cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 203 Documents
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN RENDEMEN TEBU MELALUI REKAYASA FISIOLOGIS PERTUNASAN AHMAD DHIAUL KHULUQ
Perspektif Vol 13, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v13n1.2014.%p

Abstract

ABSTRAKTebu  (Saccharum  officinarum  L.)  merupakan  salah  satu komoditas  strategis,  karena  digunakan  sebagai  bahan baku  berbagai  industri  seperti  gula,  bioetanol,  asam amino,  asam  organik  dan  bahan  pangan.  Oleh  karena  itu, program pengembangan dan peningkatan produk­tivitas  menjadi  hal  yang  prioritas.  Salah  satu  upaya untuk  meningkatkan  produksi  dan  rendemen  tebu dapat dilakukan melalui optimalisasi pertunasan, yaitu dengan  mengatur  keseimbangan  horman  auksin  dan sitokinin di dalam tanaman. Pengaturan hormon dapat menghilangkan  dominansi  apikal  dan  menginisiasi tunas  lateral  sehingga  meningkatkan  jumlah  anakan tebu.  Hal  itu  dibuktikan  pada  pemberian  sitokinin (BAP:kinetin)  0,5  mg/l  sampai  1,5  mg/l  secara  in  vitro didapatkan multiplikasi tunas berjumlah 3,5 sampai 11 tunas  tebu.  Pengaturan  dominansi  apikal  dapat dilakukan dengan zat penghambat tumbuh (retardan) seperti  glyphosate  dan  paraquat  dengan  dosis  subletal. Faktor  eksternal  seperti  intensitas  cahaya,  suhu, pengairan,  pemupukan  dan  pemilihan  benih  menjadi pendukung  keberhasilan  optimalisasi  pertunasan. Keberhasilan optimalisasi pertunasan diharapkan dapat menghasilkan keseragaman pertumbuhan tanaman dan mengurangi  pembentukan  sogolan,  menghemat penggunaan  bibit,  mempertahankan  serta  meningkatkan  produktivitas  dan  umur  keprasan  tanaman  tebu, mengembangkan pola tanam tumpang sari.Kata kunci:  Produktivitas,  rendemen,  tebu,  tunas, hormon Sugarcane Productivity and Yield Increased with Sprouting Physiological EngineeringABSTRACTSugarcane  (Saccharum  officinarum  L.)  was  one  of  the strategic commodity, because it was used as raw material for  various  industries  such  as  sugar,  ethanol,  amino acids,  organic  acids  and  foodstuffs.  Therefore, development  and  improvement  of  productivity programs became the priority. One of the efforts to boost the  production  and  yield  of  sugarcane  could  be  done through  optimization  of  budding,  ie  by  adjusting  the balance  of  hormones  auxin  and  cytokinin.  Hormone regulation  could  eliminate  apical  dominance  and initiated lateral buds, thereby increasing the number of tillers of sugarcane. This was evidenced in the addition of cytokines (BAP:kinetin) 0.5 to 1,5 mg/l in vitro showed shoot  multiplication  by  3,5  to  11  shoots  of  sugarcane. Regulation  of  apical  dominance  could  be  done  with growth  inhibitor  (retardants)  such  as  glyphosate  and paraquat with sublethal doses. External factors such as light  intensity,  temperature,  watering,  fertilization  and seed selection into a budding optimization success. The success  of  budding  optimization  was  expected  to  be produced  uniformity  of  plant  growth  and  reduce  bull shoot  formation,  eficiency  of  seeds,  maintained  and improved  the  productivity  and  logging  time  of sugarcane and intercropping pattern development.Keyword :  Productivity, yield, sugarcane, bud, hormone
Biofumigan untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah Penyebab Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan TITIEK YULIANTI; SUPRIADI SUPRIADI
