cover
Contact Name
Indirani Wauran
Contact Email
jih.alethea@uksw.edu
Phone
+628157797192
Journal Mail Official
jih.alethea@uksw.edu
Editorial Address
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro No. 52-60 Salatiga 50711 INDONESIA
Location
Kota salatiga,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Ilmu Hukum: Alethea
ISSN : 27232301     EISSN : 27232298     DOI : https://doi.org/10.24246/alethea.vol4.no2
Core Subject : Humanities, Social,
Jurnal Ilmu Hukum Alethea adalah Jurnal Ilmu Hukum yang memuat karya hasil penelitian dosen dan mahasiswa dan diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana melalui proses peer-review. Jurnal ini menjadi sarana dalam menyebarluaskan gagasan atau pemikiran yang dihasilkan melalui kegiatan akademis dalam pengembangan Ilmu Hukum (Jurisprudence) oleh dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum UKSW.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 52 Documents
DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR PENERBANGAN ORANG SAKIT YANG MENGANDUNG KLAUSULA BAKU BAGI PENYANDANG DISABILITAS Ketria Ranika
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 3 No 1 (2019): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.591 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol3.no1.p43-60

Abstract

Fenomena pemberian formulir orang sakit yang diberikan oleh maskapai Lion Air terhadap penyandang disabilitas merupakan tindakan diskriminasi yang menarik untuk dicermati. Perlu diketahui asas non-diskriminasi memberikan perlindungan kepada setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kedudukan penyandang disabilitas dengan orang sakit, serta perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas di bidang penerbangan dan diskriminasi dalam klausula formulir orang sakit yang diberikan pada penyandang disabilitas. Jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status antara penyandang disabilitas dan orang sakit merupakan hal yang berbeda dan tidak dapat diperlakukan secara sama. Penyamaan penyandang disabilitas dan orang sakit, melalui pemberian formulir orang sakit terhadap penyandang disabilitas, merupakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas karena orang sakit memiliki karakteristik yang berbeda dengan penyandang disabilitas, sehingga hal ini dapat menciderai hak dari penyandang disabilitas. The use of forms of sick people to persons with disabilities by Lion Air is an interesting act of discrimination to be observed. It should be known that the principle of non-discrimination gives protection for everyone to be free from discriminatory treatment. The purpose of this study is to analyse the position of persons with disabilities with sick people, as well as legal protection for persons with disabilities in the field of aviation and discrimination due to sick people's form that given to persons with disabilities. The type of research used is normative legal research. The results showed that status between people with disabilities and sick people was different. The equalization of persons with disabilities and sick people through the provision of forms of sick persons with disabilities constitutes discrimination against persons with disabilities, so it could violate the rights of persons with disabilities.
KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA DALAM KETENTUAN AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XV/2017) Ruth Christa Vanesa Hariyanto
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 3 No 1 (2019): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.791 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol3.no1.p29-42

Abstract

Tulisan ini akan membahas mengenai ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang terdapat dalam Pasal 222 UU Pemilu. Terkait dengan isu tersebut, Penulis berpendapat bahwa syarat ambang batas tersebut adalah sebagai perwujudan dari Kebijakan Legislatif Terbuka sebagaimana tertulis dalam Putusan MK No. 59/PUU-XV/2017. Dari Putusan tersebut, yang menjadi perhatian Penulis adalah dalil Pemohon dalam penolakan Pasal 222 UU Pemilu dengan menggunakan argumentasi HAM. Penulis berpendapat bahwa Pasal 222 UU Pemilu tersebut tidaklah terkait dengan masalah pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud oleh Pemohon. Untuk menjawab isu tersebut, pada tulisan ini Penulis berpendapat bahwa syarat ambang batas yang terwujud dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah wujud dari Kebijakan Legislatif Terbuka yang secara langsung dan tegas telah didelegasikan oleh konstitusi. Tujuan dari Penulisan ini adalah menganalisis karakteristik Kebijakan Legislatif Terbuka dalam ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dan menganalisis ketidaksesuaian penggunaan argumentasi HAM dalam penolakan Pasal 222 UU Pemilu. This research discusses the threshold requirement in the presidential candidacy that is regulated in Article 222 of the Election Law. The Author argues that a threshold requirement is a form of Open Legal Policy as confirmed by the Constitutional Court Decision No. 59/PUU-XV/2017. As elaborated in the Decision, the Applicants argued that they denied Article 222 by using human rights reasoning. On the contrary, the Author argued that Article 222 did not relate to human rights violence as argued by the Applicants. This research highlights the reasoning on the basis of Open Legal Policy which is delegated from the Constitution of Indonesia. This research will analyze the characters of Open Legal Policy in Article 222 of the Election Law and it will prove the incompatibility of human rights arguments in denying Article 222 of the Election Law.
MENGGUGAT SIFAT FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) Daniel Kristiyanto
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 1 No 2 (2018): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.489 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p128-141

