cover
Contact Name
Agus Sumpena
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
+6281906532003
Journal Mail Official
redaksi.bhl@gmail.com
Editorial Address
Jl. Imam Bonjol No 21 Bandung 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : https://doi.org/10.24970/bhl
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan (BHL) adalah terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) terbit tiga kali setahun pada bulan Oktober, Februari, dan Juni. Jurnal BHL merupakan sarana publikasi bagi akademisi dan praktisi untuk menerbitkan artikel hasil penelitian dan artikel telaah konseptual di bidang hukum lingkungan (nasional dan internasional). Ruang lingkup kajian pada Jurnal Bina Hukum Lingkungan meliputi aspek hukum: Tata Ruang; Agraria; Kehutanan; Pertambangan; Energi, Sumber Daya Mineral dan Batu Bara; Kearifan Lokal; Sengketa Lingkungan; Kelautan dan Perikanan; Keanekaragaman Hayati; Perubahan Iklim; Perumahan Permukiman; Sumber Daya Air.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 159 Documents
MODEL INSTRUMEN YURIDIS PENGUSAHAAN INDUSTRI ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL Arief Rachman Hakim; Yulita Dwi Pratiwi; Yuanita Putri Sugiastari
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 1 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i1.310

Abstract

 ABSTRAKPengusahaan energi di Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil dan energi habis pakai, yang ketersediaannya semakin menipis. Di sisi lain Indonesia memiliki keuntungan besar atas letaknya di Ring of fire dengan berbagai potensi sumber energi lainnya. Transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) sedang menjadi perhatian dunia maupun pemerintah Indonesia. Ketidaktersediaan payung hukum akan menyebabkan chaos dalam pengusahaan EBT, khususnya mengenai pengusahaannya. Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan industri pengusahaan EBT dan model instrumen yuridis pengusahaan energi EBT dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Penyusunan artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan perbandingan hukum. EBT memiliki karakteristik yang berbeda dengan migas maupun pertambangan lainnya. Beberapa negara seperti Jerman, Malaysia dan Philipina memiliki pengaturan khusus dalam bentuk Renewable Energy Act. Pengaturan di Indonesia masih bersifat sektoral dan bertumpu pada peraturan menteri semata. Dimana kebijakan dalam peraturan menteri mudah mengalami perubahan dan rentan dengan berbagai kepentingan. Melihat karakteristik EBT, model pengusahaan yang tepat ialah dengan menggunakan sistem perizinan. Perizinan dinilai dapat memberikan kedudukan pemerintah sebagai main control dalam pengusahaan. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan sepihak dalam pengelolaan dan pengawasan pengusahaan EBT yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam SDG’s. Sebaliknya, apabila pengusahaan EBT dengan sistem kontrak maka kedudukan pemerintah dengan pelaku usaha menjadi setara (equality rights). Hal tersebut berimplikasi pada terbatasnya gerak pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi nasional.Kata kunci: Instrumen Yuridis; EBT; Ketahanan Energi Nasional.ABSTRACTEnergy business in Indonesia is still very dependent on fossil energy and consumable energy, whose availability is dwindling. On the other hand, Indonesia has a great advantage over its location in the Ring of fire with various other potential energy sources. The transition of energy to new and renewable energy is becoming a concern for both the world and the Indonesian government. The unavailability of a legal umbrella will cause chaos in NRE exploitation, especially regarding its exploitation. This writing aims to examine the regulation of the renewable industry and the model of the juridical instrument for the exploitation of renewable in realizing national energy security. The preparation of this article uses a normative juridical research method with a statutory, conceptual and comparative legal approach. NRE has different characteristics from oil and gas and other mining. Some countries such as Germany, Malaysia and the Philippines have special arrangements in the form of the Renewable Energy Act. Regulations in Indonesia are still sectoral in nature and rely solely on ministerial regulations. Where policies in ministerial regulations are easy to change and vulnerable to various interests. Looking at the characteristics of NRE, the right business model is to use a licensing system. Licensing is considered to provide the government's position as the main control in the business. The government can issue unilateral policies in the management and supervision of NRE exploitation in accordance with the principles in the SDGs. On the other hand, if the renewable is operated under a contract system, the position of the government and business actors will be equal (equality rights). This has implications for the limited movement of the government in realizing national energy security.Keywords: juridical instrument; renewable energy; national energy security.
PERWUJUDAN SILA KEADILAN SOSIAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DIKAITKAN UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI ACEH Muhammad Natsir; Fuadi Fuadi; Zaki Ulya
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 1 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i1.281

