cover
Contact Name
Nuchraha Alhuda Hasnda
Contact Email
nuchraha.alhuda@nusaputra.ac.id
Phone
+6281270254356
Journal Mail Official
rechten@nusaputra.ac.id
Editorial Address
Gedung B lt.2 Universitas Nusa Putra, Jl. Raya Cibolang Kaler No.,21 Kab. Sukabumi 43152
Location
Kab. sukabumi,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia
Published by Universitas Nusa Putra
ISSN : 26863626     EISSN : 26860481     DOI : https://doi.org/10.52005
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Rechten memublikasikan artikel hasil penelitian atau pengkajian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Penelaahan dinamika dan perubahan sosial dari sudut ilmu hukum tersebut dapat dilakukan secara normatif (ilmu hukum normatif), filosofis (filsafat hukum), maupun empiris (sosio-legal). Di antara subyek bidang ilmu hukum yang bisa dipilih adalah hukum ekonomi, hukum dan teknologi, hukum sumber daya alam, hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, hukum islam, dan hukum internasional. Jurnal Hukum Rechten juga memublikasikan artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum, yang dimaksudkan untuk lebih mengenali dan mengungkap (kembali) tokoh dan pemikirannya yang berpengaruh baik secara akademis maupun praktis dalam menjaga dan merawat tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan adil.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 70 Documents
Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia CSA Teddy Lesmana
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 1 No 1 (2019): Edition for April 2019
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.782 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v1i1.1

Abstract

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji gagasan mediasi penal sebagai salah satu bentuk alternatif dispute resolution (ADR) dalam menangani perkara pidana yang dipandang penting sebagai pebaharuan terhadap sistem peradilan pidana Indonesia yang selama ini belum mendapatkan pengaturan secara khusus dalam tataran hukum positif meskipun secara materiel prinsip-prinsip itu dianggap sebaga corak utama penyelesaian sengketa sosial dalam masyarakat Indonesia. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah; pertama, bagaimanakah ruang lingkup mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dikaji dari perspektif sejarah kemunculan, asas, teori serta implementasinya dalam hukum dan sistem peradilan pidana; kedua, bagaimanakah model pengintegrasian mediasi penal sebagai pembaharuan terhadap sistem peradilan pidana yang lebih progresif. Hasil penelitian menunjukan bahwa mediasi penal merupakan suatu institusi alternatif penyelesaian terhadap perkara pidana yang diadakan seiring terjadinya pergeseran paradigma penegakan hukum pidana dari prinsip keadilan retributif menjadi keadilan restoratif yang pertama-tama dikembangkan di Amerika dan mempengaruhi sistem hukum di negara lain. Di Indonesia, prinsip-prinsip mediasi penal merupakan corak utama bangsa Indonesia dalam menyelesaikan persoalan sosialnya. Hal ini terbukti meskipun secara hukum positif tidak ada satu undang-undang pun yang mengantur mengenai penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, tetapi indikasi untuk menuju ke arah itu telah terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pembaharuan sistem peradilan pidana dengan mengintegrasikan mediasi penal perlu dilakukan untuk mewujudkan sistem peradilan pidana bangsa Indonesia yang progresif dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila. Hal itu dapat dilakukan dengan penentuan kebijakan penal maupun non penal yang menunjang terwujudnya kebijakan legislasi mediasi penal dalam hukum positif Indonesia.
Penyalahgunaan Wewenang Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi Arma Dewi
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 1 No 1 (2019): Edition for April 2019
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.674 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v1i1.4

