cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Jurnal Tashwir
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 54 Documents
Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam (Studi Terhadap Lembaga Ribath, Zawiyah dan Khanqah) Emroni, Emroni
TASHWIR Vol 3, No 5 (2015): (Januari-Maret)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i5.589

Abstract

Ribath, Zawiyah and Khanqah are the institutions that act as the home for the Sufi followers and also the place to deepen their knowledge about how to worship more fervently and be closer to Allah. Ribath is a Sufi institution which is more flexible and mostly consists of the poor, the elderly and widows. The emergence of Ribath originated from Islamic army barracks that would like to expand the teriitory of Islam. Zawiyah is a more specialized institution and have a smaller scope—different from Khanqah, Zawiyah has its own special prevalence. In Zawiyah system of education, a teacher is considered a central figure who has pecfect knowledge and behaviour, someone whose words cannot be denied by ‘the residents’ of Zawiyah. Different from Zawiyah, Khanaqah seriously instills togetherness to its people. No one is allowed to leave Khanqah without giving any notice to his/her friends. The contribution of Sufism education is very significant in directing the ultimate goal of life, which is to serve Allah. However, since the laying pattern of Sufi education often forgets worldliness, it in turn inhibits the progress of the worldly life. Because of these problems most leaders percieve Sufism as a barrier to progress.Keywords: Sufism, Islamic education, Sufism InstitutionRibath, Zawiyah dan Khanqah adalah merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai penampung para pengikut sufi dan sekaligus sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang bagaimana cara beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kegiatan dan latihan. Ribath, merupakan lembaga sufi yang lebih fleksibel, karena di dalamnya berisi orang­-orang miskin, orang-orang tua atau janda yang tidak mampu membiayai dirinya yang ingin mendekatkan diri pada Allah, di samping orang-­orang yang khusus ingin mendekatkan diri pada-Nya. Ribath ini muncul karena berawal dari barak-barak tentara perang Islam yang bertujuan untuk memperluas wilayah Islam. Zawiyah, adalah lembaga sufi yang lebih khusus yang lebih kecil ruang lingkupnya, sehingga dalam lembaga ini tidak terdapat aturan-aturan sebagaiman yang ada dalam Khanqah. Sistem Zawiyah pendidikan yang guruisme atau gurusentris, guru adalah segala galanya, tidak boleh dibantah dan harus selalu ditaati semua ajarannya. Guru adalah sosok yang sempurna baik dalam suatu keilmuannya maupun tigkah lakunya. Khanaqah dengan kebersamaan ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan khanqah tanpa memberi tahu pada salah seoranag yang hadir di sana. Kontribusi pendidikan tasawuf adalah sangat besar dalam mengarahkan tujuan akhir kehidupan, yaitu untuk mengabdi pada Tuhan. Karena peletakan pola pendidikan sufi tersebut sering lupa dengan kehidupan keduniaan yang merupakan sarana untuk ibadah, sehingga akhirnya justru menghambat terhadap kemajuan secara duniawiyah. Karena permasalahan tersebut sehingga banyak tokoh memandang tasawuf sebagai penghambat kemajuanKata kunci: Tasawuf, Pendidikan Islam, Lembaga Sufi
Studi Etika Tentang Ajaran-Ajaran Moral Masyarakat Banjar Sumasno Hadi, Sumasno Hadi
TASHWIR Vol 3, No 6 (2015): (April-Juni)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i6.594