Abstract

 ABSTRAKKeadilan sosial merupakan  tanggungjawab Negara dalam pencapaiannya bagi seluruh rakyat Indonesia. sila keadilan sosial adalah melaksanakan tujuan negara yaitu mewujudkan tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, sehat dan sejahtera berdasarkan Pancasila, Dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Namun, demikian persoalan utama terkait adalah tidak jelas batas tanggungjawab sehingga sulit menentukan ruang lingkup tanggung jawab negara sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945, sedangkan masyarakat yang hidup di daerah eksploitasi khusus di Aceh tetap hidup dalam kemiskinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk keadilan sosial dalam pengelolaan lingkungan hidup dan untuk mengetahui perwujudan keadilaan sosial dalam pengelolaan lingkungan hidup di Aceh. Ruang lingkup tanggung jawab kurang jelas sedangkan masyarakat yang hidup di daerah eksploitasi khusus di Aceh tetap hidup dalam kemiskinan, kesehatan kurang terjamin, sarana kesehatan kurang memadai. Pengembangan ekonomi masyarakat setempat melalui CSR dengan melibatkan masyarakat adat yang lebih faham tentang struktur perkembangan, potensi, SDM masyarakat setempat, sedangkan pengembangan lingkungan yang baik dan sehat dikelola langsung oleh perusahaan dengan memperhatikan kondisi masyarakat.Kata kunci: implementasi; keadilan sosial; tanggung jawab negara; pengelolaan lingkungan. ABSTRACT The State must work toward achieving social justice for all Indonesian citizens. The state's objectives, which include achieving a just and wealthy, healthy and prosperous Indonesian society founded on Pancasila, are realized through the principles of social justice. But while people in Aceh's special exploitation regions continue to live in poverty, the primary issue with this is that it is impossible to assess the extent of governmental obligation as stipulated in the 1945 Constitution due to the imprecise limits of responsibilities. This study aims to define social justice in environmental management in its many forms and to identify Aceh as its actualized manifestation. While residents in Aceh's special exploitation regions continue to live in poverty, their health is not assured, and there are insufficient medical facilities, the extent of accountability is unclear. The creation of a good and healthy environment is directly managed by the company while taking into consideration the state of the community. Economic development of local communities is accomplished through CSR by involving indigenous peoples who are more aware of the development structure, potential, and human resources of the local communityKeywords: implementation; social justice; state responsibility; environmental management.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERNIAGAAN ILEGAL SATWA JENIS BURUNG YANG DILINDUNGI DI INDONESIA Jidny Izham Al Fasha; Erika Magdalena Chandra; Rully Herdita Ramadhani
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.324

Abstract

ABSTRAKRentannya kepunahan satwa jenis burung dilindungi yang ada di Indonesia, disebabkan oleh maraknya praktek perniagaan ilegal di pasar burung tradisional. Banyaknya masyarakat yang menjadi peminat dari satwa jenis burung dilindungi ini merupakan salah satu penyebab maraknya praktek perniagaan ilegal tersebut. Hal ini berdampak pada terancamnya populasi satwa jenis burung dilindungi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa efektif implementasi penegakan hukum serta dampak dari penerapan upaya diskresi yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perniagaan ilegal satwa jenis burung yang dilindungi. Untuk menjawab permasalahan yang di angkat, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis. Hasil penelitian menunjukan bahwa masih kurang efektifnya penegakan hukum ini diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Adapun faktor sarana dan fasilitas ini menjadi pengaruh besar dalam berjalannya penegakan hukum ini. Kemudian, penerapan diskresi oleh Lembaga Kepolisian menyebabkan adanya perbedaan penyelesaian perkara tindak pidana perniagaan ilegal satwa jenis burung dilindungi yang menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum.Kata kunci: penegakan hukum; tindak pidana perniagaan ilegal; burung dilindungi.ABSTRACTThe vulnerability to extinction of protected bird species in Indonesia is partly due to the continued prevalence of illegal trading practices in traditional bird markets. The large number of people who are interested in this protected bird species is one of the reasons for the rise of this illegal trade practice. This has an impact on endangered populations of protected bird species. The purpose of this research is to find out how effective the implementation of law enforcement is and the impact of implementing discretionary efforts by the Police Agency in tackling illegal trade in protected bird species. To answer the problems raised, this study uses a sociological juridical research method. The results of the study show that the ineffectiveness of law enforcement is caused by several factors, namely: the legal factor itself, the law enforcement factor, the infrastructure and facilities factor, the community factor, and the cultural factor. The facilities and facilities factor is a big influence in the implementation of this law enforcement. Then, the application of discretion by the Police Agency led to differences in the settlement of cases of illegal trade in protected bird species which gave rise to a legal article.Keywords: law enforcement, illegal commercial crime, protected bird.
HAK SUBSTANTIF MASYARAKAT ATAS UDARA BERSIH DAN BEBAS POLUSI ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN Susy Fatena Rostiyanti; Vany Lucas; Fanny Rafaldini; Agus Satory
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.340

