cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Sumberdaya Lahan
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 19070799     EISSN : 27227731     DOI : -
diterbitkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jurnal Sumberdaya lahan terbit 2 kali setahun memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan pertanian
Arjuna Subject : -
Articles 212 Documents
Teknologi Peningkatan Efisiensi Pemupukan K pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit Dedi Nursyamsi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 6, No 1 (2012)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v6n1.2012.%p

Abstract

ABSTRAK. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2,12 juta ha (Vertisol sekitar 2,12 juta ditambah Inceptisol dan Alfisol yang bersubgrup vertik). Tanah ini umumnya mengandung K total tinggi tapi hanya sebagian kecil K tanah dapat segera tersedia untuk tanaman sehingga efisiensi pemupukan K masih rendah. Makalah ini membahas beberapa teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan K pada tanah tersebut. Salah satu aspek penting dalam upaya peningkatan efisiensi pemupukan K adalah pemanfaatan K yang terdapat dalam tanah untuk mengurangi kebutuhan pupuk K yang harus ditambahkan dari pupuk. Cara ini cukup efektif terutama untuk tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit karena umumnya tanah ini mengandung K total tinggi tapi tanaman masih tetap mengahadapi masalah kekahatan K. Penggunaan tanaman yang akarnya banyak mengeluarkan eksudat asam organik dan pupuk yang mengandung kation NH4+, Na+, dan Fe3+ merupakan teknologi yang sesuai dan efektif meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk K untuk tanah-tanah tersebut. ABSTRACT. Distribution of smectitic soils in Indonesia is quite large, i.e. more than 2.12 million ha consisting of about 2.12 million ha of Vertisols and some vertic subgroup of Alfisols and Inceptisols. The soils commonly contain high amount of total K, however it’s availability is still low so that the efficiency of K fertilizer in the soils is low as well. The paper discuss several technologies which could increase the efficiency of K fertilizer in smectitic soils. The use of potential K occuring in soils is one alternative to increase the efficiency of K in order to reduce K requirement from fertilizer. This attempt is quite effective for smectitic soils because they already contain high amount of total K but the plants still suffer K deficiency problem. Use of plants with their roots can produce a lot of organic acid exudates as well as fertlizer containing NH4+, Na+, and Fe3+ cations are the suitable and effective technologies to increase the efficiency of K fertilizer in smectitic soils. 
Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa untuk Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Konteks Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Eni Maftu’ah; Wahida Annisa; Muhammad Noor
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 10, No 2 (2016)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v10n2.2016.%p

Abstract

Abstrak. Perubahan iklim di lahan rawa memberikan dampak berbeda tergantung tipologi lahan. Dampak perubahan iklim di lahan rawa mempengaruhi luas areal tanam, proses biofisik pada tanah dan tanaman, dan meningkatkan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pada lahan rawa lebak tengahan dan lahan rawa lebak dalam, El Niño menyebabkan permukaan air menurun sehingga mengurangi areal yang terendam dan meningkatkan luas areal tanam. Pengaruh El-Niño di lahan gambut dapat meningkatkan risiko kebakaran lahan selain meningkatkan emisi karbon dari dekomposisi gambut, sedangkan di lahan sulfat masam dapat meningkatkan oksidasi pirit dan salinitas. Pada tahun La Niña, terjadi penurunan luas areal tanam pada lahan rawa lebak, sedangkan pada lahan pasang surut terjadi perubahan pola tanam. Kekhasan ekosistem rawa memerlukan penanganan khusus agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan lahan rawa harus memperhatikan aspek adaptasi agar terwujud pertanian berkelanjutan. Jangka menengah arah pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa untuk meningkatkan kemampuan sektor pertanian dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim antara lain merakit, mendiseminasi dan menerapkan teknologi adaptasi tepat guna; meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi perubahan iklim. Teknologi inovatif untuk optimalisasi lahan rawa dalam adaptasi terhadap perubahan iklim antara lain; pemanfaatan kalender tanam, optimalisasi pemanfaatan lahan melalui sistem surjan, pengaturan tata air, penggunaan varietas unggul spesifik lahan rawa, ameliorasi dan pemupukan.Abstract. The impacts of climate change on wetlands are different depending on the land typology. Climate change in wetlands affect the planting area, biophysical processes, soil properties, plant pests and diseases and greenhouse gases (GHG) emissions. In the swampy wetlands, El-Niño decreases inundation, thereby increases the areas that can be cultivated, especially for lowland rice. El Niño in peatland could increase carbon emissions both due to peat decomposition and to fires, whereas in acid sulfate soil it can increase oxidation of pyrite. During La Niña a decline in area planted occurs in swampy wetlands, whereas in tidal land it causes a change cropping patterns. The specificity of swampland requires special handling technique so that existing potentials can be optimally utilized. Management of wetlands should take into account the adaptation aspects for the realization of sustainable agriculture in wetlands. The medium term strategies of adaptive agricultural technology on wetlands to climate change include: development, dissemination and implementation of appropriate adaptive technologies; and enhancing research and development of adaptive technologies. Innovative technologies for the optimization of wetlands to adapt to climate change, among others; utilization of cropping calendar, optimization of land use through surjan system, water management, the use of swampland-specific improved varieties, soil amelioration and fertilization.
Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu: Status Terkini Dan Tantangan Kedepan Eleonora Runtunuwu; Haris Syahbuddin; Fadhlullah Ramadhani; Aris Pramudia; Diah Setyorini; Kharmila Sari; Yayan Apriyana; Erni Susanti; Haryono Haryono; Prihasto Setyanto; Irsal Las; Muhrizal Sarwani
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 6, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v6n2.2012.%p

