cover
Contact Name
Rizky Abdulah
Contact Email
r.abdulah@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
editorial@ijcp.or.id
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
ISSN : 23375701     EISSN : 2337 5701     DOI : -
Core Subject :
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy (IJCP) is a scientific publication on all aspect of clinical pharmacy. It published 4 times a year by Clinical Pharmacy Master Program Universitas Padjadjaran to provide a forum for clinicians, pharmacists, and other healthcare professionals to share best practice, encouraging networking and a more collaborative approach in patient care. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy is intended to feature quality research articles in clinical pharmacy to become scientific guide in fields related to clinical pharmacy. It is a peer-reviewed journal and publishes original research articles, review articles, case reports, commentaries, and brief research communications on all aspects of Clinical Pharmacy. It is also a media for publicizing meetings and news relating to advances in Clinical Pharmacy in the regions.
Arjuna Subject : -
Articles 484 Documents
Evaluasi Nilai Antigen Squamous Cell Carcinoma Pasien Kanker Serviks Sel Skuamosa Stadium II B–III B yang Menerima Kemoterapi Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Cisplatin Noviyani, Rini; Suwiyoga, Ketut; Puspa, Intan; Budiana, Nyoman; Tunas, Ketut
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.589 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2015.4.2.106

Abstract

Kemoterapi Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Cisplatin (BOMP) merupakan salah satu tatalaksana terapi untuk kanker serviks. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi respons kemoterapi regimen BOMP pada pasien kanker serviks sel skuamosa stadium IIB–IIIB dengan antigen SCC. Pada penelitian potong lintang prospective ini diperoleh 12 pasien kanker serviks yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil dengan metode consecutive sampling. Pemeriksaan kadar antigen SCC dilakukan dengan cara mengambil darah pasien sebelum kemoterapi BOMP seri pertama dan sesudah kemoterapi BOMP seri ketiga kemudian diperiksa dengan alat ARCHITECT SCC assay. Data dianalisis menggunakan paired test dengan interval kepercayaan 95%. Terdapat penurunan rerata nilai antigen SCC pada penderita kanker serviks tipe sel skuamosa setelah tiga seri kemoterapi BOMP meskipun penurunan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Perbedaan yang tidak bermakna secara statistik ini mungkin disebabkan kurangnya jumlah pasien yang digunakan. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh dokter sebagai pertimbangan untuk melanjutkan kemoterapi BOMP hingga seri keenam sesuai dengan prosedur yang diberlakukan dengan pemantauan rutin terhadap kondisi pasien khususnya nilai antigen SCC untuk untuk memprediksi prognosis dan respons kemoterapi.Kata kunci: Antigen SCC, BOMP, kanker serviks sel skuamosa, kemoterapi, stadium IIB–IIIBEvaluation of Squamous Cell Carcinoma Antigen Value in Stadium IIB–IIIB Squamous Cell Cervical Cancer Patients which Receiving Bleomycin, Oncovin®, Mitomycin, and Cisplatin ChemotherapyBleomycin, Oncovin®, mitomycin, and cisplatin (BOMP) chemotherapy is one of the management of cervical cancer therapy. The aim of this study was to evaluate the response to BOMP chemotherapy regimens in patients squamous cell cervical cancer stage IIB-IIIB using SCC antigen. In this prospective cross sectional study was obtained 12 cervical cancer patients who met the inclusion criteria, which is taken by using consecutive sampling method. Examination of SCC antigen levels was conducted by taking a patient’s blood before the first series and after the third series of BOMP chemotherapy, then further examined by ARCHITECT SCC assay. Data were analyzed using paired test with 95% confidence intervals. Statistical analysis showed that there were a decrease in the average value of SCC antigen in patients with squamous cell cervical cancer types after 3 series of BOMP chemotherapy although this reduction was not statistically significant (p>0.05). The differences are not statistically significant is probably due to insufficient number of patients used in this study. The doctor may consider to continue chemotherapy until the sixth series in accordance with the procedures by routine monitoring of the patient’s condition, especially SCC antigen values for predicting the prognosis and response of chemotherapy.Key words: BOMP, chemotherapy, SCC antigen, squamous cell of cervical cancer, stadium IIB–IIIB
Peresepan Obat Pasien Penyakit Dalam Menggunakan Indikator Peresepan World Health Organization Destiani, Dika P.; Susilawati, Susilawati
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 2, No 4 (2013)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (565.068 KB)

