cover
Contact Name
Waldi Nopriansyah
Contact Email
waldi@stebisigm.ac.id
Phone
+6287735155355
Journal Mail Official
alahkam@walisongo.ac.id
Editorial Address
Faculty of Sharia and Law Jl. Prof. Hamka Kampus III Ngaliyan Semarang Jawa Tengah Indonesia Postalcode: 50185
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Al-Ahkam
Core Subject : Religion, Social,
Al-AHKAM; is a peer-reviewed journal published by the Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang in collaboration with the Indonesian Consortium of Shariah Scholars (KSSI). Al-AHKAM focuses on Islamic law with various perspectives. This journal, serving as a forum for studying Islamic law within its local and global context, supports focused studies of a particular theme and interdisciplinary studies. AL-AHKAM has been indexed in DOAJ, Google Scholar, and the Indonesia Ministry of Research, Technology, and Higher Education (SINTA 2 - SK No. 164/E/KPT/2021). AL-AHKAM has become a CrossRef Member since the year 2016. Therefore, all articles will have a unique DOI number.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 331 Documents
PROBLEMATIKA YURIDIS LEGISLASI SYARIAT ISLAM DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Fauzi, Mohammad
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada era reformasi diberi kewenangan kembali untuk melaksanakan syari‘at Islam. Kewenangan ini dijustifikasi dengan payung hukum berupa UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Payung hukum tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan Perda atau Qanun pada tingkat Provinsi NAD. Namun legislasi pelak­sanaan syari‘at Islam di Provinsi NAD mengandung problematika yuridis. Penentuan bentuk sanksi berupa cambuk dan kadar sanksi berupa penjara 1 (satu) atau 2 (dua) tahun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Problem lain adalah masih bertumpunya peradilan mahkamah syar‘iyyah pada Mahkamah Agung (MA) sebagai puncak peradilan. Upaya pembukaan kamar khusus MA di Provinsi NAD yang dipandang sebagai solusi agar tidak bertumpu pada MA, justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Demikian juga, kompetensi mahkamah syar‘iyyah khususnya dalam menangani perkara pidana masih kabur dan terjadi benturan dengan kompetensi Pengadilan Negeri.***Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) in the reform era is authorized returned to implement Shariah (Islamic law). Its authority is justified by the legal basis : Law No. 44 of 1999 on Privileges of Aceh, Law No. 18 of 2001 on Special Autonomy for the Province of Aceh as Nanggroe Aceh Darussalam, and Law No. 11 Year 2006 regarding the Government of Aceh. From this legal basis, then followed by the formulation of regulations (Qanun) at the provincial level. But legislation of implementing Shariah law in NAD contains problematic juridical. For instance: determining of sanctions, in the form of whipping and one or two years imprisonment, considered against legislation in higher level. Another problem is that syariyyah court positions still below on the Supreme Court (MA) as the highest court. The Efforts to open special room of Supreme Court in NAD is seen as a solution not to take it below on the Supreme Court, seen a contrary to the laws and regulations are higher. Likewise, the competence of syariyyah court particularly in handling a criminal cases is still obscure and there is a clash with the competence of the District Court.***Keywords: syariat Islam, Provinsi NAD, Mahkamah Syar’iyyah, yuridis
HUKUM ISLAM DAN MORALITAS DALAM MASYARAKAT MADANI Ihsan, Muhammad
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Tulisan ini bermaksud memberikan penegasan terhadap peran hukum Islam dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society) melalui revitalisasi nilai-nilai etika. Pemikiran deskriptif ini terasa sangat penting jika dikaitkan dengan kondisi bangsa yang tengah memasuki masa transisi dari masa orde baru menuju masa reformasi. Perubahan situasi politik secara ekstrim telah memicu setiap individu dan kelompok di negara ini menata kembali identitas diri dan orientasi hidup mereka, tanpa terkecuali kelompok Muslim. Umat Islam sangat antusias menyambut momentum ini untuk mewujudkan kembali cita-cita masyarakat madani melalui hukum Islam. Hukum Islam memiliki tujuan utama untuk mewujudkan dan memperbaiki moralitas manusia. Komitmen hukum Islam dalam mewujudkan etika dan moralitas ummat adalah melalui perumusan peraturan yang dilengkapi dengan sanksi hukuman. Upaya ini menjadi salah satu metode dan pendekatan oleh hukum Islam, sehingga nilai-nilai moralitas dimiliki oleh semua orang. Jika masyarakat mematuhi nilai-nilai moralitas, maka pada saat yang sama masyarakat sipil (civil society) akan terwujud.