cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue " No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008" : 8 Documents clear
IDENTITAS GLOBAL: MEMBANGUN KESAMAAN TANPA MENYERAGAMKAN Susana, Tjipto
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konflik antar suku, agama, dan golongan serta tindakan kekerasan di Indonesia bukanlah hal baru. Berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil penelitian maupun pemikiran para ahli dapat disimpulkan bahwa konflik-konflik tersebut berakar dari keinginan setiap kelompok untuk menunjukkan eksistensinya. Solidaritas, harmoni, dan toleransi tumbuh subur di dalam kelompok (in-group), tetapi tidak terhadap orang-orang di luar kelompoknya (out-group). Keragaman kelompok secara menyeluruh potensial menciptakan konflik, intoleransi, dan disharmoni. Identifikasi berlebihan terhadap sebuah entitas yang unik seperti kesukuan, kepartaian, ataupun keagamaan merupakan hambatan besar menuju pada identitas Indonesia yang baru. Upaya penyeragaman pada zaman Orde Baru dengan kekuasaan absolutnya di satu sisi memang meredam konflik tetapi di sisi lain, mematikan pluralisme. Menggunakan kerangka berpikir Arrow dan Sundberg (2004) tentang Identitas Internasional, penulis berpendapat tidaklah cukup mengembangkan Identitas Nasional. Perlu pengembangan identitas yang lebih luas, yaitu Identitas Global atau Global-Human Identity atau World-Mindedness. Identitas global merupakan identifikasi terhadap semua orang di dunia melampaui batas-batas kesukuan, keagamaan, kebangsaan, kenegaraan, atau ikatan personal. Dengan demikian tidak ada lagi batas antara in group dan out group. Secara esensial setiap orang akan dipersatukan dengan orang lain sebagai manusia (as a human being) dan oleh perasaan kemanusiaannya (in his/her humanity). Sehingga setiap orang akan mengembangkan sikap hormat dan toleransi yang luas. Perbedaan akan dihayati sebagai kebenaran paradoks. Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar semboyan penghias Bangsa.Kata kunci: konflik, identitas nasional, identitas internasional, identitas global, in group, out group.
GAMBARAN TANTANGAN KERAGAMAN ANTAR BUDAYA DAN STRATEGI PEMECAHANNYA PADA RELAWAN KEMANUSIAAN DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM. Panggabean, Hana; Angelina, Maesy
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bencana tsunami yang melanda propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di akhir tahun 2004 telah mengundang mengalirnya beragam bantuan kemanusiaan baik oleh relawan Indonesia, maupun relawan asing. Situasi pemberian bantuan antara relawan dengan rakyat Aceh merupakan sebuah situasi antar budaya yang multikultural (relawan orang Indonesia-rakyat Aceh) dan internasional (relawan asing-rakyat Aceh). Studi psikologi antar budaya sebelumnya membuktikan bahwa konflik sangat rentan terjadi dalam konteks pertemuan antar budaya dan berdampak pada tekanan psikologis yang mengganggu kesehatan mental individu. Artikel ini berusaha menggali perspektif psikologis dari masalah-masalah antar budaya yang terjadi dalam konteks kerja para relawan Indonesia di propinsi NAD dengan menggunakan kerangka teoretis utama tentang perspektif psikologis dari sebuah pertemuan budaya (Thomas, 1999), masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam konteks antar budaya (Smith, dkk, 2004; Panggabean, 2002) serta strategi pemecahan masalah antar budaya dalam konteks internasional (Adler,2002) dan Indonesia (Panggabean, 2004). Dengan fokus tersebut, artikel ini bertujuan menggambarkan salah satu konteks dimana tantangan budaya dalam masyarakat pluralistik seperti Indonesia sangat relevan bagi pencapaian tugas dan kesehatan mental individu, namun seringkali kurang mendapat perhatian maksimal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan wawancara semi-terstruktur kepada sembilan orang relawan Indonesia yang bekerja di propinsi NAD. Data diolah dengan teknik content-analysis. Hasil penelitian menunjukkan: (1) sebagian besar domain masalah antar budaya yang terjadi dalam konteks internasional ternyata juga dialami oleh para subyek, selain adanya