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKMetil  bromida  adalah  pestisida  berspektrum  luas untuk   mengendalikan   serangga,   nematoda,   dan patogen,   baik   dalam   tanah   maupun   di   gudang. Senyawa ini sudah dilarang penggunaannya di dunia berdasarkan  kesepakatan  Montreal  Protocol  tahun 2000, bahkan harus dimusnahkan di seluruh dunia pada tahun 2015.  Di beberapa negara maju sudah gencar dilakukan penelitian untuk mencari senyawa biofumigan sebagai alternatif pengganti metil bromida. Tulisan ini menguraikan salah satu sumber biofumigan  yang  cukup  prospektif  dan  cukup  banyak  diteliti, yaitu, glukosinolat (GSL), termasuk beberapa aspek berkaitan dengan biosintesis dan hidrolisis senyawa tersebut dan produk yang dihasilkan, sumber tanaman penghasil   GSL,   pengaruh   biofumigan   terhadap patogen tular tanah dan mikroorganisme lainnya, serta prospek  dan  kendala  pemanfaatan  biofumigan  di Indonesia.  GSL  berasal  dari  tanaman  famili  kubis-kubisan (Brassicaceae).  Ada sekitar 350 genera dan 2500   spesies   famili   Brassicaceae   yang   diketahui mengandung senyawa GSL. GSL merupakan senyawa yang   mengandung   nitrogen   dan   belerang   hasil metabolit sekunder tanaman.  GSL akan dihidrolisis apabila   terjadi   kontak   dengan   enzim   mirosinase, biasanya melalui pelukaan jaringan tanaman.  Hasil hidrolisis adalah beberapa senyawa, baik yang bersifat volatil maupun tidak, misalnya isotiosianat (ITS), ion tiosianat (SCN-),  nitril,  epitionitril,  indolil  alkohol, amin, sianid organik dan oksazolidinetion. Senyawa yang dihasilkan dari proses hidrolisis tergantung pada suhu, pH, dan jenis tanah.  Meskipun sudah banyak bukti  bahwa  senyawa  ITS  mampu  mengendalikan patogen-patogen    tular    tanah,    namun    untuk penerapannya  di  Indonesia  masih  perlu  penelitian supaya diperoleh hasil yang efektif, seperti eksplorasi jenis-jenis Brassicaceae    lokal    sebagai    sumber biofumigan, teknik aplikasi di lapangan (pola tanam, rotasi, tumpangsari,  tanaman penutup tanah), dan faktor-faktor   abiotik   yang   berpengaruh   terhadap biosintesis maupun hidrolisis GSL di dalam tanah.Kata   kunci:   Brassicaceae,   biofumigan,   hidrolisis, sumber   tanaman,   prospek   pengem-bangan di Indonesia ABSTRACTBiofumigant as an environmentally friendly method to control soilborne plant pathogensMethyl bromide (MBr) is a broad spectrum pesticide used to control insects, nematodes, and pathogens both in soils and storages.  Under the Montreal Protocol 2000, MBr has been banned excempted for critical use and it is scheduled to be eliminated completely as of 2015. Several  developed  countries  are  intensively seeking for biofumigants as an alternative substances to substitute MBr. This paper discuses glucosinolate (GSL),   one  of  the  most  prospective  biofumigant, including its biosynthesis, hydrolisis process and their products, effect on soilborne pathogen and other soil microorganisms, as well as its prospect and constrains of  the  development  of  biofumigant  in  agricultural system in Indonesia.  There are about 350 genus and 2500 spesies of Brassicaceae plants known to contain GSLs. The GSLs are secondary metabolites that contain sulfur, nitrogen and a group of glucose.  The GSL is only hydrolysed when it is contacted with myrosinase enzym in the presence of water, commonly occured when plant tissue is damaged.  Various hydrolysis products of volatile and non volatile compounds are known such as isothiocyanates (ITCs), ion thiocyanates (SCN-), nitrile, epithionitrile, indolyl alcohol, amine, organic   cyanide   and   oxazolidinethion.   Type   of hydrolised products depends on soil temperature, pH, and soil types.  Ample evidences support the use of ITCs to control soilborne pathogens and yet to obtain effective control in a large scale application, especially in Indonesia, needs more comprehensive studies, such as exploration of biofumigant sources from indigenous or local species of Brassicaceae, application methods (cropping  system,  rotation,  intercropping,  or  cover crop) and other abiotic factors affecting the hydrolysis process of GSL in soil.Keyword: Brassicaceae, biofumigant, hydrolisis, plant source, prospect, Indonesia.
Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta Arah Penelitian dan Pengembangannya EKWASITA RINI PRIBADI
Perspektif Vol 8, No 1 (2009): Juni 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v8n1.2009.%p