Abstract

Ilmu penyakit dalam merupakan cabang ilmu kedokteran yang harus memberikan pelayanan komprehensif dengan pendekatan yang bersifat holistik. Pendekatan holistik dalam menegakkan diagnosis dengan melihat gejala-gejala yang timbul sehingga memungkinkan peresepan obat yang banyak dan memungkinkan terjadinya polifarmasi. Penelitian ini bertujuan untuk memantau penggunaan obat spesialis penyakit dalam dengan menggunakan lima indikator peresepan berdasarkan guideline WHO yaitu jumlah obat per lembar resep, penggunaan obat generik, antibiotik, sediaan parenteral, dan obat esensial. Pengumpulan data resep rawat jalan spesialis penyakit dalam diambil secara retrospektif pada periode Januari–Maret 2013 di salah satu fasilitas pelayanan kesehatan di Bandung. Dari 186 lembar resep dengan 567 permintaan obat didalamnya diperoleh rata-rata jumlah obat per lembar yaitu3,05 permintaan obat per lembar. Penggunaan obat generik sebesar 23,63% dari 567 obat. Persentase penggunaan antibiotik dan sediaan parenteral sebesar 17,20% dan 4,84% dari 186 lembar resep, sedangkan penggunaan obat esensial sebesar 36,86% dari 567 obat yang diresepkan. Hasil studi menyatakan tidak terjadi polifarmasi pada fasilitas kesehatan tempat studi berlangsung. Penggunaan obat generik dan esensial masih rendah. Selain itu diketahui tidak ada penyimpangan (misuse) penggunaan antibiotik dan sediaan injeksi, sehingga mengurangi kejadian resistensi antimikroba di masyarakat.Kata kunci: Penyakit dalam, indikator peresepan, polifarmasi, resistensiAssesment of Drug Use in Internal Medicine Patients using World Health Organization IndicatorsInternal medicine is the branch of medicine that should provide comprehensive knowledge of disease with a holistic approach. Holistical approach done by developing symptoms and signs for diagnostic and it would be polypharmacy. This study aimed to evaluate drug use by the internal medicine using five prescribing indicators WHO guideline such as average number of drugs per encounter, percentage of drugs prescribed by generic name, percentage of encounters with an antibiotics and injection prescribed, and drugs prescribed from essential drugs list or formulary. Outpatient prescription of internal medicine period Januari to Maret 2013 in one of health facilities in Bandung collected retrospectively. Average number of drugs per encounter was gained by dividing 567 drugs with 186 prescription. Percentage of using generic drugs was 23,63%, antibiotics and injection drugs were 17,20% and 4,84% per encounters, whereas percentage of drugs prescribed from essential drugs list was 36,86%. The result showed that the usage of generic drugs and essential drugs are low and should be improved. Furthermore, there are no misuses usage of antibiotics and injection, thereby can minimize antimicrobial resistances.Key words: Internal medicine, prescribing indicator, polypharmacy, resistances
Imunoekspresi Poly (ADP-Ribose) Polymerase sebagai Petanda Kemoresisten pada Karsinoma Ovarium Westiningrum, Retno; Usman, Hermin A.; Yulianti, Herry; Hernowo, Bethy S.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.33 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2018.7.2.115

