cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. ogan ilir,
Sumatera selatan
INDONESIA
Jurnal Arsitektur Sriwijaya
Published by Universitas Sriwijaya
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Engineering,
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies is a journal that publishes original papers and review articles on research, technology, and tool development related to studies in architecture, built and wetland environment, both in relation people place relationship aw well as the application of building design and operation.
Arjuna Subject : -
Articles 13 Documents
EVALUASI PONDASI TIANG DENGAN PILE DRIVEN ANALYSIS (PDA) DI KOTA PALEMBANG Livian Teddy
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (891.376 KB)

Abstract

Abstrak Tujuan dasar dari PDA test yaitu untuk mengevaluasi daya dukung tiang, integritas/keutuhan tiang dan penurunan tiang. Dengan kemampuannya tersebut PDA test digunakan pada proyek-proyek besar sebagai tes tambahan selain ujian beban skala penuh (static load test), sedangkan pada proyek-proyek menengah dan kecil PDA test dianggap bisa menggantikan uji beban. Untuk mengetahui kemampuan PDA test dengan mengumpulkan dan menganalisa hasil-hasil tes PDA di 3 lokasi yang ada di Kota Palembang. Hasilnya daya dukung ultimit dan penurunan tiang pada ketiga lokasi masih cukup aman. Sedangkan untuk uji integritas tiang hanya 1 lokasi yang melaporkan kondisi tiang baik. Disini integritas perusahaan dipertaruhkan untuk melaporkan apa adanya. Dengan tulisan ini juga penulis berharap dapat menggugah pemahaman para pekerja konstruksi/praktisi tentang PDA test, sehingga dengan memahaminya dapat memberikan ‘early warning’ jika ada sesuatu yang tidak beres dilapangan selanjutnya ‘serahkan pada ahlinya’. Kata Kunci : PDA test, uji beban skala penuh, static load test
Prinsip Perancangan Berdasarkan Persepsi dan PreferensiStakeholder dalam Peremajaan Kawasan Cinde Palembang Dessy Syarlianti
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1335.922 KB)

Abstract

Abstract Located in most strategic street in Palembang, Cinde Area used to be the traditional economic trade center for middle class people in Palembang.Unfortunately nowadays it has been run intoquality decreasing both physic and activity.High competitions from modern commercial area that offering more prestigious facilities could become one of the reasons why people tend to leave Cinde Area. However, the activity decreasing isn’t as bad as the physical quality decreasing. There’re so many physical problem in Cinde Area, especially the Cinde Market, as the landmark of the area, that couldn’t fulfill the need of the people anymore, such as the parking area, pedestrian ways, open space and the condition of Cinde Market building itself. The Issue of doing renewal in this area had emerged from many times ago, butstill there isn’t any concrete guideline of it. Principles design is one of guidelines that could help in doing some renewal in this area, but there’re so many factors involve and should be considered before formulating it. One significant factor is the stakeholder. Identify right stakeholders in this project will make the project become more efficient and reliable. The scope of this research is to make some principles design of Cinde Area renewal based on perception and preference of the related stakeholder using the content analysis method, so that the program will minimize conflicts among the stakeholder and expedite the renewal. Key-word :Urban Renewal, stakeholders, Design Principles, Cinde Palembang Abstrak Terletak di daerah yang sangat strategis di kota Palembang, Kawasan Cinde dahulu merupakan pusat perdagangan kalangan menengah. Sangat disayangkan saat ini kawasan tersebut mengalami penurunan kualitas baik secara fisik maupun aktifitas.Persaingan yang pesat dari kawasan komersial modern yang menawarkan fasilitas yang lebih baik menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat cenderung untuk meninggalkan Kawasan Cinde. Namun penurunan kualitas aktivitas tidak terlalu menjadi persoalan yang utama, dikarenakan secara kuantitas aktivitas masih banyak berlangsung di sana.Berbeda dengan kualitas fisiknya yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat saat ini, terutama pasar Cinde sebagai landmark kawasan.Hal ini dapat dilihat dari kurangnya lahan parkir, kondisi jalur pedestrian yang kurang baik, kurangnya ruang terbuka serta tata hijau, serta kondisi bangunan pasar Cinde yang tidak terpelihara.Isu untuk melakukan peremajaan pada kawasan ini telah ada dari sejak lama, namun belum ada suatu rumusan pasti yang mengatur hal tersebut, sehingga usaha peremajaan belum dapat terlaksana dengan baik dan tidak tepat sasaran.Prinsip disain adalah salah satu aturan yang dapat membantu pelaksanaan program peremajaan ini, namun terdapat banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan sebelum merumuskannya.Salah satu faktor penting adalah stakeholder. Mengidentifikasi stakeholder yang tepat untuk proyek ini akan membuat pelaksanaannya menjadi lebih efisien dan dapat diandalkan. Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk membuat prinsip-prinsip disain dalam usaha peremajaan Kawasan Cinde berdasarkan persepsi dan preferensi stakeholder dengan menggunakan metode analisis content.Diharapkan dengan rumusan tersebut dapat meminimalisir konflik antar kepentingan dalam pelaksanaan proyek peremajaan tersebut. Kata-kunci : jurnal, Stakeholder, Prinsip disain, Cinde Palembang  
EVALUASI CITRA KOTA PALEMBANG sebagai KOTA AIR TEMPO DOELOE dan MASA KINI Chairul Murod; Meivirina Hanum
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.448 KB)

