cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts)
ISSN : -     EISSN : 23386770     DOI : https://doi.org/10.24821/resital
Core Subject : Humanities, Art,
Resital : Jurnal Seni Pertunjukan merupakan jurnal ilmiah berkala yang ditujukan untuk mempublikasikan karya ilmiah hasil penelitian, pengembangan, dan studi pustaka di bidang seni pertunjukan. Jurnal Resital pertama kali terbit bulan Juni 2005 sebagai perubahan nama dari Jurnal IDEA yang terbit pertama kali tahun 1999.
Arjuna Subject : -
Articles 254 Documents
Retorik dan Makna Ideologis Karya Instalasi dalam Film Opera Jawa Garin Nugroho Christian Budiman
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.390

Abstract

ABSTRAK Film Opera Jawa karya Garin Nugroho mencoba memadukan berbagai bidang dan genre seni di dalamnya. Melalui kolaborasi dengan sejumlah maestro seni, mulai dari seni vokal dan musik Jawa, seni kostum, seni tari, sampai dengan seni instalasi yang digarap oleh para perupa seperti Entang Wiharso, Nindityo Adipurnomo, dan kawan-kawan, boleh dikatakan bahwa Opera Jawa merupakan sebuah fi lm yang sangat peduli akan visualitas. Berdasarkan pada pembacaan semiotis atas karya-karya instalasi ini di dalam konteks adegan-adegan yang terkait, dapat diketahui bahwa signifi kasi karya-karya instalasi ini pada tataran pesan simbolik telah mengedepankan konotator-konotator utama yang berupa fi gur-fi gur retorik seperti metafora, metonimi, simbol, dan personifi kasi; sementara pada dimensi ideologisnya pun tersingkap beberapa petanda konotatif utama yang sangat signifikan perannya bagi proses pemahaman atas film ini.   Kata kunci: seni instalasi, signifi kasi, retorik, ideologi. ABSTRACT The rhetorical and ideological meaning of the installation works in Opera Jawa Film by Garin Nugroho. Opera Jawa fi lm by Garin Nugroho tries to combine many kinds of art fi eld and its genre. The collaborative project carried out by some arts maestros - from the singing art and Javanese music, fashion, and the dancing art, to the installation art which was carried out by some artists, such as Entang Wiharso, Nindito Adipurnomo, and friends – could give the most signifi cant effect to Opera Jawa which pays more attention to visualization. Based on the semiotic reading to the installation works in the contexts of interrelated scenes, it can be known that the signifi cance of the installation works on the symbolic of the message level has emphasized the main connotations which consist of the rhetorical fi gures such as: metaphor, metonymy, symbol, and personifi cation. On the other hand, based on the ideological dimension, the main connotative signs which are regarded very signifi cant for the understanding process on this fi lm can be clearly exposed. Keywords: Installation art, rhetoric, Javanese opera.
Tatag De Penyawo: Perenungan Atas Identitas Kesukuan M Heni Winahyuningsih
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.391

