cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota cirebon,
Jawa barat
INDONESIA
MAHKAMAH: Jurnal Kajian Hukum Islam
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 160 Documents
ISLAM DAN BUDAYA: TENTANG FENOMENA NIKAH SIRRI U Syafrudin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (104.365 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v9i1.425

Abstract

Nikah sirri adalah suatu pernikahan yang, meski telah memenuhi syarat rukun nikah, tetapi karena alasan tertentu, tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Secara hukum Islam, pernikahan tersebut dianggap sah oleh beberapa kalangan karena telah memenuhi kriteria keabsahan pernikahan yaitu adanya ijab, qabul, dua orang mempelai, wali dan dua orang saksi. Nikah sirri masih sering dijadikan sebagai alternatif mengantisipasi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan non muhrim yang secara psikologis, moril maupun materiil belum mempunyai kesiapan untuk menikah secara formal. Nikah sirri menyisakan persoalan yang sangat pelik terhadap pelaku, tidak hanya masalah yuridis saja namun juga membawa pada masalah psikologis dan sosiologis yang menyangkut masa depan anak-anak, berkenaan dengan wali dalam perkawinan dan status waris mewarisi.Unregistered marriage is a marriage that, despite having qualified pillars of marriage, but for some reason, is not recorded in the Office of Religious Affairs. In Islamic law, marriage is considered valid for having met the criteria for the validity of marriage that their consent, qabul, two brides, guardian and two witnesses. Sirri marriage is still often used as an alternative in anticipation of promiscuity among men and non-mahram woman, psychologically, morally and materially not have the readiness to marry formally. Sirri marriage remains very problematic against the perpetrators, not just a juridical matter but also brings in psychological and sociological issues concerning the future of the children, with respect to the trustee within marriage and inheritance status inherited.
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN APLIKASINYA DI INDONESIA Kosim Kosim
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (116.918 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v9i1.286

Abstract

Secara umum, ada tiga sistem hukum besar yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Dalam tataran kenegaraan ketiga sistem hukum ini ikut mengisi dan mewarnai pelembagaan hukum nasional. Dalam hal ini terjadi konflik yang berkepanjangan yang berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga sekarang. Pasca Indonesia merdeka, tahun 1945, penyelesaian konflik di antara ketiga sistem hukum terus diupayakan, meskipun hingga sekarang belum tuntas. Konflik ini memang sengaja dibuat oleh pihak penjajah untuk menekan umat Islam dan sekaligus menghambat pemberlakuan hukum Islam yang lebih luas, atau bahkan lebih formal, di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam. Jika hukum pidana Islam berhasil diterapakan di Indonesia, maka dalam pandangan filsafat hukum Islam tujuan yang akan dicapai adalah terwujudnya keadilan yang maksimal dan ketertiban, yang selanjutnya akan mewujudkan kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan dalam masyarakat karena hukum Islam berasal yang menciptakan bumi, langit Indonesia serta seluruh isinya yaitu Allah SWT.Generally, there are three major legal systems applicable in Indonesia, namely Islamic law, civil law (West), and the Customary law. In the third state level the legal system is involved in filling and coloring institutionalization of national law. In this case, the prolonged conflict began since the influx of Dutch colonialism in Indonesia, and continues until now. Post Indonesia's independence of 1945, resolving conflicts among the three legal systems continue to be pursued, although until now has not been completed. This conflict was deliberately created by the colonizers to suppress Muslims and simultaneously inhibits the imposition of Islamic law broader, or even more formal, in our society where the majority is Muslim. If successful Islamic criminal law be applicable in Indonesia, then in view of the philosophy of Islamic law objectives to be achieved is the realization of maximum fairness and order, which in turn will achieve peace, harmony, and well-being in the community because Islamic law is derived that created the earth, the sky Indonesia and the entire contents, namely Allah SWT.
MEMUTUSKAN PERKARA BERDASARKAN QARĪNAH MENURUT HUKUM ISLAM Asep Saepullah
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.095 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.353