***This paper intends to provide confirmation of the role of Islamic law in the realization of civil society through the revitalization of ethical values. This descriptive thought was very important if it is associated with the condition of the country that was entering a period of transition from the new order to the reform period. Extreme changes in the political situation has triggered individuals and groups in this country rebuild their identity and orientation of their lives, without exception Muslim groups. Muslims are very excited on the occasion of this momentum to bring back the ideals of civil society through Islamic law. Islamic law has the main goal to achieve and improve human morality. The Islamic law has commitment to realize the ethics and morality of mankind through the formulation of rules that come with punitive sanctions. This effort became one of the methods and approaches to Islamic law, so that the moral values shared by everyone. If people adhere to the values of morality, then at the same time civil society  will be realized.***Keywords: Hukum Islam, moralitas, masyarakat madani, peradaban
REFORMASI HUKUM WAKAF DI INDONESIA - Studi terhadap Wakaf Hak Atas Kekayaan Intelektual Fikri, Dimas Fahmi
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjelaskan kebolehan benda bergerak sebagai objek wakaf, salah satunya adalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Ketentuan tersebut diperjelas dengan ketentuan pelaksana UU No. 41 Tahun 2004 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, yang menjelaskan bahwa objek wakaf benda bergerak dibedakan menjadi dua, yaitu wakaf benda bergerak selain uang, dan wakaf benda bergerak berupa uang. Adapun wakaf HAKI merupakan wakaf benda bergerak selain uang. Ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan fikih yang menjelaskan bahwa benda yang diwakafkan haruslah benda yang tidak bergerak. Penelitian ini lebih lanjut akan menjelaskan ketentuan hukum dan landasan filosofis diperbolehkannya wakaf HAKI menjadi objek wakaf yang sangat mungkin dilakukan di era modern ini. Pembahasan ini bertujuan membuat formulasi baru dari ketentuan wakaf yang penting untuk dibahas dengan pendekatan normatif terhadap sumber-sumber penelitian dari baik UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah dan UU terkait serta kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh yang relevan. Hasil penelitian ini menyajikan landasan epistemologis dan metodologis diperbolehkannya wakaf Hak Atas Kekayaan Intelektual.***Article 16 paragraph (3) of the Act No. 41 of 2004 on Waqf, describes the permissibility of movable properties as a waqf object. One of them is the Intellectual Property Rights (IPR). The provision is clarified by Government Regulation No. 42 of 2006, which explains that the waqf object of movable properties can be divided into two, namely waqf with movable properties other than money, and the form of cash waqf (waqf with money). The IPR is a kind of the first one. This provisions different from the provisions of Islamic jurisprudence which explains that the waqf object must be unmovable properties. This research will further explain the provisions of the law and the philosophical foundations of the permissibility of IPR ass the object of waqf in this modern era. This discussion aims to create a new formulation of the provisions of waqf with the normative approach to the research resources, such as Law no. 41 of 2004 on Waqf, government regulations, and related regulations as well as the books of fiqh and usul fiqh. The results of this study presents the epistemological and methodological foundation of Intellectual Property Rights (IPR) waqf.***Keywords: wakaf, Hukum Islam, HAKI, UU No. 41 Tahun 2004
URGENSI PENGAWASAN DALAM PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF Hasanah, Uswatun