Abstract

ABSTRAKKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kebakaran hutan di Sumatera seluas 235 ribu hektar rata-rata pertahunnya selama periode 2014-2019. Penyebab utama kebakaran adalah tindakan manusia baik sengaja maupun tidak yang memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat akibat terpajan polusi asap. Gangguan kesehatan tersebut menimbulkan risiko bagi sekitar 19 juta masyarakat provinsi Sumatera Selatan, Riau dan Jambi dengan kebakaran hutan terbesar. Masyarakat memiliki hak substantif atas lingkungan hidup yang sehat yang dijamin dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai hak konstitusional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menetapkan hal yang sama dalam kaitannya dengan kualitas lingkungan. Permasalahan kebakaran hutan yang telah melanggar hak substantif masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat diangkat dalam penelitian ini agar diperoleh kebijakan yang tepat dan berasaskan keadilan lingkungan Metode penelitian yuridis normatif deskriptif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan telah menetapkan hak substantif masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, perkara yang timbul terkait kebakaran hutan sering kali tidak menyinggung persoalan yang paling mendasar yaitu hak substantif atas kualitas hidup masyarakat. Penelitian ini menawarkan sebuah kerangka kebijakan yang diadopsi dari prinsip keadilan lingkungan. Elemen kerangka kebijakan yang ditawarkan mencakup: kesamaan hak untuk dilindungi; perlunya adopsi model pencegahan dan pentingnya pengalihan beban pembuktian kepada pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Ketiga elemen ini menjadi kunci tanggung jawab negara dalam menjaga keadilan bagi setiap masyarakat.Kata kunci: hak substantif; kebakaran hutan; dampak kesehatan; kerangka kebijakan.ABSTRACTThe Ministry of Environment and Forestry recorded forest fires in Sumatra covering an average area of 235 thousand hectares per year during the 2014-2019 period. Human behavior, whether intended or not, is the primary cause of fires, and exposure to haze pollution has a detrimental effect on public health. The provinces of South Sumatra, Riau, and Jambi, which have the worst forest fires, are home to about 19 million people who are at risk for this health issue. As a substantive right, Article 9 Paragraph (3) of Law Number 39 of 1999 Concerning Human Rights guarantees the community's right to a good and healthy environment. Law Number 41 of 1999 about Forestry and Law Number 32 of 2009 concerned Environmental Protection and Management both make the same environmental quality provisions. The problem of forest fires that have violated the community's substantive rights to a healthy environment is raised in this study in order to obtain appropriate policies based on environmental justice. The problem is addressed using a descriptive normative juridical research methodology. The study's findings demonstrate that the law has deemed the community's substantive right to a healthy environment as the component of human rights. However, cases related to forest fires often do not address the most basic issue of the substantive right to the quality of life of the community. This study proposes a framework for policy based on environmental justice concepts. The policy framework proposed includes elements such as the necessity to defend equal rights, the adoption of a preventative strategy, and the significance of transferring the burden of proof to those responsible to forest fires. The state's obligation to uphold justice in community rests on these elements.Keywords: substantive rights; forest fires; health impact; policy framework.
KEWAJIBAN MEMILIKI ATAU MENGUASAI GARASI DI DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ATURAN TERKAIT KAWASAN PERMUKIMAN Gio Saputra; Yani Pujiwati; Nadia Astriani
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.335