Abstract

Abstrak. Penetapan waktu tanam yang tepat merupakan salah satu penentu keberhasilan panen dan peningatan produktifitas tanaman pangan. Kearifan lokal dan cara konvensional yang digunakan untuk menerapkan pola tanam telah mengalami bias akibat pergeseran awal musim tanam. Untuk memandu penyuluh dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengembangkan Sistem Kalender Tanam Terpadu untuk menjawab permasalahan mendasar terkait dengan pengamanan dan peningkatan produksi beras nasional menghadapi varibilitas dan perubahan iklim. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan sistem informasi kalender tanam terpadu berbasis web pada level kecamatan untuk seluruh Indonesia. Sistem ini dibangun dengan mengintegrasikan tiga sub-sistem, yaitu sub-sistem data, model dan pencarian, yang dapat diakses melalui alamat litbang.deptan.go.id. Informasi utama yang diperoleh dari sistem ini adalah estimasi awal waktu tanam tanaman padi untuk musim tanam yang akan datang. Selain itu, pengguna dapat memperoleh informasi wilayah yang rawan terkena bencana seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman. Informasi lain adalah rekomendasi teknologi berupa pupuk, varietas, dan kebutuhan benih yang perlu disiapkan pengguna sebelum masuk periode musim tanam tersebut. Oleh karena itu, sistem ini perlu diperbaiki minimal tiga kali setahun pada setiap awal musim tanam untuk seluruh kecamatan di Indonesia. Tantangan pengembangan sistem kalender tanam terpadu ke depan adalah: (1) pemanasan global mengakibatkan iklim yang sulit diprediksi dan mempengaruhi akurasi estimasi awal waktu tanam, (2) penurunan produktivitas dan produksi yang tentunya membutuhkan informasi inovasi teknologi yang makin kompleks, serta (3) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian yang mengakibatkan pengurangan luas baku sawah. Pemeliharaan dan pengembangan sistem ini tetap diperlukan, untuk meningkatkan kualitas data maupun informasi agar semakin memenuhi kebutuhan pengguna.Abstract. The accuracy in determining time of planting is one of determining factors in securing good harvest and increasing yield of food crop. Local wisdom and other conventional ways applied previously in determining cropping pattern are no longer appropriate because of shifting seasons. As a guideline for extension workers in determining cropping pattern and time of planting, Indonesian Agency for Agricultural Research and Development has published information system of integrated cropping calendar to secure national rice production in coping with climate variability and climate change. This paper aims to describe the development of web-based Information System of Integrated Cropping Calendar at a sub-district level. The system is constructed by integrating three sub-systems, namely sub-system data, model and query and can be accessed through the website address at www.litbang.deptan.go.id. The main information that can be obtained from this system is initial estimate of paddy planting time for the upcoming planting season. In addition, the users can obtain information on disaster prone areas such as droughts, floods and pests attack. Other informations are recommended technology for varieties, seed requirement and fertilizers, that be prepared by users prior to growing season period. Therefore, this system needs to be improved for all sub-districts in Indonesia at least three times a year of the beginning of each growing season. The challenges of developing integrated cropping calendar system for the future are: (1) global warming increases unpredictable weather that impacts on the accuracy of planting time estimate, (2) decreases in productivity and yield production which would require an increasingly technological innovation informations, and (3)land conversion and fragmentation of agricultural land resulting in reduction of paddy field area. Maintenance and development of this system are still needed, to improve the quality of data and information in order to meet the user needs.
Cover JSL Vol.8(1) 2014 Jurnal Sumberdaya Lahan
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 1 (2014)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v8n1.2014.%p