Abstract

ABSTRAK Tatag de Penyawo adalah sebuah koreografi kelompok yang ditampilkan oleh 9 orang penari laki-laki. Karya ini lahir dari hasil perenungan penata tari yang gelisah dengan identitas kesukuan. Paham animisme merupakan citra yang melekat pada kehidupan masyarakat suku Dayak, yang sebagaian besar dari kehidupan mereka sangat dekat dengan roh-roh leluhur, hal-hal supranatural, dan keyakinan yang kuat terhadap gejala-gejala alam dan tingkah laku binatang. Kepercayaan leluhur yang disebut kaharingan memberi ruang yang luas untuk melakukan berbagai upacara adat dengan penampilan berbagai kesenian. Ketika agama-agama besar mulai dikenal dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Dayak, tradisi upacara adat mulai ditinggalkan, dan keberadaan kesenian pun mulai terancam. Ada sebagaian sub suku Dayak yang ketika mulai memeluk agama baru tidak lagi mengakui sebagai bagian dari Suku Dayak, tetapi menyebut suku Melayu sebagai identitas kesukuannya. Hal inilah yang dialami oleh penata tari. Dia dilahirkan oleh seorang perempuan Suku Tidung yang memeluk agama Islam, sehingga harus menanggalkan kedayakannya, dan menjadi warga suku Melayu. Panggilan hati untuk terus menghormati tradisi kesukuan leluhurnya melalui aktivitas kesenian membuatnya tidak ingin kehilangan identitas sebagai orang Dayak yang beragama Islam. Melalui karya tari Tatag De Penyawo ini ia ingin merefl eksikan identitas kesukuannya, dengan mengeksplorasi pola-pola gerak yang terdapat dalam tari tradisi Dayak, Hudoq Kita`. Kata kunci: Dayak, identitas suku, Hudoq Kita`  ABSTRACT Tatag De Penyawo : The contemplation of ethnic identity. Tatag de Penyawo is a group of coreography performed by nine male performers. This piece was born from the coreographer’s contemplation who worries about the ethnic identity. Animism is an image which attaches to the social life of Dayak Tribe, which is very close to their ancestor’s spirit, supernatural things, and strong belief to the natural phenomena and animal behavior. The ancestral belief, which is called Kaharingan, gives a lot of opportunities to perform traditional ceremonies featuring a variety of arts. When the major religions _ rstly known and believed by Dayak people, the traditional ceremony had been left behind. The situation endangered the existence of arts. When some people of Dayak tribe started to follow the new religion, they claimed themselves as Melayu Tribe for their ethnic identity instead of Dayak Tribe. The situation had also affected the choreographer’s life. He was born by a Muslim Dayak lady, and consequently, the Dayak culture has been abandoned since he becomes a part of Melayu Tribe. The coreographer’s desire to honor his ancestor tradition with arts activities leads him to maintain his identity as a part of Dayak Tribe who follows Islam. By this piece of arts, Tatag De Penyawo, he wants to re_ ect his ethnical identity by exploring the movement pattern in traditional dance of Dayak, Hudoq Kita`. Keywords: Dayak dance, Ethnic identity, Hudoq Kita`
Musik Liturgi Inkulturatif di Gereja Ganjuran Yogyakarta Yohanes Don Bosko Bakok
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.392

Abstract

ABSTRAK Gereja Ganjuran merupakan salah satu Gereja Katolik di Yogyakarta yang sering menggunakan music inkulturatif dalam perayaan liturgi. Penggunaan musik inkulturatif sering kali aspek budaya lebih mendominasi dibanding aspek liturgi yang dirayakan. Jenis musik dan instrumen tertentu yang tidak disetujui oleh sebagian besar umat untuk digunakan dalam perayaan liturgi pun tetap digunakan. Penelitian ini bermaksud mengkaji fenomenafenomena tersebut dalam perayaan Jumat Agung pada tanggal 22 April 2011 dengan berpedoman pada ketentuanketentuan mengenai musik liturgi yang berlaku dalam Gereja Katolik universal. Mengkaji fenomena ini digunakan teori inkulturasi dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik liturgi inkulturatif yang digunakan dalam perayaan ada yang sesuai dan ada yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada music liturgi. Kata kunci: musik liturgi, inkulturatif, Ganjuran. ABSTRACT The Inculturated Liturgical Music at the Sacred Heart of Jesus Church of Ganjuran Yogyakarta. The Sacred Heart of Jesus Church of Ganjuran is one of the Catholic Churches in Yogyakarta that often uses in culturated music in the liturgical celebration. In using the inculturated music, the cultural aspects often be more dominant than the celebrated liturgy. Certain types of music instruments that are not approved by the majority of people to be used in the celebration of the liturgy are still in use. This study is intended to analize this phenomenon, especially in the celebration of Good Friday on April 22nd, 2011 based on the provisions of the liturgical music that are applicable in the universal Catholic Church. The theory that is used to study the problem of this research is the theory of inculturation, and the research method is qualitative method. The result of the research showed that some inculturated liturgical music used in the celebration of Good Friday on April 22nd, 2011 was appropriate, and some of it was not appropriate based on the provisions of liturgical music.Keywords: liturgy music, inculturated, Good Friday, Ganjuran.
Pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon: Studi Kasus Gaya Rasinah Nur Rochmat
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.393