Abstract

ABSTRAKPasca diterapkannya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi di Provinsi DKI Jakarta yang memuat kebijakan kewajiban memiliki atau menguasai garasi bagi pemilik kendaraan bermotor di DKI Jakarta berdampak kepada masyarakat DKI Jakarta yang hendak memiliki kendaraan bermotor ataupun yang telah memiliki kendaraan bermotor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keselarasan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi dengan aturan yang berkaitan dengan kawasan permukiman khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengingat hanya sebagian kecil wilayah kawasan permukiman di DKI Jakarta yang tertata. Hasil penelitian menunjukan penerapan aturan memiliki atau menguasai garasi di DKI Jakarta belum dapat diterapkan secara keseluruhan karena harmonisasi antar peraturan terkait yang termuat dalam aturan tersebut belum dapat mengakomodasi berjalannya aturan tersebut dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap aturan tersebut mengakibat ketidakperdulian masyarakat terhadap aturan tersebut.Kata kunci: Garasi; Perumahan dan Kawasan Permukiman; DKI Jakarta.ABSTRACTAfter the enactment of the DKI Jakarta Provincial Regulation Number 5 of 2014 regarding Transportation in the DKI Jakarta which contains an obligation to own a garage for vehicle owners in DKI Jakarta, it has an impact on the people who wish to own a vehicle or who already own a vehicle. The method used in this research is normative juridical using a statutory approach. The purpose of this study was to analyze the alignment of DKI Jakarta Provincial Regulation Number 5 of 2014 regarding Transportation with regulations relating to residential areas, especially the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 2011 concerning Housing and Residential Areas considering that only a small part of the area in DKI Jakarta is arranged. The results of the study show that the implementation of the rules of owning or controlling a garage in DKI Jakarta cannot be implemented as a whole because the harmonization between related regulations contained in these rules has not been able to accommodate the operation of these rules and the lack of socialization carried out by the government regarding these rules has resulted in people's disregard for these rules.Keywords: Garage; Housing and Residential Areas; DKI Jakarta.
PERENCANAAN DAN PENGURUSAN HUTAN KOTA DALAM RANGKA PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DI DKI JAKARTA Intan Nevia Cahyana; Radian Syam; Suryo Admojo Saputro
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.306

Abstract

 ABSTRAKPerencanaan kehutanan merupakan salah satu kegiatan dalam bidang kehutanan yang memegang peranan penting, karena kegagalan melakukan perencanaan akan berdampak negatif terhadap kelangsungan hutan, oleh karena dalam perencanaan kehutanan akan berkaitan pula dengan pengurusan kehutanan. Hal ini menjadi penting untuk melihat bagaimana peranan dan fungsi hutan kota, karena kenyataannya kota-kota yang terdapat di Kabupaten/Kota cenderung mengabaikan ruang hutan yang ada di kotanya. Regulasi tentang Perencanaan dan pengurusan hutan kota di DKI Jakarta menuju penyelenggaraan kehutanan yang bermanfaat dan lestari menjadi penting untuk dilihat bagaimana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan perencanaan dan pengurusan hutan kotanya serta bagaimana upaya Pemprov DKI Jakarta mewujudkan peran hutan kota dalam pembangunan kota berkelanjutan yang berwawasan ekologi. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif empiris, paradigma konstruktivisme, pendekatan socio-legal research. Pengaturan hutan kota sifatnya himbauan dan tidak mewajibkan pemerintah kota untuk melakukan pembangunan dan pengembangan hutan kota. Pengaturan yang tidak tegas ini berimplikasi pada keseriusan pemerintah kota untuk membangun hutan kota, sehingga mengakibatkan pembangunan hutan kota bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena pemkot berprinsip mampu  mengatasi  permasalahan  lingkungan dan hutan  kota  dinilai belum  terlalu  mendesak  dibandingkan  pembangunan  lainnya  yang  bersifat  pelayanan  publik  dan menyentuh masyarakat banyak. Namun demikian, upaya Pemprov DKI Jakarta telah berhasil melaksanakan amanat PP 63 Tahun 2002 untuk mewujudkan 10% dari luas kota DKI Jakarta untuk menyediakan hutan kota sebagai bagian dari RTH selama kurun waktu 4 tahun terakhir sejak 2015-2019.Kata kunci: pengurusan dan perencanaan; hutan kota; DKI Jakarta. ABSTRACT Forestry planning is one of the activities in the forestry sector that plays an important role, because failure to plan will have a negative impact on forest sustainability, because forestry planning will also be related to forestry management. It is important to see how the role and function of urban forests is, because in fact cities in districts/cities tend to ignore forest space in their cities. The potential for a shift in the function of green space will be detrimental to the city itself, both in terms of aesthetics and comfort and health as the lungs of the city. Regulations on the planning and management of urban forests in DKI Jakarta towards the implementation of useful and sustainable forestry are important to see how; The DKI Jakarta Provincial Government is planning and managing its urban forest and how the DKI Jakarta Provincial Government is trying to realize the role of urban forests in sustainable urban development with an ecological perspective. The regulation of urban forest is advisory in nature and does not oblige the city government to carry out the construction and development of urban forest. This indecisive arrangement has implications for the seriousness of the city government to develop urban forests, resulting in the development of urban forests not being an urgent need because the city government has the principle of being able to overcome environmental problems and urban forests are considered not too urgent compared to other developments that are public services and touch the community at large. However, the efforts of the DKI Jakarta Provincial Government have succeeded in carrying out the mandate of PP 63 of 2002 to realize 10% of the area of the city of DKI Jakarta to provide urban forests as part of green open space during the last 4 years from 2015-2019.Keywords: management and planning, urban forest, DKI Jakarta.
KEDUDUKAN PENGUASAAN TANAH DAN UPAYA PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN INDONESIA Rahayu Subekti; Salma Jane Benedicta; Hadhika Afghani Imansyah
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.318