Abstract

Cover JSL Vol.8(1) 2014
Pembenah Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Pertanian Ai Dariah; S. Sutono; Neneng L. Nurida; Wiwik Hartatik; Etty Pratiwi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 9, No 2 (2015)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v9n2.2015.%p

Abstract

Abstrak. Pembenah tanah (soil conditioner) dapat digunakan untuk mempercepat pemulihan kualitas tanah. Tulisan ini menguraikan prinsip pemanfaatan pembenah tanah, jenis dan klasifikasi pembenah tanah, fungsi utama dan efek pembenah tanah terhadap kualitas tanah dan produktivitas tanaman, pengembangan pembenah tanah untuk pemulihan lahan pertanian, serta peluang dan kendala pengembangan pembenah tanah. Penggunaan pembenah tanah utamanya ditujukan untuk memperbaiki kualitas fisik, kimia, dan/atau biologi tanah, sehingga produktivitas tanah menjadi optimum. Pembenah tanah ada yang bersifat alami maupun buatan (sintetis). Berdasarkan senyawa atau unsur pembentuk utamanya, pembenah tanah bisa dibedakan sebagai pembenah tanah organik, hayati, dan mineral. Penggunaan pembenah tanah yang bersumber dari bahan organik sebaiknya menjadi prioritas utama, selain terbukti efektif dalam memperbaiki kualitas tanah dan produktivitas lahan, juga bersifat terbarukan, insitu, dan relatif murah, serta bisa mendukung konservasi karbon dalam tanah. Kelemahannya adalah dibutuhkan dalam dosis relatif tinggi. Beberapa pembenah mineral juga efektif dalam meningkatkan kualitas tanah, namun tetap harus disertai dengan penggunaan pembenah tanah organik. Penggunaan pembenah tanah sintetik perlu diuji terlebih dahulu dari segi dampak negatifnya terhadap lingkungan, selain pertimbangan harga yang umumnya relatif mahal, meski dosis yang digunakan relatif rendah.Abstract. Soil conditioner can be used to improve the recovery of soil quality. This paper mainly discuss on the use of soil conditioner, type and classification, function and its effect on soil quality and crop productivity, as well as the potency and challenge of using soil conditioner for recovery of the degraded agricultural land. The main role of soil conditioner is to improve soil physical, chemical and biological conditions and to provide optimum condition for soil productivity. There are natural and synthetic soil conditioners. Based on its component, they can be grouped as organic, biologic and mineral soil conditioner. The use of organic soil conditioner is strongly recommended as it proven very effective in improving soil quality and land productivity. Other benefits in using organic soil conditioner are their properties such as renewable, available in situ, and relatively less expensive. It also can support the conservation of carbon in the soil, but has the weakness associated with the high application rate. Some mineral soil conditioner is also effective in improving soil quality unless it’s combined organic soil conditioner. The use of synthetic soil conditioner should be evaluated for its negative impact on the environment prior to application and for its relatively expensive, although it is used at relatively low doses.
Residu Jerami Padi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Sulfat Masam Berkelanjutan Ani Susilawati; Dedi Nursyamsi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7, No 1 (2013)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v7n1.2013.%p