Abstract

Based on the philosophy and the cosmology of Banjar people, the ethics theory that can raised is a religio-teleological ethics. This concept of ethics has stated that the value of happiness (eudeaimonia) as the goal of life was the quality of a happy life and hereafter. So, the ethical telos or goal is the happiness in a religious orientation. The happiness of the world is less weighty than the happiness of the life hereafter. It can be confirmed that the eudemonistic ethics of Banjar people is the concept of religious ethics. In addition to the religio-teleological and religio-eudoministic,, the Banjar ethics have also declared themselves as the harmony ethics, as well as the ethics of virtue and obligation.Keywords: The ethics of Banjar, the ethics of religio-teleologis, moral philosophy, moral teachingsBerdasarkan pandangan hidup (falsafah) dan kosmologi masyarakat Banjar, konsep/teori etika yang dapat diajukan adalah etika religio-teleologis. Konsep etika ini menyatakan bahwa nilai kebahagiaan (eudeaimonia) sebagai tujuan hidup adalah kualitas bahagia dunia-akhirat. Jadi telos atau tujuan etisnya adalah kebahagian secara religius (orientasi agama). Kebahagiaan dunia kurang berbobot dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat. Dari sini dapat dinyatakan pula, etika eudemonistik masyarakat Banjar adalah konsep etika yang religius. Selain etika religio-teleologis dan religio-eudemonistik, etika Banjar juga menyatakan diri sebagai etika harmoni, juga etika keutamaan dan etika kewajiban.Kata kunci: etika Banjar, etika religio-teleologis, ajaran moral, filsafat moral
Building Confidence on Students Sa`adillah, dkk, Sa`adillah
TASHWIR Vol 3, No 7 (2015): (Juli-September)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i7.599

Abstract

This research is conducted to find out  the teaching technique the teachers in English village use in relation to students’ confidence in speaking, and the English Village alumni’s perception about their speaking ability after taking a course  in Pare.The subjects of this research were speaking teachers of the English courses in Pare and 15 alumni of English Village who are the students of English Education Department of IAIN Antasari Banjarmasin.Questionnaire, and in depth- interview were used to gather the data . The result showed that some techniques used by the teachers in English  are conversation, discussion, oral presentation, memorizing and drilling, question and answer, story-telling, etc. The application of these techniques are not really different from lecturers did during speaking classes at English departments. However, there are some interesting aspects which differentiate them in terms of the positive class atmospheres, intensive hours and the use of humanistic and motivating activities. Related to the English Village Alumni perception, it can be concluded that the alumni have a positive perception after taking class in English Village Pare. They become more confidence to speak English after returning to regular class in English Dept, IAIN Antasari. Keywords: Speaking Competence, Confidence, and English Village Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui teknik mengajar guru dalam bahasa Inggris digunakan desa dalam kaitannya dengan kepercayaan siswa dalam berbicara, dan persepsi alumni Inggris Village tentang kemampuan mereka berbicara setelah mengambil kursus di Pare. Subyek penelitian ini berbicara guru kursus bahasa Inggris di Pare dan 15 alumni dari Inggris Village yang merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Departemen IAIN Antasari Banjarmasin. Kuesioner, dan dalam wawancara mendalamyang digunakan untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa teknik yang digunakan oleh guru dalam bahasa Inggris percakapan, diskusi, presentasi lisan, menghafal dan pengeboran, tanya jawab, bercerita, dll Penerapan teknik ini tidak benar-benar berbeda dari dosen lakukan selama berbicara kelas di departemen bahasa Inggris. Namun, ada beberapa aspek yang menarik yang membedakan mereka dari segi atmosfer kelas yang positif, jam intensif dan penggunaan kegiatan humanistik dan memotivasi. Terkait dengan persepsi English Village Alumni, dapat disimpulkan bahwa alumni memiliki persepsi positif setelah mengambil kelas dalam bahasa Inggris Village Pare. Mereka menjadi lebih percaya diri untuk berbicara bahasa Inggris setelah kembali ke kelas reguler dalam bahasa Inggris Dept, IAIN Antasari. Kata kunci: Berbicara Kompetensi, Keyakinan, dan Inggris Village 
Kasus Munasakhah Pada Tiga Kabupaten di Kalimantan Selatan Wahidah, Wahidah
TASHWIR Vol 3, No 8 (2015): (Oktober-Desember)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i8.604