domain masalah yang unik dan khas; (2) strategi pemecahan masalah antar budaya pada konteks internasional (Adler, 2002) dapat diaplikasikan pada konteks multikultural serta munculnya sejumlah strategi pemecahan masalah yang khas Indonesia (indigenous); (3) ada empat faktor lain yang membantu mengatasi masalah kultural, yaitu mental readiness, individual factors, work related factors, dan culture related factors; dan (4) umumnya pekerja bantuan kemanusiaan Indonesia tidak melakukan persiapan khusus sebelum berangkat, namun melakukan pembelajaran langsung di lapangan. Hasil penelitian ini membuahkan beberapa saran: (1) penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara lain adalah studi lebih lanjut tentang indikasi pergeseran budaya Aceh akibat intervensi program pekerja bantuan kemanusiaan, jenis pendekatan psikologis yang sesuai dengan karakteristik masyarakat tradisional Indonesia, studi longitudinal untuk melihat hubungan lama pengalaman di lapangan dengan pemilihan dan penggunaan strategi pemecahan masalah kultural, serta penelitian dengan topik serupa pada pekerja bantuan kemanusiaan di Yogyakarta; dan (2) perlunya memasukkan mental readiness dan pengalaman interkultural dalam kriteria seleksi calon pekerja bantuan kemanusiaan; penyusunan panduan sistematis tentang budaya setempat, masalah kultural, dan strategi pemecahan masalah; sharing sebagai bentuk orientasi informal yang bersifat praktis; serta lokakarya seputar penggunaan strategi pemecahan masalah di tengah-tengah masa tugas untuk mengekstraksikan pembelajaran gaya experential learning yang dialami pekerja bantuan kemanusiaan di lapangan.Kata kunci: Aceh, intercultural conflicts, cultural strategy, helping relations.
MEMETAKAN KEBHINEKAAN DALAM KONTINUM DESTRUKSI DAN KONSTRUKSI PEMIKIRAN AWAL MENGENAI PERAN PSIKOLOGI DALAM MENGELOLA KEBHINEKAAN MENJADI SINERGI Poerwandari, Kristi
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kebhinekaan adalah keniscayaan hidup yang berpotensi memunculkan konflik, kadang dengan implikasi lanjutan hingga bentuknya yang paling parah, menyakitkan dan menghancurkan. Meski demikian, menyeragamkan manusia atau membunuh kebhinekaan juga berarti membunuh esensi kehidupan yang terdalam itu sendiri. Bagaimana mengelola kebhinekaan menjadi sinergi? Untuk sampai pada jawaban memuaskan kita masih harus melalui jalan yang amat sangat panjang. (1) Perlu membedah dan memetakan terlebih dulu mengapa kelompok manusia yang berbeda-beda dapat saling menghancurkan melalui kekejaman yang paling durjana, dan itu berarti kembali pada teori-teori psikologi yang paling dasar mulai dari persepsi, emosi, kognisi dan kesadaran diri, serta bentukannya lebih lanjut seperti generalisasi, pengembangan prasangka hingga ke mekanisme pertahanan diri secara pribadi maupun kelompok. Sangat penting pula membedah peran konteks sosial dari yang paling mikro hingga paling makro. (2) Kemudian kita belajar dari kasus-kasus individu dan kelompok yang mampu mengedepankan penyelesaian konflik tanpa perendahan atau kekerasan terhadap kelompok lain, dan atau mampu secara otentik mencurahkan kepedulian pada kelompok lain. (3) Kesenjangan antara (a) konflik dan prasangka antar kelompok dan (b) kasus-kasus unik yang mampu mengedepankan kepedulian, penghormatan dan perdamaian perlu diisi dengan dikembangkannya pemikiran konseptual yang utuh-terintegrasi hingga terapannya yang paling konkrit mengenai bagaimana mengelola kebhinekaan menjadi sinergi. Tentang hal ini, diperlukan cara pandang yang utuh mengenai manusia dengan dimensi-dimensi hidupnya yang berjenjang hingga tingkatan tertingginya sebagai makhluk moral dan spiritual. Secara ringkasnya, untuk sementara pendekatan yang dicoba ditawarkan adalah psikologi holistik yang multidisipliner. Di dalamnya disertakan cara berpikir psikoanalisis sosial, psikologi kognitif dan psikologi belajar, di bawah payung psikologi eksistensial yang kuat mengakui peran konteks sosial-politik serta agama dan spiritualitas dalam perilaku manusia sebagai pribadi maupun kelompok.Kata kunci: kebhinekaan, destruksi, konstruksi, masyarakat plural, kontras budaya.