Abstract

ABSTRAK Tulisan ini membahas guru panggung, sebuah proses pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon dari seorang empu kepada muridnya. Proses ini dilakukan oleh Rasinah, empu tari topeng kepada cucunya, bukan kepada anaknya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi . Untuk menganalisis ini digunakan teori sistem pewarisan dan teori motivasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu alasan Rasinah lebih memilih mewariskan kepada cucunya karena cucunya memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang Dalang Topeng. Kata kunci: Pewarisan, Tari Topeng, Gaya Dermayon ABSTRACT Pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon: Studi Kasus Gaya Rasinah. This article discusses the inheritance process of Dermayon Style Mask Dance. In 2008 Rasinah bequeathed Dermayon Style Mask Dance formally to her granddaughter, Aerli. This article analyzes the reasons of the inheritance of Dermayon Style Mask Dance from Rasinah to her granddaughter, not to her own daughter, Wacih. The theories which are applied to analyze the subject are the theory of “Transmission (Inheritance) System” stated by Cavalli-Sforza and Feldman, and the theory of “Motivation” by Abraham H. Maslow, Robert Session Woodworth and Clark Hull. The result of the research shows that one of the reasons that the daughter did not inherit Dermayon Style Mask Dance is due to her lack motivation on being a Mask Dancer (Dalang Topeng). Keywords: inheritance, Dermayon Style Mask Dance
Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda Lalan Ramlan
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.394

Abstract

ABSTRAK Seni pertunjukan tari Sunda hingga saat ini telah diisi dengan tiga genre tari yang diciptakan oleh tiga tokoh pembaharu tari Sunda, yaitu Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar tahun 1920- an, Rd. Tjetje Somantri yang menciptakan genre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an, dan Gugum Gumbira Tirasondjaya yang menciptakan genre tari Jaipongan pada awal tahun 1980-an. Ketiga genre tari tersebut memiliki citra estetiknya sendiri-sendiri sesuai latar budaya generasinya masing-masing. Genre tari Jaipongan yang kini sudah lebih dari 30 tahun belum tergantikan di dalamnya menunjukkan nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. Untuk mengekplanasi berbagai aspek penting yang melengkapi pembentukan sebuah genre tari ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa genre tari Jaipongan dibentuk oleh konsep dasar etika dan estetik egaliter dengan menghasilkan struktur koreografi yang simpel dan fl eksibel yang terdiri dari empat ragam gerak, yaitu bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Kata kunci: Gugum Gunbira, genre tari, dan Jaipongan  ABSTRACT Jaipongan: The Genre of Third Dancing Generation in the Development of Sundanese Dance Performing Arts. Sundanese dancing performance art recently has been fi lled with three dancing genres created by three prominent reformers of Sundanese dances, namely Rd. Sambas Wirakusumah who created the dance genre of Keurseus around 1920, Rd. Tjetje Somantri who created the dance genre of Kreasi Baru (New Creation) 1950s, and Gugum Gumbira Tirasondjaya who created the dance genre of Jaipongan in the early 1980s. The three genres of the dances have their own aesthetic image based on their cultural background respectively. The Jaipongan dance genre which now has been more than 30 years and not yet been changed shows the values rooted in Sundanese community life. To explain various important aspects which complete the creation of a dance genre it applies qualitative method employing a phenomenological approach. Based on the research, it is concluded that Jaipongan dance genre is shaped by ethical and aesthetic concepts of egalitarian policies to produce a simple structure and fl exible choreography of four modes of motion, i.e. aperture, pencugan, nibakeun, and mincid. Keywords: Gugum Gunbira, dance genres, and jaipongan
Ragam Sulukan Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman Sudarko -
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.395