Abstract

ABSTRAKPerkembangan zaman menimbulkan alih fungsi lahan yang berjalan seiringan dengan kondisi kebutuhan masyarakat. Upaya alih fungsi lahan memiliki hubungan yang erat dengan pemilik dan atau penguasa tanah. Berkurangnya minat pemuda sebagai petani menjadi ancaman pertanian Indonesia. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai bagaimana kedudukan penguasaan tanah dalam upaya alih fungsi lahan dan bagaimana dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap petani serta upaya pengendaliannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan menggunakan bahan pustaka. Berdasarkan hasil penelitian, hak kepemilikan dan penguasaan tanah perlu diberikan pembatasan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menggunakan tanahnya. Rencana tersebut dapat mendorong dilakukannya alih fungsi lahan pertanian. Berkurangnya minat petani milenal dapat mengakibatkan mudahnya para petani untuk mengalihkan fungsi lahannya. Upaya kerja sama pemerintah dengan perguruan tinggi dalam memberikan beasiswa kepada anak petani untuk kuliah dibidang pertanian dapat memberikan dampak peningkatan minat petani milenial. Hal ini dapat mendorong petani untuk mempertahankan lahannya dan sebagai upaya agar alih fungsi lahan pertanian terkendali. Kata kunci: Alih fungsi lahan, Penguasaan, PetaniABSTRACTThe development of the times has led to transfer of land functions that goes hand in hand with the conditions of community needs. Transfer of land function efforts have a close relationship with land owners and or authorities. The reduced interest of youth as farmers is aa threat to Indonesian agriculture. This raises the problem of how the position of land tenure in an effort to change the function of land and what is the impact of the conversion of agricultural land on farmers and control measures. This research uses normative legal research methods and uses library materials. Based on the results of the research, it is necessary to limit land ownership and control rights so that there is no arbitrariness in using the land. The plan can encourage the conversion of agricultural land functions. The reduced interest of millennial farmers can make it easier for farmers to change the function of their land. The government’s collaborative efforts with universities in poviding scholarship to farmer’s children to study in agriculture can have an impact on increasing the interest of millennial farmers. This can encourage farmers to maintain their land and as an efforts to control the conversion of agricultur land.keywords: Authorities, Farmers, Transfer of land function
PENERAPAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN OLEH PERUSAHAAN MIGAS PERSEROAN TERBATAS KARLEZ PETROLEUM La Ode Angga; Theresia Nolda Agnes Narwadan; Shafril Kelian; Rini Atbar
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.350