Abstract

Karsinoma ovarium merupakan keganasan kelima terbanyak dan penyebab kematian ginekologi pertama di dunia. Kemoterapi merupakan modalitas terapi utama karsinoma ovarium dengan stadium lanjut setelah dilakukan pembedahan. Poly (ADP-Ribose) Polymerase (PARP) dan B cell Lymphoma-2 (Bcl-2) merupakan petanda imunohistokimia yang berfungsi dalam proses DNA repair dan anti-apoptosis yang merupakan bagian dari lingkaran mekanisme kerja regimen kemoterapi pada sel tumor. Oleh karena itu dua mekanisme tersebut dianggap memegang peranan penting terhadap terjadinya resisten kemoterapi bahkan rekurensi. Tujuan penelitian ini adalah melihat hubungan imunoekspresi PARP dan Bcl-2 dengan respons kemoterapi pada karsinoma ovarium. Penelitian ini menggunakan desain analisis observasi secara potong lintang dengan menggunakan blok parafin pasien yang didiagnosis sebagai karsinoma ovarium selama periode tahun 2012−2015 di Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Jumlah sampel sebanyak 58 kasus yang terdiri atas 30 kasus kemoterapi sensitif dan 28 kasus kemoterapi resisten, keseluruhan sampel dilakukan pulasan imunohistokimia PARP dan Bcl-2. Analisis data menggunakan uji Chi-Square dengan taraf signifikansi 5%. Hasil dari penelitian ini adalah 60% sampel terekspresi PARP kuat dengan proporsi terbesar pada kelompok resisten (p=0,001) dan 74% sampel terekspresi Bcl-2 lemah dengan proporsi sama pada tiap kelompok respon kemoterapi (p=0,45). Respons kemoterapi sangat dipengaruhi oleh proses DNA repair yang dapat dinilai dengan pemeriksaan imunoekspresi PARP. Semakin tinggi imunoekspresi PARP maka semakin tinggi kemampuan DNA repair sehingga semakin tinggi kemungkinan kemoterapi resisten.Kata kunci: Bcl-2, karsinoma ovarium, kemoterapi, PARP Poly (ADP-Ribose) Polymerase Immunoexpression as Chemoresistance Marker in Ovarian CarcinomaAbstractEpithelial ovarian cancer (EOC) is the fifth most common cancer and the main cause of gynecological cancer death worldwide. Chemotherapy is the main therapy in advanced stage of EOC. Poly (ADP-Ribose) Polymerase (PARP) dan B cell Lymphoma-2 (Bcl-2) are immunohistochemistry markers that represent influential factors in chemotherapy response which have roles in DNA repair and anti-apoptosis. The aim of this study was to review the correlation between PARP and Bcl-2 expression with chemotherapy response in EOC. This research was performed as analytic-observational with cross-sectional design using paraffin block of patients diagnosed as EOC in 2012–2015 at Anatomical Pathology Department, Hasan Sadikin Hospital Bandung. Total sample was 58 cases which were divided into chemotherapy sensitive and resistant. All samples were stained by immunohistochemistry PARP and Bcl-2 and analysed using Chi-Square test with significant level of 5%. The results of this study showed that 60% of all samples have strong PARP expression whereas the largest proportion is in chemotherapy resistant group (p=0.001) and 74% of all samples have weak Bcl-2 expression in each group (p=0.45). The conclusion of this study in chemotherapy response was influenced by PARP. Higher PARP immunoexpression showed higher tumour cell ability to repair DNA and higher chemotherapy resistance.Keywords: Bcl-2, chemotherapy, EOC, PARP
An Urinary Excretion Profile of 500 mg Ascorbic Acid in Healthy Adults Mutakin, Mutakin
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (563.069 KB)