Abstract

ABSTRAK Dilihat dari perjalanan kesejarahan, kota Palembang terbagi dalam beberapa masa. Masa pertama adalah masa Kerajaan Sriwijaya, dimana Palembang diduga berat sebagai ibukota Kedatuan Sriwijaya. Ini ditunjukkan dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Team Penelitian Arkeologi Palembang dengan ditemukannya situs Bukit Siguntang – Karang Anyar yang diduga sebagai pusat Kedatuan Sriwijaya. Masa selanjutnya adalah masa kesultanan Palembang Darussalam, dimana Palembang sebagai ibukota Kesultanan Palembang Darussalam dengan pusat kesultanannya yang dikenal dengan Kuto Lama – Kuto Besak. Kemudian adalah masa kolonial Belanda, dimana kota Palembang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tetap mengambil Kuto Besak – Kuto Lama sebagai pusat kota terakhir adalah masa kemerdekaan hingga sekarang. Pada masa Kesultanan Palembang yang diteruskan masa kolonial Belanda, dan pada awal masa kemerdekaan kota Palembang dikenal dengan sebutan Venesia dari Timur, ini yang dinyatakan oleh P.J.M. Nas (1995) sebagai The Venice of East. Sebutan tersebut menyatakan bahwasannya kota Palembang mempunyai citra sebagai kota air seperti halnya kota Venesia di Erofa. Namun citra kota Palembang sebagai kota air tersebut mengalami pergeseran pada masa sekarang ini. Ini dinyatakan baik oleh sebagian masyarakat dan beberapa tokoh-tokoh masyarakat kota Palembang. Yang menjadi pertanyaan adalah : pertama, apakah benar telah terjadi pergeseran citra kota Palembang sebagai kota  air tempo dulu dan masa kini ; kedua, kalau memang terjadi pergeseran mengapa terjadi pergeseran tersebut. Selanjutnya dari pertanyaan kedua, akan turun pertanyaan, apakah pergeseran terjadi diakibatkan oleh perkembangan kota yang dapat merubah orientasi kota, atau apakah terjadi perubahan perilaku sosial-budaya masyarakat kota, dan atau keduanya saling mempengaruhi.. Kajian  ini, utamanya dalam kerangka pemahaman teori-teori urban psychology yang bertalian dengan urban desain, yang dapat mendukung pendekatan urban desain itu sendiri. Konteksnya dengan kota Palembang tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana pengaruh aspek non fisik khususnya yang dapat mempengaruhi pergeseran citra dari suatu lingkungan-kota diamping asfek fifik kota tersebut.Dalam mengkaji image kota Palembang sebagai kota air akan dilihat dari teori Kevin Lynch (1960) tentang The Image of The City, dengan membandingkannya dengan gambaran akan kota Venesia. Sedangkan dalam mengkaji aspek-aspek yang mungkin mempengaruhi terjadinya pergeseran image kota air Kota Palembang Tempo Doeloe dan Masa Kini akan didekati dengan teori tentang pengaruh interaksi Perilaku Sosial dan Lingkungan Fisik, serta terbentuknya Urban Experience. Sebagaimana diuraikan diatas dari tulisan ini, menurut perjalanan kesejarahan, Kota Palembang mengalami beberapa masa, mulai dari masa Kedatuan Sriwijaya, masa Kesultanan Palembang, masa Kolonial Belanda dan masa Kemerdekaan – Masa Kini. Namun kajian dalam tulisan ini, terbatas melihatnya pertama dalam masa Kesultanan Palembang – Masa  Kolonial Belanda, dan kedua dalam Masa Kini – Masa Kemerdekaan hingga sekarang.
Cosmopolitan Urbanism and Architecture & Paradigm Change in Research and Education in in Asia Johannes WIDODO Associate Professor, Dr.
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.655 KB)

