cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Articles 427 Documents
Variasi Jenis dan Keberadaan Jamur Ektomikoriza di Labanan, Provinsi Kalimantan Timur dan Implikasi terhadap Hutan Alam Dipterokarpa (Variation in Species and Presence of Ectomycorrhizal Fungi in Labanan, East Kalimantan Province and Implications for Dipterocarp Natural Forests) Karmilasanti Karmilasanti; Nilam Sari; Darwo Darwo; Catur Budi Wiati
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 19, No 2 (2022): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2022.19.2.149-164

Abstract

ABSTRACTThe presence of ectomycorrhizal fungi is one indicator that shows a relatively healthy and good forest. However, the conversion of natural forests to other uses will change the microclimate and may have an impact on the loss of ectomycorrhizal fungi. This study aimed to identify the presence of ectomycorrhizal fungi in the Labanan research forest based on the index of abundance, diversity, evenness, dominance, and habitat. The research method used was purposive sampling. The number of plots made was six, with a plot size of 50 x 50 m. The results showed that the variety and presence of ectomycorrhizal fungi in the Labanan research forest were low due to disturbed environmental conditions. This was indicated by low diversity, medium evenness, and moderate species dominance indexes. Therefore, it is necessary to enrich the endemic dipterocarp species that have been associated with local ectomycorrhizal fungi to restore the condition of the dipterocarp forest. The dominant species of discovered ectomycorrhizal fungi were Amanita spreta and Coltricia sp. There were 17 species (70.83%) of ectomycorrhizal fungi encountered in the saprophytic habitat, while seven were discovered in the epiphytic habitat (29.17%).Keywords: Fungi, abundance, diversity, saprophytic, epiphyticABSTRAK Keberadaan jamur ektomikoriza menjadi salah satu indikator yang menunjukkan hutan dalam kondisi baik. Konversi hutan alam menjadi peruntukan lain akan mengubah iklim mikro dan bisa berdampak terhadap hilangnya jamur ektomikoriza. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan jamur ektomikoriza di hutan penelitian Labanan berdasarkan indeks kelimpahan, keanekaragaman, kemerataan, dominansi dan habitatnya. Metode penelitian menggunakan metode purposive sampling.  Jumlah plot dibuat ada 6 plot dengan ukuran plot 50 m x 50 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi jenis dan keberadaan jamur ektomikoriza di hutan penelitian Labanan termasuk rendah dikarenakan kondisi lingkungannya mulai terganggu. Hal ini ditunjukan indeks keanekaragaman rendah, indeks kemerataan sedang, dan indeks dominasi spesies sedang. Untuk memulihkan kondisi hutan dipterokarpa tersebut, maka perlu pengayaan jenis dipterokarpa endemik yang telah berasosiasi dengan jamur ektomikoriza setempat. Jenis jamur ektomikoriza yang dominan adalah Amanita spreta dan Coltricia sp. Pada habitat saprofit terdapat 17 spesies (70,83%) sedangkan pada habitat epifit terdapat 7 spesies (29,17%).Kata kunci: Fungi, kelimpahan, keragaman, saprofit, epifit
Variasi Fenotipe Polong dan Biji Malapari (Pongamia pinnata Linn) Phenotipic Variability of Pod and Seed of Malapari (Pongamia pinnata Linn) deddy dwi nur cahyono; Nurmawati Siregar; Dharmawati Djam’an; Hani Sitti N uroniah; Aam Aminah; Danu Danu; Abdul Hakim Lukman; Dida Syamsuwida; Eliya Suita; Kresno Agus Hendarto
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 19, No 2 (2022): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2022.19.2.199-210