Abstract

Pembuktian merupakan sesi terpenting dalam suatu proses persidangan yang dilaksanakan di peradilan agama. Tujuan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang disampaikan oleh para pihak di dalam persidangan, melalui penggunaan alat-alat bukti, pembuktian mencoba merekonstruksikan suatu kebenaran peristiwa yang telah lampau. Namun terkadang ada perkara yang tidak dapat dibuktikan dengan jelas melalui alat-alat bukti yang diatur, dalam hal ini Qarīnah dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengambil suatu kesimpulan atas suatu perkara. Di dalam Hukum Acara Islam, Qarīnah berkedudukan hanya sebagai alat bukti penunjang, yang berarti harus ditambah dengan alat bukti lainnya.Verification is the most important sessions in a proceeding conducted in religious courts. The purpose of verification is to convince the judge of the truth of the arguments presented by the parties in the proceedings, through the use of evidence, proof tries to reconstruct a truth that has been past events. But sometimes there are cases that can not be clearly demonstrated through evidence that is arranged, in this case qarīnah can be used as a cue to take a conclusion on a case. Procedural Law in Islam, qarīnah domiciled only as a means of supporting evidence, which means it must be coupled with other evidence.
PERMASALAHAN PEKERJA ANAK: PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH Indar Wahyuni
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.973 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v9i1.292

Abstract

Masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun jiwa, maka idealnya anak-anak harus terhindar dari berbagai perilaku yang mengganggu pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu, anak-anak perlu dijamin hak-haknya seperti mendapat kesehatan, pendidikan, dan bermain. Adapun adanya pekerja anak banyak faktor yang menyebabkan keberadaannya. Dan faktor kemiskinan disebut-sebut sebagai faktor utama yang menyebabkan munculnya pekerja anak. Belum lagi resiko dan dampak keterlibatan anak dalam kerja, dalam arti segala hal yang dialami dan dirasakan mengganggu hingga membahayakan terhadap fisik dan psikis mereka. Meskipun kemiskinan yang sering dijadikan alasan terjunnya pekerja anak, namun semua itu merampas hak-hak anak. Hal ini tidak sesuai dengan salah satu konsep maqasid asy-Syari’ah yaitu menjaga jiwa anak. Dampak  dari pekerja anak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tentu sangat merugikan baik fisik maupun psikisnya (QS. al-Nisa’ [4]: 9). Hal ini menjadi pijakan tidak diperbolehkannya pekerja anak. Meskipun pekerja anak dapat membantu perekonomian keluarga, demi keberlangsungan hidup, hal ini harus dihindari mengingat madaratnya lebih besar dibanding maslahatnya.The child age is a growing process both physical or psychological. So that children must be safe from acts that disturb the process. Children must obtain their rights like health, education, and play. As to children workers, there are several factors that causes them become workers. Poverty factor is mentioned as a main factor that causes them become workers. Not to mention the risk and impact of involvement of children in work that is all thing that distrub and endanger them physically and psychologically. Although poverty often becomes reason of involving children in work world, it can’t be permitted because it seizes their rights. This does not match one of concept of purposes of Syari’ah, namely maintaining children soul. The impact of children workers in both short and long time of course is very harmful to their physical and psychological development (QS. al-Nisa’ [4]: 9). This becomes argumentation for not employing the children. Although children workers can help family economics for survival, this must be avoided because its disadventages is more than its advantages.   
MENYIMAK ARGUMEN MAHMUD THAHA TENTANG NASKH DAN REFORMASI SYARIAH Adang Djumhur Salikin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.604 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.563

Abstract

Reformasi syariah merupakan wacana yang kontroversial. Selain ada sejumlah pemikir yang mengusung dan mendukungnya, banyak juga yang membantah dan melarang untuk menyebarkannya. Wacana yang dipersoalkan, mungkinkan syariah direformasi? Bagaimana caranya? Sejauhmana produk syariah yang dihasilkannya memiliki keabsahan dan otoritas yang diakui secara normatif dalam perspektif hukum Islam? Tulisan ini, tidak untuk menjawab atau memberi penjelasan mengenai sejumlah pertanyaan itu, tetapi untuk menelisik argumen seorang tokoh pemikir Islam dari Sudan, pengusung gagasan reformasi syariah. Dia adalah Mahmud Muhammed Thaha. Dalam tulisan ini, saya lebih memposisikan diri sebagai orang yang ingin meminta konfirmasi tentang pemikiran tokoh itu, terutama berkaitan dengan argumentasinya tentang konsep naskh dan hubungannya dengan reformasi syariah menuju syariah yang lebih humanis. Pertanyaannya, sejauhmana kerangka konseptual argumen Thaha dalam membangun gagasannya? Apakah argumen tersebut memiliki basis teoritis yang kuat dalam tradisi keilmuan fiqh (ushul al-fiqh), dan seberapa jauh pula hal itu relevan dan signifikan untuk  melakukan reformasi syariah? Sharia reform is controversial discourse. In addition to a number of thinkers who carry and support it, there are many who deny and ban its dissemination. The discourse in question includes: is it possible for sharia to be reformed? How to reform? To what extent Islamic products produced have the validity and authority recognized as normative in the Islamic legal perspective. This paper is not to answer or give an explanation of those questions, but to search the argument of a Sudanese prominent Islamic thinker, the bearer of the idea of reforming the sharia. He is Mahmud Mohammed Taha. In this paper, I prefer to position myself as one who wants to ask for confirmation of his thought, especially with regard to the argument about the concept of naskh and its relationship with the reform of Islamic sharia towards more humane sharia. The questions are, how far the conceptual framework of Taha arguments in establishing the idea? Dose the argument have a strong theoretical basis in the scientific tradition of fiqh (usul al-fiqh), and also how is it relevant and significant to reform the Sharia?
KAJIAN KEKERASAN RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Didi Sukardi
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.904 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v9i1.287