Abstract

ABSTRAKTanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah komitmen perusahaan kepada pemangku kepentingan dalam arti yang lebih luas lebih dari sekadar kepentingan perusahaan. Meskipun secara moral sangat penting bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan, tetapi itu tidak berarti perusahaan dapat mengorbankan kepentingan pihak lain. Oleh karena itu, setiap perusahaan bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang memberikan dampak positif baik secara langsung maupun tidak langsung kepada para pemangku kepentingan dan lingkungan tempat perusahaan menjalankan bisnisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi TJSL oleh Perusahaan Migas Perseroan Terbatas Karlez Petroleum kepada masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Timur, dan kendala yang dihadapi oleh Perusahaan Migas PT Karlez Petroleum selama pelaksanaan TJSL. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan empiris atau sosio-legal. Hasil penelitian adalah, bahwa pelaksanaan TJSL yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas Karlez Petroleum mengenai kerjasama pengembangan masyarakat Program TJSL Karlez tahun 2017-2021 telah dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, bersamaan dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Namun Perseroan Terbatas Karlez Petroleum belum melaksanakan salah satu program TJSL yaitu program air bersih tahun 2020 kepada masyarakat Kabupaten Seram Bagian Timur sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012, dan Pasal 15 (b) Penanaman Modal.Kata kunci: tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL); perusahaan migas; perseroan terbatas; karlez petroleum.ABSTRACTSocial and Environmental Responsibility (TJSL) is a company's commitment to stakeholders in a broader sense more than just corporate interests. Although it is morally very important for the company to pursue profits, but it does not mean that the company can sacrifice the interests of the other party. Therefore, each company is responsible for its business actions and activities that have a positive impact either directly or indirectly on the stakeholders and the environment in which the company conducts its business. This study aims to determine the implementation of TJSL by the Karlez Petroleum Limited Liability Company to the community in Eastern Seram Regency, and the obstacles faced by the Oil and Gas Company PT Karlez Petroleum during the implementation of TJSL. The research method used in this writing is an empirical or socio-legal approach. The result of the study is that the implementation of TJSL carried out by Karlez Petroleum Limited Liability Company regarding community development cooperation of the Karlez TJSL Program in 2017-2021 has been carried out by following the provisions of Article 74 paragraph (1) of the Limited Liability Company Law, in conjunction with Article 7 of Government Regulation Number 47 of 2012. However, Karlez Petroleum Limited Liability Company has not implemented one of the TJSL programs, namely the clean water program in 2020 to the people of Eastern Seram Regency in accordance with the provisions of Article 74 paragraph (1) of the Limited Liability Company Law juncto Article 7 of Government Regulation Number 47 of 2012, and Article 15 (b) of Investment.Keywords: social and environmental responsibility (TJSL); oil and gas companies; limited liability companies; karlez petroleum.
EKSISTENSI MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA Fence Wantu; Mohamad Hidayat Muhtar; Viorizza Suciani Putri; Mutia Cherawaty Thalib; Nirwan Junus
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 2 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i2.342