Abstract

ABSTRAKDi Indonesia, terdapat sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai    bahan baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bumbu, serta untuk kebutuhan ekspor, dengan volume permintaan lebih dari 1.000 ton/tahun.  Pasokan bahan baku   tanaman   obat   tersebut   berasal   dari   hasil budidaya (18 jenis) dan penambangan (13 jenis).  Oleh karena itu, perlu usaha yang lebih intensif supaya pasokan bahan baku tanaman obat dapat terpenuhi, terutama tanaman obat yang masih ditambang dari habitat alaminya.  Berdasarkan data neraca pasokan dan permintaan, serta teknologi yang tersedia, arah kebijakan pengembangan dan penelitian tanaman obat  bagi menjadi 4 kelompok.  Pertama, untuk kelompok tanaman obat yang telah dibudidayakan dalam skala luas, seperti jahe, maka prioritasnya adalah penelitian untuk   pengendalian   penyakit layu  bakteri yang disebabkan oleh Raltsonia solanacearum.Untuk tanaman obat yang masih memungkinkan dikembangkan areal budidayanya, seperti temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan lempuyang wangi (Zingiiber aromaticum),   prioritasnya   adalah   penelitian   untuk menghasilkan varietas unggul dan teknologi budidaya untuk   meningkatkan   produksi   dan   bahan   aktif. Sedangkan  untuk  tanaman  obat  lainnya,  prioritas penelitian  ditujukan  pada  diversifikasi  vertikal  dan horizontal.    Kedua,  untuk  menunjang  kemandirian pasokan  tanaman  obat  budidaya  yang  diusahakan dalam skala sempit, seperti ketumbar, adas, dan cabe jawa,    prioritas  penelitian  adalah  penelitian  untuk mendapatkan  varietas  unggul  dan  teknik  budidaya Ketiga, untuk tanaman obat yang masih ditambang dari habitat alami dan permintaannya cukup besar, seperti beluntas, majakan, kunci pepet, seprantu, dan brotowali, maka prioritas penelitian diarahkan pada domestikasi,   benih   unggul,   cara   bercocok   tanam, pemupukan  dan  pengendalian hama  dan  penyakit. Keempat,  untuk  tanaman  obat  yang  sudah langka, seperti kedawung, pulasari, pulai, bidara putih, bidara laut, bangle, temu giring, dan joho keling, prioritas penelitiannya adalah penangkaran, penentuan kesesuaian lingkungan tumbuh dan teknologi budidaya.Kata kunci : Tanaman obat, pasokan, permintaan, pengembangan, penelitian ABSTRACTStatus of Supply and Demand of Indonesian Medicinal Crops and Their Research and Development PrioritiesThere are 31 medicinal crops of Indonesia that are demanded more than 1.000 tones/year for traditional medicine (jamu)  industry, spices and export.  Some of these crops (18 species) are cultivated  and the others (13 species) are harvested directly from their natural habitat, such as forest.  Therefore, the intensive effort to supply the demand of the raw material of medicinal plants is needed, especially the medicinal plants which were still harvested from their natural habitat. Based on the supply and demand data, as well as current available   cultivation   technologies,   research   and development strategy of medicinal crops in Indonesia can be grouped in 4 classifications.  First, for those medicinal crops which are used in large scale, such as ginger, the research priority is to find effective contro measure   of   bacterial   wilt   caused   by   Raltsonia solanacearum.    However,  for  those  which  can  be expanded, such as Curcuma xanthorrhiza (temulawak) and  Zingiiber  aromaticum (lempunyang  wangi),  the research  priority  should  be  focused  on  developing high-yielding varieties and cultivation technology for improving yield and lead compounds of the plants. For other crops within this group, diversification of secondary products need to be intensified.  Second, to sustain the supply of medicinal crops that grow in small-scale areas, such as coriander, fennel, and long pepper, research on crop improvement and cultivation technologies  must  be  intensified.  Third,  medicinal plants which are harvested directly from their natural habitat in large scale, such as Pluchea indica (beluntas), Querqus   lusitania (majakan),   Kaempferia   angustifolia (kunci   pepet),   Sindora   sumatrana (seprant)u,   and Tinospora tuberculata (brotowali), domestication of these crops should be carried out to fulfill the demand of raw materials, supported by studies on improving plant breeding and their cultivation technologies.  Finally, the endanger medicinal plants  such as Parkia roxburghii (kedawung,  Alyxia  reinwardti  (pulasari), Alstonia scholaris (pulai),  Merremia  mammosa (bidara  putih), Strychnos  lucida  (bidara  laut), Zingiber cassumunar (bangle), Curcuma heyneana (temu giring), and Terminalia arbereae (joho keling), the research priority is conservation,  finding  site-specific  location  for  their growth, and cultivation technology.Key words: Medicinal crops, supply, demand, research, development
Permasalahan Gambir (Uncaria gambir L.) di Sumatera Barat dan Alternatif Pemecahannya AZMI DHALIMI
Perspektif Vol 5, No 1 (2006): Juni 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v5n1.2006.%p