KETIDAKADILAN SEBAGAI SUMBER RADIKALISME DALAM AGAMA: SUATU ANALISIS BERBASIS TEORI KEADILAN DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI Ancok, Djamaludin
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kajian tentang radikalisme dalam agama telah banyak dibahas dari berbagai perspektif. Makalah ini akan menyajikan sebuah analisis dengan melihat radikalisme agama dari tiga perspektif keadilan, yakni Ketidakadilan Distributif, Ketidakadilan Prosedural, dan Ketidakadilan Interaksional. Keadilan akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memberikan input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll.) relatif setara antara Pihak-I dengan Pihak-II. Keadilan akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memperoleh kesempatan yang setara di dalam mengatur input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll). Keadilan juga akan terwujud apabila kedua pihak memperlakukan pihak manapun yang berinteraksi dengan mereka dalam kesetaraan, tanpa pilih kasih dan standar ganda untuk memperoleh output. Radikalisme dipicu oleh adanya persepsi Ketidakadilan Prosedural dan Ketidakadilan Distributif yang dilakukan oleh Blok Negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik berupa lembaga IMF, World Bank, dan WTO. Dari sisi Ketidakadilan Interaksional pihak Blok Barat telah berbuat tidak adil dengan menerapkan standar ganda dalam hubungan mereka dengan Israel yang sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam.Kata kunci: Radikalisme Agama, Keadilan (justice), Konflik (conflict)
MODEL-MODEL PSIKOLOGI KEBHINNEKATUNGGALIKAAN DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Faturochman, Faturochman
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persatuan Indonesia secara politis sudah didefinisikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan salah satu sila dasar negara tetapi secara psikologis masih belum jelas. Dari perspektif psikologi sosial, dapat dikembangkan beberapa model persatuan dalam kebhinnekaan. Pertama adalah dekategorisasi dan personalisasi. Maksudnya, dari berbagai suku, golongan serta kelompok yang mengalami salinasi kategori atau identitas kelompok sangat kuat, dilakukan upaya agar identitas kelompok hilang. Model kedua adalah rekategorisasi, yaitu melebur kategori “kami” dan “mereka” menjadi “kita”. Sepintas upaya rekategorisasi untuk membentuk identitas Indonesia merupakan upaya ideal. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya ini tidak berhasil. Model ketiga yaitu model diferensiasi mutual. Model ini mengakui adanya perbedaan-perbedaan tetapi mereka memiliki peran-peran yang komplementer yang akan mendukung keberhasilan tujuan umum. Model selanjutnya disebut model hibrida. Model ini mengakui bahwa individu pada umumnya memiliki lebih dari satu identitas. Orang dengan identitas seperti ini bisa saja memperlakukan identitas dirinya secara hirarkhis atau memiliki persilangan kategori. Di era global seperti sekarang ini tampaknya model hibrida ini akan lebih berkembang sekaligus dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak tanpa perlu penyeragaman. Untuk mengikat model hibrida dalam persatuan bangsa masih diperlukan pengembangan aspek psikologis lain, di antaranya adalah penghormatan, kepercayaan, keadilan, kebijaksanaan, dan pemaafan atas kesalahan pihak lain.Kata kunci: psikologi kebhinnekatunggalikaan, dekategorisasi, rekategorisasi, diferensiasi mutual, multi identitas, persilangan kategori.