Abstract

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk menganalisis sifat melawan hukum serta ukuran untuk menentukan dan menilai suatu penyalahgunaan wewenang yang perumusannya selama ini masih lemah sehingga menimbulkan multi interpretasi dengan unsur melawan hukum sebagai tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perumusan delik penyalahgunaan wewenang sebagai tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia serta bagaimana sifat melawan hukum pada unsur delik penyalahgunaan wewenang sebagai suatu tindak pidana korupsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa hakikat unsur “menyalahgunakan wewenang” pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan unsur “secara melawan hukum” dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni sama-sama memiliki sifat melawan hukum secara formiel dan materiel. Berdasarkan doktrin ilmu hukum dan setelah keluarnya Putusan MK yang menghapuskan sifat melawan hukum materiel dalam hukum pidana, maka delik penyalahgunaan wewenang hanya terbatas pada sifat melawan hukum secara formiel belaka. Dengan demikian alat uji yang digunakan dalam mengukurnya hanya berlandasakan pada asas legalitas (wetmatigheid van bestuur) belaka. Sehingga jangkauan dan kekuatan delik penyalahgunaan wewenang menjadi sangat sempit, terutama sepanjang alat ukur yang digunakan masih sepenuhnya menggunakan instrument hukum administrasi Negara. Sebab dalam hukum administrasi sendiri asas legalitas (wetmatigheid van bestuur) tidak memadai lagi untuk melandasi keseluruhan perbuatan pemerintah dalam konteks kekuasan eksekutif di Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut, hukum pidana perlu menentukan secara definitif mengenai batasan dan ukuran untuk menilai penyalahgunaan wewenang sebagai tindak pidana korupsi dengan tetap memberlakukan sifat melawan hukum secara materil yang bersifat negatif, guna tetap diperoleh keseimbangan antara asas legalitas formil dan materiel.
TANGGUNG JAWAB NOTARIS AKIBAT PEMBUATAN AKTA NOMINEE YANG MENGANDUNG PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PARA PIHAK Endah Pertiwi
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 1 No 1 (2019): Edition for April 2019
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.326 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v1i1.5

Abstract

Perjanjian Nominee dalam hukum perjanjian di Indonesia dikategorikan sebagai perjanjian yang berindikasi menciptakan penyelundupan hukum. Perjanjian ini belum diatur dalam KUHPerdata namun dalam kenyataannya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,perjanjian ini juga masuk dalam kategori jenis perjanjian tidak bernama (Innominat Contract). Perjanjian “Nominee”atau“Nominee agreement” diartikan sebagai perjanjian pernyataan sebenarnya dan kuasa, perjanjian nominee biasanya dituangkan dalam bentuk akta oleh para pihaknya untuk memperkuat perjanjian tersebut yang dibuat dengan akta otentik, jurnal ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menjelaskan mengenai Tanggung Jawab Notaris terhadap perbuatan melawa hukum yang dilakuka para pihak dalam akta Nominee, dari uraian diatas maka hasil dari penelitian ini adalah Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap pembuatan akta yang merupakan perbuatan melawan hukum secara Perdata, Pidana, dan juga secara administrasi. Karena tidak diaturnya nominee maka penulis bertujuan mengkonstruksikan hukum untuk menanggulangi perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam akta nominee yang dibuat oleh Notaris dengan menggunakan Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Meir Friedman mengenai struktur hukum yang harus lebih memperketat keamanan oleh MPD, MPW bahkan sampai pada MPN, isi/subtansi hukum harus adanya kejelasan norma, adanya pelarangan Nominee, sampai pada pemberian sanksi yang tegas, yang terakhir mengenai budaya hukum yang harus disesuaikan dengan budaya di Indonesia, peningkatan kesadarab masyarakat, bahkan jika perlu diadakannya sosialisasi tentang nominee kepada masyarakat.
Eksistensi Gubernur Dalam Konteks Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Di Indonesia M. Syaiful Rachman; Ferdy Ferdian
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 1 No 1 (2019): Edition for April 2019
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (842.457 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v1i1.6

Abstract

This paper will describe Governor existence as representative of National Government in local region and as implementer of regional autonomy. Analytical tools for this paper is Law of The Republik Indonesia No.22 of 1999 about Local Government and its revision in Law of The Republik Indonesia No. 32 of 2004 and some of Government Regulation which are following of both Law. Focus of this paper are (1) Roles of existence and functions of Local Government Province and Governor as an actor of decentralization, deconcentration and medebewind; (2) Roles and functions Governor as representative of National Government in Local Region. At last, I give some recommendation for strengthening position, role and authority for Governor as representative National government in local region.
Implementasi Restoratif Justice dalam Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Rida Ista Sitepu; Yusona Piadi
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 1 No 1 (2019): Edition for April 2019
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.523 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v1i1.7