Abstract

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).  Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk  mengkaji kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan hukum Islam, dan untuk mengetahui korelasi kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari hukum positif dan hukum Islam. Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah dirumuskan pasal-pasal tentang tindak pidana penganiayaan, namun belum dianggap mengakomodir perbuatan pidana yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Menurut persektif hukum pidana Islam, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan fisik terhadap istri dalam UU PKDRT merupakan bagian dari perbuatan jarimah yaitu tidak pidana atas selain jiwa.  Domestic violence is a type of crime that received less attention and reach of the law. Violence in the home usually involves perpetrators and victims among family members in the household, while the forms of violence can include physical violence and verbal abuse (threats of violence). Perpetrators and victims of violence in the household can happen to anyone, not limited by strata, social status, education level, and ethnicity. The purpose of this paper is to examine domestic violence by positive law and Islamic law, and to determine the correlation of domestic violence in terms of positive law and Islamic law. In the book of the Law of Criminal Law (Penal Code) has been formulated provisions on the crime of persecution, but has not been considered to accommodate the criminal acts related to domestic violence. According to the perspectives of Islamic criminal law, the crime of domestic violence, especially physical violence against wife in Domestic Violence Act is part of jarimah that is not a criminal act on the soul apart. 
TRADISI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DINASTI TIMUR TENGAH Dedy Sumardi
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.553 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.593

Abstract

Artikel ini bertujuan menguraikan karakteristik pemikiran hukum Islam pada masa Dinasti Umayyah yang sarat dengan nuansa kedaerahan. Dominannya penguasa yang berasal dari suku Arab turut mempengaruhui sejumlah kebijakan terkait dengan perkembangan hukum Islam pada saat itu. Penggunaan riwayat sahabat diberlakukan sebagai rujukan utama dalam memutuskan hukum. Kebijakan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan emosional dan geografis dengan tradisi ulama Hijaz yang masih memegang kuat hadis Nabi. Namun demikian, penguasa Dinasti Umayyah memberikan kewenangan berkreasi pada lembaga peradilan sebagai lembaga independensi yang berfungsi menjalankan putusan-putusan hukum yang berasal dari pendapat para tabi’in. Pendapat tabi’iin menjadi rujukan para hakim dalam memutskan perkara disamping mereka melakukan ijtihad melalui penalaran deduksi yang selanjutnya menjadi yurispridensi hukum Islam pada saat itu.    The aim of this article is to describe the characteristics of Islamic legal thought during the Umayyad era laden with regional nuances. The dominance of rulers who came from Arab tribes also affect a number of policies related to the development of Islamic law at the time. The use of companions’ reports imposed as the main reference in the judgment. This policy is very closely related to the emotional and geographical ties with the tradition of Hijaz scholars who still holds strong traditions of the Prophet. However, the ruling Umayyads ruling authorizes the independence of the judiciary as an institution that functions execute decisions of law derived from the opinions of tabi'in. Tabi'in a reference opinion of the judges in deciding cases in addition to those doing ijtihad through deductive reasoning which subsequently became yurispridensi Islamic law at the time.
KODE ETIK PROFESI HAKIM MENURUT HUKUM ISLAM Samud Samud
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.186 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v9i1.422