Abstract

Abstrak. Lahan pasang surut sulfat masam baik aktual maupun potensial cukup luas sebarannya di tanah air sehingga berpotensi untuk perluasan pertanian. Kemasaman tanah, rendahnya ketersediaan hara, dan keracunan besi adalah kendala tanah utama yang sering menghambat pertumbuhan tanaman di tanah ini. Pengelolaan bahan organik adalah salah satu komponen teknologi penting untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam yang berkelanjutan. Makalah ini memaparkan potensi residu jerami padi sebagai sumber hara dan amelioran yang mampu meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam berkelanjutan. Penggunaan residu jerami padi mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam karena residu jerami padi dapat menjadi sumber hara tanaman, meningkatkan efisiensi pemupukan P, dan mengurangi tingkat keracunan Fe. Penggunaan residu jerami padi dapat meningkatkan produksi padi sawah pada tanah sulfat masam. Bila residu jerami padi ini dikombinasikan dengan komponen teknologi lainnya seperti penggunaan decomposer trichoderma, varietas padi tahan keracunan besi (IR 66 dan Margasari), dan biofilter di saluran air masuk maka hasil tanaman padi akan lebih tinggi.Abstract. Large amount of acid sulfate soil area both actual and potential acid sulfate soil in Indonesia is potential for agriculture development. Soil acidity, low nutrient availability, and iron toxicity are some constrains that often limit plant growth in the soils. Organic matter management is one of the important technologies to increase sustainable acid sulfate soil productivity. This paper discuses the potency of rice straw residues as a source of nutrients and ameliorant that are able to increase sustainable acid sulfate soil productivity. The use of rice straw residue is a very important role in increasing acid sulfate soil productivity because it could be a source of plant nutrients, improve efficiency of P fertilizer, and reduce Fe toxicity. The use of rice straw residues can increase rice production at acid sulfate soil. If the rice straw residue is combined with other component of technologies, such as the use of decomposer of trichoderma, planting rice variety that is resistant to iron toxicity (IR 66 and Margasari), and a the use of biofilter in the inlet canal, the rice production would be higher.
Potensi Sumberdaya Lahan Pulau Sulawesi Mendukung Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedele Hikmatullah Hikmatullah; Erna Suryani
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 3 (2014): Edisi Khusus
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v8n3.2014.%p

Abstract

Abstrak. Program survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau skala 1:250.000 di Indonesia telah selesai dilaksanakan, yang ditandai dengan diterbitkannya peta-peta tanah tersebut edisi-1 tahun 2012 untuk setiap provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Jawa, dan Papua Barat. Dari legenda peta tanah dapat diperoleh informasi keadaan iklim, landform dan bahan induk, bentuk wilayah dan lereng, jenis dan sifat-sifat tanah, yang menentukan potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian. Pulau Sulawesi (18,72 juta ha) beriklim basah sampai kering yang dicerminkan oleh rejim kelembaban tanah udik, ustik dan akuik. Landform utama dari yang terluas penyebarannya adalah Tektonik (37,63%), Volkanik (37,39%), Aluvial (11,82%), Karst (8,31%), Marin (2,65%), Fluvio-marin (0,41%), dan Gambut (0,13%). Bentuk wilayah bervariasi dari datar sampai bergunung, dengan komposisi datar sampai agak datar (15,85%), berombak (4,86%), bergelombang (6,50%), berbukit kecil (11,96%), berbukit (19,30%) dan bergunung (39,85%). Bahan induk tanah sangat bervariasi, terdiri atas endapan bahan organik, aluvium, batuan sedimen masam sampai basis, batuan volkan muda sampai tua, batuan intrusi masam sampai basis, dan batuan metamorfik. Bahan induk tersebut membentuk 9 ordo tanah, berturut-turut dari yang terluas penyebarannya adalah Inceptisols (58,15%), Alfisols (10,44%), Ultisols (10,25%), Mollisols (6,215%), Entisols (5,54%), Oxisols (4,87%), Andisols (2,18%), Histosols (0,41%) dan Vertisols (0,28%). Berdasarkan data biofisik lahan