Abstract

UUPK memberikan dua pilihan penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK atau melalui Pengadilan. BPSK memiliki kewenangan mengeluarkan suatu putusan yang sifat putusannya adalah final dan mengikat. Dari hal ini kemudian muncul suatu isu hukum apakah putusan BPSK yang final dan mengikat sama artinya dengan final dan mengikat pada putusan pengadilan atau memiliki makna yang berbeda. Penulis beragumen bahwa kedua putusan tersebut di atas bukan merupakan hal yang sama. Hal ini karena atas putusan BPSK masih dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut ke Pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. Consumer Protection Law provides two alternatives for dispute resolution to consumers and businessmen. The alternatives are outside the court through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) and the Court. BPSK has the authority to make a decision that is final and binding. This feature raises a legal question on whether the final and binding decision issued by BPSK has the same meaning as the Court’s decision. The author argues that those decisions are typically different because, on BPSK’s decision, an appeal could be made to the Court. This article is legal research that uses a statute approach and comparative approach.
THE 1951 REFUGEE CONVENTION – STUDI TENTANG KETERIKATAN NEGARA PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG MEMILIKI KARAKTERISTIK LAW MAKING TREATY Kristiyanti Kristiyanti
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 1 No 2 (2018): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.43 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol1.no2.p142-155

Abstract

Perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memberikan kepastian hukum bagi setiap negara yang menjadi peserta perjanjian. Pada dasarnya, perjanjian internasional memiliki kategori law-making treaty dan treaty contract. Pada perjanjian internasional yang bersifat law-making treaty, perjanjian ini bersifat terbuka dan memiliki karakteristik general principles of law atau prinsip-prinsip umum internasional. Namun permasalahannya, setiap negara memiliki perikatan bebas dalam mengatur negaranya sendiri sehingga setiap negara memiliki kebijakan masing-masing untuk dapat menganut sistem monisme atau dualisme ketika meletakkan hukum internasional di sistem hukum nasional. Di sisi lain, kebiasaan internasional memuat prinsip jus cogens dimana semua negara tanpa terkecuali harus menghormati hukum kebiasaan internasional. Penelitian ini hendak mencermati konvensi status pengungsi internasional yang merupakan lex specialist dari Declaration of Human Rights karena Konvensi tersebut mengatur mengenai hak pengungsi lebih spesifik. Penulis menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan untuk menemukan jawaban terhadap rumusan permasalahan yang ditulis dalam penelitian ini. A treaty is a legal instrument that gives the State Parties legal certainty. Basically, there are two categories of treaties, namely law-making treaties and treaty contracts. Law-making treaties are open treaties and they represent general principles of law. However, each State has free consent to determine its behavior including the determination of whether it follows monism or dualism system when it applies international law in municipal law. On another side, customary international law represents principles of jus cogens where each State is obliged to respect it unexceptionally. This research is aimed to observe the Convention of Refugee Status which regulates the refugees’ rights specifically. The Author used conceptual and statutes approaches to discover an answer to the legal question of this research.
RESTORASI MATERI PENGAJARAN HUKUM ADAT Sri Harini Dwiyatmi; R.E.S Fobia
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 3 No 1 (2019): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.322 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol3.no1.p60-76

