred ten thousand and fifty United States dollars) is no longer legally enforceable by the parties because it has canceled by a court decision that has permanent legal force in this case is the Supreme Court Decision No. 731 PK/Pdt/2018. Keywords: Performance Bond, Oil Drilling.
Tanggungjawab Produsen Terhadap Kerugian Atas Produk Yang Dijual Melalui Sistem Penjualan Langsung (Direct Selling) Secara Multi Level Gomgomie Andrew Hutagalung; Sunarmi; T. Keizerina Devi; Dedi Harianto
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sejalan dengan bervariasinya barang dan/atau jasa yang ada, kegiatan pemasaran barang dan/atau jasa tersebut menjadi suatu kegiatan yang penting dari keseluruhan kegiatan pelaku usaha. Ada beragam bentuk metode pemasaran barang dan/atau jasa, salah satunya adalah bentuk multi level marketing yang merupakan bentuk pemasaran dengan sistem penjualan langsung (direct selling). Faktanya sistem penjualan multi level marketing dapat menimbulkan permasalahan hukum terkait perlindungan konsumen terhadap kerugian atas barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan. Untuk itu penelitian ini berujuan untuk menganalisis mengenai tanggung jawab produsen terhadap produk yang dijual dengan sistem penjualan langsung secara MLM. Berdasarkan hasil penelitian tanggung jawab produsen terhadap produk yang dijual dengan sistem penjualan langsung secara multi level marketing memberikan tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari kerja kepada mitra usaha dan konsumen untuk mengembalikan barang dan memberi kompensasi berupa ganti rugi, kemudian perusahaan dalam memasarkan produknya mengikuti peraturan perundang-undang yang berlaku yaitu peraturan tentang sistem penjualan langsung dan undang-undang perlindungan konsumen. Kata kunci: Kerugian atas produk, multi level marketing, sistem penjualan langsung, Tanggung jawab produsen. Abstract In line with the variety of existing goods and/or services, the marketing of these goods and/or services becomes an important activity of the overall activities of business actors. There are various forms of marketing methods for goods and/or services, one of which is a form of multi-level marketing which is a form of marketing with a direct selling system. In fact, the multi-level marketing sales system can cause legal problems related to consumer protection against losses for goods or services produced by the company. For this reason, this study aims to analyze the producer's responsibility for products sold with an MLM direct selling system. Based on the results of the research, the producer's responsibility for products sold with a direct selling system in multi-level marketing provides a grace period of 7 (seven) working days for business partners and consumers to return goods and provide compensation in the form of compensation, then the company in marketing its products follows the regulations. the applicable laws are regulations on direct sales systems and consumer protection laws. Keywords: direct sales system, multi level marketing, Producer responsibility, Product loss.
Peran Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Deus Levolt Sihombing; Bismar Nasution; Faisal Akbar Nasution; Mahmul Siregar
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat Peraturan perundang-undangan. Untuk mencapai peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan naskah akademik yang baik dan tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Untuk itu, tujuan penelitian ini akan membahas mengenai latar belakang diperlukannya naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; serta fungsi naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian latar belakang diperlukannya naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah demi tercapainya cita-cita hukum, demi terwujudnya asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Fungsi naskah akademik adalah sebagai naskah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dari sebuah peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan legislatif. Kata kunci: Naskah Akademik, Pembentukan, Peraturan Perundang-undangan. Abstract Academic texts are research results or legal assessment and other research results are subject to a particular problem that can be scientifically accounted for by setting a short problem, Draft Provincial Regulations, or the District / City Regional Regulation Draft as a solution to the problem and legal requirements of the statutory regulations. To achieve good legislation for people who like and don't know what to do. For this reason, the purpose of this study will be to discuss the background of academic texts in legislation; and the function of academic texts in the formation of legislation. Based on having background research the need for academic texts in the drafting of legislation is for the sake of achieving legal ideals, for the sake of adjudicating the principles of establishing good legislation. The function of an academic text is as a responsible scientific text containing the background, purpose of preparation, goals to be realized, members of the description of the substanti, the material and scope of a safe waters are made, and members of consideration in the context of bathe for the ex-executive and legislative parties. Keywords: Academic Manuscripts, Establishments, Legislation Regulations.