Abstract

This study is motivated by the reality that the inheritance cases, which distribution are postponed to several derivative heirs which is then known as munasakhah case, remain a problem for the heirs related to the neglect of inheritance rights. The data of the study is obtained from the information of 14 respondents and documentation. The result of the study has indicated that multiple inheritance has been found not in all munasakhah case and takharuj might be implemented in some occasion. Then, some death events in the cases found have a variety in the structure of the inheritance and heirs and it takes nearly half a century to solve the inheritance problem. In addition, some highlighted issues in the cases, include: the neglect of the inheritance rights in HSS district, the handover of the inheritance that has not been fully carried out in HSU district, and in HST district, a change certificate for an inventory of joint property of heirs who have more than one wife. Keywords: Munasakhah, the root of the problem, the problem tashhih, takhruj, faraidh Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan di lapangan, bahwa kasus kewarisan yang tertunda atau ditunda pembagiannya hingga beberapa turunan ahli waris yang kemudian dikenal dengan istilah kasus munasakhah ini,  ternyata  menyisakan masalah bagi ahli waris terkait dengan “pengabaian hak sebagian ahli waris”. Tiga kasus pada kabupaten HSS, HSU dan HST yang diperoleh datanya melalui informasi 14 orang responden/informan dan dokumentasi, menghasilkan temuan bahwa: Tidak semua kasus munasakhah di dalamnya terdapat kewarisan berganda, dan bisa saja menerapkan takharuj. Delapan, empat dan lima peristiwa kematian dengan variasi struktur ahli waris serta harta warisan di tiap kasusnya, membutuhkan waktu hampir setengah abad lamanya barulah harta warisan itu dapat diselesaikan. Di HSS, terdapat pengabaian hak sebagian ahli waris, di HSU, hak/bagian ahli waris belum sepenuhnya diserahterimakan, di HST, perubahan surat keterangan seyogianya tidak terjadi, jika ada inventarisasi harta bersama pewaris yang beristri lebih dari seorang.Kata Kunci: Munasakhah, Asal Masalah,Tashhih Masalah, Takharuj, Faraidh.
Kesinambungan Dan Perubahan dalam Pemikiran Tentang Asbâb Al-Nuzûl Kontemporer Akh. Fauzi Aseri, dkk, Akh. Fauzi Aseri
TASHWIR Vol 2, No 3 (2014): (Januari-Juni)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v2i3.609

Abstract

Al-Zarkasyi and al-Suyuthi have formulated branches of Alqur’an discourses and among them is asbab al-nuzul. They were aware that ‘ulum al-Qur’an’ covered a wide range of discussion, could not be limited, and thus opened the paradigm inside. Likewise, when al-Wahidi explained that asbab al nuzul was purely the case of history, it did not prevent the development of a new paradigm. From the perspective of continuity, change, and development, this study is significant to measure the extent of originality of new ideas offered in reform context in al-Qur’an discourses, specifically on asbab an-nuzul. The paradigms of Syahrur and Abu Zayd which are the focus of discussion in this study give a fresher and a more critical perspective in response to the existence of asbab an-nuzul. If Syahrur paradigm is stronger on the changing aspects, which is sometimes very radical in viewing asbab an-nuzul, then despite the criticism, Abu Zayd paradigm still embodies the spirit of continuity with the previous study and the changing of a new method of reading which he has proposed.Key words: asbab al-nuzul, continuity, change, contemporer Islamic paradigmAl-Zarkasyî dan al-Suyûthî telah merumuskan cabang-cabang bahasan dan di antaranya bahasan asbâb al-nuzûl, mereka tetap menyadari bahwa ‘ulûm al-Qur`ân memiliki cakupan sangat luas, tidak bisa dibatasi, dan karenanya membuka pemikiran di dalamnya. Begitu juga, ketika al-Wâhidî menegaskan bahwa asbâb al-nuzûl adalah murni persoalan riwayat, hal itu tidak menghalangi perkembangan pemikiran baru. Dengan perspektif kesinambungan, perubahan, dan perkembangan, kajian ini signifikan untuk mengukur sejauh mana orisinalitas ide-ide baru yang ditawarkan dalam konteks pembaruan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, khususnya tentang Asbâb Al-Nuzûl. Pemikiran Syahrûr dan Abu Zayd yang menjadi fokus pembahasan dalam kajian ini memberikan perspektif yang lebih segar dan kritis dalam menyikapi keberadaan ilmu asbâb an-nuzul. Apabila Syahûr lebih kuat pada aspek perubahan yang terkadang sangat radikal dalam melihat Asbab Al-Nuzul, maka Abu Zayd meski dengan kritisme yang juga kental, ada tetap semangat kesinambungan dengan kajian terdahulu dan perubahan cara baca baru yang dia kemukakan. Kata kunci: asbân alnuzûl, kesinambungan, perubahan, pemikiran Islam kontemporer.
Praktik Hiyal di Bidang Fikih Ibadah, Muamalah dan Hukum Keluarga di Kabupaten Banjar dan Hulu Sungai Utara (Studi Eksploratif Mengenai Motivasi, Bentuk dan Tata Cara) Syaugi Mubarak Seff, dkk, Syaugi Mubarak Seff
TASHWIR Vol 2, No 3 (2014): (Januari-Juni)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v2i3.615