Abstract

Abstract The genesis of human settlements is a continuous process of production and layering of spaces in different scale levels across historical periods. The architectural production in our Asian context is always cosmopolitan, hybrid and eclectic, due to historical links and inclusive cultural attitude. Our common building typologies – and also our modernization processes - are the product of the cosmopolitan communities, the articulation of the multi-layered tangible and intangible traditions, and the direct response to local micro-climate of this region. Diversity, eclecticism, fusion, acculturation, adaptation, can perhaps best describe the nature of our architecture and urbanism.   Our architectural education now is in dire needs to develop a design-research culture to deal with social and environmental changes. Contemporarily we are in an urgent need to find resolutions to address serious problems posed by the climate change, ideological conflicts, economic greed, depletion of resources, and social justice. Research in architecture should be based on the reality on the ground and not just based on alien theories. Design should be based on the understanding of the real contextual problems, to formulate sensible, sensitive, and holistic solutions.   Learning the lessons and wisdoms from our cosmopolitan architecture and urbanism is an important and necessary step towards the improvements and paradigm change in architectural education, research, and practice in Asian context.  
Penggunaan Metoda Juxtaposisi untuk Bangunan Pasar Bersejarah 16 ilir Palembang Muhammad fajri romdhoni
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1502.645 KB)

Abstract

Abstract A building or an environment could not avoid the growth and change of an era. With the development and change of an environment tends to change the identity and diminish the authenticity of an architectural object. An architectural heritage or the architectural remains has became the identity of its environment and are often becoming obsolescensed, it is being disrespected because of the unability to provide the necessary facilities and needs of the different era’s.. Identities and an image would became a necessity to give a statement of a building or an environment to the obsolescense environment. Pasar 16 Ilir Palembang is the case study and the oldest public market in the city of Palembang. It has kept numerous architectural herigaes and the buildings had became an identity which hasn’t been given the proper treatment by the market holders or the user of those markets. The general reason is it was caused by the continuous decline of identity and spatial qualities. This thesis is a study on applying the methods of juxtaposition on a heritage environment that hascommercial values. The juxtaposition is being used to determine the proper architectural treatment that could be applied on a heritage buildings and an environment that tend to have obsolescence so that it would have a new identity that are both strong for its heritage values and also provides the atmosfer suitable to its time. Keywords : obsolescense,  architectural heritage, imaging, Pasar 16 ilir, juxtaposition Abstrak Sebuah bangunan ataupun lingkungan tidak dapat lepas dari perubahan dan perkembangan, hal tersebut menjadi sesuatu hal yang tidak dapat kita hindari. Dengan berubah dan berkembangnya lingkungan tersebut mengakibatkan hilangnya identitas dan lunturnya aut henticity dari objek arsitektur tersebut. Bangunan bersejarah ataupun reruntuhan yang telah menjadi identitas bagi lingkungannya seringkali semakin tidak bernilai dan tidak dihargai karena tidak menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh zaman yang berbeda-beda. Namun identitas dan pencitraan akan selalu menjadi sesuatu yang sangat diperlukan untuk memberikan penegasan akan fungsi bangunan ataupun lingkungan yang mengalami penurunan nilai tersebut. Pasar 16 ilir Palembang merupakan sebuah studi kasus dan merupakan pasar tertua yang ada di kota Palembang. Di dalamya terdapat bangunan-bangunan tua dan bersejarah yang menyimpan identitas bersejarah dari pasar tersebut, namun saying hal tersebut tidak disikapi dengan “pantas” baik oleh pengelola pasar tersebut maupun para pengguna pasar. Hal tersebut secara umum disebabkan oleh luntur nya identitas dan kualitas ruang yang menjadikan sebuah lingkungan terus mengalami  penurunan nilai. tulisan ini akan membahas tentang penelusuran sebuah metoda Juxtaposition yang diaplikasikan pada sebuah lingkungan komersial bersejarah sebagai penentuan suatu sikap arsitektur yang “pantas” untuk diterapkan didalam lingkungan ataupun bangunan bersejarah yang mengalami penurunan nilai agar dapat kembali pada kondisi terbaik nya dan timbul sebuah identitas baru untuk memperkuat nilai sejarahnya dan memberikan atmosfer ruang yang sesuai dengan zamannya. Kata kunci : Penurunan nilai bangunan bersejarah, pencitraan, Pasar 16 Ilir, juxtaposition
OPTIMASI POTENSI ARTEFAK BUDAYA PADA KORIDOR SUNGAI MUSI UNTUK PENGEMBANGAN WISATA SEJARAH DI KOTA PALEMBANG Dr. Ir. H. A. Tutut Subadyo., MSIL.
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (558.304 KB)