BIAS HEURISTIK DALAM PROSES PENILAIAN DAN PENGAMBILAN STRATEGI TERORISME Milla, Mirra Noor
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Membunuh warga sipil di luar wilayah konflik sebagai upaya jihad merupakan keputusan yang tidak manusiawi. Teori Keterbatasan Rasionalitas menganggap bahwa pengambil keputusan dibatasi oleh informasi yang kurang memadai tentang sifat dasar permasalahan dan solusi yang mungkin diperoleh, maka pengambil keputusan akan bersandar pada prinsip heuristik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana keyakinan agama yang dimiliki memberi pengaruh pada bias heuristik dalam proses penilaian dan pengambilan keputusan strategi terorisme sebagai jihad. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan utamanya adalah terpidana kasus terorisme di Indonesia yang telah mendapat putusan tetap pengadilan. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi yang diambil dari hasil wawancara, biografi dan catatan tentang kisah hidup dari para pelaku aksi terorisme di Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa: pertama, terdapat kepercayaan tentang sangat pentingnya melakukan jihad dalam Islam, yang representasinya diperoleh dari ayat-ayat Al Qur’an, hadist dan tarikh Islam, dan diyakini dengan kuat oleh pelaku aksi terorisme. Kedua, faktor situasional dan kontekstual berupa tekanan dari pemerintah yang menghalangi penerapan syariat Islam, penganiayaan terhadap umat Islam di berbagai penjuru dunia oleh kelompok non Islam, dan ketidakadilan dalam kondisi terbatasnya pilihan akan sumber daya menyebabkan mereka mengandalkan pada prinsip heuristik dalam penilaian dan pengambilan keputusan untuk melakukan jihad. Ketiga, terdapat cara memposisikan masalah yang bias, bias persepsi, terlalu percaya diri, serta terlalu cepat mencapai konsensus dan konformitas kelompok (groupthink). Keempat, terdapat perbedaan evaluasi diri dari para pelaku setelah ditangkap berdasarkan kompetensi dan pengetahuannya akan permasalahan secara keseluruhan. Pemimpin yang memiliki informasi lebih banyak tentang permasalahan yang dihadapi cenderung bertahan dengan keyakinannya dan tidak menyesali tindakannya dibanding partisipan atau anggota kelompok yang kurang memiliki informasi yang memadai tentang permasalahan ketika keputusan dibuat. Secara keseluruhan terdapat implikasi bahwa adanya keyakinan yang kuat yang mendasari pengambilan keputusan cenderung melahirkan bias heuristik yang sistematik daripada profitable.Kata kunci: bias heuristik, pengambilan keputusan, strategi terorisme
MENCAPAI KEBAHAGIAAN BERSAMA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK Prihartanti, Nanik
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa. Dalam masyarakat majemuk, adanya batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotype dan prasangka menghasilkan penjenjangan sosial secara primodial yang subjektif. Konflik-konflik antar etnik dan antar agama yang terjadi, pada dasarnya berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan jati diri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada. Dengan adanya stereotipe dan prasangka serta ideologi keetnikan, masyarakat menjadi lebih mudah saling cakar daripada berangkulan, lebih mudah saling curiga daripada saling mempercayai, lebih mudah bertengkar daripada bersahabat, lebih mudah menerjang daripada memberi jalan dan seterusnya. Berkaitan dengan masalah ini, ada baiknya kita terus mencoba berbagai macam pengetahuan untuk mewujudkan perdamaian masyarakat. Salah satu sumber pengetahuan yang bersifat natural, halus, dan mengajarkan rasa damai, persaudaraan, serta kebahagiaan, adalah ”kawruh jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram. Konsep pendekatan ukuran keempat dikenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai pendekatan yang mampu mempromosikan kebahagiaan bagi umat dalam hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat majemuk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan ukuran keempat (dimensi IV) itu seseorang yang ada pada tahapan tersebut selain mengerti diri sendiri, mengerti hukum-hukum alam, juga mengerti rasa (raos) orang atau pihak lain. Ukuran keempat adalah salah satu alat dalam rasa seseorang yang dapat dipergunakan untuk merasakan rasa orang lain.Bergaul dengan orang lain, berarti kita berhadapan dengan rasa atau perasaaan orang lain. Seseorang yang mulai menginjak dewasa semestinya mulai meninggalkan sifat-sifat egoistik dan memasuki keinginan-keinginan untuk berbuat baik bagi orang lain. Individu dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu keutuhan. Untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan bahagia di tengah masyarakat majemuk, hal yang pertama kali harus diusahakan adalah mendewasakan individu-individunya terlebih dahulu. Dewasa dalam arti mampu bertumbuh sampai pada identitas manusia tanpa ciri. Konsep hidup bahagia yang dimaksud Ki Ageng adalah hidup bahagia bersama. Bukan bahagia sendiri lalu orang lain tidak bahagia. Seseorang mustahil dapat hidup bahagia tanpa berusaha mendukung kebahagiaan orang lain. Dengan pendekatan ukuran keempat itu diharapkan tata kehidupan masyarakat menjadi lebih sehat dan bahagia. Pengembangan ukuran keempat diharapkan menyebabkan tata pergaulan menjadi lebih halus, penuh kasih sayang, sehat, dan indah.Kata kunci: stereotype, kawruh jiwa, ukuran keempat, Kramadangsa, juru catat.
MEMBANGUN BUDAYA DAMAI BERKESINAMBUNGAN: PENDEKATAN TEORI IDENTITAS SOSIAL, ETNOSENTRISME DAN PSIKOLOGI KOMUNITAS DI POSO, SULAWESI TENGAH Savitri, Setiawati Intan
Jurnal Psikologi Indonesia No 01 (2008): Jurnal Psikologi Indonesia No.1, 2008
Publisher : Jurnal Psikologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konflik di kabupaten Poso telah berlangsung berkepanjangan. Berdasarkan realitas tersebut, terciptanya budaya damai yang berkesinambungan adalah hal yang sangat didambakan terjadi di daerah konflik. Teori identitas sosial dan etnosentrisme memiliki pandangan yang unik terhadap relasi antar kelompok. Etnosentrisme melihat bahwa relasi antar kelompok umumnya terjadi karena kecenderungan kelompok memandang dirinya sebagai pusat dari segalanya sehingga terjadi in-group favouritism, dan menjadikan hal tersebut untuk mengukur hal-hal diluar kelompoknya, sehingga terjadi out-group derogation. Teori identitas sosial melihat bahwa individu cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan diri dalam kelompok sosial dan cenderung untuk mencari identitas sosial yang positif. Kedua teori ini merupakan salah satu cara untuk menjelaskan relasi kelompok yang memungkinkan terjadinya konflik dan dari teori tersebut pula dapat dikembangkan upaya intervensi untuk meredakan konflik. Intervensi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, membangun kontak yang kooperatif antar kelompok, kedua, melakukan perubahan struktur dari kategori sosial yang ada. Psikologi komunitas sebagai salah satu pendekatan dalam psikologi menjadi salah satu cara untuk menciptakan budaya damai, sebab dengan memperhatikan aspek-aspek yang dimiliki komunitas setempat, upaya perdamaian akan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang sedang berkonflik. Elemen-elemen penentu dalam penyelesaian konflik, yakni pemerintah, militer, dan masyarakat setempat, memiliki peran penting dalam pengembangan budaya damai dengan berdasarkan prinsip-prinsip intervensi psikologi sosial dan psikologi komunitas. Pemerintah berperan secara struktural untuk memahami masyarakatnya dan mengembangkan masyarakat, militer berperan sebagai pihak yang netral dan melindungi semua pihak, dan masyarakat diharapkan bersedia untuk menerima dan berpartisipasi dalam upaya-upaya perubahan menuju perdamaian.Kata kunci: budaya damai, identitas sosial, etnosentrisme, konflik, psikologi komunitas.

Page 1 of 1 | Total Record : 8