Abstract

Salah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah untuk mengembalikan kerugian negara. Namun paradigma retributif justice yang menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi serta pemidanaan pelaku korupsi tidak relevan dengan tujuan utama hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal yang justru penting dalam semangat pemberantasan korupsi yakni pengembalian kerugian negara justru hanya menjadi pidana tambahan yang juga dapat diganti oleh pidana penjara. Artikel ini dimaksudkan untuk meneliti konsep pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi yang relevan untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang dengan mempertimbangkan perkembangan kehidupan bangsa dan negara dewasa ini. Kajian terfokus pada pendalaman mengelaborasi konsep restoratif justice untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam pemidanaan pelaku korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kajian ini menyimpulkan bahwa konsep restoratif justice dalam pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi dapat diimplementasikan dalam bentuk penguatan norma-norma pengembalian kerugian negara dari sebagai pidana tambahan menjadi pidana pokok. Adapun untuk mengantisipasi pelaku tidak mampu membayar kerugian tersebut, maka konsep kerja paksa dapat terapkan ketimbang memenjarakan pelaku tindak pidana korupsi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Pemilihan Umum Khotob Tobi Almalibari; Abdul Aziz; Adrian Febriansyah
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 3 No 1 (2021): Edition for April 2021
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.294 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v3i1.21

Abstract

Peran MK di Indonesia dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan erat dengan masalah politik menjadi sangat vital, sebab perkara perselisihan hasil pemilu sampai sejauh ini merupakan perkara yang paling banyak diajukan di MK dimana dalam pemilu 2014 saja terdapat 702 kasus mengenai perselisihan hasil pemilu legislatif yang dimohonkan kepada MK, jumlah tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan dibanding pemilu tahun 2004 dimana terdapat 274 perkara, dan pemilu tahun 2009 dengan 627 perkara. Sering kita temui berbagai permasalahan terkait ketidakpastian maupun ketidakterimaan salah satu paslon dalam hasil quick qount pemilihan umum yang diselenggarakan di berbagai daerah. Pada akhirnya pasangan calon tersebut mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi untuk dapat dilakukan peninjauan atas perhitungan atau pengawasan pemilu yang sudah diselenggarakan. Namun, apabila banyak terjadi hal seperti itu, bagaimana kewenangan sesungguhnya Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam Undang-Undang No 7 tahun 2017diatur mengenai Komisi Pemilihan Umum, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga Negara penyelenggara pemilihan umum yang permanen. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK (Panitia Pemilihan Kecepatan), PPS (Panitia Pemungutan Suara), KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara), PPLN serta KPPLN (Kelompok Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri) yang merupakan penyelenggara pemilu bersifat ad hoc. Apabila kelak terjadi kesalahan dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pilkada, maka proses perhitungan suara tersebut akan dilaksanakan kembali dengan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila harus diselenggarakan ulang pemungutan suara di tempat pemungutan suara tertentu yang diduga terjadi kecurangan dalam proses penyelenggaraannya. Ada beberapa saran agar kita dapat memahami lebih dalam tentang pemilu dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai solusi penyelesaian sengketa dalam pemilu. Karena Pilkada merupakan bagian dari rezim Pemilihan Umum, yang secara konstitusional perlu ada regulasi tersendiri dalam pengaturannya, sebab bilamana tidak Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional dalam mengadili perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dan juga, dapat diberlakukan beberapa cara salah satuny Apabila hasil Pemilu ke depan digugat oleh Pasangan Calon yang kalah ke Mahkamah Konstitusi maka dalam proses persidangan, KPU harus mampu menampilkan alat bukti dan saksi yang kuat, sehingga dalil yang dimohonkan Pemohon dapat dijawab dengan baik.
Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Karya Digital Ujang Badru Jaman; Galuh Ratna Putri; Tiara Azzahra Anzani
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 3 No 1 (2021): Edition for April 2021
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.229 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v3i1.22

Abstract

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seiring berjalannya waktu mengalami perubahan yang sangat pesat dan siginifikan. Di era yang serba digital ini, karya-karya yang lazimnya berbentuk fisik dapat ini, karya-karya yang lazimnya berbentuk fisik dapat berubah menjadi bentuk digital. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui cara perlindungan hukum terhadap karya cipta dalam era digital dan peran pemerintah dalam mengatasi terjadinya penggandaan karya cipta di era digital. Jenis penelitian hukum yang dilakukan secara yuridis normatif adalah yuridis normatif dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Berdasarkan UUHC Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 4 menyatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi terhadap suatu karya wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Upaya perlindungan hukum juga harus sesuai dengan pemberian sanksi yang tegas dan tepat kepada para pelanggar Hak Cipta oleh aparat penegak hukum sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembatasan Masa Jabatan Presiden Di Indonesia Juang Intan Pratiwi; Neneng Salama; Siti Ulfah
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 3 No 1 (2021): Edition for April 2021
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.558 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v3i1.23