Abstract

Mata kuliah Hukum Adat tetap relevan namun secara substansi seyogyanya dilakukan restorasi secara garis besar. Cara melakukan restorasi adalah dengan memberi makna atas materi Hukum Adat secara tidak keliru melalui materi yang relevan dengan situasi kini. Restorasi ini harus dilakukan dengan bertumpu pada hal-hal ini. Pertama pemahaman atas persekutuan hidup teritori, kedua Hukum Adat sebagai instrumen pembentukan hukum di persekutuan hidup teritori, ketiga Hukum Adat sebagai hukum positif, keempat relevansi Hukum Adat dengan mata kuliah lain dan pemahaman Hukum Adat serta masyarakat adat dalam berbagai peraturan perundangan. Dengan adanya restorasi ini maka Hukum Adat dapat menyesuaikan dengan kondisi kekinian tanpa meninggalkan nilai-nilainya yang masih relevan. Even though the customary law subject still remains relevant, it is necessary to restore the main substances. Restoration can be done by giving proper meaning to customary law subject through material that is relevant to current issues. This restoration shall be done by relying on four things: first, an understanding to territorial life alliance; second, customary law as an instrument of law creation in territorial life alliance; third, customary law as positive law; fourth, the relevance of customary law and other subjects and also a well understanding of customary law and indigenous people that are regulated in laws. It is believed that customary law may adjust to nowadays situation without leaving its relevant values.
KONSEP TAKE IT OR LEAVE IT DALAM PERJANJIAN BAKU SESUAI DENGAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK Fahdelika Mahendar; Christiana Tri Budhayati
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 2 No 2 (2019): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.618 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol2.no2.p97-114

Abstract

Salah satu asas yang ada dalam hukum perjanjian adalah Asas Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan asas ini, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan isi, bentuk dan dengan siapa akan mengadakan perjanjian. Realisasi asas ini nampak dalam Perjanjian Baku (standaard contract), yakni perjanjian yang isi atau klausulanya sudah dibakukan oleh salah satu pihak sehingga pihak lainnya tidak ikut menentukan substansi perjanjian. Dalam Perjanjian Baku dikenal adanya konsep take it or leave it . Dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak, dalam Perjanjian Baku masih dimungkinkan adaya kebebasan berkotrak karena pihak yang tidak membuat perjanjian diberikan kebebasan untuk menerima perjanjian dilambangkan dengan ”take” atau menolak perjanjian dilambangkan dengan “leave”. Dengan demikian perjanjian baku yang mengenal take it or leave it telah sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam aspek formil karena tidak terdapat adanya paksaan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. One of the basic principles of the legal contract is the freedom of contract. According to this principle, freedom is given to determine the content, form, and to whom the contract is made. The realization of this principle appears in the standard contract, known as an agreement in which the content has been standardized. So the parties could choose to take it or leave it. Furthermore, there might be freedom of contract in standardize contracts because those who disagree are given the freedom to accept the agreement (“take”) or reject the agreement (“leave”). Eventually, the standard contract of “take it” or “leave it” is already suitable with the principle of freedom contract in the formal aspect because there is no pressure to commit in the contract.
MUATAN KEPENTINGAN ORANG ASLI PAPUA DALAM PERATURAN DAERAH DI PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT Hengki Saiba
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 2 No 2 (2019): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.609 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol2.no2.p79-96

Abstract

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Penjabaran dan pelaksanaan UU ini seharusnya juga dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. UU Nomor 21 tahun 2001 menyebutkan orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Hal-hal mendasar yang menjadi parameter kepentingan asli Orang Papua termaktub dalam Penjelasan UU Nomor 21 tahun 2001. Law Number 21 Year 2001 which has been amended by Law Number 35 Year 2008 Concerning Establishment of Government Regulations Substitute Law Number 1 Year 2008 Regarding Amendments to Law Number 21 Year 2001 Concerning Special Autonomy For Papua Province Becoming Laws places indigenous Papuans and Papuans at generally as the main subject. The elaboration and implementation of this Law in Provinces and Regencies/Cities should also be carried out proportionally in accordance with the spirit and spirit of the nation and state that live in the noble values ​​of the people of Papua, which are regulated in Special Regional Regulations and Provincial Regulations. Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Province of Papua states that the Orang Asli Papua are people who come from the Melanesian race which consists of indigenous tribes in the Papua Province and/or people who are accepted and recognized as indigenous Papuans by the Papuan indigenous people. The basic things that become parameters of the original interests of the Papuan people are contained in the Explanation of Law Number 21 of 2001 concerning the Special Autonomy of Papua and the human rights constitution.
PENGESAMPINGAN PASAL 1266 DAN PASAL 1267 KUHPERDATA DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT Meila Fatma Herryiani; Marihot Janpieter Hutajulu
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 4 No 1 (2020): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.553 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p1-20