Abstract

High doses of ascorbic acid have been commercially available as adjuvant. However, the pharmacologicalimportance of this supplement is yet questionable. The aim of this study is to investigate the 24 hours excretion profile of ascorbic acid after oral administration of 500 mg single dose in healthy volunteer. The urine samples were collected at 2, 4, 6, 8, and 24 hours after administration. The samples were extracted with trichloroacetic acid, followed by colorimetric measurement. The excretion profile showed a curve with concentrations of 14.4, 15.2, 15.6, 14.9, and 14.2% at 2, 4, 6, 8, and 24 hours, respectively. This suggests that 74.3% of ascorbic acid to be excreted via urine as an excessive amount and a high adjuvant dosage should be reconsidered.Key words: Ascorbic acid, oral administration, single dose, excretion profileProfil Ekskresi 500 mg Asam Askorbat dalam Saluran Urin pada Orang Dewasa SehatAbstrakAsam askorbat dosis tinggi telah tersedia secara komersil sebagai suplemen. Akan tetapi, kegunaan secara farmakologi pada suplemen ini masih dipertanyakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil ekskresi asam askorbat selama 24 jam setelah pemberian oral 500 mg dosis tunggal pada sukarelawan sehat. Sampel urin dikumpulkan pada jam ke-2, 4, 6, 8, dan 24 setelah pemberian. Sampel diekstraksi dengan asam trikloroasetat lalu diukur dengan metode kolorimetri. Profil ekskresi menunjukkan bahwa terbentuk kurva pada konsentrasi secara berurutan 14,4; 15,2; 15,6; 14.9; dan 14,2% pada jam ke-2, 3, 6, 8 dan 24. Hal ini menunjukkan bahwa 74,3% asam askorbat diekskresikan melalui urin dalam jumlah besar dan pemakaian dosis tinggi suplemen seharusnya dipertimbangkan.Kata kunci: Asam askorbat, pemberian oral, dosis tunggal, profil ekskresi
Korelasi Antropometri terhadap Profil Lipid pada Masyarakat Pedesaan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Hendra, Phebe; Virginia, Dita Maria; Fenty, Fenty; Widayati, Aris
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (612.501 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2017.6.2.107

Abstract

Prevalensi abnormalitas profil lipid cukup besar pada masyarakat pedesaan. Pengukuran profil lipid (kolesterol total (KT), low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan trigliserida (TG)) di laboratorium membutuhkan implementasi teknologi kesehatan sedangkan di daerah pedesaan kurang tenaga medis dan permasalahan ekonomi. Pengukuran antropometri yang mudah, tidak invasif, ekonomis, dan dapat dilakukan oleh tiap individu diharapkan dapat memprediksi abnormalitas profil lipid bagi masyarakat pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi korelasi pengukuran antropometri dengan abnormalitas profil lipid di daerah pedesaan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang. Pengukuran antropometri meliputi Body Mass Index (BMI), lingkar pinggang (LP), dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP). Kriteria inklusi adalah penduduk Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta berumur 40–60 tahun, tidak ada riwayat penyakit kardiometabolik, tidak edema, dan konsumsi obat-obatan terkait kardiometabolik. Lokasi penelitian dipilih menggunakan klaster random sampling. Sampel penelitian dipilih secara purposive sampling dan diperoleh besar sampel 100 responden. Analisis data menggunakan Kolmogorov-Smirnov, Mann-Whitney, dan Spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi antara BMI (r= –0,286; p=0,044), LP (r= –0,410; p=0,003), dan RLPP (r= –0,365; p=0,009) terhadap HDL pada kelompok wanita. Terdapat juga korelasi antara BMI (r=0,325; p=0,021), LP (r=0,394; p=0,005), dan RLPP (r=0,368; p=0,009) terhadap trigliserida pada kelompok wanita. Terdapat korelasi antara BMI terhadap KT (r=0,285;p=0,045), LDL (r=0,344;p=0,014), dan TG (r=0,446; p=0,001). Parameter LP pria memiliki korelasi terhadap HDL (r= –0,355; p=0,011) dan TG (r=0,488; p=0,000). Parameter RLPP pria memiliki korelasi terhadap seluruh profil lipid; terhadap KT (r=0,287; p=0,043), LDL (r=0,338; p=0,016), HDL (r=0,316; p=0,025), dan TG (r=0,359; p=0,011). Kesimpulan, pada kelompok wanita pengukuran anthropometri memiliki korelasi terhadap HDL dan TG, sedangkan parameter RLPP lebih sensitif pada kelompok pria.
Hubungan Kepatuhan Menggunakan Obat Inhaler β2-Agonis dan Kontrol Asma pada Pasien Asma Haryanti, Sri; Ikawati, Zullies; Andayani, Tri M.; Mustofa, Mustofa
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 5, No 4 (2016)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.089 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2016.5.4.238