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Namun demikian potensi wakaf tersebut belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Beberapa penyebabnya adalah: lemahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pencatatan wakaf, belum profesionalnya pengelolaan dan manajemen wakaf, terbatasnya nazir yang profesional serta pengawasan dan pengelolaan wakaf masih lemah. Oleh karena itu pengawasan menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan apalagi terhadap wakaf produktif. Suatu lembaga wakaf dalam hal ini nazhirnya harus bersedia untuk diaudit, karena nazhir merupakan orang yang berhak untuk  bertindak atas harta wakaf, baik  untuk mengurusnya, memeliharanya, mengembangkan dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya.  Di samping itu agar wakaf dapat dilaksanakan dengan baik dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan, maka pengawasan harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara aktif maupun pasif. Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan wakaf, pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen. Dengan pengawasan yang ketat dan baik diharapkan wakaf di Indonesia dapat dikelola dengan baik sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memperdayakan masyarakat.***Waqf is a Islamic economics social institution that has a very important role in the development of Indonesian society. However, the potential of the waqf has not been fully explored and developed. Some causes are: lack of public understanding of the importance of recorded waqf, its has not managed professionally, lack of professional nazir and weakness of supervision and management of waqf. Therefore, supervision becomes something absolutely necessary especially for productive waqf. The nadzir of waqf institutions must be willing to be audited, because nadzir is a person who have right to act on waqf property, also to take care of it, maintain it, develop and distribute the waqf revenue to people who deserve it. In addition, in order to manage waqf properly and accountability, supervision should be done by the government and society, active and passive. In performing supervision of waqf management, The government and society may ask some help to an independent public accounting firm. With tight and good supervision, waqf in Indonesia is expected to be managed more properly then the revenue can be used to empower society.***Keywords: wakaf, manajemen wakaf, pengawasan, wakaf produktif, nāẓir
ISLAM DAN DOKTRIN MILITERISME Fatwa, Ach. Fajruddin
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Islam adalah agama perdamaian. Menyandingkan Islam dengan militerisme sudah tentu membutuhkan suatu penjelasan yang memadai. Walaupun sejak awal keha­dirannya Islam telah mengalami beragam konflik fisik dan peperangan bukan berarti Islam memberikan perhatian berlebihan kepada pembentukan kekuatan militer sebagai bagian inherent dari kehidupan. Pembentukan militer dalam Islam lebih dikarenakan merespon banyaknya gangguan, tantangan dan serangan lawan. Orga­nisasi militer Islam ini tidak sepenuhnya tertata rapi. Perlahan tapi pasti organisasi militer menjadi lebih terorganisir, ramping dan efektif. Demikian juga, ketentuan Islam yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perang adalah bentuk kongkrit respon hukum Islam terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan. Tradisi militerisme yang berkembang merupakan respon kongkrit terhadap ancaman fisik yang menimpa kaum Muslimin. Oleh sebab itu, Islam secara sengaja telah membatasi peperangan dalam tiga bentuk konkrit, yaitu waktu dan lokasi peperangan yang terbatas serta adanya distingsi tegas perlakuan sipil militer dalam peperangan.***Islam is a religion of peace. To reconcile Islam with militarism would require an adequate explanation. Although since the beginning of its presence, Islam has experienced a variety of physical conflict and war, It does not mean that Islam gives excessive attention to the establishment of military force as an inherent part of life. Military establishment in Islam is due to respond to the many distractions, challenges and attacks of the opponent. Islamic military organization is not neatly arranged entirely. Slowly but sure, military organizations become more organized, slim and effective. Likewise, Islamic provisions that regulate matters relating to war is a form of Islamic law which is a real response to the social development. In addition military tradition that developed is a real response to physical threats that affecting Muslims. Therefore, Islam intentionally have limited warfare just in the three concrete forms: the time and location of a limited war as well as strict distinction in the treatment of military civil war.***Keywords: jihad, militer, perang, siyāsah
