cover
Contact Name
Dr. Ifrani, S.H., M.H
Contact Email
ifrani@ulm.ac.id
Phone
+625113305255
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota banjarmasin,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Badamai Law Journal
ISSN : 25014086     EISSN : 25030884     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 170 Documents
URGENSI PENUNJUKAN ARBITER OLEH KETUA PENGADILAN NEGERI DALAM PROSES ARBITRASE Zuhairi Bharata Ashbahi
Badamai Law Journal Vol 1, No 2 (2016)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v1i2.1825

Abstract

Arbitrators have very important role in the process of dispute settlement through arbitral institusion. Therefore, Act number 30 of 1999 concerning Arbitration  and Alternative Dispute Resolution regulates the procedure of the appointment of an arbitrators in case of dispute among the parties. The Chairman of District Court is given the authority by the act to resolve the disputes on the appointment of arbitrators, both disputes in as ad hoc arbitration and institusional arbitration. Nonetheles, it is qustionable and the aothority on the settlement of disputes concerning the appointment aof the arbitrators given by the act to the Chairman of district court. Its is also because the spirit which is expented to be built from the disputes settlement is the late process as a result of the procedural and administrative factors can be avoided. Besides, is the authority in accordance with the principle of simple, quick and inexpensie trial. It wil not become simple because the forum must be moved. It will not become quick because it still take time to settle it and it will requires costs for the trial at the court. In addition to, the Chairman of  District Court should have the certain criteria in appointing arbitrators because the requirements stipulated in Article 2 or Act Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution is not clear on what kind of persons are considered as experts in their field and who has the authority to evaluate that someone is expert in his/her field.
TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM TERJADINYA MALPRAKTIK MEDIK DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI Diana Haiti
Badamai Law Journal Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v2i2.4333

Abstract

Tanggung jawab hukum dokter dalam malpraktik administrasi berupa pelanggaran terhadap ketentuan administrasi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Pelanggaran hukum administrasi dalam praktek kedokteran pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi praktek kedokteran. Kewajiban administrasi dalam praktek kedokteran dapat berupa kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan sebelum dokter melakukan pelayanan medis dan kewajiban administrasi pada saat dokter sedang melakukan pelayanan medis. Berdasarkan pada dua bentuk kewajiban administrasi di atas, maka terdapat dua bentuk juga pelanggaran administrasi, yaitu pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek kedokteran dan pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis. Terhadap pelanggaran administrasi tersebut, sanksi yang dapat diberikan adalah pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau  kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG LARANGAN KEGIATAN PADA BULAN RAMADHAN DI KOTA BANJARMASIN Muhammad Ananta Firdaus
Badamai Law Journal Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v3i1.5917

Abstract

Adanya otonomi daerah memberikan kesempatan kepada daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan kepentingan dan aspirasi dari masyarakat daerahnya.  Selama ini Kota Banjarmasin mayoritas penduduknya sebagian besar beragama Islam atau muslim ditambang dengan selama ini Banjarmasin dikenal sebagai kota yang tingkat religiusnya cukup tinggi sehingga hal ini kemudian mendasari pertimbangan dari pemerintah daerah dalam lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bernuansa syariah, karena terkait dengan kepentingan masyarakatnya dalam melaksanakan ibadahnya. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya Peraturan Daerah Kota No 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan yang kemudian direvisi melalui Peraturan Daerah No 4 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan atau lebih dikenal dengan Perda Ramadhan. Dimana perda ini berlaku selama bulan Ramadhan, ternyata terlihat masih tingginya angka pelanggaran terhadap perda tersebut, selama perda ini diterapkan.
ANALISIS TINDAK PIDANA PENJUALAN SMARTPHONE REPLIKA DI INDONESIA DITINJAU DARI PERLINDUNGAN KONSUMEN Reza Noor Ihsan
Badamai Law Journal Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v4i2.9058