Abstract

Asma tetap menjadi masalah kesehatan yang dialami banyak anak-anak dan orang dewasa di dunia. Sebagai penyakit kronis, tata laksana asma memerlukan pengobatan yang berkelanjutan. Salah satu masalah penting dalam tata laksana asma adalah kepatuhan dalam pengobatan. Kepatuhan yang rendah terhadap anti-asma yang diberikan menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hubungan kepatuhan terhadap anti-asma yang diberikan dengan kontrol asma. Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan rancangan potong lintang yang dilakukan di empat rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta selama enam bulan, yaitu antara bulan Juni sampai Desember 2015. Subjek penelitian adalah pasien dengan gangguan fungsi pernafasan yang menjalani pengobatan di poliklinik penyakit dalam di rumah sakit tersebut dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan. Kepatuhan diukur dengan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kontrol asma diukur dengan Asthma Control Test (ACT). Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengkaji hubungan antara kepatuhan dan kontrol asma. Total sebanyak 67 pasien diseleksi dan 57 diantara memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan kepatuhannya, pasien dikelompokkan ke dalam kepatuhan sedang (31 pasien atau 54%) dan kepatuhan rendah (26 pasien atau 46%). Berdasarkan kontrol asma, pasien dikelompokkan ke dalam kontrol asma sebagian (11 pasien atau 19%) dan tidak terkontrol asma (47 pasien atau 81%). Terdapat hubungan signifikan antara kepatuhan dengan kontrol asma (r=0,303, p<0,05). Kesimpulan, kepatuhan terapi dapat meningkatkan kontrol asma.Kata kunci: Anti-asma, kepatuhan, kontrol asma, tata kelola asmaRelationship Between Compliance of Using β2-Agonist Inhaler Drugand Asthma Control on Asthma Patient Asthma remains a health problem affecting a large number of children and adult in the world. Being a chronic disease, asthma management requires continous medications. One of the most important issues in asthma management is adherence to treatment. Poor compliance with prescribed anti-asthma leads to increase in morbidity and mortality. This study was conducted to evaluate the relationship between ompliance prescribed anti-asthma and asthma control. This was an observasional study using cross-sectional design conducted in four hospitals around Province of DI Yogyakarta during six months om June until December 2015. Subjects were patients with respiratory disorders who underwent treatment in internal medicine polyclinic in the hospitals, met the inclusion and exclusion criteria and willing to participate in the study by signing the informed consent. Compliance was assesseed by Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) and asthma control was assessed by Asthma Control Test (ACT). Pearson’s correlation test was used to evaluate the relationship between compliance and asthma control. A total of 67 patients were selected and 57 of them met the inclusion and exclusion criteria. Based on the patient’s compliance, the patients were grouped into moderate compliance (31 patients or 54%) and low compliance (26 patients or 46%). Whereas based on the asthma control, the patients were grouped into partly controlled asthma (11 patient or 19%) and uncontrolled asthma (47 patients or 81%). There is a significant relationship between compliance with asthma control (r=0303, p<0.05). Conclusion, compliance can increase asthma control.Keywords: Anti-asthma, asthma control, asthma management, compliance
Kajian Perilaku Swamedikasi Penderita Tukak Peptik yang Mengunjungi Apotek di Kota Pontianak Untari, Eka K.; Nurbaeti, Siti N.; Nansy, Esy
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.046 KB)