REDEFINISI HILĀL DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN ASTRONOMI Tuddar Putri, Hasna
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 1, April 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Penyatuan kalender Islam sangat dibutuhkan dan merupakan syarat utama bagi umat Islam saat ini dalam menjalankan ibadah. Keseragaman dalam beribadah dan merayakan hari besar Islam adalah sesuatu yang telah lama ditunggu. Harapan atas kalender Islam adalah sebuah kalender yang memiliki kepastian (akurasi) lebih baik dan lebih terorganisir untuk berbagai keperluan. Namun dalam realitas terdapat perbedaan pandangan tentang konsep bulan baru oleh beberapa kelompok, baik dari perspektif ilmu pengetahuan maupun agama. Hilal adalah salah satu sumber utama dalam penyusunan kalender Islam. Saat ini definisi bulan baru sangat beragam, padahal definisi inilah yang digunakan untuk penentuan awal bulan baru Hijriyah, baik dari sudut pandang fiqh astronomi atau kombinasi dari mereka. Artikel ini difokuskan untuk mendefinisikan kembali konsep bulan baru dari sudut pandang ilmu pengetahuan (astronomi) dan fiqh. Sinergi antara fiqh dan astronomi sebagai pendekatan untuk menentukan bulan baru Islam perlu diupayakan sebagai sebuah ikhtiar untuk merumuskan kesatuan kalender Islam.***Unification of the Islamic calendar was much needed and is a major requirement for Muslims today in the running of worship. Uniformity in to worship and celebrate Islamic holy days is something that has been long awaited. An expectation of the Islamic calendar is determining who has the certainty that a better and more organized for various purposes. However, it is in conflict with a different concept of the new moon from several groups paradigm respectively, both from the perspective of science and religion. Hilal is one of the main sources in the preparation of the Islamic calendar. Currently, the definition of the new moon is very diverse. Which definition is used for the initial determination new month of hijriyah, both from the perspective of astronomy or fiqh, or combination of them. Therefore, the article is devoted to the redefinition of the concept of the new moon from the perspective of science and fiqh, that synergy occurs between fiqh and the astronomical new moon to determine new month of Islam. So that the unity of the Islamic calendar can be realized well.***Keywords: kalender hijriyah, hilāl, astronomi, fikih
PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM Fanani, Akhwan
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Hukum akan selalu berkembang dan berdialektika dengan dinamika sosialnya. Coulson melihat bahwa dinamika hukum Islam terjadi melalui upaya penafsiran kembali sumber-sumber Islam ketika ada kesenjangan antara teori dengan praktek. Dengan pendekatan historis Coulson memetakan perkembangan hukum Islam sehingga ia membuat enam rumusan dialektika hukum Islam yang merupakan sebuah pembacaan yang mendalam dalam melihat sejarah perkembangan hukum Islam. Menurut Coulson hukum Islam bersifat idealistik dan jauh dari realitas sosial dan apa yang ia inginkan adalah hukum Islam ditentukan oleh fakta-fakta sosial dan direduksi sebagai hukum buatan manusia. Proposisi-proposisi Coulson berangkat dari penelitian empiris mengenai sejarah perkembangan hukum Islam. Rumusan-rumusan Coulson dapat digunakan untuk lebih memahami realitas perkembangan hukum Islam, sehingga umat Islam bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah perkembangan hukum Islam dan perspektif keilmuan. Hal itu bisa dipergunakan untuk melakukan introspeksi bagi umat Islam guna mengembangkan pemikiran hukum Islam lebih lanjut dan sesuai dengan perkembangan sosial yang ada. Paper ini bermaksud untuk mereview secara kritis pemikiran Coulson tersebut.