Abstract

Pendahuluan Cikal bakal kota Palembang secara historis kultural, sosial ekonomi dan fisik tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sungai Musi. Sebagai kota tertua di Indonesia maka kota Palembang memiliki sejarah yang panjang dengan sejumlah  julukan seperti Het Indishe Venetie ; de Stad der Twintig Eitlanden atau The City of Twenty Islands ; de Stad des Vredes atau The City of Safety (Gramberg, JS, 1878 & William Thorn, 1815 dalam Hanafiah, 1999). Dengan sejumlah julukan tersebut, sudah barang tentu kota Palembang memiliki dan menyimpan sejumlah kekayaan dan khasanah lansekap artefak budaya dan sejarah, utamanya dalam keterkaitannya dengan eksistensi Sungai Musi yang membelah kota ini, sehingga kota Palembang dapat menjadi salah satu model dari Waterfront City di Indonesia. Palembang sekarang telah menjadi kota metropolis. Pembangunannya lebih mengarah pada aspek ekonomi, sehingga perhatian kepada aspek-aspek lain kurang memadai. Diversitas kultural yang seharusnya menjadi identitas Kota Palembang kian memudar. Untuk itu dibutuhkan kepedulian melalui upaya pelestarian nilai yang terdapat di kota ini, khususnya pelestarian lansekap artefak kultural  sepanjang koridor Sungai Musi yang sarat nilai sejarah kota ini. Optimasi dan pengembangan wisata sejarah dengan memberdayakan elemen dan lansekap artefak historis kultural sebagai obyek wisata merupakan salah satu cara pelestariannya. Sampai saat ini, potensi yang dimiliki sungai Musi di Kota Palembang, utamanya yang terkait dengan kepariwisataan yang berbasis sosial kultural dan kearifan lokal, belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan kota dan masyarakatnya. Selain aspek sosio kultural seperti : artefak budaya dan sejarah, struktur hunian permukiman tepian sungai dan kesenian dan kehidupan masyarakat tepian Sungai Musi, juga peran sungai ini sebagai pembentuk kota Palembang baik secara kultural, fisik maupun sosio ekonomi. Optimasi potensi lansekap artefak budaya untuk pengembangan wisata sejarah merupakan upaya penghargaan terhadap sejarah Kota Palembang. Hal ini diharapkan menjadi langkah awal yang dapat memeberikan sentuhan bermakna bagi sustainibilitas Kota Palembang. Penelusuran awal ini bertujuan untuk mengoptimasi dan menganalisis potensi artefak atau obyek bersejarah di koridor sungai Musi untuk pengembangannya sebagai kawasan wisata budaya yang berkelanjutan . Hasil penelusurtan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pihak untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan lansekap sungai Musi, dan meningkatkan apresiasi publik seta wisatawan yang berkunjung terhadap kearifan dan budaya lokal yang pernah dimilikinya.
Perencanaan Bumi Perkemahan Sandi Yudha Universitas Sriwijaya Sebagai Wisata Alam Kabupaten Ogan Ilir Dengan Pendekatan Ekologi Dendi Atim Santoso
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2014): Seminar Arsitektur Sriwijaya Genap 13/14
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.002 KB)