Abstract

Hiyal adalah melakukan amalan yang pada lahirnya diperbolehkan untuk membatalkan hukum syara dan menggantinya secara formal dengan hukum yang lain. Kebanyakan ulama memandang hiyal dapat digunakan ketika metode ini semata-mata berupa pemanfaatan hukum secara cerdas untuk mencapai tujuan-tujuan yang sahih. Bentuk-bentuk praktik hiyal di bidang fikih ibadah, muamalah, dan hukum keluarga pada masyarakat di Kabupaten Banjar dan Hulu Sungai Utara adalah: (a) Hilah pembayaran fidyah orang meninggal, dalam tradisi Banjar dilakukan untuk membayar utang shalat, puasa, dan zakat orang yang wafat kepada beberapa orang dengan imbalan uang; (b) Hilah zakat adalah seorang muzaki mengeluarkan zakat harta atau hasil pertanian secara formal diserahkan kepada seorang ulama yang berfungsi menerimanya, kemudian diserahkan kembali kepada muzaki untuk dibagikan; (c) Jual sanda dan sewa sanda, menurut orang Banjar, si penerima gadailah yang berhak atas hasil atau manfaat barang yang digadainya.; dan (e) Hilah waris hidup (hibah), dalam tradisi Banjar kedua orang tua sebelum meninggal, mereka membagi hartanya secara adil (bagi sama) antara anak laki-laki dan perempuan.      Kata Kunci : Hiyal, fidyah, zakat, waris, jual hidup.
Sifat-Sifat Penelitian Grounded dalam Studi Keislaman sahriansyah, sahriansyah
TASHWIR Vol 2, No 4 (2014): (Juli-Desember)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v2i4.620

Abstract

Social scientists, especially sociologists attempt to find a theory based on data Emperi, not build a deductive theory. Thats called the grand theory, and research models called grounded research. The discovery of the theory of data emperik systematically obtained from social research, that is the central theme of the research methodology grounded research models. Grounded research (qualitative) has great potential for the study of Islamic education, because it emphasizes the importance of mindfulness (intuitive intelligence / social sensitivity). In addition, research grounded also build a theory based on empirical reality (data Emperi), instead of the literature, and tested through field work. In grounded research is needed to establish a data keabsahaan examination techniques. Implementation of inspection techniques based on certain criteria. There are four criteria used, the degree kepercaayan (credibility), keteralihan (transferability), dependence (dependability), and certainty (confirmability). Keywords: nature grounded research and Islamic studies Para ahli ilmu sosial, khususnya para ahli sosiologi berupaya menemukan teori berdasar data emperi, bukan membangun teori secara deduktif. Itulah yang disebut dengan grand theory, dan model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan teori data emperik yang diperoleh secara sistematik dari penelitian sosial, itulah tema pokok dari metodologi penelitian model grounded research. Penelitian grounded (kualitatif) memiliki potensi besar bagi kajian pendidikan Islam, karena menekankan arti penting dari ‘mindfulness’ (kecerdasan intuitif/kepekaan sosial). Di samping itu, penelitian grounded juga membangun suatu teori berdasarkan realitas emperis (data emperi), bukannya dari literatur, dan diuji melalui kerja lapangan. Dalam penelitian grounded untuk menetapkan keabsahaan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercaayan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Kata Kunci: sifat penelitian grounded dan studi keislaman
Kualifikasi dan Kompetensi Kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri Model se-Kalimantan Selatan (Perspektif Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah dan Madrasah) dkk, Muhammad Yuseran
TASHWIR Vol 3, No 5 (2015): (Januari-Maret)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i5.585