tersebut di Sulawesi terdapat lahan potensial luas terdiri atas lahan basah berlereng <3% seluas 2,30 juta ha untuk pengembangan padi sawah, dan lahan kering berlereng 3-15% seluas 1,98 juta ha untuk pengembangan jagung dan kedelai. Kondisi aktual sebagian besar lahan potensial tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, sehingga peningkatan produksi ketiga komoditas tersebut lebih berpeluang dilakukan melalui optimalisasi atau intensifikasi lahan dibandingkan dengan ekstensifikasi. Apabila diasumsikan 50% lahan basah potensial dapat ditanami padi dua kali setahun dengan rata-rata produksi untuk Sulawesi 4,71 t ha-1, maka akan diperoleh 10,82 juta ton GKG. Dan juga apabila 50% lahan kering potensial dapat ditanami jagung dan kedele sekali setahun dengan produktivitas masing-masing 4,05 t ha-1 dan 1,34 t ha-1, maka akan diperoleh produksi 4,02 juta ton jagung pipil kering dan 1,33 juta ton kedele biji kering. Apabila dibandingkan dengan data produksi dari ketiga komoditas bahan pangan tersebut menurut BPS tahun 2012 (padi 7,82, jagung 2,94, dan kedele 0,05 juta ton), maka terdapat kenaikan produksi yang sangat signifikan untuk padi, jagung dan kedele berturut-turut 38,4 %, 36,7% dan 2461,4%.Abstract. The reconnaissance soil survey and mapping programme at scale of 1: 250,000 in Indonesia has been successfully completed, marked by publication of the soil maps in 2012 for each province in Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Java, and West Papua. From the soil map legends, it can be obtained the information of climate condition, landform, relief an slopes, type and properties of soils that affect land resource potential for agricultural development purpose. The island of Sulawesi (18.7 million ha) has variation of climate condition from wet to dry, which is reflected by udic, ustic and aquic soil moisture regimes. The main landform groups, from the most extensive respectively consists of Tectonic (37.63%), Volcanic (37.39%), Alluvial (11.82%), Karst (8.31%), Marine (2.65%), Fluvio-Marine (0.41%), and Peatland (0.13%). The relief varies from flat to mountainous, with composition of flat to nearly flat (15.85%), undulating (4.86%), rolling (6.50%), hillocks (11.96%), hilly (19.30%), and mountainous (39.85%). The soil parent materials are vary, which composed of organic and alluvium deposits, acid to basic sedimentary rocks, young and old volcanic rocks, acid to basic intrusive rocks, and metamorphic rocks. Nine soil orders were formed from these parent materials, namely from the most extensive respectively Inceptisols (58.15%), Alfisols (10.44%), Ultisols (10.25%), Mollisols (6.21%), Entisols (5.54%), Oxisols (4.87%), Andisols (2.18%), Histosols (0.41%) and Vertisols (0.28%). Based on the biophysical data, there are large potential lands in Sulawesi, consisting of wetland soils with slope of <3% covers about 2.30 million ha for ricefield (sawah), and dryland soils with slopes of 3-15% covers about 1.98 million ha for maize and soybean development. Actually, the most of land potential have been cultivated for various agricultural crops. Therefore, the increasing production of paddy rice, maize and soybean have more opportunity to optimalize or intensify the use of existing agricultural land rather than to land extensification. By assumption, if 50% of the potential wetland is cultivated with paddy twice a year with mean productivity of 4,71 t ha-1, then it would get about 10.82 Mt GKG (dry unhulled rice). And also, if 50% of the potential dryland soils is cultivated with maize and soybean at least one time a year with mean productivity of 4,05 t ha-1 and 1,34 t ha-1 respectively, then it would get about 4.02 Mt dry grain corn, and 1.33 Mt dry grain soybean. Compared to the existing production of the three food crops according to BPS in 2012 (paddy 7.82, maize 2.94, and soybean 0.05 Mt), there are very significant increasing production for paddy, maize and soybean as much as 38.4%, 36.7%, and 2461.5% respectively.
Cover JSL Vol.8(3) 2014 Jurnal Sumberdaya Lahan
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 3 (2014): Edisi Khusus
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v8n3.2014.%p