Upaya Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Produk Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Standar Nasional Indonesia Ciptawan Ciptawan; Budiman Ginting; Sunarmi Sunarmi; Mahmul Siregar
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

SNI merupakan bentuk nyata keinginan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menyatakan secara jelas standard dan syarat apa yang harus dipenuhi pelaku usaha, penerapan dan pemberlakuan standar tidak diuraikan secara jelas dan lengkap pengaturannya. Kewajiban SNI secara garis besar diatur dalam UU No. 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, sedangkan Pengaturan lanjutan diterapkan melalui Peraturan Menteri dan Petunjuk Teknis. Pertanggungjawaban pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban SNI adalah pertanggungjawaban produk (product liability), sehingga pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban secara perdata dan pidana. UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian tidak mengatur perihal pertanggungjawaban perdata pelaku usaha. Upaya hukum penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha sebagai akibat kerugian yang ditimbulkan oleh produk yang tidak memenuhi kewajiban SNI dapat diajukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Nasional (BPSK) atau diajukan langsung kepada peradilan umum berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur perihal penyelesaian sengketa, tetapi UU No. 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian tidak mengatur perihal tersebut. Kata kunci: Konsumen, Perlindungan Hukum, Tanggung Jawab Hukum, SNI. Abstract Indonesian Compulsory Standard (SNI) is the government action to give protection to consumers. Law No. 8 Year 1999 concerning Consumer Protection does not clearly mention what kind of standard and requirement should be fulfilled by business practitioners, the implementation of standard are not clearly explained, as well with its arrangementCompulsory standards are highlighted under Law No. 20 Year 2014 concerning Standardization and Conformity Assessment, for the further arrangement is implemented under Ministry Regulations and Technical Instructions. Products that do not fulfil compulsory standards can be exposed with product liability, and therefore business practitioners must bear the criminal and the civil liability. The attempt of dispute settlement with the business practitioners as a result of loss caused by products that do not fulfil compulsory standard can be advised through National Dispute Settlement Body or directly to the tribunal court based on voluntarily choices by the conflicted parties. Law No 9 Year 1999 about Consumer Protection regulate the issues of dispute settlement, but Law No. 20 Year 2014 concerning Standardization and Conformity Assessment does not regulate such issues. Keywords: Consumer, Legal Responsibility, Legal Protection, SNI.
Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Kebijakan Penentuan Tarif Biaya Transportasi Dan Akomodasi Dalam Pendaftaran Tanah Pertama Kali Di Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir Amudi H. Butarbutar; M. Yamin Lubis; Syafruddin Kalo; Sunarmi
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peraturan Pemerintah RI No. 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Tarif atas biaya pelayanan survei, pemeriksaan, pengukuran, serta pemetaan dibebankan kepada pemohon/wajib bayar. Dalam praktek, biaya tersebut hanya tertera dalam peraturan, sebab selalu saja ada dana tambahan yang dikutip oleh oknum petugas dengan dalih memperlancar urusan, yang nilainya bisa berlipat ganda dan tarif yang ditentukan dalam peraturan. Pemohon/wajib bayar juga dibebankan biaya akomodasi dan transportasi atas pelayanan survei, pemeriksaan, pengukuran, serta pemetaan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir. Hal ini menjadi persoalan bagi pemohon sebagai pihak yang wajib membayar. Padahal, transparansi dalam kebijakan penentuan biaya akomodasi dan transportasi pendaftaran tanah untuk pertama kali diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui lebih jelas, transparan, akurat, cepat dan pasti dengan biaya yang sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, penelitian berjudul: “Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Kebijakan Penentuan Tarif Biaya Transportasi dan Akomodasi Dalam Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali di Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir)”, layak untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut. Kata kunci: Transparansi dan Akuntabilitas, Pendaftaran Tanah Pertama Kali, Kabupaten Toba Samosir. Abstract The Government Regulation of Republic Indonesia No. 128 of 2015 concerning Types and Rates of Non-Tax State Revenues Applicable in the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency. Tariffs for a