Abstract

Praktek swamedikasi saat ini semakin sering dianggap sebagai bagian dari perawatan sendiri. Tukak peptik merupakan salah satu keluhan minor yang dapat diatasi dengan swamedikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi, perilaku, dan kesesuaian praktek swamedikasi pada tukak peptik atau gejala yang berkaitan. Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang mengunjungi Apotek di Kotamadya Pontianak (Kalimantan Barat). Penelitian ini merupakan survei potong lintang yangmenggunakan kuesioner dengan menyertakan 98 orang dewasa yang melakukan swamedikasi pada tukak peptik atau keluhan yang berkaitan. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 67,3% praktek swamedikasi pada tukak peptik telah tepat, 66,3% subjek menggunakan golongan antasida untuk mengatasi keluhannya, 6,1% subjek masih menggunakan antibiotik,dan hanya 27,6% mendapatkan informasi yang memuaskan mengenai Obat Tanpa Resep (OTR). Praktek swamedikasi pada tukak peptik sering dilakukan, tetapi beberapa praktek dapat menjadi berbahaya, sehingga terdapat kebutuhan untuk memastikan praktek swamedikasi yang aman.Kata kunci: Perilaku, tukak peptik, Pontianak, prevalensi, swamedikasiBehavioral Studies Peptic Ulcer Patients Self-Medication by Visiting Pharmacy in PontianakSelf-medication practices is now considered as a component of self-care. Gastric ulcer is one of minor symptom that can be treated by self-medication. The aim of this study was to determine the prevalence, behavior, and appropriateness of self-medication practice for gastric ulcer or its related symptom amongst population. The population of this study attended community pharmacies in Pontianak of WestBorneo province. This study was a cross sectional survey involving 98 adults who did self-medication on peptic ulcer or its related symptom. This study was conducted in 2010. The result of showed that 67.3% of gastric ulcer self-medication practice was appropriate; 66.3% subject used antacida class to treat the symptom; 6.1% participant however, still used antibiotic; and only 27% subject satisfied with the information given during self-medication process. Although self-medication practice for gastric ulcerwas often done, some practice might be harmful. Thus, there is a need to educate the community toensure its safe practices.Key words: Behavior, gastric ulcer, Pontianak, prevalence, self-medication
Profil Penggunaan Antibiotik Pascapencanangan Penerapan Program Pengendalian Resistensi Antibiotik di Intensive Care Unit Rumah Sakit TNI-AL dr. Ramelan Surabaya Setiawan, Stefanie; Widyati, Widyati; Harijono, Pandu
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (503.773 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2018.7.1.30