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mencari penjelasan tentang ragam sulukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta versi Timbul Hadi Prayitno, Hadi Sugito, dan Suparman. Penjelasan itu didapat dengan jalan mencari persamaan dan perbedaan sulukan tiga dalang itu. dalam mencari persamaan dan perbedaan sulukan tiga dalang tersebut. Dalam mencari sebab-sebab terjadinya perbedaan sulukan digunakan landasan pemikiran Koentjaraningrat mengatakan bahwa segala bentuk perubahan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat di antaranya disebabkan oleh tiga faktor pokok yakni: (1) ketidakpuasan terhadap hasil yang telah ada, (2) kemampuan di dalam bidangnya, dan (3) keinginan mendapatkan imbalan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa persamaan sulukan tiga dalang terletak pada pathet, jenis, fungsi, hubungan cakepan dengan lagu, hubungan gendhing dengan sulukan. Sementara itu perbedaan sulukan terletak pada: (1) jenis lagon, suluk, dan kawin terletak pada wilet. (2) Jenis ada-ada yakni perbedaan pada wilet dan cakepan dan letak pada lagu pokok. Kata kunci: ragam, sulukan, Yogyakarta.   ABSTRACT The Various Mood Song of Yogyakarta Shadow Puppet Theater: A Case Study on Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman’s Work. This paper is intended to look for the explanations about the various kinds of puppet sulukan (mood song) in Yogyakarta style especially sulukan of Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, and Suparman. The explanation was obtained by seeking similarities and differences of the three puppeteer’s sulukan. In order to search for similarities and differences of sulukan, the comparative approach was used. Moreover, in searching for the causes of differences of sulukan, the theoritical framework by Koentjaraningrat was used. It says that any changes happened in the governance of community life of which they are caused by three main factors, namely: (1) dissatisfaction to the existing results, (2) the capabilities in one’s fi eld, and (3) the desire to get rewards. The similarities to the three puppeteers’ sulukan lie on pathet, type, function, cakepan relationship with the song, and the relationship of gendhing with sulukan. Meanwhile, the differences of the three puppeteer’s sulukan are on: (1) the type of lagon, suluk, and kawin which lies in wilet. (2) the type of ada-ada, namely the difference lies in wilet and cakepan and the difference lies in the basic song, wilet, and cakepan. Keywords: mood song, pupputry, wayang
Transformasi Yudhisthira Mahabarata dalam Tradisi Pedalangan Aris Wahyudi
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.396

Abstract

ABSTRAK Artikel ini menjelaskan konsep Yudistira dalam tradisi wayang sebagai kontinuitas Yudhistira dalam epos Mahabharata. Transformasi ini diikuti oleh konsep berkelanjutan yang dapatmengikuti dengan menggunakan konsep Jawa, asma kinarya japa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep Yudistira dalam tradisi pedalangan adalah sistem transformasi dilihat dari mitologi ritual. Meskipun ceritanya diadopsi dari India Mahabharata, namun Wayang Purwa menggambarkan pola pikir asli Jawa. Wayang Purwa telah diwariskan dari generasi ke generasi, namun telah mampu mempertahankan konsep aslinya. Kata kunci: Yudistira, mahabarata, wayang  ABSTRACT Hermeneutic Cirkle of Yudhistira in Puppetry Tradition. This article explains Yudistira’s concept in a wayang tradition as a continuity of Yudhishthira in Mahãbhãrata epic. The transformation was followed by continuous concept that can be trailed by employing Javanese theory, such as asma kinarya japa theory. It can be concluded that the concept of Yudistira in the pedalangan tradition is a transformation system viewed from the ritual mythology. Although its story is adopted from Indian Mahabharata, but Wayang Purwa illustrates an original Javanese mindset. Wayang Purwa has been inherited through generations, yet it has been able to maintain its original concept. Keyword: Yudistira, Mahabarata, wayang
How Children Decode Visual Narrative in Gaiman’s and McKean’s The Wolves in the Walls Chrysogonus Siddha Malilang
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 14, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v14i1.397