survey, inspection, measurement, and mapping service fees are borne by the applicant / must pay. In practice, these costs are only stated in the regulations, because there are always additional funds quoted by the officers on the pretext of expediting matters, the value of which can be doubled and the rates specified in the regulations. The applicant/obliger to pay is also charged accommodation and transportation costs for the survey, inspection, measurement, and mapping services carried out by the Land Office of Toba Samosir Regency. This is a problem for the applicant as the party who is obliged to pay. In fact, transparency in the policy for determining accommodation and transportation costs for land registration for the first time is needed so that the public can know more clearly, transparently, accurately, quickly, and with certainty at a cost that is by the principles of transparency and accountability. Thus, the study entitled: "Transparency and Accountability in the Policy for Determining Transportation and Accommodation Costs in Land Registration for the First Time (Study at the Land Office of Toba Samosir Regency)", deserves further study and analysis. Keywords: Transparency and Accountability; First Time Land Registration; Toba Samosir Regency.
Penyelesaian Tindak Pidana Dengan Pendekatan Restorative Justice Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan: Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Medan Husein Pohan; Madiasa Ablisar; Marlina Marlina; Mohammad Ekaputra
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keadilan restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (8) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan kewenangan untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang. Implementasi penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan. Tahap I, Penuntut Umum sebagai fasilitator memberikan menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dari pertemuan dalam rangka perdamaian yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Medan. Tahap II, Penuntut Umum sebagai fasilitator memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menyampaikan permohonan maaf secara lisan kepada korban dan keluarganya. Tahap III, Kesepakatan perdamian yang telah selesai dilaksanakan dibuktikan dengan para pihak dan Penuntut Umum sebagai fasilitator serta tokoh masyarakat.Tahap IV, setelah terjadi kesepakatan, Penuntut Umum membuat Laporan tentang Pelaksanaan Perdamaian yang telah berhasil. Tahap V, Kesepakatan perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif ini telah dilaksanakan sesuai dengna aturan yang berlaku.Hambatan dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Medan, secara eksplisit PERJA tersebut belum mengatur secara tegas dan rinci mengenai jangka waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tindak pidana dengan pendekatan restoratif justice, selama ini masih mengacu kepada Standart Operasional Prosedur internal Kejaksaan Negeri Medan saja, yakni diberikan waktu selambat-lambatnya 7 hari. Kata kunci: Kejaksaan, Penyelesaian Tindak Pidana, Restorative Justice. Abstract Restorative justice aims to empowered victims, perpetrators, families and communities to correct an unlawful act by using awareness and conviction as a basis for improving community life. Prosecutor’s Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution based on Restorative Justice as an exercise of authority to streamline the law enforcement process provided for by law. Implementation of the settlement of criminal acts with a restorative justice approach carried out by the Medan District Attorney. Phase I, the public prosecutor as a facilitator provides an explanation of the aims and objectives of the meeting in the context of peace held by the Medan District Attorney. Phase II, the public prosecutor as a facilitator provides an opportunity for the suspect to express an apology verbally to the victim and her family. Phase III, the peace agreement that has been completed is proven by the parties and the public prosecutor as a facilitator and community leader. Phase IV, after an agreement is reached, the public prosecutor makes a report on the successful implementation of peace. Phase V, the peace agreement through this restorative justice approach has been implemented in accordance with the applicable rules. Barriers in the implementation of the termination of prosecution based on restorative justice carried out by the Medan District Attorney, explicitly the Indonesian Attorney General’s Regulations has not explicitly an in detail regulated the time period given to resolve criminal acts with a restorative justice approach, so far it still refers to the Standard Operational procedures of the Medan District Attorney’s Office, which is given a maximum of 7 days. Keywords: Attorney. Crime Settlement, Restorative Justice.