Abstract

ABSTRAKTanaman gambir merupakan komoditas spesifik lokasi dan unggulan daerah provinsi  Sumatera Barat. Usahatani gambir adalah salah satu mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan petani. Gambir juga sebagai komoditas ekspor yang memiliki sumbangan besar terhadap PDRB daerah yang pada gilirannya akan meningkatkan devisa Negara. Delapan puluh persen kebutuhan gambir dunia dipasok oleh Provinsi Sumatera Barat dengan negara tujan Bangladesh, India, Pakistan, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Perancis , dan Swiss. Permintaan terhadap gambir terus meningkat sepanjang tahun dan selama periode lima tahun (2000 - 2004) peningkatan volume ekspornya mencapai 87,49% dan nilainya meningkat 17,16%. Kegunaan utama gambir adalah sebagai bahan baku industri obat-obatan,  makanan,  industri  tekstil  serta  bahan baku pewarna yang tahan terhadap cahaya matahari, disamping juga sebagai bahan penyamak kulit. Permasalah utama dari tanaman gambir saat ini adalah rendahnya produktivitas dan kualitas produk sebagai akibat dari cara bercocok tanam dan proses pasca panen                (pengolahan) yang belum optimal dan minimnya dukungan teknologi. Salah satu langkah dalam   mengatasi   masalah   ini   adalah   melakukan identifikasi permasalahan dalam rangka menghasilkan program perencanaan penelitian/pengkajian yang komperhensif, sinergis, dan berkelanjutan. Atas dasar desk study dan informasi dari lapangan, baik data teknis maupun sosial ekonomi sudah diperoleh rumusan permasalahan dan alternatif pemecahannya dalam bentuk matrik program aksi  yang diharapkan dapat  dijadikan langkah awal bagi instansi terkait dalam penanganan permasalahan gambir di Sumatera Barat. Hal ini sangat berguna dalam menghindar duplikasi perencanaan dan pelaksanaan, dan untuk evaluasi program penelitian dan pengkajian, sehingga menghasilkan suatu program aksi yang strategis dan dinamis sejak pra produksi sampai dengan pengolahan dan pemasaran.Kata kunci: Gambir, Ucaria ambir, indentifikasi masalahj, Sumatera Barat ABSTRACTProblem of gambir (Uncaria gambir) in West Sumatera and its their alternative solutionsGambir plant is a specific location commodity of West Sumatera. Gambir farming is  obne  of activities to increase farmers income. It is also  an export commodity which contributes to local PDRB and increases  export  earnings. Around 80% of world demand is fulliled by West Sumatera Province with destiniation  country :  Bangladesh,  India,  Pakistan, Taiwan, Japan, South Korea, France, and Switzerland. Demands for gambir have increased all the years, and during five years (2000-2004) export vlume increased 87.49% and export value increased 17.16%. Gambir is esed  raw  material  for  medicine,  food,  and  textile industries, and also as sunlight proof color agent and for leather processing. The main problems of gambir are low producticvity and low quality resulted from inoptimal  cultivation  and  post  harvest  processing technoloque. One step to value the problems is to identify the problems and to draw a program for research and development  of  gambir  which  are comprehensive, synergic, and  sustainable. This program  in  solving the  gambir  problems  in  West Sumatera, and it is also important to avoid duplication in planning and implementation, and also for research evaluastion so that it can produce action program which is strategic and dynamic since pre-production to post-harvest and marketing.Key word: Gambir, Uncaria gambir, problem identification, West Sumatera.
Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana : Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau DECIYANTO SOETOPO; I.G.A.A. INDRAYANI
Perspektif Vol 8, No 2 (2009): Desember 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v8n2.2009.%p

Abstract

ABSTRAKTungau menyerang sejumlah besar tanaman, termasuk beberapa komoditas perkebunan penting di Indonesia, seperti: kapas, jarak pagar, jarak kepyar, tembakau, teh, kelapa, dan wijen. Pengendalian tungau sebagian besar   masih   mengandalkan   pestisida   kimia   yang seringkali  malah  mengakibatkan  ledakan  populasi yang semakin sulit dikendalikan. Hingga kini belum ada  teknik  pengendalian hama  tungau  secara non-kimiawi yang efektif dan efisien. Penggunaan varietas tahan mampu menekan populasi, tetapi kenyataannya varietas-varietas   tahan   masih   terbatas   jumlahnya. Beberapa   spesies   serangga   juga   telah   berhasil diidentifikasi sebagai predator tungau, tetapi belum dikembangkan  secara optimal dalam pengendalian. Tulisan   ini   bertujuan   untuk   menginformasikan prospek pemanfaatan jamur entomopatogen B. bassiana dalam   pengendalian   hama   tungau.   B.   bassiana mempunyai prospek cukup baik karena selain kisaran inangnya luas, juga patogenisitasnya terhadap inang tinggi.   Hasil-hasil   penelitian   menunjukkan   bahwa aplikasi   B.   bassiana   efektif   menurunkan   populasi berbagai   spesies  tungau   dan   menekan   kerusakan tanaman. Konidia B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas  tungau  hingga  mencapai 80-100%.  Oleh karena itu,  peluang  untuk  meneliti lebih  jauh  dan mengembangkan   B.   bassiana   untuk   dimanfaatkan dalam pengendalian hama tungau terbuka luas, karena koleksi  isolat  yang  tersedia  cukup  banyak  untuk dipilih. Untuk mencapai tujuan ini beberapa penelitian masih  perlu  dilakukan,  seperti  teknik  perbanyakan yang efisien dan formulasi yang tepat, serta penelitian untuk   meningkatkan   patogenisitas   dan   stabilitas jamur.Kata kunci: Entomopatogen, Beauveria bassiana, morta-litas, tungau, patogenisitas. ABSTRACTEntomopathogenic fungi Beauveria bassiana: Its potency and prospects for mites controlMites attack large number of plants including several following  estate  crops,  viz.  cotton,  Jatropha  curcas,Richinus  communis,  tobacco,  tea,  coconut  tree,  and sesame.  The great reliance on chemical pesticides for controlling   mites   had   its   serious   drawbacks, manifested  in  resistance  problems  and  population outbreaks which is more difficult to solve. The effective and  efficient  non-chemical  control  method  has  not available so far to decrease the plant damage. There is resistant  variety  that can  be  used  to  reduce  mites population, in fact, however, some of these varieties are still developed. A number of insect species have been identified as predator of mites, however, most of these species have not been developed for bio-control of  mites.  The  paper  informs  the  potential  use  of entomopathogenic fungus  B. bassiana as a promising control method against mites.  Besides broad spectrum bio-pesticide, this fungus produces high pathogenicity against its hosts.  Research studies showed that B. bassiana effectively reduced both mites population and plant damage.  Mortality of mites infected with the fungus ranged in 80-100%. The possibility of using B. bassiana in pest control would also be a better tool for control mites population.  Several strains of B. bassiana isolate have been collected and might be able to use in further green house and field tests. To achieve this goal, several studies need to be conducted, including appropriate production method and formulation, as well as study to increase pathogenicity and stability of the fungus.Key words: Entomopathogen, Beauveria bassiana,  mor-tality, mites, pathogenicity
Identifikasi Faktor Penyebab Lambannya Alih Teknologi Pada Usahatani Tembakau Virginia di Kabupaten Bojonegoro MUKANI MUKANI
Perspektif Vol 5, No 2 (2006): Desember 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v5n2.2006.%p