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan jual beli smartphone replika di Indonesia ditinjau dari perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hasil penelitian ini bahwa penjualan smartphone semakin meningkat di kalangan masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi informasi, sehingga mengakibatkan masyarakat lebih memilih smartphone replika dikarenakan kemiripan dengan smartphone aslinya. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan masyarakat itu sendiri menjadi korban dikarenakan kurangnya kesadaran dan kurangnya perlindungan hukum di masyarakat terhadap smartphone replika.
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA MENGGADAIKAN BARANG JAMINAN FIDUSIA MELALUI SARANA MEDIASI PENAL Rio Adi Pratama
Badamai Law Journal Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v4i2.9265

Abstract

Hukum jaminan fidusia lahir berdasarkan atas kepercayaan antara pemberi fidusia (debitor) kepada penerima fidusia (kreditor). Timbulnya fidusia ditentukan oleh perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang antara pemberi fidusia dan penerima utang-piutang, sehingga sifat perjanjian fidusia adalah acessoir atau sebagai pelengkap perjanjian pokok sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.        Fidusia menurut menurut asal katanya berasal dari kata “fidies” yang berarti kepercayaan. Sesuai arti katannya, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya, peneriman fidusia percaya bahwa pemberi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara menggadaikan barang jaminan fidusia pada tahap penyidikan perlu dilakukan dengan landasan yaitu sejalan dengan nilai religius, nilai kekeluargaan dan nilai keselarasan sebagaimana sila pertama, kedua dan ketiga dari Pancasila.         Selain itu, penyelesaian ini juga mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost), serta selaras dengan perkembangan baru dalam penegakkan hukum dimana tidak selalu seorang pelaku harus diproses, diadili dan dihukum melalui konsep peradilan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan yang dirasakan lebih menimbulkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Ellen Yolanda Sinaga
Badamai Law Journal Vol 1, No 2 (2016)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v1i2.1787

Abstract

Implementation of diversion by a public prosecutor children, nowadays the mechanism is based on Law of The Republic of Indonesia Number 11 Year 2012 regarding the Juvenile Criminal Justice System. Further provisions concerning the guidelines for the implementation of diversion, ordinances, and coordinate the implementation of diversion stipulated on Indonesian Republic Government Regulation Number 65 in 2015 on the guidelines for the implementation of diversion and treatment of children who are aged 12 years. But the problem until now has not drawn up internal rules to the public prosecutor in the form attorney General of The Republic of Indonesia regulation as the basic for the implementation of the mechanism reffered versioned on Indonesian Republic Government Regulation Number 65 in 2015 on the guidelines for the implementation of diversion and treatment of children who are aged 12 years. The importance of internal rules as the basic for the public prosecutor in the executing diversion, as the uniformity of implementation of the diversion by a public prosecutor children across Indonesia, in order to avoid differences in the implementation mechanisms of diversion, which is still based instruction each child’s direct leadership prosecutor, who do diversion. Further in praction, there are differences in the implementation mechanisms of diversion by a children public prosecutor in Indonesia which resulted in the implementation of the goal of diversion has not been maximally as aspired is to keep children who are dealing with the law, from the adverse effects of the criminal justice system.  Keywords : diversion, juvenile criminal justice system, public prosecutor children
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) SEBAGAI INSTRUMEN PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN Sumadi Kamarol Yakin
Badamai Law Journal Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v2i1.3393

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tahapan penyusunan dari AMDAL berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini? dan bagaimana fungsi AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan?Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, menekankan fungsi AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan dalam penelitian normatif, pemprosesan bahan hukum secara sistematisasi hukum. Bahan-bahan hukum kemudian dianalisis secara kualitatif, menganalisis dengan berpikir sistematis untuk memberikan jawaban dari masalah.Hasil penelitian ini adalah AMDAL sebagai salah satu persyaratan dalam izin lingkungan merupakan studi tentang kegiatan yang diatur secara sistematis dan ilmiah menggunakan pendekatan interdisipliner bahkan multidisiplin, maka penelitian AMDAL harus disusun secara koheren dan komprehensif-integral. Tidak dapat dipungkiri bahwa dokumen AMDAL dan atau UKL-UPL harus mencakup semua tahap, yaitu tahap konstruksi, pelaksanaan, dan tahap pemantauan. Tujuan utama dan tujuan AMDAL adalah untuk memastikan bahwa kegiatan usaha atau pembangunan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain usaha atau kegiatan layak dari segi aspek lingkungan. Selain kelayakan lingkungan dokumen AMDAL sebagai sistem kontrol dari kegiatan atau usaha.
EXTRAJUDICIAL KILLING TERHADAP TERDUGA PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF ASAS PRADUGA TAK BERSALAH Tiya Erniyati
Badamai Law Journal Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v3i1.6060