Abstract

Perencanaan  bumi perkemahan Sandi Yudha Universitas Sriwijaya sebagai wisata alam kabupaten Ogan Ilir dengan pendekantan ekologi yang mana sudah banyak di  ketahui  bahwa  perancangan  sering  kali  tidak  memperhatikan  keselarasan dengan  alam.  Sehingga,  berdampak  negatif  bagi  alam  oleh  karena  itu  dengan penerapan  pendekatan  ekologi  dimaksudkan  untuk  menciptakan  suasana  bumi perkemahan  yang  ramah  lingkungan  baik  dari  segi  penggunaan  kawasan  hutan yang  tidak  terlalu  berlebihan  dalam  menggolah  hutan  kampus  dan  penggunaan material  banggunan    yang  dapat  menghemat  energi  untuk  untuk  mendukuk pengurangan dampak Global Warming. menghidari pengerasan area agar proses penyerapan air hujan tidak terhambat sehingga area perkemahan tidak tergenang dan   pemanfaatan   sumber   daya   alam   terbaharui   yang   dapat   membantu pengurangan  energi  tak  terbaharui,  karena  merupakan  salah  satu  objek  wisata maka perlu diperhatikan dalam pengelolahan sampah yang tepat sehingga tidak mengganggu ekosistem alam yang ada di kawasan bumi perkemahan Sandi Yudha. Sehingga  kawasan  ini  menjadi  lebih  nyama  untuk  berlagsungnya  kegiatan berkemahan dan berwisata.
PERANG PALEMBANG DAN BENTENG-BENTENG PERTAHANANNYA (1819-1821) Dr Farida
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (117.677 KB)