Abstract

ABSTRAKPenyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi merupakan hal yang penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan hidup, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang lebih memperhatikan perlindungan keperdataan masyarakat (Pasal 91 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi eksistensi mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan kendala yang dihadapi dalam penggunaannya setelah diberlakukannya UUCK. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan fokus pada analisis perundang-undangan dan konsep hukum. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa eksistensi mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan pada prinsipnya telah menjadi budaya masyarakat Indonesia sejak dulu dan eksistensi berkembang dengan hadirnya berbagai peraturan perundang-undangan misalnya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta yang terbaru dalam UUCK. Meskipun mediasi seringkali tidak memuaskan, tetapi masih merupakan salah satu upaya yang penting. Namun, kendala yang dihadapi dalam penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup semakin kompleks setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat, sehingga tidak mungkin untuk membuat aturan teknis tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi. Meskipun UUCK sudah dinyatakan tidak berlaku dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, namun Perpu masih menyisakan perdebatan dan belum menjadi Undang-Undang hingga tulisan ini diterbitkan.Kata kunci: cipta kerja; lingkungan hidup; mediasi; penyelesaian sengketa.ABSTRACTSettlement of environmental disputes through mediation is an important matter in efforts to uphold environmental law, especially after the enactment of Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation (UUCK) which pays more attention to the protection of civil society (Article 91 paragraph (2) letter d of the -Law Number 11 of 2020). The purpose of this study is to evaluate the existence of mediation as a form of environmental dispute resolution and the obstacles encountered in its use after the enactment of UUCK. This study uses a normative juridical approach, with a focus on statutory analysis and legal concepts. In this study, it was found that the existence of mediation in resolving environmental disputes in principle has been a culture of Indonesian society for a long time and its existence has developed with the presence of various laws and regulations, for example SEMA Number 1 of 2002 concerning Empowerment of Peace Institutions and Supreme Court Regulation (PERMA) Number 2 of 2003 concerning Mediation Procedures in Courts, Supreme Court Regulation Number 1 of 2008 regarding Mediation Procedures in Courts and RI Supreme Court Regulation (PERMA) Number 1 of 2016 concerning Mediation Procedures in Courts and the latest in UUCK. Although mediation is often unsatisfactory, it is still an important endeavor. However, the obstacles encountered in using mediation in resolving environmental disputes are increasingly complex after the Constitutional Court decision Number 91/PUU-XVIII/2020 stated that UUCK is unconstitutional conditional, making it impossible to make technical rules regarding environmental dispute resolution through mediation. Even though the UUCK has been declared null and void with the presence of Government Regulation in Lieu of Law (PERPU) Number 2 of 2022 concerning Job Creation, the Perpu still remains up for debate and has not yet become a law as of the time this article was published.Keywords: job creation; environment; mediation; dispute resolution.
KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN DI BIDANG PERTANAHAN DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS PARA SPEKULAN DAN MAFIA TANAH DI IBU KOTA NUSANTARA Aditya Nurahmani
Bina Hukum Lingkungan Vol 7, No 3 (2023): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v7i3.357

Abstract

ABSTRAKKebijakan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur berdampak terhadap meningkatnya peralihan hak atas tanah di Kawasan IKN. Kondisi ini berpotensi dimanfaatkan oleh para spekulan dan mafia tanah yang hendak mendapatkan keuntungan besar dari momentum ini. Dalam tulisan ini terdapat dua persoalan pokok yang hendak dijawab. Pertama, bagaimana kebijakan eksisting terkait pengendalian di bidang pertanahan dalam mencegah dan memberantas para spekulan dan mafia tanah di IKN. Kedua, bagaimana bentuk penguatan kebijakan pengendalian di bidang pertanahan dalam mendukung pembangunan IKN. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan jenis penelitian deskriptif analisis, penulis menyimpulkan bahwa, pertama kebijakan eksisting dalam rangka pengendalian di bidang pertanahan diantaranya: kebijakan pembatasan pengalihan hak atas tanah (land freezing), Pemetaan Tematik Pertanahan dan Ruang (PTPR), percepatan pendaftaran tanah di Kalimantan Timur hingga penerapan Zona Nilai Tanah (ZNT). Kedua, bentuk penguatan kebijakan yang bisa dilakukan diantaranya: menerapkan Capital Gain Tax terhadap pemindahan kepemilikan hak atas tanah, pembentukan satuan tugas pengendalian di bidang pertanahan, pembentukan Kantor Wilayah BPN di IKN hingga percepatan Deklarasi Kota Lengkap. Kata kunci: ibu kota Nusantara; mafia tanah; pengendalian; spekulan.ABSTRACTThe policy to move the Capital City to East Kalimantan has an impact to increasing the transfer of land ownership in the IKN area. This condition has the potential to be exploited by speculant and land mafia who wish to benefit greatly from this momentum. In this paper, there are at least two main questions to be answered. First, what are the existing policies related to controlling the land sector to prevent and eradicate speculant and land mafia in IKN. Second, how the form of policy strengthening to control the land sector to support the development of IKN. By using the normative juridical method with descriptive analytical research type, the author concludes that, first, the existing policies to control in the land sector: the policy for limitation of transfer land ownership (land freezing), Land and Space Thematic Mapping (PTPR), acceleration of land registration in East Kalimantan, and Land Value Zone (ZNT). Second, the forms of strengthening policies that can be taken include: implementing the Capital Gain Tax on the transfer of ownership land, establishing a task force to control the land sector, establishing the BPN Region Office at IKN (Kanwil BPN), and accelerating the complete city declaration. Keywords: capital of Nusantara; land mafia; control; speculant.