Abstract

ABSTRACTMalapari is a versatile plant mainly used for biofuel and medicine. Efforts to obtain malaparian genetic resources with high productivity are a challenge for malaparian breeding. This study aims to analyze the morphological character pod and seed from the malaparian provenance test plot at KHDTK Parungpanjang by calculating: (a) the diversity of provenance data based on the pod and seed phenotypic, (b) the correlation between pod and seed phenotypic characters, and (c) genetic influence on pod and seed phenotype. A total of 200 pods were collected from 4 provenances (Alas Purwo, Bangka, Batu Karas, and Carita). The pod and seed characters measured included length, width, thickness, weight, and the ratio of width to thickness. Correlation between characters is calculated based on Pearson correlation. The estimation was analyzed by calculating the coefficient of variance of the genotype. Studies on divergence calculated by Principal Component Analysis and cluster analysis. The results showed that all phenotypic of malapari pods and seeds were significantly different between provenances except for the ratio of width to thickness of pods. Bangka provenance was the provenance with the best pod and seed phenotypic characters. Correlation occurs only in each character of pods and seeds so it is not possible to predict each other. Most of the characteristics of pods and seeds are more influenced by genetic factors than the environment, which is indicated by the higher value of genetic diversity. Based on the characteristics of the pods and seeds of the 4 provenances tested, there were 3 groups, namely Alas Purwo provenance, Batu Karas, and Carita provenance group and the Bangka provenance.Keywords: Provenance, Pongamia pinnata, domestication, pod, seedABSTRAKMalapari merupakan tanaman serbaguna yang dimanfaatkan terutama untuk biofuel dan obat. Upaya untuk memperoleh sumber daya genetik malapari dengan produktivitas tinggi menjadi tantangan pemuliaan malapari. Studi ini bertujuan untuk menganalisis karakter morfologi polong dan biji yang dihasilkan dari plot uji provenan malapari di KHDTK Parungpanjang dengan menghitung: (a) data keragaman provenan berdasarkan fenotipe polong dan biji, (b) korelasi antara karakter fenotipe polong dan biji; dan (c) pengaruh genetik terhadap fenotipe polong dan biji. Sebanyak 200 polong dikoleksi dari empat provenan (Alas Purwo, Bangka, Batu Karas dan Carita). Karakter polong dan biji yang diukur meliputi panjang, lebar, tebal, berat dan rasio lebar tebal. Korelasi antar karakter dihitung berdasarkan korelasi Pearson. Estimasi genetik dianalisis melalui penghitungan koefisien varian genotipe. Pola keragaman antar provenan diketahui dengan menggunakan metode analisis komponen utama (PCA) dan analisis klaster. Hasil studi menunjukkan seluruh karakter fenotipe polong dan biji malapari berbeda nyata antar provenan, kecuali pada rasio antara lebar dan tebal polong. Provenan Bangka merupakan provenan dengan karakter fenotipe polong dan biji terbaik. Korelasi hanya terjadi antar karakter polong dengan karakter polong lainnya dan antar karakter biji dengan karakter biji lainnya, sehingga tidak dapat untuk menduga satu sama lain. Sebagian besar karakter polong dan biji lebih dipengaruhi faktor genetik dibanding lingkungan yang ditunjukkan dengan nilai keragaman genetik yang lebih tinggi. Berdasarkan karakteristik polong dan biji dari empat provenan yang diuji, terdapat tiga kelompok, yaitu provenan Alas Purwo, kelompok dari gabungan provenan Batu Karas dan Carita serta provenan Bangka.Kata kunci: Provenan, Pongamia pinnata, domestikasi, polong, biji
Pendugaan Simpanan Karbon Pada Bagian Atas dan Bawah Permukaan Tanah di Taman Hutan Raya Banten (Estimated Value of Carbon Sequestration on The Above and Below Ground in Banten Forest Park) Suci Ramadhanti; Basuki Wasis; Iwan Hilwan
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2023.20.1.19-36