***Law will always evolve and dialectic with social dynamics. Coulson see that the dynamics of the Islamic law occurs through the efforts of reinterpretation of Islamic sources when there is a gap between theory and practice. With a historical approach, Coulson mapped the development of Islamic law so that he made six dialectic formulation of Islamic law which is an in-depth reading in seeing the historical development of Islamic law. According to Coulson, Islamic law is idealistic and away from social reality. Islamic law is determined by social facts and reduced as a man-made law. Coulson’s propositions departed from empirical studies of the historical development of Islamic law. Coulson formulas can be used to understand further the reality of the development of Islamic law, so Muslims can understand what really happened in the history of Islamic law and scientific perspective. It can be used to perform introspection for Muslims to develop further the Islamic legal thought and in accordance with the existing social development. This paper intends to review critically the ideas of Coulson.***Keywords: dialektika, Hukum Islam, conflict and tension, ijtihād
KAJIAN EPISTIMOLOGIS ILMU USHUL FIQH - Studi terhadap Pemikiran Abū Isḥāq Ibrāhīm al-Shīrazī al-Al-Fayrūz Abādī Tajrid, Amir
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Artikel ini bermaksud melakukan kritik epistimologis terhadap Kitab al-Luma’ yang ditulis oleh Abū Isḥāq Ibrāhīm al-Shīrazī al-Al-Fayrūz Abādī (al-Shīrazī). Tulisan ini, secara deskriptif berusaha menggali dan mengkritisi karakteristik dan pengetahuan mengenai ilmu ushul fiqh yang terkandung di dalamnya. Beberapa catatan penting terhadap kitab ini adalah: pertama, pemikiran ushul fiqh al-Shīrazī dalam Kitab al-Luma’ ditulis pada era keemasan karya-karya ushul fiqh, sehingga metode dan pokok-pokok pemikiran ushul fiqh al-Shīrazī menjadi inspirator generasi berikutnya. Kajian materi ushul fiqh didasarkan pada metode para tokoh pendahulunya, terbukti pada dominasi metode komparatif yang digunakan ketika mengetengahkan materi ushul fiqh dari beberapa tokoh ushul fiqh yang berbeda pandangan. Kedua, al-Shīrazī termasuk dalam barisan ahli ushul mutakallimin yang mempunyai pemikiran orisinil dan merdeka. Kritik tajam yang dilancarkan mengajak para pihak untuk tidak condong terhadap madzhab fiqh tertentu. Oleh karena itu penyajian pemikiran ushul fiqh al-Shīrazī dalam al-Luma’ lebih bersifat kalamī, karena bangunan argumentasi yang melibatkan unsur-unsur kalam dan mengedepankan logika menjadi alat dalam menilai dan mengukur kebenaran ilmu ushul fiqh. Ketiga, al-Luma’ telah memenuhi dasar-dasar ilmu pengetahuan baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.***This article intends to conduct epistemological critique of the Book “al-Luma” that  written by Abū Ibrāhīm al-Shirazi Ishaq al-Al-Fayruz Abadi (al-Shirazi). This paper, is trying to explore and criticize the characteristics and knowledge of ushul fiqh that contained in. There are some important notes: first the thinking of al-Shirazi on ushul fiqh is written in the golden era of ushul fiqh works, that makes the methods and subjects of thought of al-Shirazi on ushul fiqh became inspiration for the next generation. Study of content of ushul fiqh is based on the its method of predecessor leaders. This is proved by the dominance of the comparative method which is used when explores ushul fiqh of several different leaders view. Second, al-Shirazi included as experts of ushul, which has original thinking and independent. A sharp criticism launched, invite the parties to be impartial towards certain schools of thought . Therefore the presentation of ideas al-Shirazi on ushul fiqh is in the sense of Kalami, because the arguments are built from elements of kalam and prioritize the logic as a tool in assessing and measuring the truth  of ushul fiqh. Third, al-Luma has fulfilled the basics of science both in ontology, epistemology, and axiology.***Keywords: uṣūl al-fiqh, al-Luma’, epistemologi, al-Shīrazi
REKONSTRUKSI IJTIHĀD DALAM ILMU UṢŪL AL-FIQH Rokhmadi, Rokhmadi