Abstract

ABSTRAK Bagaimana Anak Mengkode-ulang Narasi Visual dalam The Wolves in the Walls karya Gaiman dan McKean. Buku cerita bergambar sebagai teks untuk anak-anak merupakan kombinasi unik dari kata-kata dan gambar. Dua elemen yang saling terkait sama lain menciptakan inter-animasi bersama dalam membangun makna. Para ahli telah lama mempercayai bahwa proses membaca buku cerita bergambar melibatkan proses yang rumit dalam lingkaran hermeneutik. Namun, karena buku cerita bergambar terutama ditujukan untuk anak-anak, maka proses tersebut terjadi dalam pikiran sadar mereka. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan proses pembuatan makna anak dalam narasi visual buku cerita bergambar yang mana dalam penelitian ini menggunakan karya Gaiman, The Wolves in the Walls. Setelah melalui serangkaian penelitian kualitatif dengan lima anak di Inggris, aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah gaya bercerita, penggambaran pengalaman, dan tempat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak membaca buku cerita bergambar dengan cara yang berbeda dari orang dewasa, terutama dalam strategi yang digunakan untuk membaca teks yang panjang dan rumit. Kata kunci: cerita bergambar, gaya bercerita, penggambaran pengalaman, tempat, lingkaran hermeneutik  ABSTRACT Picturebook as a text for children is a unique combination of words and images. Those two elements are interrelated into one another, creating a mutual interanimation in constructing the meaning. Experts have long believed that the process of reading picturebook involves a complicated process of hermeneutic circle. However, since picturebook is mainly aimed for children, the process happens subconsciously within their mind. Therefore, this research aims to reveal children’s meaning making process in visual narrative of picturebook, in this research is Gaiman’s The Wolves in the Walls. After a series of qualitative research with fi ve children in UK, the aspects to research are style, projection of experience, and setting. The result shows that children read the picturebook in a different way than adult, alongside their strategy to cope with long and complicated text. Keywords: picturebook, style, projection of experience, setting, hermeneutic circle
Lakon Wahyu Cakraningrat dalam Paradigma Strukturalisme ARIS WAHYUDI
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 9, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v9i1.443

Abstract

Wahyu Cakraningrat Play in Structuralism Paradigm. Lakon Wahyu Cakraningrat as a cultural phenomenonis basically a means of communication between composer with readers, viewers and listeners to the puppeteer.It is created by using a symbol system in the puppet, so that in every play of puppet, it always contains the meaningwhich can be known and understood well by the composer, puppeteer, and the community. These rules manage thesystem of symbols in the phenomenon of puppet plays, in their capacity as the “grammar” puppet plays with usingLevi-Strauss’s structuralism paradigm. This is going to be gained the interpretation that Lakon Wahyu Cakraningratis a work of art presenting some knowledge of Javanese culture.
Tradisi sebagai Wadah Ketahanan Budaya: Sebuah Kritik terhadap Kapitalisme dan Budaya Pasar SYUHENDRI -
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 9, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v9i1.444

Abstract

Tradition as Medium of Cultural Endurance: A Critic of Capitalism and Market Cultural. This studydiscusses the culture change in the postmodern era, and its effect on the world of art. Postmodern that emerged inparadigms and art creativity in Indonesia caused various effects, on the one hand can be seen as progress but on theother side become the cause of the decadence of cultural values.

Page 1 of 26 | Total Record : 254