Abstract

Pendahuluan   Berbicara perang Palembang yang terjadi pada tahun 1819 dan 1821 tidak dapat dipisahkan dari peran benteng-benteng pertahanan. Yang dimaksudkan dengan benteng disini adalah bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan pertahanan. Pertahanan dari serangan musuh pada saat berperang. Sesuai nalurinya, maka manusia akan seanantiasa menyerang atau diserang. Disaat diserang, membutuhkan tempat untuk bertahan yang biasanya terdiri dari bangunan yang dibuat kuat dan kokoh. Keberadaan benteng-benteng di Kesultanan Palembang, terkait dengan adanya ancaman dari kolonialis Belanda pada Oktober 1819. Disebutkan bahwa sejak kembalinya Belanda ke Nusantara, setelah pendudukan Inggris selama sekitar lima tahun (1811-1816). Sebagai bagian dari kawasan yang diserahkan kepada Belanda, maka sejak Nopember 1816 wakil Belanda (Klaas Heynis) berkedudukan sebagai residen di Kesultanan Palembang. Bagaimana kondisi Palembang setelah Inggris keluar dari daerah ini?  Belanda yang baru tiba dengan segala keterbatasannya, membuat situasi di Palembang menjadi tidak terkendali. Banyak terjadi kekacauan khususnya di daerah  perbatasan (Lampung dan Bengkulu), dan di daerah uluan, serta perairan Palembang-Bangka. Sultan Najamuddin II (adik Sultan Badaruddin II) yang berkuasa pada waktu itu tidak mampu berbuat banyak menghadapi hal tersebut. Tiga residen Belanda juga tidak berhasil mengamankan Palembang. Akhirnya, pihak Belanda di Batavia mengirimkan orang kuat untuk mengatasinya yaitu Komisaris Muntinghe (ANRI, Bundel Palembang No. 70.3). Kebijakan Muntinghe membagi wilayah Kesultanan Palembang (Juni 1818) dengan dalih memulihkan keamanan, disambut baik oleh Sultan Badaruddin II. Sedangkan Sultan Najamuddin II menolak, dan meminta bantuan kepada Inggris (Raffles) di Bengkulu. Pengiriman ekspedisi Inggris dari Bengkulu, menyebabkan terjadi krisis antara Belanda dan Inggris, juga Sultan Najamuddin II. Krisis itu berakhir dengan dikembalikannya pasukan Inggris ke Bengkulu. Efek dari peristiwa tersebut, Sultan Najamuddin II dibuang ke Jawa Barat. Dengan demikian, seluruh kekuasaan dan wilayah Najamuddin II menjadi milik Badaruddin II. Meskipun kekuasaan Badaruddin II menjadi lebih besar dengan wilayah yang lebih luas, namun kekuasaannya tetap terbatas karena Muntinghe mengendalikan kekuasaan dengan wilayah yang lebih luas. Kepergian Muntinghe ke uluan dalam rangka mengusir pasukan Inggris yang ditinggalkan di sana, memberi peluang kepada Sultan untuk mempersiapkan diri dalam rangka melepaskan diri dari pengaruh Belanda. Usaha itu diwujudkan pada Juni 1818 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; ANRI, Bundel Palembang No. 67; Bataviaasch Courant, 26 Juni 1819, Nomor 26). Dalam peperangan pertama antara laskar Palembang dan Belanda, berhasil dimenangkan oleh Palembang. Akibatnya, pasukan Belanda mundur ke Bangka dan menutup muara Sungai Musi (Sungsang). Pascakemenangan tersebut, Kesultanan Palembang dihadapkan pada kemungkinan datangnya balasan dari pihak Belanda. Untuk itu, maka Sultan harus mempersiapkan diri. Untuk menghadapi serangan musuh, Sultan bersama-sama rakyatnya melakukan berbagai persiapan. Dalam waktu sekitar tiga bulan, hal penting yang disiapkan oleh Sultan adalah mendirikan benteng-benteng dalam rangka pertahanan. Untuk itu, muncul pertanyaan bagaimana jalannya peperangan di Kesultanan Palembang, dan apa peran benteng-benteng pertahanan yang disiapkan dalam beberapa kali peperangan Palembang dan Belanda? Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan jalannya peperangan-peperangan tersebut, sekaligus untuk mengetahui peran benteng-benteng dalam berbagai peristiwa penting itu.
KEARIFAN ARSITEKTUR LOKAL DALAM BERADAPTASI TERHADAP KONDISI IKLIM DI DAERAH TROPIS LEMBAB (Studi Kasus: Pemukiman Rumah Rakit di Sungai Musi Palembang) Anson Ferdiant Diem
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract There are a variety of patterns of raft housing found in the traditional settlement along the Musi River of Palembang. They form a specific dwelling environment consisting of traditional housing on water. Customary values cultivated in the traditional settlement contain aesthetic values and local wisdom of the society. The social and cultural variety of the society along the Musi River and its upper stream called batang hari sembilan ‘the nine rivers’ does not exist instantly but gradually. This paper tries to present those aspects based on the research the writer did using phenomenological descriptive method, that is aimed at describing an architectural phenomenon emerged through local wisdom of Palembang society. The analysis of this study covering formation, building orientation, season variables, and thermal convenience is intended to dig up local wisdom and expose building architectural values and conditions of Palembang traditional settlement. It is expected that local wisdom is internalized and accepted by the people concerned as local creativity which is wise, valuable, and beneficial. Key words: Local wisdom, raft housing, thermal conveniencePendahuluan Sejalan dengan kemajuan jaman, rumah-rumah tradisional seperti rumah rakit Palembang mengalami desakan modernisasi yang sangat kuat sehingga keberadaannya menjadi semakin langka, padahal referensi tentang keaneka ragaman budaya bangunan ini belum banyak tersedia.  Kalau tidak dipelajari, dapat diperkirakan bahwa suatu saat kelak anak cucu kita tidak dapat mengenali dan berbangga hati atas budaya yang pernah dimilikinya.  