Abstract

Cover JSL Edisi Khusus
Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Riau Masganti Masganti; Wahyunto Wahyunto; Ai Dariah; Nurhayati Nurhayati; Rachmiwati Yusuf
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 1 (2014)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v8n1.2014.%p

Abstract

Abstrak. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95 juta hektar dimana sekitar 6,66 juta hektar atau 44,6% telahterdegradasi. Degradasi lahan gambut terjadi antaranya disebabkan oleh kebakaran lahan, kesalahan dalam pengelolaan air, dankegiatan penambangan. Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut yang mengalami penurunan fungsi hidrologi,produksi, dan ekologi akibat memburuknya sifat kimia, fisika dan biologi gambut, sehingga produktivitasnya menurun, bahkansebagian menjadi tidak produktif dan dibiarkan menjadi semak belukar dan lahan terbuka bekas tambang sebagai lahan terlantar.Riau merupakan provinsi di pulau Sumatera yang mempunyai lahan gambut terluas, yakni 3,89 juta hektar dari 6,49 juta hektartotal luas lahan gambut di pulau Sumatera. Akan tetapi sekitar 2,31 juta hektar telah terdegradasi. Meskipun terdegradasi,sebagian lahan gambut atau hampir separuhnya dimanfaatkan masyarakat sebagian besar untuk budidaya tanaman perkebunanmeliputi kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan meliputi padi, jagung, kedele, ubijalar dan ubikayu, selanjutnya tanamanhortikultura buah berupa nanas, pisang, rambutan, buah naga, cempedak, nangka, jeruk, melon, kedondong, dan belimbing,sayuran buah meliputi cabe, timun, kecipir, labu, dan tomat, dan sayuran daun terdiri dari kangkung, bayam, sawi, dan selada.Dari 934.130 ha lahan gambut terdegradasi yang belum dimanfaatkan, sekitar 585.217 ha potensial dikembangkan untuktanaman perkebunan, pangan dan hortikultura.Abstract. Peatland area in Indonesia is estimated to be around 14.95 million hectares of which about 6.66 million hectares, or44.6% had been degraded. Peatland degradation occurs which is caused by fires, water miss-management, and mining activities.A degraded peatlands which is peatland that have decreasing on hydrology , production, and ecology function due to thedeteriorating nature of chemistry, physics and biology peat, so that productivity decreases, even partially be unproductive andmostly covered by shurbs, bush and bare land as the former mining wasteland. Riau is a province on the island of Sumatra, whichhas the widest peat, which is 3.89 million hectares from 6.49 million hectares of the total peatland area in Sumatra island.However, approximately 2.31 million hectares have been degraded. Although degraded, partially or almost half of them peatlandcommunities largely utilized for the cultivation of plantation crops including oil palm, rubber, followed by food crops include rice,corn, soybean, sweet potato and cassava, further horticultural fruit crops such as pineapple, banana, rambutan, dragon fruit ,Cempedak, jackfruit, oranges, melons, kedondong, and star fruit, fruit vegetables including peppers, cucumbers, winged bean,squash, and tomatoes, and leafy vegetables consisted of kale, spinach, collards, and lettuce. Of the 934,130 ha of degradedpeatlands indicated potential for developing plantation crops, food and horticulture for about 585,217 ha.
Kontroversi Aplikasi dan Standar Mutu Biochar Didiek Hadjar Goenadi; Laksmita Prima Santi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v11n1.2017.23-32

Abstract

Abstrak. Biochar merupakan material baru yang diteliti secara intensif dalam waktu sepuluh tahun terakhir di berbagai penjuru dunia. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa tanah-tanah Terra Preta di wilayah Amazon, Amerika Selatan, dikenal sangat subur karena mengandung arang yang dibentuk dari pembakaran minim oksigen (pirolisis) ribuan tahun yang lalu. Dalam kondisi kemajuan teknologi seperti sekarang ini para peneliti mencoba untuk meniru dalam memperoleh material serupa yang kemudian dikenal secara luas dengan istilah biochar dan menguji manfaatnya terutama untuk perbaikan kondisi tanah agar menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik, sekaligus mampu menjadi penghambat lepasnya karbon ke atmosfir (carbon sequestering). Sebagai sebuah topik riset yang baru tentu saja dapat dipahami bahwa hal tersebut menimbulkan pro- dan kontra, khususnya yang menyangkut manfaat positif secara luas. Pihak yang pro mendasarkannya pada banyak bukti tentang manfaat aplikasi biochar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman seperti halnya juga terhadap sifat-sifat tanah. Sebaliknya yang kontra menekankan terbatasnya data yang tersedia sejauh ini dan adanya ketidak-konsistenan hasil yang dilaporkan. Ulasan berikut ini mencoba untuk melihat dari dua sudut tersebut untuk memberikan gambaran yang sebenarnya bagi para calon peminat riset dan/atau pengguna biochar untuk kepentingan perbaikan kesehatan dan produktivitas tanah. Pada akhir diskusi disampaikan perlunya persyaratan mutu biochar untuk memperoleh hasil yang dapat diperbandingkan.Abstract. Biochar is a new material researched intensively within the last ten years in various parts of the world. This is fuelled by the fact that the lands of Terra Preta in the Amazon region of South America is known to be very fertile because it contains charcoal that was formed from the minimum oxygen combustion (pyrolysis) at times thousands of years ago. Under the conditions of technological advances like nowadays, researchers tried to replicate it in obtaining similar material which was then widely known by the term biochar and test its usefulness mainly to improved soil conditions in order to generate growth and better crop production and the same time capable of being a barrier to the release of carbon into the atmosphere (carbon sequestering). As a new research topic, it is understandable that it raises pros and cons, especially on its benefits. The pro-side emphasized on the proven beneficial application of biochar to improve growth and yield of crops as well as on soil properties. Others, rised the controversy focused on the limited data reported and somewhat inconsistency on the results. The following review is trying to look at it from the two angles to give the real picture for the prospective applicants of biochar such as researchers and users of biochar for the benefit of improving health and productivity of the soil. At the end of the discussion it is given the necessity for quality standard of biochar to obtain comparable results. 

Page 5 of 22 | Total Record : 212