Abstract

Terorisme, secara etimologis , terdiri dari dua kata “teror” dan “isme”. Kata “teror” memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan dan kengerian, sedangkan kata “isme” berarti suatu paham. Ada juga yang mengatakan bahwa kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan kengerian.Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure). Salah satu tindakan yang seringkali dilakukan oleh Densus 88 terhadap terduga tindak pidana terorisme adalah Extrajudicial killing yang dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan, apapun bentuknya, yang menyebabkan seseorang mati tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat negara. Sementara itu di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia berlaku Asas Praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah berkaitan erat dengan proses peradilan pidana yaitu suatu proses di mana seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya. Pengakuan tentang asas praduga tak bersalah berhubungan erat dengan hak-hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Konsekuensinya adalah tersangka atau terdakwa (yang dianggap tidak bersalah) mempunyai kedudukan yang sama dengan polisi dan jaksa, dan oleh karenanya hak-hak tersangka atau terdakwa juga harus dihormati.
PENYADAPAN OLEH PENYIDIK KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALA PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Muhammad Arif Hidayat
Badamai Law Journal Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v4i1.6047

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan mekanisme penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang dijadikan sebagai alat bukti dan kebijakan formulasi penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di masa yang akan datang. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.        Hasil penelitian ini menjelaskan Pertama, kewenangan penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Kedudukan hasil penyadapan sebagai perluasan sumber alat bukti petunjuk memiliki nilai kekuatan pembuktian apabila dilakukan oleh penegak hukum atau atas permintaan penegak hukum sepanjang undang-undang memberikan kewenangan. Kedua, Bertolak dari fungsi kebijakan formulasi hukum pidana dalam ide pembentukan hukum baru atau peraturan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum) yaitu terutama peraturan dalam bentuk undang-undang mengenai prosedur/mekanisme penyadapan oleh penegak hukum baik dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Selain itu perlu ada pembaharuan yang mengatur kedudukan hasil penyadapan bukan lagi sebagai perluasan sumber alat bukti petunjuk, namun menjadi alat bukti yang berdiri sendiri sehingga semakin banyak jenis alat bukti akan semakin memberikan kepastian hukum dan keadilan.
PEMINADAAN TERHADAP PENGEDAR SEKALIGUS PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN Renny Gladis Karina
Badamai Law Journal Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v4i2.9247

Abstract

Narkotika dapat menghancurkan suatu bangsa, sama seperti sejarah Cina dan India yang telah lumpuh akibat Perang Candu. Tidak ada daerah di Indonesia yang bebas dari penyalahgunaan narkotika, dan kasus narkotika terus meningkat hingga saat ini. Kejahatan tersebut diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penjatuhan hukuman kepada pengedar sekaligus pecandu narkotika serta menganalisis penjatuhan putusan kepada pengedar sekaligus pecandu narkotika di kemudian hari. Ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang pertama, penjatuhan hukuman kepada pengedar sekaligus pecandu narkotika saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu pasal 111-115, 117-120, 122-124, dan 125 untuk pedagang; Sedangkan untuk Pecandu diatur dalam Pasal 54.103, 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Panti Rehabilitasi Medis dan Sosial. Kedua aturan itu memiliki karakteristik yang sangat berbeda, ketat bagi dealer, sedangkan bagi yang pencandu bersifat humanistik. Dalam prakteknya, hakim membuat keputusan hukuman penjara daripada rehabilitasi. Kedua, untuk kedepannya bagi dealer dan sekaligus pecandu narkotika dipandang perlu untuk memperbaharui sistem hukuman dengan menerapkan “Double Track System

Page 5 of 17 | Total Record : 170