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pembatasan masa jabatan presiden di Indonesia. Bagaimana pembatasan masa jabatan presiden di Indonesia dan apa tujuan dari pembatasan masa jabatan presiden itu, serta bagaimana pembatasan masa jabatan presiden di Indoensia dimasa yang akan datang. Pembatasan masa jabatan presiden di Indonesia dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan oleh Pemimpin negara. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto, mereka menjabat lebih dari dua kali periode, meskipun dilakukan pemilu namun selalu menjadi calon tunggal sehingga selalu terpilih dan masa jabatannya sangat lama. Pada masa kepemimpinan otoriter ini, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan UUD 1945. Setelah berakhirnya kepemiminan yang otoritter tersebut dilakukan amandemen pada UUD 1945 yang salah satu nya adalah pembatasan masa jabatan presiden. Pasal 7 UUD 1945 mengeaskan bahwa Masa Jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun dan boleh dipilih kembali setelahnya hanya untuk satu kali masa jabatan atau dengan kata lain dua kali periode.
Pernikahan Dini Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam Yopani Selia Almahisa; Anggi Agustian
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 3 No 1 (2021): Edition for April 2021
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.237 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v3i1.24

Abstract

Pernikahan dini menimbulkan problematika, baik dari segi perspektif kompilasi hukum Islam maupun dalam Undang-Undang Perkawinan. Mengenai batasan usia perkawinan, dalam UU Perkawinan mengacu pada pasal 7 ayat 1 tahun 1974 yang kemudian di revisi dan menjadi UU Perkawinan Nomor 16 tahun 2019. Kemudian dalam hukum Islam tidak ada dalil dalam al-Qur’an maupun Hadits yang menyebutkan berapa batasan usia perkawinan. Hal itu kemudian yang menyebabkan para ulama memberikan penafsiran yang berbeda mengenai batasan usia perkawinan. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah;Pertama, dampak sosiologis pernikahan dini;Kedua, Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum islam. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Problematika perkawinan anak adalah terkait dengan adanya perbedaan pandangan substansi aturan tentang perkawinan anak baik dalam perspektif fikih atau hukum Islam dan hukum positif. Pada perbedaanya sumber dari kedua hukum tersebut tentu berbeda. Hukum positif seperti undnag-undang perkawinan bersumber dari hukum materiil yaitu faktor yang membantu pembentukan hukum atau tempat dimana material hukum itu diambil seperti norma, tradisi dan kebiasaan. Kemudian hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang kemudian ditafsirkan oleh beberapa ulama yang sudah terkaji ilmunya dalam mementukan suatu hukum.Pada hukum positif batas usia ditetapkan dengan menyebutkan angka yang berarti jelas batasan dari usia tersebut.
Urgensi Hak Imunitas Terhadap Pimpinan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi CSA Teddy Lesmana; Lisna
Jurnal Rechten : Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol 3 No 1 (2021): Edition for April 2021
Publisher : Program Studi Hukum Universitas Nusa Putra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.178 KB) | DOI: 10.52005/rechten.v3i1.25

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui urgensi hak imunitas terhadap pimpinan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, ditengah maraknya upaya mengkriminalkan pimpinan KPK serta ingin mengetahui bagaimana pengaturan hak imunitas yang diberikan terhadap pimpinan KPK. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : pertama, bagaimana urgensi hak imunitas terhadap pimpinan KPK; kedua, bagaimana pengaturan hak imunitas terhadap pimpinan KPK. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan,pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hak imunitas terhadap pimpinan KPK merupakan suatu hal yang urgen dan dibutuhkan. Hal ini didasarkan pada maraknya upaya mengkriminalkan pimpinan KPK serta keberadaan pasal 32 ayat (2) yang dijadikan celah dalam upaya pelemahan KPK. Pemberian hak imunitas terhadap KPK bersifat terbatas terkait dengan (1) terbatas dengan masa jabatannya (2) penangguhan proses hukum atas kejahatan yang dilakukan pimpinan KPK di masa lalu (3) batasan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya (4) tidak berlaku apabila pimpinan KPK tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Ada 2 saran yang dapat dikemukakan yaitu, Pertama, pimpinan KPK seharusnya diberikan hak imunitas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, hak imunitas yang diberikan terhadap pimpinan KPK bersifat terbatas, dengan merevisi UU KPK dan menambahkan pasal yang mengatur tentang hak imunitas terhadap pimpinan KPK. Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali mengenai keberadaan pasal 32 ayat 2 UU KPK, sebab pasal tersebut dapat dijadikan celah untuk melemahkan KPK melalui upaya kriminalisasi.