Abstract

Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal. Namun realitanya para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Hal ini terlihat dari banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh mengembannya sendiri. Kode etik profesi hakim sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya konsep kebenaran menjadikan manusia percaya untuk berbuat baik karena taat akan hubungan makhluk dan khaliq. kedua, keadilan yaitu adanya penyemarataan (Equalizing) dan kesamaan (leveling) hak dalam bidang hukum. Ketiga, kehendak bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi mempunyai kehendak bebas/kebebasan (free will). Keempat, pertanggung jawaban yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban sebagai batasan dari apa yang diperbuat manusia dan harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.Judge as one of law enforcement officers (Legal Apparatus) has a code of ethics as a set of moral standards or formal legal principles. But in reality, the legal profession is not aspired and far from implementing a code of ethics in carrying out day-to-day profession. This is evident from many who ignore the code of professional conduct, so that the profession is not loose received a negative assessment from the community. The code of ethics does not seem feasible and contained values can not be applied to carry it alone. Code of ethics of judges in line with the values of the Islamic ethical system. Ethics Islamic law is built on four basic values: first, the truth that is the concept of truth made people believe to be good because it would obedient creatures and khaliq relationship. Second, justice that is the equalizing and similarity (leveling) rights in the field of law. Third, although human free will is limited in the norms that exist but have the free will/freedom (free will). Fourth, accountability ie as the demands of the free will that is the accountability as the limit of what the human being and should be accounted for both the world and the Hereafter.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PERSPEKTIF ISLAM: Kompilasi Awal Teks-teks Hadits Rujukan Faqiuddin Abdul Kodir
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.76 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.318

Abstract

Pembahasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perspektif Islam selama ini lebih banyak merujuk pada ayat an-Nisa (4: 34) yang secara tersurat membolehkan suami memukul istri yang nusyuz. Berbeda dengan ayat, teks-teks Hadits dalam kitab-kitab rujukan utama justru menjelaskan dinamika konstruksi dan ketegangan sosial atas kebolehan memukul pada generasi awal Islam. Bahkan, beberapa teks dengan tegas mengarah pada perspektif anti kekerasan yang kemudian menjadi pertimbangan dasar interpretasi ayat tersebut di kalangan ulama tafsir maupun fiqh. Jika banyak feminis Muslim (Hassan 1991, Engineer 2001) alergi terhadap otoritas Hadits untuk rekonstruksi Islam yang adil gender, kompilasi teks-teks ini justru sedikit banyak membuktikan bahwa teks-teks dasar mengenai isu pemukulan istri dari Hadits bisa menjadi sumber utama diskursus penguatan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan.The discussion of Islamic perspective on domestic violence has been greatly referred to the verse of Qur’an (4: 34), which expressly allows husband beating his disobedient wife. Unlike this verse, Hadith texts in their primary references clearly explain the dynamics of construction and social tensions on the permissibility of wife beating among early generation of Islam. Even some of these texts explicitly advocate perspective of anti-violence against women that later became the basis of the interpretation of the verse among scholars. While some Muslim feminists (Hassan, 1991, Engineer 2001) disregard authority of Hadith for the reconstruction of Islamic gender equality, this preliminary compilation is actually prove that the basic texts on the issue of wife beating of Hadith can be a major source of discourse strengthening awareness of anti-violence against women and of gender equality.
PENYELESAIAN WALI ADHAL DALAM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Akhmad Shodikin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.914 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.102

Abstract

Adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri ternyata masih ada pihak lain yang keberatan, yaitu wali. Dalam kenyataannya, di masyarakat seringkali ditemukan persoalan dimana seorang wali tidak mau (adhol) untuk menikahkan anaknya  atau yang dibawah perwaliannya dikarenakan adanya hal-hal yang menyebabkan wali tersebut tidak mau untuk menikahkannya, seperti calon mempelai pasangannya yang tidak disetujui karena bukan pilihannya atau karena hal-hal lain yang menyebabkan seorang wali tidak mau untuk menikahkannya. Sometimes a marriage that has been agreed upon or approved by the prospective husband and wife candidates is still objected by other party, the guardian. In fact, is often found in a society problems where a guardian does not want (adhol) to marry off their children or to their ward because of the things that cause the caregiver does not want to marry, like prospective bridegroom partner was not approved because it was not his choice or because it another -it causes a guardian does not want to marry her.

Page 1 of 16 | Total Record : 160