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Al-Qur’an maupun sunnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan ijtihād. Ijtihad sangat dibutuhkan pada setiap istinbāṭ hukum dari dalil nash, sekalipun dalil nash tersebut bersifat qaṭī yang oleh para uṣūliyyūn sudah disepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil nash yang sudah bersifat qaṭī sekalipun oleh sebagian besar uṣūliyyūn, belum tentu dipandang qaṭī oleh sebagian uṣūliyyūn yang lain. Rekonstruksi ijtihad menjadi sebuah alternatif, dengan beberapa pertimbangan: Pertama, berat dan ketatnya persyaratan-persyaratan menjadi seorang mujtahid, yang hampir tidak mungkin dikuasai oleh seseorang pada masa sekarang; Kedua, semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh ummat yang sangat mendesak untuk mendapatkan solusi; Ketiga, membiarkan satu periode tanpa ijtihad (kevakuman mujtahid) adalah bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang selalu sāliḥ li kulli zamān wa makān. Tulisan ini hadir untuk mendiskusikan lebih jauh tentang urgensi rekonstruksi ijtihad dalam menghadapi tantangan modernitas.***Al-Quran and sunnah, needs of understanding and extracting optimally, so that the contents of law can be applied for the benefit of people. The way- to understand and to extract the contents in these two sources- called ijtihād. Thus, ijtihad is needed on istinbāṭ of law from many arguments of the texts (nash), eventhough it is qathiy in which the uṣūliyyūn have agreed that it is not the area for re-extracting to the law (ijtihadiyah). The problem in this case is that even a qaṭ’ī argument according to the most of uṣūliyyūn has not been qaṭ’ī argument in the other uṣūliyyūn opinion. Reconstruction of ijtihad becomes an alternative, with some considerations: First, weight and tightening the requirements to become a mujtahid, which is almost impossible controlled by someone at the present time; Second, the increasing complexity of the problems faced by the ummat which is very urgent to get the solution; Third, let the period without ijtihād (vacuum of mujtahid) is contrary to the basic principles of Islamic law are always sāliḥ li kulli zamān wa makān. This paper present to discuss further about the urgency of the reconstruction of ijtihad in the challenge of modernity.***Keywords: ijtihād, qaṭī, ẓannī, uṣūl al-fiqh
REKONSTRUKSI MAKNA MURTAD DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Rahman ibn Smith, Abdrurr
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Riddah dimaknai oleh ulama fiqh sebagai orang yang keluar dari Islam. Hukumannnya adalah dibunuh berdasarkan hadits “man baddala dīnahu faqtulūh.” Pemahaman tersebut berbeda dengan gambaran al-Qur’an dalam ayat-ayat terkait yang justru memberikan hukuman yang tidak satu pun bersifat fisik, melainkan non fisik. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut adalah: al-Hajj: 11, al-Maidah: 54, al-Nahl: 106, al-Nisa: 137, ali Imran: 86, dan al-Baqarah: 217. Telaah atas ayat-ayat al-Quran tersebut menunjukkan bahwa tidak satu pun teks secara ṣāriḥ-lafẓiyyah yang mengarah kepada sikap agresif dan emosional terhadap pelaku riddah. Sebaliknya, al-Qur’an menegaskan sanksinya bersifat eskatalogis; dan menegasikan sanksi fisik. Penelitian kualitatif ini menawarkan upaya rekonstruksi makna riddah dan implikasi hukumnya. Dengan pendekatan historis, yuridis filosofis, ideologis dan komparatif terhadap makna yang terdapat dalam al-Qur’an, hadits, dan sosio-historis yang terkait dengan riddah, rekonstruksi terhadap makna riddah semestinya menjadi lebih humanis, komprehensif dan sesuai maqasid syari’ahnya.***Riddah interpreted by fuqaha as those who leave Islam. The punishment was killed based on hadith “man baddala dīnahu faqtulūh.” That understanding is different from the description of the Quran in the related verses that actually gives punishment neither physical, but non-physical. Those verses are: al-Hajj: 11, al-Maidah: 54, al-Nahl: 106, al-Nisa: 137, ali Imran: 86, and al-Baqarah: 217. Study of the verses of the Qur’an shows that none of the text with ṣāriḥ-lafẓiyyah approach that lead to aggressive and emotional attitude to the suspect of riddah. On the other hand the Qur’an asserted that the type of the punishment is eskatalogic; and negates physical punishments.This qualitative research will intends to make reconstruction of riddah meaning and its legal implications. With a historical approach, juridical, philosophical, ideological and comparative of the riddah meaning contained in the Koran, hadith, and socio-historical perspective, then the reconstruction of the meaning of riddah should be understood to be more humane, comprehensive, and in accordance with maqāsid sharīah.***Keywords: riddah, jināyah, implikasi hukum, sanksi hukum

Page 1 of 34 | Total Record : 331