Penguatan Kewenangan Jaksa Selaku Dominus Litis Sebagai Upaya Optimalisasi Penegakan Hukum Pidana Berorientasi Keadilan Restoratif Dedy Chandra Sihombing; Alvi Syahrin; Madiasa Ablisar; Mahmud Mulyadi
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dominus Litis merupakan asas universal yang melekat pada Jaksa. Jaksa selaku penuntut umum memiliki peran sentral dalam sistem peradilan pidana. Kehadiran Perja Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi landasan bagi Jaksa untuk melakukan penegakan hukum pidana berorientasi keadilan restoratif. Penegakan hukum pidana secara umum maupun berorientasi keadilan restoratif yang dilakukan oleh Jaksa selaku Dominus Litis terdapat kelemahan dan kendala yang ditemukan dalam proses penerapannya. Esensi asas Dominus Litis yang melekat pada Jaksa belum optimal. Pada Tahap Pra Penuntutan, Jaksa selaku Dominus Litis hanya sebatas menerima SPDP dan meneliti berkas dari penyidik untuk ditindak lanjuti ke tahap penuntutan atau dikembalikan ke penyidik. Penerapan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh Jaksa selaku Dominus Litis sudah sesuai dan selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila khususnya pada sila keempat. Akan tetapi dalam penerapanya ditemukan kendala-kendala antara lain:Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum.Penguatan kewenangan jaksa selaku Dominus Litis dalam penegakan hukum pidana berorientasi keadilan restoratif dapat dilakukan dengan memformulasikan konsep keadilan restoratif kedalam KUHAP. Namun demikian, dalam proses pembaharuan KUHAP membutuhkan banyak aspek pertimbangan serta memakan waktu yang begitu lama. Hal yang paling mungkin dilakukan dalam waktu dekat yaitu melakukan sinergitas antar lembaga Polri Dan Kejaksaan untuk menerapkan asas Dominus Litis dalam penegakan hukum pidana berorientasi keadilan restoratif. Kata kunci: Dominus Litis, Jaksa, Keadilan Restoratif. Abstract Dominus Litis is a universal principle attached to the Prosecutor. The prosecutor as the public prosecutor has a central role in the criminal justice system. The presence of Perja Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution based on restorative justice is the basis for the Prosecutor to enforce restorative justice-oriented criminal law. The enforcement of criminal law in general and restorative justice oriented carried out by the Prosecutor as Dominus Litis has weaknesses and obstacles that are found in the process of its application.the essence of the Dominus Litis principle attached to the Prosecutor is not optimal. In the Pre Prosecution Stage, the Prosecutor as Dominus Litis is only limited to receiving SPDP and examining files from investigators to be followed up to the prosecution stage or returned to investigators. The application of the termination of prosecution based on restorative justice by the Prosecutor as Dominus Litis is appropriate and in line with the values contained in Pancasila, especially in the fourth precept. However, in its implementation, there were obstacles, including: Legal Substance, Legal Structure, and Legal Culture. Strengthening the authority of the prosecutor as Dominus Litis in the enforcement of restorative justice-oriented criminal law can be done by formulating the concept of restorative justice into the Criminal Procedure Code. However, the process of reforming the Criminal Procedure Code requires many aspects of consideration and takes such a long time. The most likely thing to do in the near future is to synergize between the institutions of the Police and the Prosecutor's Office to apply the Dominus Litis principle in the enforcement of restorative justice-oriented criminal law. Keywords: Dominus Litis. Prosecutor, Restorative Justice.

Page 3 of 4 | Total Record : 34