Abstract

This study aims at determining the qualifications and competences of the principals of Madrasah Ibtidaiyah Negeri Model in South Kalimantan from the perspective of the Decree of National Education Minister No. 13 of 2007 on Standards of Principal for Public Schools and Madrasah.This study employs qualitative approach which data is obtained from questionnaires, interviews, observation and documentation. The result of the study has shown that the principals have met the appropriate standards in terms of their academic qualifications, ages, teaching experiences, ranks and status. It is also identified that 75% of the principals have had teaching certificates, yet, none of them have had the certificates of madrasah principals. The competence final score of the principals is in excellent category (83.31) The principals’ competence final score is the average score resulting from the score of personal competence 89.67 (excellent category), managerial competence 84.75 (excellent category), entrepreneurial competence 86.67 (excellent category), supervision competence 85.94 (excellent category) and social competence 69.53 (good categories).Keywords: qualification, competence headmaster, standard head madrasahPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi dan kompetensi kepala madrasah ibtidaiyah negeri model se-Kalimantan Selatan dari perspektif Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah dan Madrasah.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket, wawancara, observasi dan dokumentasi untuk menggali data tentang kualifikasi dan kompetensi kepala madrasah baik itu dari kepala madrasah, guru, dan siswa maupun dokumen madrasah. Analisis data terdiri dari reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Kesinambungan dan Perubahan Dalam Kajian Filsafat Islam di Indonesia: Studi Terhadap Pemikiran Harun Nasution, Mulyadhi Kartanegara, M. AMIN Abdullah, dan Musa Asy’arie Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag, dkk, Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag
TASHWIR Vol 3, No 6 (2015): (April-Juni)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i6.590

Abstract

As the final part of the study of continuity and change in the study of Islamic philosophy, it can be concluded some of the following. First, related to some elements of change which have been the characteristic of Islamic philosophy study in Indonesia, all figures who have been studied from both Ciputat as well as Jogja schools seek to re-actualize the Islamic philosophy study in Indonesia. The figure of Harun Nasution have been instrumental in developing the study of rationality in Islamic universities which further brighten the Islamic philosophy study in Indonesia. Then, The figure of Mulyadhi Kertanegara who has cited numerous pieces of classical Islam as the foundation of his thinking in answering the problems of modern metaphysics and science dichotomy issue. Another figure, M. Amin Abdullah has offered a critical dialogue between Islamic philosophy and Western philosophy and a new reading of the treasures of classical Islamic philosophy which has allowed the re-actualization in the present context. Finally, the figure of Musa Asy’arie has delivered a new reading to the Islamic philosophy, not anymore as a philosophy which is influenced by the tradition of Greek philosophy but seen as the Prophet Muhammad Sunnain thinking. Second, related to the elements developed rationally in the study of Islamic philosophy in Indonesia, the figure of Musa Asy’arie has given a new style in the study of Islamic philosophy. However, his ignorance of the historical study of Islamic philosophy is not entirely appropriate. Other figures such as Harun Nasution, Mulyadhi Kertanegara, and M. Amin Abdullah have utilized the treasures of Islamic philosophy to make the leap of thought in the present context.Keywords: Contuinity and change, the study of Islamic philosophySebagai akhir dari kajian kesinambungan dan perubahan dalam kajian filsafat Islam, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, berkenaan dengan unsur yang merupakan perubahan yang menjadi karakteristik kajian filsafat Islam di Indonesia bahwa semua tokoh yang yang dikaji baikdari mazhab Ciputat ataupun Jogja berupaya melakukan reaktualisasi terhadap kajian filsafat Islam di Indonesia. Figur Harun Nasution berjasa dalam hal mengembangkan kajian rasionalitas di perguruan tinggi Islam yang pada gilirannya memarakkan kajian filsafat Islam di Indonesia. Figur Mulyadhi Kertanegera banyak mengutip serpihan pemikiran Islam klasik sebagai basis pemikiran dia untuk menjawab problema metafisika modern dan persoalan dikotomi ilmu. Figur M. Amin Abdullah banyak menawarkan dialog kritis antara filsafat Islam dan filsafat Barat serta menawarkan pembacaan baru terhadap khazanah filsafat Islam klasik yang memungkinkan reaktualisasi pada konteks masa kini. Terakhir figur Musa Asy’arie menawarkan pembacaan baru terhadap filsafat Islam, bukan lagi sebagai filsafat yang dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani tetapi dipandang sebagai sunnah nabi dalam berpikir.Kedua, berkaitan dengan unsur yang dikembangkan secara orisinal pada kajian filsafat Islam di Indonesia, maka figur Musa Asy’arie memberikan warna baru dalam kajian filsafat Islam. Tetapi pengabaiannya terhadap kajian kesejarahan filsafat Islam juga tidak sepenuhnya tepat. Figur lainnya seperti Harun Nasution, Mulyadhi Kertanagera, dan M. Amin Abdullah banyak memanfaatkan khazanah filsafat Islam untuk melakukan lompatan pemikiran pada konteks kekinian. Kata Kunci : Kesinambungan dan  Perubahan, Kajian Filsafat Islam.
Pemikiran Pendidikan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah di Kalimantan Selatan sahriansyah,dkk, sahriansyah
TASHWIR Vol 3, No 6 (2015): (April-Juni)
Publisher : IAIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jt.v3i6.595