Abstract

Program Pengendalian Resistensi Antibiotik (PPRA) merupakan program wajib rumah sakit Indonesia sesuai Permenkes No. 8 tahun 2015. Rumkital dr. Ramelan Surabaya termasuk salah satu rumah sakit yang telah menerapkan PPRA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kuantitatif-kualitatif pemakaian antibiotik, serta luaran klinis dan mikrobiologis yang teramati pascapencanangan penerapan PPRA di ICU Rumkital dr. Ramelan Surabaya. Desain penelitian adalah studi observasi cross-sectional yang dilakukan selama 3 bulan (Februari–Mei 2016) di ICU Rumkital dr. Ramelan. Deskripsi kuantitatif diamati menggunakan Days of Therapy (DOT/100 hari-pasien), deskripsi kualitatif menggunakan alur Gyssens. Pengamatan luaran klinis dilakukan terhadap infeksi nosokomial, mortalitas terkait infeksi, dan lama tinggal di ICU (Length of Stay/LOS). Pengamatan luaran mikrobiologis dilakukan terhadap pola penyebaran bakteri multiresisten. Hasil perhitungan jumlah konsumsi antibiotik didapatkan 151,63 DOT/100 hari-pasien. Penilaian kualitas antibiotik menunjukkan hasil 52,73% terapi tepat; 8,18% tidak tepat; 7,27% tanpa indikasi; 31,82% tidak tercapai kesepakatan antar penilai (κ=0,59; p<0,05). Infeksi nosokomial terbanyak yaitu Hospital Acquired Pneumonia (HAP)/Ventilator Associated Pneumonia (VAP), mortalitas terkait infeksi 44,68%; dan LOS rata-rata 7,17±1,9 hari (p<0,05). Belum ditemukan adanya insiden Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ataupun Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), namun ditemukan dua kasus Multi Drug Resistant (MDR) Acinetobacter baumannii.Kata kunci: Alur Gyssens, DOT, ICU, PPRA, resistensi antibiotik Antibiotic Usage Profile after Antibiotic Stewardship Program Implementation in Intensive Care Unit of dr. Ramelan Naval Hospital SurabayaAntibiotic Stewardship Program (ASP) is mandatory to all Indonesian hospitals, in accordance to the 2015 Minister of Health Decree No. 8. Dr. Ramelan Naval Hospital Surabaya is one among the many hospitals in Indonesia that has implemented the ASP. The study objective was to describe quantitative-qualitatively the use of antibiotics, along with clinical and microbiological outcomes observed in an Intensive Care Unit (ICU) after ASP implementation in dr. Ramelan Naval Hospital Surabaya. The design was a 3-month (February–May 2016) cross-sectional observational study. Quantitative description was reported using Days of Therapy (DOT)/100 patient-days, the qualitative description was reviewed using Gyssens’ flowchart. Clinical outcomes observed include nosocomial infection, infection-related mortality, and average length of stay (LOS). Microbiological outcome was observed through the occurences of multi-drug resistant organism. The results showed overall antibiotic use was 151.63 DOT/100 patient-days. Quality of antibiotic use were 52.73% definitely appropriate; 8.18% inappropriate regarding dose, intervals, durations, and timing; 7.27% no indication; and no mutual agreement in 31.82% (κ=0.59; p<0.05). Hospital Acquired Pneumonias (HAPs)/Ventilator Associated Pneumonias (VAPs) were the most observed nosocomial infection, infection-related mortality rate was 44.68%; and average LOS were 7.17±1.9 days (p<0.05). No incidents of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) or Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) have been found, but there were two cases of Multi Drug Resistant (MDR) Acinetobacter baumannii.Keywords: Antibiotic resistance, ASP, DOT, Gyssens’ flowchart, ICU
Perbandingan Profil Farmakokinetika Bupivakain 0,5% pada Pasien Hamil Normotensi dan Preeklampsia yang Menjalani Sectio Caesarea di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta Wati, Helmina; Sandi, Dita A. D.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (49.681 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2017.6.1.32

Abstract

Pada kehamilan preeklampsia terjadi penurunan filtrasi glomerulus dan penurunan protein plasma dibandingkan terhadap hamil normotensi. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan profil farmakokinetika dengan model nonkompartemen bupivakain 0,5% antara pasien hamil normotensi dengan pasien hamil preeklampsia yang menjalani Sectio Caesarea (SC). Penelitian dilakukan terhadap 5 pasien hamil normotensi vs hamil preeklampsia yang menjalani SC dengan teknik epidural menggunakan bupivakain 0,5% dosis 75 mg di Gedung Bedah Sentral Terpadu (GBST) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Darah diambil sebanyak 3 cc pada menit ke-0;15’;20’;25’;30’;45’;60’;90’ melalui vena dan ditetapkan kadar bupivakain dengan menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Harga profil farmakokinetika bupivakain (AUC (Area Under Curve), AUMC (Area Under Moment Concentration), MRT (Mean Resident Time)) dihitung berdasarkan data kadar bupivakain dalam darah versus waktu dengan model nonkompartemen. Profil farmakokinetika pasien hamil normotensi dan hamil preeklampsia kemudian dianalisis dengan uji statistik untuk melihat ada tidaknya perbedaan. Hasil penelitian menunjukkan AUC(0–~) rata-rata pada pasien hamil normotensi dan pasien hamil preeklampsia secara berturut-turut adalah 109,56± 9,22 μg.mL–1.menit dan 133,780±25,47 μg.mL–1.menit. Nilai AUMC(0–~) rata-rata pada pasien hamil normotensi dan pasien hamil preeklampsia secara berturut-turut sebesar 6.956,41±2.559,99 μg/mL.menit2 dan 11.085,74±5733,94 μg/mL.menit2. Rata-rata nilai MRT pasien hamil normotensi dan pasien hamil preeklampsia secara berturut-turut sebesar 64,06±25,70 menit dan 110,45±78,30 menit. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai AUC(0–~), AUMC(0–~), dan MRT pada obat bupivakain 0,5% antara pasien hamil normal dengan pasien preeklampsia tidak memiliki perbedaan yang signifikan (p>0,05). Kesimpulannya, profil farmakokinetik bupivakain pada pasien hamil normotensi dan preeklampsia tidak memiliki perbedaan yang signifikan.  
Influence of Antidiabetic Herbal Medicine to a Decrease Blood Glucose Levels of Diabetes Mellitus Patients at The ‘Hortus Medicus’ Scientification of Jamu Clinic Tawangmangu, Karanganyar Rahayu, Emalia O.; Lestari, Titik; Sayuti, Nutrisia A.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (226.375 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2016.5.1.19