Abstract

Tulisan ini membahas tentang klausula dalam perjanjian baku pembuatan kartu kredit yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Mengandung makna dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah diperbolehkan mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam perjanjian kartu kredit. Penulis berpendapat bahwa Pasal tersebut tidak boleh diperkecualikan. Pengecualian akan berakibat pada berkurangnya perlindungan bagi pengguna kartu kredit. Asas keadilan perlu dijunjung tinggi dalam kaitannya dengan perjanjian sehingga diharapkan terjadi keseimbangan posisi antara pihak debitur dan kreditur sebagai penerbit kartu kredit.
IMPLIKASI POSITIVISME HUKUM TERKAIT PENGATURAN TEKNOLOGI FINANSIAL DI INDONESIA Citra Metasora Wau; Marihot Janpieter Hutajulu; Sri Harini Dwiyatmi
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 3 No 2 (2020): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.299 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol3.no2.p77-98

Abstract

Tulisan ini membahas tentang aliran positivisme hukum dan pengaruhnya terhadap sistem hukum di Indonesia serta kaitannya dengan pengaturan teknologi finansial. Tulisan ini berargumen bahwa sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme hukum dan berimplikasi pada sistem dan penegakan hukum yang hanya didasarkan pada menjalankan undang – undang. Lebih lanjut, tulisan ini menjelaskan pengaruh positivisme hukum tersebut terkait pengaturan teknologi finansial yang sampai saat ini belum diatur dalam sebuah peraturan perundang – undangan. Hal ini disebabkan oleh positivisme hukum yang bersifat logis, tetap dan tertutup tanpa mempertimbangkan tuntutan – tuntutan sosial, politik, ukuran moral dan faktor non yuridis lainnya sehingga penegakan hukum tidak berjalan dengan efektif karena memiliki kelemahan pada hukum positif yang sering ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Berangkat dari pemikiran bahwa hukum seharusnya dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan sosial, maka penegakan hukum tidak seharusnya dipumpunkan peraturan perundang-undangan semata.
PERLUASAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DITINJAU DARI BIKAMERAL YANG IDEAL Achmad Labib Chidqi
Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA Vol 4 No 1 (2020): Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.937 KB) | DOI: 10.24246/alethea.vol4.no1.p75-94

Abstract

DPD dan DPR merupakan bagian dari lembaga legislatif yang mencerminkan sistem bikameral. Namun kewenangan konstitusional DPD sangatlah terbatas. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan awal dibentuknya DPD. Dengan adanya pembatasan kewenangan konstitusional DPD, akan berpengaruh pada fungsi legislasi DPD untuk menjamin terwujudnya checks and balances dalam lembaga legislatif. Sehingga harus ada perluasan kewenangan konstitusional untuk menjamin checks and balances. Salah satunya dengan adanya penambahan kewenangan legislasi DPD. Hal ini bisa dilakukan dengan cara atribusi kewenangan legislasi DPR kepada DPD atau menambahkan kewenangan DPD tanpa mengurangi kewenangan DPR, atau dengan menambahkan kewenangan DPD dan mengurangi kewenangan DPR dalam bidang legislasi. Dalam tulisan ini penulis akan mengintegrasikan likely bicameralism dengan strong bicameralism. Indonesia mencerminkan likely bicameralism namun masih soft bicameral. Dalam bikameral yang efektif, semua UU dibahas oleh DPR dan DPD secara terpisah dan bertahap dan RUU dapat diajukan baik oleh DPR maupun oleh DPD. Nantinya, DPR dan DPD membahas sendiri-sendiri, dengan kemungkinan perundingan melalui panitia bersama dan kemudian Presiden diberi hak untuk menyatakan penolakan politiknya dalam proses pengesahan oleh Presiden.