Abstract

The educator figures in Muhammadiyah has general and religious educational background. This is in accordance with the education ideals of Muhammadiyah which combines the general science and theology. The prominent educators of Muhammadiyah examined in this study include: K.H. Jaferi who is a graduate of Mecca, Hasbullah Yasin—a graduate of Arabische School, H. Usman Amin—the owner of Al. Borneo & Co. drugstore, K.H. Muhammad Hasan from Martapura, and K.H. Abdul Muiz who is from Banjarmasin. There are some significant idea of education of the Muhammadiyah leaders in South Kalimantan. First, they believe that the actual goal of education is to achieve happiness in the world and the hereafter. Second, educators are a role modeln for learners. Third, a learner is someone who throughout his/her life requires education to develop his/her potential. Fourth, a curriculum should be comprehensive which includes the cognitive, affective, and psychomotor development and should be based on spiritual values. Last, a learning method should be adjusted to the subjects taught since an effective learning method may facilitate the transformation of knowledge from the educators to the learners.Keywords: Muhammadiyah prominent figures, the idea of educationPara tokoh-tokoh pendidik persyarikatan Muhammadiyah berlatar belakang pendidikan agama dan umum. Sesuai dengan cita-cita pendidikan Muhammadiyah adalah memadukan antara ilmu umum dan ilmu agama. Para tokoh pendidik Muhammadiyah yang diteliti dalam penelitian ini di antaranya adalah: K.H. Jaferi alumni Mekkah, Hasbullah Yasin lulusan  “Arabische School”, H. Usman Amin, pemilik took obat “Al Borneo & Co”. H. yang datang dari Surabaya, K.H. Muhammad Hasan Corong Martapura, K.H. Abdul Muiz Banjarmasin. Adapun Pemikiran pendidikan para tokoh Muhammadiyah di Kalimantan Selatan di antaranya: (pertama), tujuan pendidikan adalah untuk menggapai kebahagian dunia dan akhirat; kedua,Pendidik adalah role model bagi peserta didik; ketiga,Peserta didik adalah seseorang yang sepanjang hidupnya memerlukan pendidikan dalam mengembangkan potensi dirinya; keempat, Kurikulum adalah harus komprehensif, yang mencakup pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorif dan harus dilandasi nilai-nilai spiritual; dan keenam,Metode pembelajaran harus disesuaikan dengan mata pelajaran yang diajarkan, karena dengan metode pelajaran yang efektif dan menarik dapat memudahkan transformasi ilmu dari pendidik ke peserta didik.Kata Kunci: pemikiran pendidikan dan tokoh Muhammadiyah