Ironisnya lagi, referensi tentang rumah-rumah tradisional Nusantara malah dibuat oleh bangsa asing.  Buku yang berjudul “The Tradisional Architecture of Indonesia”, buah karya Barry Dawson dan John Gillow, terbit tahun 1994 merupakan bukti tentang hal ini, walaupun kurang lengkap karena masih merupakan garis besar dan tidak mencakup semua bangunan tradisional yang kita miliki. Sebagai bangunan pribadi rumah harus dilengkapi dengan studi tentang keinginan penghuninya agar selaras dengan keinginan tersebut dan dapat melindungi penghuninya dari pengaruh cuaca dan bahaya lain yang ada (Kureja, 1978).  Hal ini sesuai dengan pendapat Amos Rapoport (1969), yang mengatakan bahwa sebagai tempat berlindung, rumah sangat diperlukan manusia karena merupakan faktor utama dalam usahanya untuk tetap bertahan melawan musuh, iklim, hewan buas dsb. Cara-cara untuk beradaptasi dengan kondisi iklim maupun lingkungan merupakan buah hasil kearifan lokal daripada masyarakat itu sendiri. Kondisi geografis kawasan juga memiliki pengaruh terhadap bentuk rumah tradisional yang meliputi aspek arsitektur, konstruksi, bahan bangunan dan filosofi. Sumatera Selatan yang sebagian besar merupakan wilayah lahan basah (wetland) di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Walaupun beberapa tipe rumah tradisional Palembang memiliki bentuk rumah panggung, tetapi masing-masing tipe rumah panggung memiliki perbedaan sistem struktur yang adaptif terhadap lingkungan di sekitarnya. Demikian juga dengan Rumah Rakit yang sesuai dengan wilayah yang memilki banyak sungai besar. Kearifan Lokal Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genious) diterjemahkan sebagai kecerdasan/pengetahuan setempat atau pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal (adat, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, tehnologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian) dalam menjawab berbagai masalah untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan ekosistem serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri (Hermana, 2006). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Budaya lokal tercipta melalui proses yang panjang, bersifat evolutif, dan proses transfer ilmunya melalui bahasa tutur/lisan dan praktek langsung secara trans generasi. Dengan demikian tidak ada hak cipta, tidak diketahui penemunya, namun dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bahkan menjadi nilai budaya yang mengikat perilaku masyarakat. Itulah yang disebut “tradisional” sebagai ungkapan yang berlawanan dengan “modern” yang selalu diketahui penemunya. Penciptaan atau temuan yang bermakna bagi keberlangsungan hidup masyarakat setempat itulah yang lebih sering disebut kearifan lokal. Dalam konteks rumah tradisional, kearifan lokal yang menyertai proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi antara kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata letak, dengan kemampuan alam. Harmonisasi dicapai oleh masyarakat tradisional dengan terlebih dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat menguasai konsep ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan Suskiyatno 1998). Komponen ekosistem terdiri atas lingkungan abiotik, organisme produsen, organisme konsumen, dan organisme perombak. Masyarakat tradisional telah menyelaraskan diri terhadap keberadaan komponen ekosistem tersebut sehingga terciptalah rumah tradisional sebagaimana banyak kita lihat dengan seperangkat kearifan lokal yang berupa pranata teknologi, kelembagaan, agama, dan lain-lain. Inilah yang dimaksudkan dengan adaptasi ekologis perumahan tradisional. Organisme yang beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk (Forum sains 2011): Memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan), Mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur, cahaya dan panas, Mempertahankan hidup dari musuh alaminya, Bereproduksi, Merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya. Adaptasi ekologis tersebut jika berlangsung secara evolutif, akan menghasilkan sebuah kehidupan yang harmoni dengan alam. Pada masyarakat Rakit Palembang, harmonisasi dapat digambarkan dengan mudahnya mereka mencari sumber-sumber penghidupan di sekitar rumah mereka antara lain mengail ikan di teras rumah, memelihara ikan dalam karamba di samping rumah, berdagang minyak, dan lain-lain. Meskipun demikian, aktivitas domestik dan sosial tetap berjalan. Dengan kata lain, fungsi rumah sebagai wadah aktivitas sosial, ekonomi, fisik tetap terlaksana dengan baik meskipun lahan mereka berupa air.
Perancangan Museum Lingkungan di Kota Palembang dengan Memanfaatkan Kontainer sebagai Arsitektur Dewi Mayasari
Journal of Architecture and Wetland Environment Studies Vol 1, No 1 (2014): Seminar Arsitektur Sriwijaya Genap 13/14
Publisher : Journal of Architecture and Wetland Environment Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.804 KB)

Abstract

ABSTRAK Sungai Musi merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang terletak di kota Palembang. Tetapi, banyak ditemukan sampah yang mencemari tiap aliran anak sungai. Hal ini dikarenakan rendahnya pemahaman, sikap kepedulian, dan kecintaan masyarakat terhadap pentingnya kualitas lingkungan di kotanya. Sehingga diperlukan sebuah Museum Lingkungan sebagai wadah edukasi lingkungan. Dengan memanfaatkan kontainer sebagai Arsitektur, diharapkan dapat mengurangi penumpukan sampah kontainer yang menyebabkan penggunaan lahan di wilayah Boom Baru. Kata kunci: Museum Lingkungan, Arsitektur Kontainer

Page 1 of 2 | Total Record : 13