Abstract

ABSTRAKAlih teknologi  merupakan tolok ukur keberhasilan suatu   lembaga   penelitian.   Karena   alih   teknologi mencerminkan  manfaat  keberadaan  suatu  lembaga penelitian dan sekaligus dapat memperoleh umpan balik   dari   pengguna   untuk   perbaikan   teknologi. Teknologi tembakau virginia Bojonegoro mulai dari teknologi  benih  sampai  dengan  pasca  panen  telah tersedia. Penerapan teknologi anjuran pada program Intensifikasi   Tembakau   Virginia                 (ITV) mampu meningkatkan produksi 2.529 kg/ha dan pendapatan Rp 260.297/ha. Demikian juga penelitian penerapan di lahan petani dapat meningkatkan produksi sebesar 932 kg   diikuti   kenaikan   pendapatan   sebesar   Rp 205.588/ha. Namun demikian alih teknologi masih lamban,   karena   teknologi   tersebut   tidak   mampu mengurangi   resiko   kegagalan   yang   disebabkan kelebihan air maupun kekeringan. Sebagian besar areal tembakau virginia adalah sawah tadah hujan. Peluang kegagalan   karena   kekurangan   dan   kelebihan   air masing-masing 37% dan 42%. Pengembalian jerami padi   sebagai   mulsa   tanaman   tembakau   memberi harapan untuk mengurangi resiko kegagalan.Kata kunci : Tembakau, Nicotiana tabacum, usahatani, tembakau virginia, alih teknologi, JawaTimur. ABSTRACTIdentification of Factors Affecting Slow Technology Transfer of Virginia Tobacco Farming in Bojonegoro DistrictTransfer of technology represents an indicator of the success of a research institute. Because it can express the benefit of the research institute and at the same time it can give feed back from the consumers to the research  institute  to  improve  the  technology.  The technology of virginia tobacco of  Bojonegoro from seeds to post harvest are available. Application of recommended technology at Intensification of Virginia Tobacco program could increase the tobacco product and  earnings  per  ha  each  of 2.529  kg  and  Rp 260.297/ha. And so do the application of research technology on farmer farm could increase the tobacco product equal to 932 kg/ha  followed by the increase of earnings equal to Rp 205.588/ha. However, the transfer of technology was still  low, because it could not reduce the failure due to dryness and excessive water. Returning dried rice stalks as the mulch for tobacco plantation was promising to lessen the risk.Key words : Tobacco, Nicotiana tabacum, technology transfer, farming, virginia tobacco, East Java.
Peluang Pemenuhan Kebutuhan Produk Mentha Spp. di Indonesia EKWASITA RINI PRIBADI
Perspektif Vol 9, No 2 (2010): Desember 2010
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v9n2.2010.%p