Abstract

Diabetes mellitus (DM) was an annual disease characterized by parennials of blood glucose levels exceeding normal and impaired metabolism of carbohydrates, fat and protein caused by defficiency of insulin hormone relative as well as absolute. Management of patients with DM can be done by some effort, among others was consume an antidiabetic drug or antidiabetics herbal medicine. Antidiabetic herbal medicine were consisting of bitter, brotowali, salam leaf, and AAI (analegtic, antiinflamation, and immunomodulator). The resesarch aimed to know the influence of antidiabetic herbal medicine to decrese blood glucose levels in patient with DM at The ‘Hortus Medicus’ Scientification of Jamu Clinic, Tawangmangu, Karanganyar. The method was quasi experimental with one group pre-post test. The samples were 37 people of the patients with DM diagnose with purposive sampling technique methode. The research report that among 37 respondents, 32 (86.5%) of respondent got a decreased blood glucose levels. The mean value of blood glucose level before consuming antidiabetic herbal medicine was 290.30 mg/dl and the mean value after consuming the herbal medicine was 241.78 mg/dl with difference of the mean value before and after consuming the herbal medicine was 48.52 mg/dl. There were influence of antidiabetic herbal medicine to decrease blood glucose levels of diabetes mellitus patients at the clinic with p-value=0.00 (p<0.05).Key words: Blood glucose, brotowali, diabetes mellitus, herbal medicine, salam leaf, sambilotoPengaruh Obat Herbal Antidiabetes untuk Menurunkan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Klinik Jamu Scientific “Hortus Medicus” Tawangmangu, KaranganyarDiabetes melitus (DM) adalah penyakit menahun yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun mutlak. Manajemen pasien dengan DM dapat dilakukan dengan beberapa upaya, antara lain adalah mengonsumsi obat atau obat herbal antidiabetes (jamu). Jamu antidiabetes yang digunakan terdiri dari sambiloto, brotowali, daun salam, dan AAI (analgesik, antiinflamasi, dan imunomodulator). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jamu antidiabetes untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM di klinik Saintifikasi Jamu ‘Hortus Medicus’, Tawangmangu, Karanganyar. Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimental dengan one group pre-post test. Sampel yang digunakan adalah 37 orang pasien terdiagnosis DM dengan teknik pengambilan sampel purposive method sampling. Data penelitian  menunjukkan bahwa di antara 37 responden, 32 (86,5%) dari responden mengalami penurunan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah sebelum mengonsumsi jamu antidiabetes adalah 290,30 mg/dl dan nilai rata-rata setelah mengkonsumsi jamu antidiabetes adalah 241,78 mg/dl dengan perbedaan nilai rata-rata sebelum dan setelah mengkonsumsi jamu adalah 48,52 mg/dl. Terdapat pengaruh jamu antidiabetes terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM di klinik dengan p-value= 0.00 (p <0,05)Kata kunci: Brotowali, daun salam, diabetes mellitus, jamu, kadar glukosa, sambilot

Page 1 of 49 | Total Record : 484