Abstract

Abstract Forest damage caused by deforestation and degradation is one of the five most important environmental problems. Global warming is an important issue that occurs due to economic activities that are carried out without paying attention to the environmental impacts that have caused the temperature on earth in recent years. This can lead to a decrease in carbon sequestration in the forest. The purpose of this study was to determine the potential for biomass, carbon storage, and carbon dioxide uptake above and below ground in Banten Forest Park. The method of placing the plot is purposive sampling, while the technique of collecting biomass data is the destructive and allometric approach. The results show that there is no significant difference between total biomass, carbon storage, and carbon dioxide absorption between mixed forest, reforestation plantations, and Shorea leprosula plantations in Banten Grand Forest Park. The values of biomass, carbon storage, and carbon dioxide absorption were 30.70-46.23 tons/ha, 14.43-21.73 tons C/ha, and 52.95-79.75 tons CO2/ha, respectively.Key words: Biomass, carbon, carbon dioxide  Abstrak Kerusakan hutan yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi merupakan satu dari lima permasalahan lingkungan yang paling utama. Pemanasan global adalah isu penting yang terjadi akibat aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan tidak memperhatikan dampak lingkungan yang menyebabkan meningkatnya temperatur di bumi pada beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat menyebabkan penurunan penyerapan karbon di hutan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi biomassa, simpanan karbon, dan serapan karbon dioksida di atas dan di bawah permukaan tanah di Taman Hutan Raya Banten. Metode penentuan plot dengan purposive sampling, sedangkan teknik pengumpulan data biomassa secara destruktif dan pendekatan alometrik. Hasilnya menunjukkan bahwa antara total biomassa, simpanan karbon dan serapan karbon dioksida antara hutan rimba campuran,  hutan tanaman reboisasi, dan  hutan tanaman Shorea leprosula di Taman Hutan Raya Banten tidak berbeda nyata. Nilai biomassa, simpanan karbon dan serapan karbon dioksida masing-masing, adalah 30,70-46,23 ton/ha, 14,43-21,73 ton C/ha, dan 52,95-79,75 ton CO2/ha.Kata Kunci: Biomassa, karbon dioksida, simpanan karbon
Potensi Lendir Belut Sawah (Monopterus Albus) sebagai Pestisida Alami Penyebab Layu Eucalyptus pellita (The Potential of Swamp Eel Mucus as a Natural Pesticide Towards Cause of Withering on Eucalyptus pellita) Ninda Santika; Elsie Elsie; Bayo Alhusaeri Siregar
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2023.20.1.1-17

Abstract

AbstractWilting disease in plants causes various problems in agriculture, plantations, and industrial forest plantations. The bacteria Ralstonia pseudosolanacearum and the fungus Fusarium oxysporum are important pathogens in Eucalyptus pellita plants and can harm them economically. The purpose of this research was to know the potential of swamp eel mucus extract (Monepterus albus) in inhibiting the growth of R. pseudosolanacearum and F. oxysporum. The antagonist test was conducted ininvitro and the phytotoxicity test was in in-vivo. In vitro test used a Minimum Inhibitory Concentration (MIC) test and the antimicrobial confirmed test for E. Pellita (disc diffusion method and poisoned food technique), meanwhile in vivo test used phytotoxicity test to E. pellita. This study used mucus which was extracted with two solvents such as aquadesh (EAQ) and PBS pH 7.4 (EPBS). The results showed that the mucus extract had the potential to inhibit the growth of R. pseudosolanacearum and F. oxysporum. MIC test results showed that the MIC of mucus extract at a concentration of 6.75% against R. pseudosolanacearum and F. oxysporum. Confirmed test results showed the inhibition of the mucus extract against R. pseudosolanacearum was 35.7 mm (very strong) on an EAQ concentration of 25% and antifungal activity was 73.7% (strong) on an EAQ concentration of 12.5%. It showed that there were several differences in antimicrobial activity using various concentrations of swamp eel mucus extract. In-vivo test indicated that the application of mucus extract in E. pellita was non-phytotoxic, so it is safe to be utilized as a natural pesticide.Key word: Anti microbial, confirmed test, minimum inhibitory concentration, natural pesticide, phytotoxicityAbstrakPenyakit layu pada tanaman menyebabkan berbagai permasalahan pada bidang pertanian, perkebunan maupun hutan tanaman industri. Bakteri Ralstonia pseudosolanacearum dan cendawan Fusarium oxysporum merupakan patogen yang telah menimbulkan layu pada bibit Eucalyptus pellita, sehingga dapat merugikan secara ekonomis. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis potensi ekstrak lendir belut sawah (Monopterus albus) dalam menghambat pertumbuhan  bakteri R. pseudosolanacearum dan cendawan F. oxysporum. Uji antagonis dilakukan secara in vitro dan uji fitotoksisitas dilakukan secara in vivo. Uji in vitro menggunakan uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan uji penegasan daya anti mikroba (metode difusi cakram dan poisoned food technique), sedangkan uji in vivo menggunakan uji fitotoksisitas terhadap bibit E. pellita. Lendir belut sawah diekstraksi dengan dua pelarut, yaitu menggunakan aquades (EAQ) dan menggunakan PBS pH 7.4 (EPBS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak lendir belut sawah berpotensi dalam menghambat pertumbuhan bakteri R. pseudosolanacearum dan cendawan F. oxysporum. Hasil uji MIC menunjukkan bahwa MIC ekstrak lendir pada konsentrasi 6,75% terhadap bakteri R. pseudosolanacearum dan cendawan F. oxysporum. Hasil uji penegasan menunjukkan daya hambat ekstrak lendir terhadap bakteri R. pseudosolanacearum sebesar 35,7 mm (sangat kuat) pada EAQ konsentrasi 25% dan aktivitas anti fungi terhadap cendawan F. oxysporum sebesar 73,7% (kuat) pada EAQ 12,5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aktivitas anti mikroba menggunakan berbagai konsentrasi ekstrak lendir belut sawah. Uji in vivo menunjukkan ekstrak lendirnya tidak bersifat fitotoksik pada bibit E. Pellita, sehingga aman digunakan sebagai pestisida alami.                                                                     Kata kunci: Anti mikroba, fitotoksisitas, minimum inhibitory concentration, pestisida alami, uji penegasan
Keanekaragaman Pakan Lebah Madu Apis cerana di Hutan Rakyat Berdasarkan Karakteristik Polen (Diversity of Apis cerana Honey Bee Foraging Plants in Community Forests Based on Pollen Characteristics) Khozanah Syifa; Noor Farikhah Haneda; Eva Rachmawati
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2023.20.1.51-62