Abstract

ABSTRAK Mentha  spp.  termasuk  family  Labiatae.  Berdasarkan kandungan bahan aktif, aroma dan penggunaannya terdapat  beberapa  spesies  yang  bernilai  ekonomi tinggi. Tiga spesies diantaranya adalah Mentha arvensis penghasil mentol dan minyak mentha kasar/mentha Jepang,  Mentha piperita penghasil minyak peppermint atau true mint, dan Mentha spicata penghasil minyak spearmint,  dengan pangsa pasar dunia masing-masing 75 %, 18 % dan 7 %. Kebutuhan industri dari produk yang dihasilkan oleh Mentha spp. sangat besar, akan tetapi sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi  kebutuhan  tersebut.  Laju  impor  produk turunan   dari   Mentha   spp.   setiap   tahun   semakin meningkat, pada tahun 2006 nilai impor mencapai US $ 3,78 juta setara dengan Rp. 34,-milyar. M. arvensis dengan produk utama mentol paling besar permintaannya  untuk industri  dan  salah  satu jenis mentha  dengan  kesuaian lingkungan  tumbuh yang memungkinkan untuk di kembangkan di Indonesia. Rata-rata  volume  impor  mencapai 76,10  ton/tahun setara dengan 63 % total kebutuhan industri dalam negeri. Peluang pemenuhan kebutuhan dalam negeri dapat dilakukan dengan menurunkan biaya produksi sehingga   harga   produk   mentha   dalam   negeri kompetitif  dibandingkan  dengan  harga  impor  dan produk   sintetis   yaitu   dengan   mengoptimalkan produksi  terna,  minyak  dan  menthol  dari  koleksi M.arvensis  dengan  teknik  pemulian  inkonvensional melalui hibridisasi intra  dan interspesifik,   induksi mutagenesis   dan   peningkatan   variasi   somaklonal melalui  kultur  jaringan    varietas  Ryokubi  dengan potensi  hasil  terna  tinggi,  dengan  Tempaku  yang mempunyai kadar mentol tinggi serta Mear 0012 yang mempunyai kadar minyak tinggi disertai penggunaan pupuk tablet atau granul yang diberi pelapis pestisida nabati.             Teknologi    budidaya    ini    diharapkan meningkatkan produk mentol 43 %, dari semula 59,27 kg/ha menjadi 84,72 kg/ha. Dengan tingkat produk-tivitas  tersebut  dan  disertai  pengembangan  areal tanam seluas 898 ha, kebutuhan mentol untuk industri di  Indonesia  sebesar 76,10  ton/tahun  yang  semula diimpor   dapat   dipenuhi   sepenuhnya   dari   dalam negeri.Kata  kunci  :  Mentha  spp.,  peluang,  swasembada,Indonesia ABSTRACTOpportunity to Fulfil Mint Products in IndonesiaMentha spp. belongs to Labiatae family, Based on its active ingredients,  aroma  and  utilization,  there  are several high economical values of mint species. Three species  of  mint  such  as  Mentha  arvensis,  produces menthol oil and raw mint oil/Japanese mint, Mentha piperita produces peppermint oil or  true mint, and Mentha   spicata   produces   spearmint   oil,   which respectively share 75, 18, and 7% of the total world mint market. Since Indonesia is not able to fulfill the local need of mint oil, the country imports the oil accordingly, this in 2006 reached U.S. $ 3.78 millions equivalent to 34 billion rupiahs. M. Arvensis producing high  menthol  has  the  greatest  demand  for  local industry and as one of most suitable varieties cultivates in  Indonesia.  The  average  imported  mint  volume reaches 76.10 tons/year, equivalent to 63 % of the total need of domestic industries. Opportunities to fulfill this local need of mint may be achieved by reducing production costs, so that price of the domestic mint oil is competitive compared to imported mint or synthetic products. The strategy may be achieved by optimizing herb, oil and menthol productions via current breeding technique   i.e.   through   intra   and   inter-specific hybridization, mutagenesis induction and somaclonal variation through tissue culture of Ryokubi variety with high herb yield mint, with Tempaku, which has high menthol level and Mear 0012 containing high oil content,  complemented  with  cultivation  techniques using   tablet   or   granular   fertilizers   coated   with botanical pesticides. Those cultivation technologies are expected to increase 43 % of menthol production i.e. from 59.27 kg/ha to 84.72 kg/ha. This production level combined  with  expansion  of 898  hectares  of  mint plantation areas is expected able to fulfill the need of domestic industries amounted to 76.10 tones/year.Keywords  : Mentha spp., chance, fulfilments, Indonesia
Kesiapan Teknologi Mendukung Pertanian Organik Tanaman Obat: Kasus Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) ROSITA SMD
Perspektif Vol 6, No 2 (2007): Desember 2007
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v6n2.2007.%p

