Articles
177 Documents
PRINSIP EKONOMI DALAM ISLAM
Sohrah, Sohrah
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 2 (2014): Hukum perkawinan
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Turunya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., agama tauhid dari Allah swt. telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi. Sebagai ekonomi yang berbasis syariat Islam, memiliki beberapa prinsip antara lain prinsip dalam proses produksi. Muhammad Al-Mubarak mengemukakan prinsip mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain: (1) Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islam; (2) Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas sekumpulan yang tercela karena bertentangan dengan syariâah; (3) Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan , dan memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dan wakaf; dan (4) Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah pada kezaliman. Dengan prinsip-prinsip tersebut, ekonomi Islam mampu melahirkan produksi yang memberi kesejahteraan agama dan social.
PENYERANGAN PENGIKUT AHMADIYAH DALAM PERSPEKTIF HAM
Talli, Halim
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 1 (2014): al-qadau
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Menurut Ahmadiyah, tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad saw. untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Demikian pula pemahamannya mengenai wahyu, menurut Ahmadiyah, wahyu Tuhan tidak terputus sesudah Rasulullah Muhammad saw. wafat. Wahyu yang terhenti hanyalah wahyu tasyriâ atau wahyu syariâat, bukan wahyu mutlak. Wahyu mutlak ini tidak dikhususkan untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka. Paham dan keyakinan kaum Ahmadiyah tersebut sangat berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya. Ajaran Ahmadiyah tersebut menyalahi dalil-dalil kuat dan jelas yang menyatakan tidak adanya lagi nabi yang diutus Allah SWT. sesudah Nabi Muhammad saw. Perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap Jemaah Ahmadiyah, berupa pengusiran, pengrusakan atribut dan gapura dan penganiayaan melalui lemparan batu dan kayu, telah mengancam keselamatan harta dan jiwa Jemaah Ahmadiyah yang mengakibatkan hilangnya perasaan aman dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undang yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas suci, amar makruf nahi munkar, ulama memberikan peringatan khusus kepada yang menunaikannya agar lebih berhati-hati dan menurut cara yang dicontohkan Rasululah. Menunaikan tugas ini tidak boleh tergesa-gesa, apalagi serampangan, sebab dikhawatirkan akan menimbulkan mudarat yang lebih besar. Menjalankan amar makruf dan nahi munkar hendaknya memperhatikan strategi yang tepat dan melalui cara-cara yang telah di tetapkan
TEORI DAN APLIKASI MAQASHID AL-SYARIâAH
Cahyani, Intan
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 2 (2014): Hukum perkawinan
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Maqashid al-syariâah dicetuskan pertama kali oleh al-Syatibi (w. 709 H), yang ditulis dalam sebuah kitab berjudul al-Muwafaqat. Sejak kitab itu terbit maqashid al-syariâah menjadi sebuah konsep baku dalam Ilmu Ushul Fikih yang berorientasi kepada tujuan hukum. Dalam teori maqashid dapatlah dikatakan bahwa untuk tingkatkan daruriyyat, maka dalam ushul fikih ia dikategorikan azimat. Pada tingkat hajiyyat, maka dikategorikan rukhshah. Sedangkan pada tingkatan tahsiniyyat, maka ia berupa pelengkap yang bias jadi ada unsure adat kebiasaan masyarakat setempat (âurf). Adapun tingkat aplikasi maqashid al-syariâah dalam sebuah ketetapan hokum itu tetap didasarkan pada tingkat prioritas yang dianggap baku. Kecuali jika hal tersebut berbenturan pada tingkat daruriyyat, antara memelihara agama pada tingkat pertama dengan memelihara jiwa pada tingkat kedua, maka bentuk penyelesaiannya bias dengan mengutamakan keselamatan jiwa.
MENIMBUN BARANG (IHTIKAR) PERSPEKTIF HADIS
cahyani, andi intan
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 1 (2014): al-qadau
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian hadis tentang ihtikar  dan terkhusus lagi pada hadis yang berkaitan dengan keharaman ihtikar yang menjadi obyek penelitian dalam makalah ini adalah berkualitas Hadis shahih, baik dilihat dari sanad maupun kualitas matannya. Oleh karena itu, hadis tersebut dapat dijadikan landasan hukum dalam penetapan hukum Islam. Hadis menyatakan larangan melakukan perbuatan ihtikar dengan ungkapan âla yahtakiru illa khathiâunâ, mengenai hadis tersebut jumhur Ulama sepakat mengenai keharaman ihtikar . Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai cara yang digunakan dalam menetapkan keharaman ihtikar. Oleh karena tindakan ihtikar dapat menimbulkan instabilitas dalam masyarakat, maka pelaku ihtikar sangat tepat bila diberi sanksi pidana yang berat dan sesuai dengan perbuatannya.
KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM DI INDONESIA
Hartini, Hartini
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 2 (2014): Hukum perkawinan
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Sebagai Negara hukum, Indonesia telah memiliki aturan yang mencakup semua warga Negara termasuk kedudukan wanita dalam hukum. Salah satu aspek penting dalam kaitan kedudukan wanita yang dibahas dalam tulisan ini adalah kedudukan wanita dalam hukum perkawinan, kewarisan, dan hukum pidana. Kedudukan wanita dan pria dalam perkawinan adalah seimbang. Wanita sebagai mitra sejajar keluarga untuk menciptakan rumah tangga yang harmonis, bahagia lahir dan batin. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Adapun posisi wanita dalam hokum kewarisan semakin marak diperbincangkan. Indonesia yang jauh berbeda dengan kondisi negeri arab pada saat diturungkan al-Qurâan, melahirkan penafsiran konstruktif. Yaitu selama semua pihak merasakan keadilan dalam pembagian warisan, maka pembagian dapat berubah 1:1 atau lainnya. Namun, dalam hukum pidana wanita sering menjadi korban yang belum terlindungi secara maksimal.
KONTEKSTUALISASI TEOLOGI KEADILAN DALAM HUKUM KISAS
Hasan, Hamzah
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 1 (2014): al-qadau
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Salah satu tujuan disyariatkan hukum Islam adalah untuk mewujudkan dan memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan serta harta. Sebaliknya segala tindakan yang bisa mengancam keselamatan salah satu dari lima tujuan pokok disyariâatkannya hukum tersebut dianggap sebagai perbuatan jahat yang dilarang. Oleh sebab itu kejahatan pembunuhan dan penganiayaan merupakan kejahatan yang diancam dengan hukuman kisas. Kisas ialah mengambil pembalasan yang sama. Kisas itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat pemaafan (pengampunan) dari ahli waris yang terbunuh, dan diganti dengan sanksi diyat (membayar ganti rugi) yang wajar.   Pembayaran diyat hendaknya dilakukan dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik pula, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat. Maka terhadapnya di dunia diambil kisas dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Jadi mengorbankan satu anggota tubuh untuk menyelamatkan jiwa adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan akal, dan juga berimplikasi pada penyelamatan harta masyarakat secara lebih luas. Tentu saja hukuman seperti itu hanya berlaku bagi negara-negara yang melaksanakan hukum Islam secara utuh, tetapi bagi bangsa Indonesia hukuman potong tangan masih menjadi persoalan bagi masyarakat kebanyakan.
PERKAWINAN SIRI
Ridwan, Saleh
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 2 (2014): Hukum perkawinan
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
 Pernikahan atau perkawinan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan dalam Islam dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
WATAK DASAR HUKUM ISLAM
Mapuna, Hadi
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 1 (2014): al-qadau
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Pemahaman seseorang terhadap hukum Islam, apalagi seorang orientalis, tentu tidak terlepas dari latar belakang dan pemahamannya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam itu sendiri. Joseph Schacht, misalnya, mengintrodusir pemahamannya mengenai sejarah dan                                                    garis-garis besar sistem hukum Islam melalui bukunya yang sangat terkenal An Introduction to Islamic Law (Pengantar Hukum Islam). Sementara itu ia sendiri tidak mengakui hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam.Tulisan ini merupakan respon atau tanggapan penulis terhadap salah satu bagian dari tulisan Joseph Schacht dalam buku, yakni bagian kedua pembahasan nomor 26. Bagian ini diberi judul "The Nature of Islamic Law".
DINAMIKA KEWARISAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Hutape, Muhammad
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 2 (2014): Hukum perkawinan
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Islam mengatur segala aspek kehidupan dan tahapan manusia, termasuk setelah kematiannya. Sekalipun manusia telah wafat, namun pembicaraannya, terutama mengenai harta peninggalannya diatur pula dalam Islam. Itulah yang dibahas dalam ilmu mawaris. Ilmu waris merupakan ilmu yang sarat nilai dan mulia. Ia adalah mahkota dan âpuncakânya bila dilihat dari perhitungannya yang terperinci, keadilan dalam distribusi, maupun ketelitian dalam pengbagiannya. Namun demikian, dalam pergumulan pemikiran, para ahli melahirkan interpretasi terhadapnya. Seperti konsep reaktualisasi kewarisan Islam oleh Munawir Syadzali, hukum bilateral oleh Hazairin, dan lain-lain. Interpretasi yang membawa hukum Islam sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
OPTIMALISASI PERAN FATWA ULAMA SEBAGAI PRODUK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Supardin, Supardin
Jurnal Al-Qadau Vol 1, No 1 (2014): al-qadau
Publisher : Jurnal Al-Qadau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional di Indonesia telah memiliki empat produk pikiran hukum sebagai bagaian dari hukum Islam, yaitu produk pemikiran fikih, produk pemikiran fatwa ulama, produk pemikiran yurisprudensi, dan produk pemikiran undang-undang. Produk pemikiran fatwa ulama inilah yang menjadi kajian dari optimalisasi peran fatwa ulama pada hukum Islam di Indonesia. Dalam ilmu usul fikih, fatwa merupakan sebuah pendapat yang dikemukakan oleh seseorang mujtahid atau fakih (mufti) sebagai jawaban yang diajukan oleh peminta fatwa (al-mustafti) dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat atau memaksa. Sifatnya tidak mengikat/memaksa karena fatwa ulama tidak masuk dalam hirarki perundang-undangan. Oleh karena itu, fatwa ulama seyogyanya dimasukan sebagai sebuah produk hukum Islam yang sifatnya mengikat pada kasus-kasus yang sifatnya universal, seperti penentuan dan penyatuan dalam melaksanakan hari raya lebaran sebagaimana yang diterapkan pada negara tetangga (Malaysia).