Abstract

AbstractHoneybees are very important pollinating insects because their pollination activity can improve fruit quality and productivity. Pollen is a male gametophyte of a plant with the reproductive function to fertilize the ovule. Honeybees use pollencollected from various plants as a source of food, especially protein. Pollen contains different types of amino acids that honey bees using it to synthesize food. This study aims to investigate the source of pollen from the honeybee colony of Apis cerana collecting food based on pollen characteristics. Pollen samples were taken from the hind limbs of worker bees and honeycomb of Apis cerana honey bee colonies at the apiary of KTH Wana Karya Tani Sejahtera in Buana Sakti Village, Buana Sakti Village, Batanghari District, East Lampung Regency, Lampung Province. Pollen recognition was performed by identifying their characteristics through the pollen aperture, pollen based on the polar and equatorial, ornamentation, and pollen size. The research showed seven plant species were used by honeybees as a food source for pollen. Each species comes from a different family. The type of pollen aperture found varies according to plant species. Types of pollen aperture 1-colpate and pastorate are commonly found in pollen from hind legs. This type of aperture was also found in hive-stored pollen. The dominant types of pollen found in leg and nest pollen came from C. nucifera and A. mangium species.Key words: Bee, feed source, pollen characteristicsAbstrakLebah madu termasuk serangga penyerbuk yang sangat penting, dimana aktivitas penyerbukannya dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas buah. Polen merupakan benih jantan tumbuhan yang berfungsi untuk pembuahan. Lebah madu memanfaatkan polen sebagai pakan, khususnya protein. Polen mengandung jenis asam amino yang berbeda bagi lebah berfungsi untuk sintesis makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polen yang menjadi sumber pakan lebah madu berdasarkan karakteristik dan asal tumbuhannya. Sampel polen diambil dari tungkai dan sarang lebah di apiary Apis cerana di KTH Wana Karya Tani Sejahtera di Desa Buana Sakti, Kelurahan Buana Sakti, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Identifikasi polen dilakukan dengan memperhatikan karakter aperture polen, bentuk polen berdasarkan polar dan ekuatorial, ornamentasi eksin serta ukuran polen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh spesies tumbuhan yang dimanfaatkan lebah madu sebagai sumber polen. Masing-masing spesies berasal dari famili yang berbeda. Tipe aperture polen ditemukan berbeda-beda sesuai dengan jenis tanaman. Tipe polen 1-colpate dan pantoporate banyak ditemukan pada polen tungkai. Jenis aperture tersebut juga ditemukan pada polen sarang. Jenis polen yang dominan ditemukan pada polen tungkai dan polen sarang berasal dari spesies C. nucifera dan A. mangium.Kata kunci: Lebah madu, karakteristik polen, sumber pakan
Kelayakan Usaha Perkebunan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi untuk Produksi Minyak Atsiri dan Produksi Madu (Feasibility of Melaleuca cajuput Plantation Business for Essential Oil Production and Honey Production) Siti Wahyuningsih
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2023.20.1.63-74