Abstract

ABSTRAKPertanian organik semakin mendapat perhatian masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang, khususnya mereka yang sangat memperhatikan kualitas kesehatan, baik kesehatan manusia maupun lingkungan. Hal tersebut mengindikasikan adanya potensi pasar yang perlu dimanfaatkan  secara  optimal. Pertanian organik di Indonesia sampai saat ini belum  secara  maksimal direalisasikan, namun beberapa tanaman hortikultura seperti sayuran organik sudah mulai diproduksi dan dipasarkan di dalam negeri, meskipun masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Selain pasar domestik, pangsa pasar dunia akan produk organik setiap tahun terus meningkat, tidak saja untuk pangan tetapi juga produk kesehatan yang berbasis herbal. Jahe merupakan salah satu tanaman obat dengan pangsa pasar  cukup  menjanjikan,  terutama  untuk  tujuan ekspor sebagai bahan baku makanan dan minuman. Selain itu, sebagai salah satu bahan baku industri obat herbal, suplemen makanan dan minuman kesehatan, jahe yang dihasilkan melalui sistem pertanian organik, akan memberikan nilai tambah yang cukup signifikan. Oleh karena itu, kesiapan teknologi untuk mendukung produksi jahe organik perlu dikaji. Untuk menyiapkan teknologi  budidaya  pertanian  organik  jahe  harus diperhatikan unsur-unsur sebagai berikut : (a) sumber daya lahan, (b) benih, (c) pemupukan, (d) pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) secara terpadu, (e) zona pembatas, dan (f) pola tanam. Sedangkan unsur-unsur yang perlu difokuskan pemecahannya yaitu: a) ketersediaan benih jahe organik yang bermutu, b) teknologi pengendalian OPT, dan c) mencari pola tanam jahe dengan tanaman lain yang bersifat sinergis.Kata Kunci : Jahe, Zingiber officinale Rosc, teknologi, pertanian organik ABSTRACTTechnology to support organic farming on medicinal plant: Case of ginger (Zingiber officinale Rosc.)Interest on organic farming have been raised either within developed or developing countries, especiallyto whom it might has a concern on human being and enviroment healths. Those circumstances indicate that there are potential market to be exploited. Organic farming  in  Indonesia  had  not  been  appropriately implemented. However, some horticultural products such as organic vegetable have been produced and marketed locally, though in a limited numbers and volume.  Except  for  domestic  market,  increase  on demand for organic products in global market are arisen  within  years.  Those  included  the  organic products for food and neutraceutical. Ginger is one of medicinal crops with a good market demand, especially to be exported as a raw material for food and drink supplement industries. Instead for herbal medicine, food and drink supplement industries, the needs on  organic product of ginger would be significantly  arisen  its  economic  value.  Therefore, available technology supporting organic farming on ginger should be identify. Important factors to be concerned in organic farming on ginger are: (a) land use, (b) seeds, (c) fertilizers, (d) integrated control on pest and disease management, (e) buffer zone, and (f) cropping systems. Whereas the problems to be solved are: a) the availability of organic ginger seeds with high quality, b) technology on pest and disease control management, c) synergism cropping system within ginger and others crops.Key Words: Ginger, Zingiber officinale Rosc, technology, organic farming
PERAN DAN PENGELOLAAN KALIUM DALAM BUDIDAYA AKARWANGI ROSIHAN ROSMAN; SETIAWAN SETIAWAN
Perspektif Vol 13, No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v13n2.2014.%p

Abstract

ABSTRAKTanaman   akarwangi (Vetiveria   zizanioides   Stapf.) memerlukan kalium (K) dalam jumlah yang memadai. Pemberian K ke tanah dalam jumlah banyak akan tidak efektif. Oleh karena itu, ketersediaan hara K baik di tanah maupun sumber lainnya harus di kelola secara baik. Selain K, tanaman akarwangi juga memerlukan ketepatan umur panen. Umur panen yang tidak tepat akan  mempengaruhi  produksi  dan  mutu  minyak. Waktu  panen  yang  tepat  memenuhi  produksi  dan mutu   vetiverol   yang   tinggi.   Pada   tanah   yang mengandung   K   sedang (>0,35   me/100   g   tanah), penambahan   pupuk   K   ke   tanah   tidak   mampu meningkatkan   kandungan   senyawa   alkohol   pada akarwangi. Panen produksi akar dan minyak terbaik adalah umur 14 bulan setelah tanam (BST) dengan kandungan   vetiverol     >50%.   Perbedaan   senyawa alkohol yang terbentuk terjadi pada umur 12 BST dan 14  BST.  Adapun  senyawa  alkohol  yang  terbentuk adalah    Cis-.alpha.-copaene-8-ol,    valerenol,    beta-eudesmol, globulol, (+) -gamma-castol, zizanol, dan 1-cloro-2,4-dimethroxy-3-methylphenol.  Pada  umur 12 BST, senyawa yang mengandung alkohol yaitu cis-.alpha.-copaene-8-ol,                             (+)   -gamma-castol,    beta-eudesmol,  globulol  dan  valerenol  sedangkan  pada umur 14 BST yaitu beta.-Eudesmol, (+) -gamma-castol, zizanol,   dan 1-cloro-2,4-dimethroxy-3-methylphenol. Perbedaan ini perlu diteliti lebih lanjut.Kata kunci : Minyak akarwangi, Kalium, umur panen The Role And Management of Potassium in Cultivation of Vetiver CropsABSTRACTVetiver crop need potassium (K) nutrient. Using of K on vetiver over dosage, so inefficient. Besides that, the vetiver crops need time of harvest. Time of harvest can be affecting to product and quality of oil. Therefore, K nutrient in soil, from fertilizer or the other source must be managed with good and harvest time also. The medium  K  (>0,35  me/100 g  soil)  of  soil  could  not increase of the alcohol compound. Time of harvest (14 month after planting (MAP)) was high production (dry weight of root and oil) and vetiverol (>50%). The result of research showed that component of alcohol oil was different between harvesting at 12 (MAP) and 14 MAP. The component of alcohol were cis-alpha-copaene-8-ol, beta-eudesmol, valerenol, globulol, (+)-gamma-castol, zizanol,   dan 1-cloro-2,4-dimethroxy-3-methylphenol There were four essential components of oil (alcohol groups ) at 12 MAP were cis-alpha-copaene-8-ol, beta-eudesmol, (+)-gamma-castol, valerenol and globulol. At  14  MAP  were  beta-eudesmol,  (+)-gamma-castol, zizanol,   dan 1-cloro-2,4-dimethroxy-3-methylphenol. Different of this component must be research on the future.Key words : Vetiver oil, potassium, time of harvest.
Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya ELNA KARMAWATI
Perspektif Vol 7, No 2 (2008): Desember 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n2.2008.%p

Abstract

ABSTRAKTanaman jambu mete menghasilkan komoditas ekspor yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Selain gelondong dan kacang  mete tanaman tersebut menghasilkan pula minyak laka dan produk lain yang diolah dari buah semu. Arealnya bertambah  terus tiap tahun,  sehingga  akhir 2006  mencapai 595.111  ha. Organisme  pengganggu  tumbuhan  terutama  hama merupakan   salah   satu   penyebab   kematian   dan mengakibatkan  produktivitas  serta  mutu  menjadi rendah.   Pada   beberapa   daerah   sentra   produksi Helopeltis  merupakan  hama  yang  luas  serangannya paling tinggi diikuti oleh S. indecora dan hama lainnya. Beberapa   permasalahan telah   ditemukan   yang menyebabkan hama Helopeltis spp seringkali muncul atau  Sanurus  menjadi  hama  baru,  diantaranya  a). percabangan tanaman yang semakin banyak sehingga tumpang tindih dan mengakibatkan perubahan iklim mikro, b). Helopeltis spp dan S. indecora mempunyai rentang   tanaman   inang   yang   sangat   lebar   dan berlimpah  di  lapangan,  c).  penggunaan  insektisida kimia  yang  berlebihan,  d).  kurangnya  pengetahuan petani  mengenai tanaman sela, e). adanya interaksi antara Helopeltis spp, S. indecora dan Delichoderus sp. Upaya  pengendalian  sebelum  tahun 2001  sebagian besar  masih    menggunakan  bahan  kimia,  namun perbaikan-perbaikan teknologi  telah dilakukan setiap tahun. Strategi pengendalian yang digunakan adalah a).  pemanfaatan  dan  perekayasaan  lingkungan pertanaman jambu mete, b). pengkajian skala luas di beberapa agroekologi sekaligus melanjutkan pembinaan  pemandu  dan  petani  dalam  wadah sekolah  langsung pengendalian hama terpadu (SLPHT).Kata  kunci:  Anacardium  occidentale  L.,  gelondong  , kacang  mete,  Helopeltis  spp.,  Sanurus indecora,  iklim  mikro,  tanaman  inang, perekayasaan lingkungan, SLPHT ABSTRACTCashew   nut   Development   and   Control Strategy of Its Main PestsCashew plant produces export commodity having a very high value and stability compared with other Indonesian  export  commodities.  Beside    shells  and nuts, the plant produces  lacca oil and other  products from the fruits. The cashew growing area increases every year and the end of 2006 achieved 595.111 ha. Pests can cause  the death or the lower productivity and nut quality. In several production area, Helopeltis has  the  largest  attack  area,  followed  by  Sanurus indecora or other pests. Several problems have been found in the  field, such as: a). more branches produced by   the   plant   caused   micro   climate   changes,   b). Helopeltis spp and  S. indecora have a very wide host range, c). the over usage of  synthetic insecticide, d). the lack of farmers knowledge of intercropping, e). there is interaction  among Helopeltis spp, S. indecora and Dolichoderus sp. Before 2001, synthetic insecticide were commonly used for controlling insect pest. Since then, other control methods have been developed. The control strategy are a). ecosystem engineering and its utilization surrounding cashew plantation and b). large scale  assessment  of  agroecologies  and  farmer  and extension   worker   supervision   in   Field   School   of Integrated Pest Management (FSIPM).Key words : Anacardium occidentale L., shell, cashew, Helopeltis  spp,  Sanurus indecora, micro climate, host     plant,      ecosystem engineering, FSIPM

Page 4 of 21 | Total Record : 203