Abstract

AbstractMelaleuca cajuput plantation is promising for cajuput oil production and apiculture. However, the economic potency of those businesses is not simultaneous because the tree will be pruned for oil which potentially reduces nutrient flow for honeybees. This study identifies the optimal time for leaf harvesting for oil production and apiculture and the economic value. A prediction of branch production (10.000 trees/ha) was calculated from the average branch numbers of 50 trees with intervals of 1 m x 1 m from three different sites. The business feasibility of cajuput oil production and apiculture was calculated based on the BC ratio, NPC, and DPP. The average number of branches is 6,500 (branches/ha). BC ratio for cajuput oil production and apiculture (10,000 trees/ha) and the NPV were 1.2 to 1.4; 1.2 and Rp 18,428,816 to 20,695,245; Rp 211,735, respectively. The cost recovery of investment for the cajuputi oil business and apiculture is 6 to 8 and 2 years, respectively. A combination of cajuput oil and apiculture is better to develop after the stand starts flowering at 1.5 years old and after the leaves can be harvested (1.5 to 4 years). However, the leaf harvesting could be held after the flowering season lasts from January to March.Keywords: Economic value, Melaleuca cajuputi, cajuput oil, honey AbstrakMelaleuca cajuputi menjanjikan untuk usaha minyak atsiri dan apikultur. Namun, potensi ekonomi dari kedua usaha tersebut tidak dapat diperoleh secara simultan, karena kayu putih akan dipangkas untuk produksi minyak atsiri yang juga akan mengurangi ketersediaan pakan bagi lebah madu. Penelitian ini bertujuan mengkaji waktu optimal panen daun kayu putih untuk minyak atsiri dan apikultur dan kelayakan usahanya. Pendugaan produksi cabang (10.000 pohon/ha) dihitung berdasar rerata jumlah cabang kayu putih dari 50 tanaman kayu putih berjarak tanam 1 m x 1 m dari tiga lokasi yang berbeda. Kelayakan usaha kayu putih untuk minyak atsiri dan apikultur dihitung berdasar nilai BC rasio, NPV dan DPP. Rerata jumlah cabang kayu putih adalah 6.500 (cabang/ha). BC rasio untuk produksi minyak kayu putih dan apikultur dari perkebunan kayu putih (10.000 pohon/ha) dan NPV masing-masing adalah 1,2-1,4; 1,2 dan Rp 18.428.816 - 20.695.245; Rp 211.735. DPP untuk bisnis minyak kayu putih dan apikultur masing-masing adalah 6-8 tahun dan 2 tahun. Kombinasi minyak kayu putih dan apikultur lebih baik dikembangkan setelah tegakan mulai berbunga pada umur 1,5 tahun dan setelah daun dapat dipanen (1,5-4 tahun). Namun, pemanenan daun sebaiknya dilakukan setelah musim berbunga berlangsung, yaitu dari Januari hingga Maret.Kata kunci: Nilai ekonomi, Melaleuca cajuputi, minyak astiri, madu
Kajian Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologis di Hutan Penelitian Gunung Dahu (Study of Land Cover Change on Hydrological Characteristics in Gunung Dahu Research Forest) Nevky Emiraj Saputra; Cahyo Wibowo; Suria Darma Tarigan; Yunita Lisnawati
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2023.20.1.37-50

Abstract

AbstractThe Gunung Dahu Research Forest Area was originally degraded land that was converted into forested land through a revegetation program with dipterocarp tree species in 1997. Intensive revegetation activities within the area have increased forest cover and increased water infiltration capacity. This study aims to determine the effect of changes in land cover and stand characteristics on hydrological characteristics in the Gunung Dahu Research Forest. The results showed that revegetation activities had increased forested land cover to 113.8%. This increase in forested area is supported by an increase in standing stock volume up to 276 m3/ha. This increase plays an important role, especially in increasing infiltration capacity due to the deeper tree roots. Changes in land cover were influenced by hydrological conditions with an increase in lateral flow of 127%, baseflow of 483.8%, and a decrease in surface runoff of 5.8%. Forested land cover is important so that water sources are maintained and can be sustainably utilized by the community.Key words: Hydrological characteristics, land cover, stands, soil water AbstrakKawasan Hutan Penelitian Gunung Dahu awalnya merupakan lahan terdegradasi yang diubah menjadi lahan berhutan melalui program revegatasi dengan jenis pohon dipterokarpa pada tahun 1997. Kegiatan revegetasi yang intensif di dalam kawasan telah meningkatkan tutupan hutan dan meningkatkan kapasitas infiltrasi air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan tutupan lahan dan karakteristik tegakan terhadap karakteristik hidrologi di Hutan Penelitian Gunung Dahu. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan menggunakan data citra satelit Landsat tahun 1997, 2007 dan 2020. Citra ini kemudian dianalisis menggunakan metode klasifikasi terbimbing dan penentuan karakteristik hidrologi menggunakan Soil and Water Assessment Tools. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan revegetasi telah meningkatkan tutupan lahan berhutan menjadi 113,8%. Peningkatan luas berhutan ini didukung dengan peningkatan volume standing stock sampai 276 m3/ha. Peningkatan tersebut telah meningkatkan kapasitas infiltrasi karena semakin dalamnya perakaran pohon. Perubahan tutupan lahan memengaruhi kondisi hidrologi, yaitu peningkatan aliran lateral 127%, aliran dasar 483,8%, dan penurunan limpasan permukaan 5,8%. Tutupan lahan berhutan menjadi penting agar sumber air tetap terjaga dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara lestari.Kata kunci: Karakteristik hidrologis, tutupan lahan, tegakan, soil water

Filter by Year

2004 2023


Filter By Issues
All Issue Vol 20, No 1 (2023): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 19, No 2 (2022): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 19, No 1 (2022): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 18, No 2 (2021): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 18, No 1 (2021): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 17, No 2 (2020): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 17, No 1 (2020): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 16, No 2 (2019): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 16, No 1 (2019): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 15, No 2 (2018): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 15, No 1 (2018): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 14, No 2 (2017): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 14, No 1 (2017): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 13, No 2 (2016): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 13, No 1 (2016): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 12, No 3 (2015): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 12, No 3 (2015): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 12, No 2 (2015): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 12, No 2 (2015): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 12, No 1 (2015): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 12, No 1 (2015): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 11, No 3 (2014): Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 11, No 3 (2014): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 11, No 2 (2014): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 11, No 1 (2014): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 1, No 1 (2014): JPHT Vol 10, No 4 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 4 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 3 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 2 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 2 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 1 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 10, No 1 (2013): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 4 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 4 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 3 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 3 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 2 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 2 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 1 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 9, No 1 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 5 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 5 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 4 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 4 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 3 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 3 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 2 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 2 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 1 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 8, No 1 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 7, No 5 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 7, No 4 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 7, No 3 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 7, No 2 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 7, No 1 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 6, No 5 (2009): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 6, No 4 (2009): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 6, No 3 (2009): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 6, No 2 (2009): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 6, No 1 (2009): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 5, No 3 (2008): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 5, No 2 (2008): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 5, No 1 (2008): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 4, No 2 (2007): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 4, No 1 (2007): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 3, No 3 (2006): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 3, No 2 (2006): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 3, No 1 (2006): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 2, No 3 (2005): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 2, No 2 (2005): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 2, No 1 (2005): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol 1, No 1 (2004): JPHT More Issue